Vitamins Blog

Just Prologue

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

12 votes, average: 1.00 out of 1 (12 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

12 votes, average: 1.00 out of 1 (12 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

….Li…

L… Li.

“Lili!!”
Seketika gadis itu terjaga, gelap segera menyergap pandangannya. Matanya bergulir liar guna mencari sosok si pemilik suara yang memanggilnya, namun tidak ada orang lain di sana. Hanya ada dirinya sendiri, terbaring di ranjang sempit dalam rumah kayu itu. Suara angin musim dingin bergumuruh dari jendela kecil di salah satu sudut, membawa serta salju yang akan menggunung keesokan harinya.
Mimpi itu lagi.
Gadis itu kembali membaringkan diri, berusaha kembali memejam. Malam ini udara lebih dingin dari sebelumnya, mungkin karena badai di luar sana. Dirapatkannya sehelai selimut kesayangannya dan gadis itu kembali memejam.
Li…li.”
Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Seolah-olah suara itu berbisik di telinganya. Terkesiap, gadis itu kembali terduduk, napasnya memburu. Suara itu bukan khayalannya, bukan mimpi, namun menang ada seseorang atau sesuatu yang memanggilnya dari kejauhan. Langkah-langkah lebar dari balik pintu dan ketukan halus menyentak gadis tersebut dari lamunannya.
“Lyra,” itu adalah suara ayahnya.
Lyra beranjak membuka pintu. Di sana, ayahnya sudah berdiri dengan air muka serius. Bukan berarri Lyra belum pernah melihat ayahnya serius, hanya saja dilain situasi ayahnya tidak pernah sekaku ini, maka ia simpulkan ada satu hal yang benar-benar mendesak.
“Ada a….”
“Pergilah ke Kuil Barat, temui pendeta Kung,” sergah sang ayah.
Lyra yang kebingungan tidak merespon, setelah mimpi anegnya sekarang ia dihadapkan oleh sikap aneh ayahnya. Setelah beberapa detik, barulah Lyra merespon ucapan ayahnya. “Kenapa aku harus pergi ke sana, ayah?”
Dengan tidak sabaran, sang ayah menerjang masuk ke dalam kamar, mengambil segelai selimut dari dalam lemari kayu milik anaknya. Selimut itu bertekstur halus dengan motif unik yang jarang ditemui di negeri manapun. Itu adalah selimut milik mendiang istrinya.
“Dia tahu apa yang harus kau lakukan. Bergegaslah, badai akan segera berhenti. Tidak ada cukup waktu untuk menjelaskan semuanya padamu. Tengah malam nanti kau akan menginjak usia matang untuk dipanen….” dengan buru-buru ia berikan kepada puterinya yang kemudian diseretnya dari kamar menuju lantai bawah.
“Dipanen?”
“Aku yakin mereka tidak akan menunggu hingga fajar datang untuk mengincarmu….”
“Mengincarku? Siapa?”
“Jika kau betremu dengan Pendeta Kung, maka katakan ini padanya ‘mereka yang lahir di antara dua bulan merah, akan menjalani takdir yang telah digariskan. Dua mata uang beradu, kematian, kesedihan, putus asa akan terjadi dimana-mana. Namun cahaya itu tidak akan padam.'”
Lyra ingin bertanya maksud dari kamilat yersebut ketika mereka sampai di istal kecil milik mereka, semua kuda pejantan ternyata sudah di siapkan oleh ayahnya. “Dia akan mengantarmu.” Kuda tersebut milik ayahnya, Lyra tidak pernah dibolehkan menunggang kuda tersebut. Ia hanya boleh merawat dan mengajaknya merumput. Namun, setelah ayahnya mengijinkannya menunggangi Satgi–nama kuda tersebut–Lyra merasakan senang dan waswas.
Lyra mengulurkan tanyannya pada cuping hidung Satgi yang serta merta diendus oleh kuda besar itu dan meringik senang. “Badai segera berhenti, beriaplah.”
Lyra segera memakai manterl selimutnya. Ia bergegas menunggang Satgi, menarik kekang kendalinya hingga kuda itu meringik dan menghentakkan kepalanya. “Sebelum aku pergi, boleh aku bertanya sesuatu?”
“Katakan.”
“Sebenarnya apa yang terjadi? Apa maksud ayah dengan orang-orang yang mengincarku? Siapa mereka dan dari mana? Lalu apa yang akan terjadi kalau aku tetap bersama ayah?”
Ayahnya sejenak diam, pandangannya melambung pada salju yang berhampuran di luar istal. Gemuruh angin meredam suara apapun, namun di dalan Lyra masih bisa mendengar suara lirih ayahnya.
“Kau akan menemukan semua jawaban pertanyaanmu nanti,” ucapnya.
“Kapan? Besok?”
“Saat kau sudah berada di tempat yang aman, Pendeta Kung akan memberitahukan segalanya.”
“Kenapa bukan ayah?”
Ayahnya menggeleng. “Ayah tidak bisa.”
Lyra tidak memaksa lagi setelahnya. Badai di luar sudah mulai reda, pria tua tersebut memandu Satgi keluar istal.
“Bagaimana dengan ayah?”
“Ayah akan baik-baik saja di sini, pergilah. Pergi, sebelum makhluk-makhluk itu menemukanmu.”
Satgi meeingik begitu pria tersebut menepung bokongnya dan kuda itu melesat cepat menuju ke arah barat, ke dalam hutan rimbun nan gelap. Dari punggungnya, Lyra mengamati ayahnya yang perlahan manjauh dan menghilang begitu ia masuk lebih dalam ke dalam hutan.

***
Badai sudah berlalu, namun salju yang turun masih membuat mata Lyra pedih. Hutan menjelang tengah malam terasa mencekam, bayangan-bayangan hitam yang sebenarnya adalah pohon sempat membuat Lyra mengigil ngeri, ia sudah pernah masuk ke dalam hutan berkali-kali bahkan jutaan kali. Namun Lyra tidak pernah tahu bahwa hutan menjelang tengah malam bisa memiliki suasana semagis ini.
Satgi terus dipacu melewati jalanan setapak menuju kuil Barat. Perjalanan terasa mudah sebelum suara-suara aneh dikepalanya muncul kembali. Kali ini lebih riuh, seolah-orang ada banyak orang yang memanggilnya namun dengan suara yang sama, cara pengucapan yang sama, yang diakhiri dengan desah menyiksa.
Li.
Li…li.
…Lil….
Lili.
Lili.
Lili.
Lyra mengeleng kepalanya berharap mampu menghilangkam suara-suara yang mulai menyakitkam di kepalanya. Sementara Satgi terus memacu kakinya di atas permukaan salju.
Dari sudut matanya, Lyra menangkap bayangan besar melintas di atas kepalanya. Ia mulai merasa bahwa ia memang tengah diawasi sesari tadi.
Makhluk-mamhluk penghuni hutan. Pikirnya.
Lyra semakin memacu Satgi lebih kuat, membuat kuda jantan itu meringik. Dari balik rimbunan pohon, gadis itu bisa melihat puncak-puncak kuil yang berdiri di atas bukit, hingga ia hampir mencapai kuil, Lyra masih tidak tahu apa yang harus dilakukannya.


Sesampainya di kuil, Lyra segera berlari ke pintu utama. Pintu besar itu tertutup rapat, digedornya pintu tebal itu dengan tangannya yang telanjang. Berharap penghuni di dalam mendengarnya.
“Pendeta Kung! Pendeta Kung! Tolong buka pintunya!”
Setelah beberapa kali mengetuk akhirnya pintu dibuka, yang keluar adalah seorang pria tua plontos dengan sebuah mantel tebal. Ia tersenyum ramah dan tanpa mengatakan apapun mempersilahkan Lyra masuk.
“Ayah bilang aku harus menemuimu, sebenarnya apa yang terjadi?”
Pendeta tua tersebut tidak langsung menjawab, sementara air mukanya berubah. “Apa yang dikatakan ayahmu?”
Lyra mengulang pesan ayahnya tanpa terlewatkan. Gadis itu menduga ini semacam kode rahasia yang hanya bisa dipahami oleh kedua pria tersebut, karena sejurus kemudian raut wajah pendata tersebut betubah luluh.
“Oh, anakku. Ini adalah permulaan,” katanya kemudian, lalu ia mengenggam tangan Lyra dengan sayang, “Kau akan menjalani takdir yang berat. Dua sisi dunia menginginkanmu, pertumpahan darah akan terjadi dimana-mana, dan takdirmu harus memilih di antara keduanya.”
“Apa maksudnya?”
Pendeta itu berubah serius. “Ada makhluk-makhluk diluar sana yang mengincarmu, salah satu pemimpinnya menginginkanmu. Satu dari yang lainnya menginginkan kematianmu, karena kelak kau akan melahirkan keturunan yang mampu mengubah dunia. Lyra, kau adalah yang terpilih.”
Lyra semakin tidak mengerti dengan penjelasan sang pendeta. Ia ingin mengatakam sesuatu namun diserga dengan tidak tanduk si pendeta. “Tidak ada waktu lagi! Mereka tengah. Berlomba mendapatkamu, aku yakin salah satunya sudah mengikutimu sedari kau keluar dari rumah. Malam ini, ketika usiamu menginjak usia tuai, penghalangku tidak lagi berguna. Sebelum semuanya terlanjur sia-sia, lebih baik aku mencobanya. Ikuti aku.”
Makhluk itu sudah mengikutinya? Itu berarti bayangan makhlum hutan yang ia liat dati adalah sosok yang mengikutinya.
Mereka memasuki kuil lebih dalam, suasana kuil lebih mencekam daei biasanya, lorong-lorong yang mereka lalui hanya diterangi oleh lilin-lilin, mereka berjalan berbelok-belok, menaiki tangga, hingga mereka sampai di puncak teratas kuil. Di ruangan itu dirlukis lingkaran besar di lantai, tepiannya bertuliskan aksara kuno yang tidak dapat di baca. Lilin-lini juga menyala di ruangan tersebut, seperti sengaja disiapkan sebelumnya.
“Ini adalah mantra perlindungan, berratus-ratus tahun yang lalu menjadi senjata ampuh ketika para makhluk itu datang. Karena Mantra perlindunganku sudah tidak lagi mempan padamu, maka aku harap ini mampu menghalangi hawa kehadiranmu. Apa kau siap?”
Lyra yang masih bingung hanya mengangguk, kemudian dibimbingnya gadis itu untuk memasuki lingkaran tersebut. Kemudian pendeta tersebut membacakan sesuatu yang belum pernah Lyra dengar, rentetan kalimat itu seketika memunculkan cahaya dari tulisan-tulisan kuno disekitar lingkaran, mengelilingi Lyra hingga tercitpa cahaya yang membentuk setengah lingkaran.
“Ingat ini Lyra, jangan pernah keluar dari lingkaran ini, sekalipun terjadi hal yang buruk pada siapapun di depanmu, jangan pernah keluar dari mantra perlindungan ini! Kau paham?”
Lyra mengangguk paham.
“Kurasa makhluk itu sudah memasuki kuil, aku harap mereka tidak mengganggu anak-anak. Akan sangat menyulitkan jika semua orang terbangun dan menimbulkan banyak masalah.” Sebelum pergi pendeta Kung sempat menoleh pada Lyra, wajahnya yang berkeriput sempat mengulas senyum, “Kau akan baik-baik saja setelah semua ini berakhir. Hanya mereka yang berjiwa suci yang pantas mendapatkanmu.”
***

Badai tengah berlangsung begitu ia turun, benda-benda dingin yang turun dari awan kelabu bercampur angin berkeliaran membabibuta.
Ia mendarat pada salah satu cabang, memperhatikan sebuah rumah kayu yang ada di tepi hutan. Sayap besar nan gelapnya menekuk membentuk kubah guna menghalau badai, sementara matanya nan merah darah tertuju pada salah satu jendela kayu. Jiwanya merasakan tanda kehidupan di sana, tengah tetlelap sementara badai mengamuk di luar. Meski bedigu, aroma manis yang samar masih tercium oleh indranya. Aroma manis nan menggoda ini akan mesakin kuat begitu menjelang tengah malam, aroma tersebut dimiliki oleh seorang gadis yang tengah terlelap itu. Esok usia gadis itu menginjak masa tuai, sudah wakrunya ia menjemput gadis itu dan membawanya, sesuai janji yang telah terjalin berratus-ratus tahun yang lalu.
Makhluk itu meiupkan sesuatu, kemudian seberkas serbuk keemasan melayang menyeberangi badai, hingga sampai pada jendela kayu nan gelap di bawah sana. Ia merasakan penghuni kamar tersebut terbangun, merasakan jantung si mangsa berdepar kuat membuat makhluk tersebut tersenyum senang. Sepeeri seekor singa yang menunggu buruannya keluar dari sarang.
Tak berapa lama badai perlahan mereda, hanya ada sedikit angin dan salju yang turun tetap seperti hujan. Ia melihat istal yang terbuka, tidak lama muncul seorang gadis berlari menunggang kuda menuju hutan.
Makhluk itu tercenung, jantungnga berdebar amat kencang. Itukah makhluk yang mengeluarkan aroma manis ini? Gadis yang menunggang kuda itu? Pengantinnya? Tanpa berpikir panjang ia mengepakkan sayap besarnya mengikuti jejak gadia itu memasuki hutan. Aroma manisnya bertambah kuat ketika ia lebih dekat dengan gadis tersebut.
Begitu fokusnya ia samapi tidak sadar dengan kehadiran makhluk lain di sekitarnya. Hampir-hampir ia terkena anak panas yang melesat dari sisi lain, untung saja ia sempat menampiknya. Ia menoleh dan mendapati makhluk lain itu.
“Astaga, aku tidak menyangka yang turun tangan kali ini adalah sang penguasa kegelapan sendiri, tuan Azka.”
Azka tidak menanggapi, terkesan tidak peduli dengan ocehan makhluk bersayap seputih salju di depannya ini.
“Apa yang kau lakukan di sini, Iyzac?” tanga Azka pada akhirnya.
Makhluk nermana Iyzac itu mengernyit alis. “Harusnya aku yang bertanga, ‘apa yang kau mau’ dari gadis itu?”
“Itu bukan urusanmu.”
“Jangan coba-coba kau menyentuh gadis itu dengan tangan kotormu. Atau aku sendiri yang akan memberi pelajaran padamu.”
Azka tidak gentar dengan ancaman tersebut, ia malah menyeringai menantang. “Coba lakukan kalau kau bisa, tuan Iyzac.”
Azka menjatuhkan diri kemudian melesat masuk ke dalam jugan, Iyzac yang terkejut mengikuti Azka di belakang. Mengejarnya sampai ia tidak bisa menyaingi kelincahan Azka dan kehilangan jejak. “Sial!”
“Iyzac!”
***

Gadis tersebut masuk ke dalam sebuah kuil, Azka tahu itu untuk perlindungan. Namun sia-sia saja jika gadis itu berusaha bersembunyi. Ini sudah masuk masa tuainya, dan Azka akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan gadis tersebut, termasuk mengotori tangannya dengan darah sekalipun.
Azka hendak meluncue kebawah begitu sebilah pedang menodong lehernya. Mata merah darah Azka melirik pada si pemilik pedang dengan menuh ancaman. “Singkirkan pedang busukmu dariku, Zurric.”
Pria bernama Zurric itu malah tersenyum, tidak tampak ketakutan dengan ancaman Azka. “Ya ampun, apa itu sambutan dirimu untuk kawan lamamu, Azka?”
Azka menggeram. “Apa maumu?”
Zurric mengedik bahu acuh. “Hanya ingin memberu tahu, jangan pernah berpikir untuk membawa Eve ke sarang yang kau sebut istana itu.”
“Dan kau sebut apa istanamu itu? Sarang burung raksasa?” Sebilah pedang telah tergenggam di tangan Azka, pedang berwarna hitam pekar, berbilah tipis dan bertahtakan rubi merah darah di pangkal pedang membuatnya pantas di sebut pedang kematian.
“Sungguh aku tersanjung.”
***
Lyra mengigil, hampir satu jam ia menunggu di sana. Malam ini lebih dingin dari malam sebelumnya, seolah-olah ada hawa lain yang menyelimuti tempat tersebut. Gadis itu memeluk dirinya sendiri berharap mendapat kehangatan lebih.
Pendeta Kung mengatakan bahwa ia tidak boleh keluar dari lingkatan mantra perlindungan, meski dunia sedang berperangkun mantra perlindungan akan tetap melindunginya. Namun Lyra penasaran, apa yang sebenarnya terjadi di bawah sana? Apa yang terjadi pada dirinya? Lyra ingin tahu.
Pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam pikirannya seolah-olah ingin meledak. Ia menginginkan jawaban. Terbesit dalam pikirannya untuk keluar dari lingkaran cahaya tersebut, namun ia kembali dengan peringatan pendeta Kung.
Sebuah ketukan halus menyadarkan Lyra dari lamunannya, ia menoleh pada pintu kayu besar yang tertutup. Terdengar suara lirih seorang pria tua dari balik pintu.
“Lyra, apa kau masih di dalam?”
Lyra tidak langsung menjawab, gadis itu. Berdiri dengan waspada. “Y, ya!” sahutnya serak.
“Apa kau bisa membantuku membuka pintu ini? Makhluk itu mengejarku dan tanganku terluka. Harol sedang menghadapinya. Bisa kau bantu aku membuka pintu?”
Lalu tanpa curiga lagi, Lyra yang didorong rasa manusiawi ia bergegas menuju pintu, sempat ragu sebelum akhirnya kakinya melewati belenggu cahaya dan seketika itu juga lingkaran cahaya tersebut menghilang. Gadis itu takjub sekaligus menyesal. Ia segera membuka pintu tersebut yang sama sekali tidak dikunci, bahkan lebih ringan dari dugaannya.
Begitu pintu terbuka, yang berdiri di sana buka lah pendeta Kung. Melainkan seorang pria berbalut baju putih bersih, tubuhnya jangung, sebuah pedang terselip di pingganya. Yang membuat Lyra tercengang adalah dua buah sagap seputih salju juga wajah si pria yang tampan rupawan. Jenis ketampanan yang tidak akan pernah ditemui di negeri manapun.
Sayang, wajah dan semua keindahan itu sirna dengan tatapan dingin nan menusuk dari si pria, bibirnya mencibir dan menyindir.
“Aku tidak menyangka jebakan seperti ini ampuh.”
Dapam sekejap tangan-tangan besar pria tersebut mencengkram lengan Lyra, gadis tersebut meronta-ronta minta dilepaskan.
“Lepaskan!”
“Tidak secepat itu, tidak sebelum aku menuai jiwamu.” Tiba-tiba sebilah pedang sudah digenggam oleh si pria, membuat gadis tersebut menggigil ketakutam.
“Lepaskan aku, aku mohon!”
Namun pria tersebut tidak menggubria, ia malah mengayunkan pedang tanpa diperingati. Lyra mengigil namun tidak bisa bergerak, ruaranya mendadak menghilang dan yang bisa ia lakukan hanya memejam mata, sementara hatinya terus merapat doa dan memohon pertolongan pada dewa, “Dewa kumohon lindungi aku.”
Tiba-tiba terdengar ledakan di belakang Lyra, suaranya menggelegar. Ledakan tersebut menghancurkan dinding kuil, segala materialnya berhambiran di mana-mana. Lyra yang tidak siap dengan ledakan tersebut hanya mambu bertelungkup melindungi kepalanya dengan kedua lengannya. Sebuah batu sempat mengenai wajah dan tubuhnya yang sekarang terasa nyeri. Selain debu dan batu, udara menjadi amat dingin di kulit Lyra, benda-benda putih pun ikut masuk ke dalam kuil. Salju.
“Sudah aku peringatkan kau, untuk menjauh dari pengantinku!”
Lyra tertegun dengan suara fameliar tersebut, matanya bergerak ke arah pria yang sempat mencengkram lengannya. Ia terkejut ternyata lria tersebut jatuh terlentang, bahu sebelah kirinya terluka, darah segar mengalir dari luka tersebut.
Lyra tertegun, tubuhnya semakin bergetar. Ia mendengar suara langkah-langkah kaki di balik tubuhnya. Sosok itu tengah berjalan ke arahnya. Lyra menoleh penuh ketakutan, wajahnya pucat takut-takut ia akan menjadi korban berikutnya. Namun begitu ia menoleh dan melihat sosok tersebut ia tercengang.
Seorang pria berjubah gelap, dengan sayap segelap malam, tanduk di atas kepalanya tampak runcing dan berbahaya, matanya menyalang merah, dan sebuah pedang berlumur darah di sebelah tangannya. Darah segar.
Siapa yang baru dia bunuh?
Lyra semakin ketakutan, ia berusaha melarikan diri, sayang kakinya mendadak lumpuh. Jadi ia berusaha mundur atau merangkak menjauhi pria yang sekarang benar-benar mendekatinya.
“Ku-kumohon jangan bunuh saya.” Lyra setengah menangis ketika memohon pada makhluk yang entah apa jenisnya ini.
“Membunuhmu? Ya mungkin aku akan membunuhmu.”
Lyra menjadi semakin pucat pasih dan hampir-hampir menangis.
“S-saya mohon tuan, jangan bunuh saya.”
Pria tersebut terkekeh geli, sementara bagi Lyra yang mendengarkan malah terkesan mengerikan. Sebuah sentuhan dingin di pipi Lyra membuat gadis tersebut beringsuk mundur, sayangnya punggungnya membentur dinding, alhasil ia terjebak.
“Jangan takut,” sergah makhluk tersebut. Sekarang ia tengah berlutut di hadapan Lyra, jika boleh jujur. Sosok di depannya ini tidak kalah tampan dengan sosok sebelumnya, malah lebih rupawan, garis wajah yang tegas, mata yang semula merah menyala sekarang berubah menjadi gelap, tanduk yang semua sama mengerikannya sekarang hanya berupa gundukan kecil di atas kepalanya, sayap gelapnya terlipas sempurna, tubuhnya atletis, dengan otot-otot di bagian yang pas.
Dari balik tubuhnya, Lyra bisa melihat rembulan selepas badai, cahayanya jatuh menimpa mereka, kemudian salju yang enggan berhenti menambah kesan magis pada pria tersebut. Lyra kembali tersedar begitu pipinya di sentuh untuk kedua kalinya oleh sosok di depannya. Pria itu menangkup pipi Lyra dengan penuh kelembutan, sebuah senyum sabar terukir dari bayang-bayanynya, membuat Lyra terpesona.
Kemudian seolah mengucap sebuah mantra tidur, pria tersebut mengatakan, “Aku datang menjemputmu, Lili … Istriku.”

 

P.s

Yo yo yo

Wkwkwk, ini cuman selingan selama mencari si Arivah yang lagi kena PSBB 🤣 Arivah libur panjang jadi enggak mau keluar, akhirnya keluar dah prolog ini. Keknya sih cuma unek-unek autor aja dah. Jadi, mon maap gak gak jelas, gak nyambung dan gak banget buat dk terusin #yaemanggakditerusinsih 😅😅

Oke, geish, tetap jaga diri kalian. See yeaaaah 🤣

10 Komentar

  1. Terusin napa? Bau2 nya keren nih

    1. Autor mutek sama si Arivah yang ngambek gak mau keluar 🤣 :huhuhu

  2. ria nur aeni menulis:

    Walapun selingan tapi keren kaa lanjut dong kaa

    1. Wkwkwk makasih :kisskiss Liat nanti deh coba masih ada mood gk :ngakakabis

  3. Bagus lho, kuy dilanjut :lalayeye

    1. Aku gak yakin kak 😅😅
      Semoga ada mood buat lanjut deh :bergoyang

  4. Al-Humayra Raudatul menulis:

    yg ini keren…tapi tetap nunggu si arivah sama bang dimas juga….

    1. Masih proses, sabar geish, masih nunggu si Arivah keluar dari kandang :ngakakabis

  5. Dhian Sarahwati menulis:

    Keren ko..lanjutin aja,sambil ngg arivah keluar.

  6. Selingan