Vitamins Blog

The Broadcast of Love

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

pexels/Trinity Kubassek

“Ya, kembali lagi sama gue, Leon.”

“Dan gue, Liam. Kali ini kita berdua hadir lagi buat nemenin kalian yang mungkin lagi sedih ditinggal pacar, atau lagi nungguin seseorang yang tak kunjung datang, haha.”

“Iya, dong. Pastinya kita berdua setia banget nih buat kalian sekalipun perut kita berdua sedang pada demo, ahaha!”

“Bolehlah, kalau yang mau kirim-kirim makanan buat kita berdua, ditunggu kehadirannya di depan ruang OSIS. Kasihanilah kita berdua ini sudah lapar tak punya cewek, sekarang lapar pula tak ada makanan,” canda Liam pada para pendengar setia radio di sekolahnya.

“Ahaha … oke-oke, seperti biasa selama 30 menit ke depan, kita bakal bacain curhatan via WA kalian di sesi Showme alias Show the Message sambil muterin lagu yang sudah kalian request nih ke kita.”

“Betul banget Le, langsung aja, curhatan pertama dari, Ksatria yang Sedang Kesepian: Kak gimana sih caranya nyadarin seseorang bahwa kita tuh, punya rasa suka sama dia?โ€™ Nah, Le coba deh jelasin jurus apa yang harus dikeluarin buat Si Ksatria satu ini. Haha.”

“Kalau menurut gue, ya ungkapin langsunglah, jangan ditunda-tunda sebelum terlambat, apalagi sampe dihak milik sama orang lain. Haha.” Jawab Leon santai.

“Nah, ini lagu request dari Santi berjudul You Belong With Me dari Taylor Swift, cocok nih buat Ksatria yang Sedang Kesepian. Langsung aja nih spesial kita puterin, ya!” Sambung Liam sambil menekan alat mixer lagu.

If you could ses that I’m the one who understand you

Been here all along so why can’t you see?

You belong with me …

Kira-kira seperti itulah keseruan siang ini, gue Leon ketua ekstrakurikuler Broadcast, bersama karib gue, Liam yang menjabat jadi ketua OSIS pun merangkap jadi penyiar radio. Sukarela memang menjadi penyiar di sekolah, tapi banyak banget pelajaran yang gue dapet dari pengalaman jadi penyiar, termasuk pengalamn tentang cinta. Ya, semuanya bermula dari sini.

Selepas siaran, gue sama Liam dikagetkan oleh sosok adik kelas yang membawa sekotak makanan, seperti biasanya cewek ini selalu memberikan bekalnya dan entah kenapa juga gue selalu kaget, mungkin lebih tepatnya bukan kaget kali, ya. Dia selalu menyiapkan bekalnya untuk gue sama Liam, tapi perasaan gue sih, sebenarnya cewek yang satu ini niatnya kasih ke gue. Tapi, karena di sebelah gue ada Liam juga, jadilah dia beralibi, “Ini Kak Liam, Kak Leon, makan siangnya, kebetulan tadi pagi Laura kebanyakan buatnya.”

Manis. Manis sekali senyum Laura kali ini, setiap harinya dia membawa aura positif di mata gue yang sontak terpana memandangnya. Gue nyaman ketika dia melakukan hal ini selepas gue siaran, tanpa pernah absen, selalu datang membawa makanan. Bukan. Bukan makanannya, tapi dia. Laura, cewek cerdas, cantik, gak gengsian, pokoknya sempurna di mata guelah. Jangan Tanya gue tahu dari mana, diam-diam gue stalking tentang dirinya di social media, dan sesekali iseng bertanya pada teman sekelasnya. Sungguh, gue sudah jatuh hati sama Laura, entah sejak kapan, gue mau dia jadi milik gue, gue janji bakal terus ngelindungi Laura. Nanti, di waktu yang tepat dan spesial gue bakal ngungkapin perasaan ini, kenapa nanti? bukannya takut ditolak, apalagi melihat tingkah lakunya saat ini, peduli sama gue. Gue cuma nunggu waktu yang tepat, udah itu aja.

“Mmm … Ra, kamu tahu gak kepanjangan dari labu?” Tanya gue padanya yang hanya menggeleng, tidak tahu. “Labu itu kepanjangan dari Leon Ada Buat kamU, ehe.”

“Leon … Leon, gue tuh mau muntah tahu nggak denger gombalan garing lo itu! Ra, pesan gue jangan terlalu baper apalagi banyak berharap sama cowok macam Leon. Jarang setianya. Seringnya sih, setiap ada cewek cantik dikit, gombal, cantik dikit, gombal. Kalau jelek, baru dia tinggal, ahaha!” Ledek Liam sambil terbahak.

“Lo ngerusak suasana aja, sih. Sana pergi, dan ini bawa makanannya ke kelas kita.”

“Terserah lo, deh. Gue cuma ngingetin Laura yang cantik ini biar gak kemakan mulut buaya lo itu. Ehe. Udah, ya. Makasih, Ra. Gue duluan ke kelas. Bye!” Pamit Liam sambil membawa kotak makanan gue, lantas menyisakan gue dan Laura di depan ruang OSIS yang sejak tadi tidak bergeser semili pun. Gue lihat raut wajahnya tiba-tiba berubah menjadi mendung.

“Haduh, Ra. Gak usah dibawa ke hati omongannya si ketua OSIS rese’ itu, ya. Kakak bukan buaya yang bakal gigit kamu, kok,” canda gue sambil mengusap kepalanya, wajahnya yang mendung tiba-tiba tersentak kaget. Gemas banget sih Laura ini!

“Ehe. Iya, Kak. Gak apa-apa, kok.”

Buru-buru gue pamit ke kelas duluan pada Laura. Soalnya gue ada mata pelajaran olahraga, yang tidak mentoleransi muridnya telat. Tapi, seberapa cepatnya gue nyusul langkah Liam, tetep aja gue telat karena harus antri ganti baju tadi di toilet. Dan sialnya, Liam ini ngadu ke guru olahraga kalau gue habis pacaran. Keparat memang si ketua OSIS satu ini, mentang-mentang sangatlah dia itu.

Tak cukup sampai situ, gue hampir aja kena bola basket kalau aja Laura gak nolong gue, tepatnya mendorong gue untuk menyingkir. Gue terjatuh berhadapan dengannya ke tanah, Laura menimpaku. Tuhan, jantung ini rasanya sedang dimainkan oleh drumer termahir di dunia. Tersadarlah gue saat suara teriakkan mengaduh terdengar, ya, itu suara Liam. Lagi-lagi dia merusak momen indah gue sama Laura, dasar pengacau saja bisanya. Oh, jadi Liam yang terkena bola basket itu, haha. Rasain deh lo, kualat. Batin gue bersorak saat melihat Liam dikerumuni masa termasuk Laura yang baru saja bangkit dari atasku, berusaha menolong Liam. Secara, Laura adalah anak ekstrakurikuler PMR, jadi dia mengomando yang lain agar memapah Liam ke ruang PMR.

Di ruang PMR, dengan gesit Laura mengompres kepala Liam dengan es batu yang dibungkus. “Kak Leon, bisa tolong ambilkan obat merah di kotak obat, di sana,” pinta Laura dengan sebelah tangannya, dan sebelahnya lagi masih memegang es batu di kepala Liam. Gue mengikuti instruksinya. Membuka kotak obat dan mengambil kasa, betadine, alkohol kemudian membawanya pada Laura. Gue mulai membersihkan luka Liam di tangannya dengan alkohol, sesuai perintah, dan sepertinya gue gak cukup ahli mengobati seseorang. Terbukti, Laura langsung mengambil alih. “Sini, Kak, biar Laura yang bersihin lukanya. Kak Leon bantu pegangin kompres ini aja, ya.” Sambil meraih alat yang gue pegang. Tak sengaja tangannya bersentuhan dengan gue beberapa detik. Gue bener-bener gugup. Walaupun Laura tak merespon apa-apa, mungkin dia sedang serius sekaligus panik.

“Woi, ini gue lagi kesakitan, kalian malah mesra-mesraan, curi-curi kesempatan dalam kesempitan. Gak tahu ya, semua ini tuh gara-gara lo, Leon. Coba kalau lo yang kena bola basket itu, kan gue gak bakal jadi korban, huh!” Liam akhirnya buka suara, masih dengan mata terpejam karena pening. Gue pegang es batu dari Laura, dan, karena si Liam yang super total nyebelin ini selalu gangguin kebersamaan gue sama Laura, sengaja gue tekan es batu ke kepalanya keras-keras. “Ya, itu sih karma buat lo aja, Liam. Lo mending introspeksi diri aja, kesalahan lo tuh udah panjang banget list-nya ke gue, ahaha.”

“Aduuhh, pelan-pelan dong, Leon. Lemah lembut kayak Laura. Lo tuh gak punya perasaan banget, sih!” Gue gak menghiraukan keluhannya Liam, biar aja, biar tahu rasa dia.

Bel pulang sekolah pun berbunyi. Gue sama Laura nganterin Liam ke mobil yang dikirim oleh keluarganya ke sekolah untuk menjemput. Selepas itu gue menawarkan tumpangan pulang pada Laura, untuk kali pertama. Dan syukurlah dia mengangguk, tidak menolak. Entahlah jika nanti gue terkena serangan Infark Miokardial karena bermenit-menit satu motor bersamanya. Ya, biarlah itu terjadi, karena gue sama sekali gak bisa kontrol hati yang sekarang tengah bersorak-sorak gembira.

Di motor tawa canda kami membludak, banyak yang jadi bahan obrolan, dari mulai keluarganya, keluarga gue, macam-macam pokoknya. Laura terlihat happy sekali hari ini, sama gue. Oh, Tuhan! jantung gue tak kuasa bergema.

“Nah, di sini Kak rumah Laura. Terima kasih ya Kak Leon udah mau anter Laura, senang deh bisa ngobrol sama Kakak. Ternyata asik juga ya, Laura ngerasa feel free gitu bua ngungkapin apa aja.” jelas Laura ketika dirinya sempurna turun dari motor gue, dan senyuman itu muncul lagi. Dan gue gak akan pernah bosen lihatnya. “Makanya, sering-sering bareng Kakak dong, Laura.”

“Ehe, iya. Kak. Laura mau ngomong sesuatu, tapi jangan diketawain ya, Kak.” Kata-katanya betul-betul mengagetkan gue, jangan-jangan dia mau ngungkapin rasa sukanya ke gue lagi. Ah, tapi masa cewek duluan sih, jadi gak enak gue sebagai cowok. Tapi, gue putusin buat saksama dengerin dia.

“Mmm, sebenarnya, Laura … sudah lama suka sama Kak Liam.”

Deg.

Gue gak salah denger? Laura suka Liam? Sejak kapan? Megangin es batu? Apa suara knalpot motor gue mengaburkan suara Laura? Harusnya kan Leon, bukan Liam. Gue putusin buat matiin motor gue, supaya lebih jelas kata-kata Laura. Gak mungkin dia suka Liam, selama ini kan dia deket sama gue, tadi juga dia bilang kalau gue mengasikan.

“Persis saat di meja daftar ulang sekolah waktu itu, Laura berpapasan sama Kak Liam. Laura gak tahu kalau Kak Liam ternyata ketua OSIS. Belum. Setiap hari Laura dibuat kagum sama kepemimpinannya, parasnya, terutama tadi, Laura seneng banget bisa sedekat itu pas ngobatin Kak Liam. Laura gak pernah berani buat nunjukkin semua perasaan ini, takut. Laura Cuma mikir, apakah Kak Liam yang sempurna itu mau nerima cewek kayak Laura.”

Jelas, semuanya sudah jelas sekarang. Kata-katanya sempurna buat gue terserang Infark Miokardial mendadak. Tak bisakah Laura ini melihat gue sekarang, mematung di hadapannya. Tak bisakah Laura membaca mata gue yang menaruh harap padanya? Bisakah dia berhenti menyebut nama Liam, sekarang juga. Please! Gue gak kuat, gak tahan. Seandainya gue gak duduk di motor, gue gak tahu benda apa di dunia ini yang rela menopang tubuh gue. Sumpah, perasaan gue tentang Laura keliru. Sungguh keliru. Gue udah salah mengartikan perilaku Laura ke gue selama ini.

“Menurut Kak Leon, gimana? Mungkin gak sih Kak Liam suka sama, Laura?” Dengan polos pertanyaan itu mengalir dari mulut manis Laura, lantas menyisakan pahit di sekujur tubuh gue. Laura langsung izin masuk duluan ke dalam rumah karena sudah dipanggil ibunya, dan dia sekali lagi berterima kasih. Entah berterima kasih karena gue mengantarnya, atau karena gue sudah luangin waktu buat dengerin curahan hatinya yang tanpa dia sadari, udah bener-bener buat dunia gue gempa seketika. Tapi syukurlah, harusnya gue yang berterima kasih karena dia langsung masuk, jadi gue gak perlu susah payah menjawab pertanyaannya yang begitu mengerikan di telinga gue. Gue gak tahu Laura harus jawab apa.

1 Komentar

  1. Yang sabar ya