“Seberapa besar nyali lo minta restu bos buat ijin sehari lagi padahal kemarin udah ijin. Ngakunya sakit tapi ternyata ketemuan sama gebetan. Hmm…” @Ryyhaju
“Nay, lo dipanggil sama bos tuh,” kata mba Sri dari atas kubikelku.
Aku menghela napas frustasi. “Ngapain sih, Mam? Kan gue udah ngapel pagi, masa sekarang udah kangen lagi.”
Mba Sri terkekeh. “Tau tuh si bos.”
Aku cemberut kesal. Kenapa sih gue terus yang kena? Kan yang lagi nganggur di sini banyak! Kenapa gue terus sih yang kena, elah.
Mba Sri menepuk bahuku lembut. “Udah, kamu temui aja. Siapa tau mau ngasih bonus.”
“Amiiin, kalo iya ngasih bonus. Lah ini biasanya ngasih kesusahan?”
“Jangan gitu ah, terlalu benci nanti cinta loh.”
Aku melotot. “IIIH! OGAH!”
Mba Sri hanya tertawa geli. Mba Sri ini paling senior di sini, bahkan sebelum pak Yuhda menjabat di sini. Makanya, kita-kita kadang memanggilnya ‘Mommy‘. Tidak berlebihan, mba Sri ini memang selalu perhatian, tidak pernah marah walau ditekan atau dimarahin sama bos, sikapnya tetap tenang, teratur, tegas dan disiplin yang tinggi. Itu yang kadang membuat kami para Jungjar alias junior kurangajar, merasa segan pada mba Sri.
Aku ketuk pintu tiga kali sampai terdengar dedemit–makusnya si bos–menyahut dari dalam.
“Permisi, bapak manggil saya?”
“Ya,” sahutnya singkat.
Aku masuk lalu menunggu sementara si doi sedang mengetik sesuatu di ponselnya. Kali ini aku menunggu sambil berdiri dong ya, karena kemarin si doi sudah kode keras tidak boleh duduk sampe disuruh, dan sebagai kacung yang penurut harus patuh sama atasan.
Tetapi, rasanya si bos ini tidak tahu diri memang, tahu ada yang menunggu harusnya dipersilahkan duduk dulu kek, lah ini malah sibuk main ponsel.
Aku mendengus, sialnya malah didengar bos yang langsung mendongak.
“Kenapa kamu?”
Aku menggeleng pura-pura bego. “Enggak, cuman ngerasa de javu aja sama kalimat ini loh, Pak.” Aku berdeham sementara Dimas menunggu sambil kembali memainkan ponselnya. Good! “‘Saya tidak mau melihat karyawan di sini lebih sibuk main ponsel di jam kantor. SP 1, buat kalian yang melanggar.’ Hmm….” Aku bersedekap sambil memiringkan kepalaku, berpura-pura berpikir. “Kalimat siapa ya itu? Bapak tahu enggak itu kata siapa?”
Dimas mengembuskan napas sebelum meletakkan kembali ponselnya di atas meja dan sekarang ia bersandar di kelapa kursi sambil bersedekap. Masih tanpa bicara dan muka yang masih sama datarnya dengan jalan tol Cipali, Dimas sepenuhnya memperhatikanku.
“Jadi, mau kamu apa?”
Aku menyeringai kemenangan. Good boy.
“Eh, enggak kebalik, Pak? Harusnya yang nanya itu kan saya. Jadi, bapak ada keperluan apa manggil saya ke sini?”
Lagak lo kayak orang sibuk, Vah, Vah.
Dimas mendengus, ia membenarkan posisi duduknya sekaligus mengembalikan wibawanya sebagai pemimpin di sini. “Saya manggil kam….”
“Pak,” potongku. “Saya enggak disuruh duduk dulu nih?”
Dimas menaikkan sebelah alisnya. “Saya kira kamu lagi wasir makanya enggak duduk. Biasanya kan nyelonong saja sebelum saya suruh duduk.”
Demi dedemiiiiit di semesta alaaaam!! Ini orang nyindir orang dengan muka selempeng jalan gitu?! Tuhaaaaan!!! Ini gue syok loh ya!
Aku mencibir bibir, menggered kursi di depanku dengan tidak sabar kemudian duduk dengan memasang muka masam.
“Saya manggil kamu ke sini buat minta tolong. Tolong carikan daftar nama-nama nasabah yang sudah difollup oleh tim marketing.”
“Emang daftarnya ada di ma….”
Aku menutup mulutku begitu Dimas mengeluarkan setumpuk kertas dari kolong mejanya lalu menyodorkannya ke hadapanku.
“Nama-namanya udah ada di sini. Saya minta daftar untuk bulan depan. Masing-masing sudah ditandai, jadi tugas kamu hanya menyebutkan nama, usaha, dan pengajuan mereka yang sekarang. Sementara saya yang rekap di sini. Paham?”
Aku masih melongo dengan tumpukan kertas di depanku sedangkan bos sudah minta kepastian. Aku mengerjap beberapa kali untuk mengembalikan kebegoanku. “Pa, paham, Pak. Paham.”
“Sekarang mulai.”
Aku mencari daftar dari bertumpuk-tumpuk kertas yang ada. Sementara Dimas sibuk mengutak-atik komputernya. Setelah mendapatkan dua lembar daftar, kami mulai bekerja.
Suasana di dalam hening, hanya diisi oleh suara dengung CPU, keyboard, dan kertas yang dibolak-balik.
Pikiranku melayang pada malam Minggu kemarin, ketika aku memergoki Dimas dan … seorang wanita tengah asyik berciuman di Misbar. Aku yakini, itu malam paling sial. Untuk apa aku berlama-lama melihat adegan tak senonoh di depan umum seperti itu, sampai ke-gep pula.
Nanti dikira gue nguntitin dia lagi! Iiiih, males banget!
“Kemarin sama siapa?”
Aku yang masih disorientasi ditodong pertanyaan seperti itu hanya bisa menyahut bego. “Gimana, Pak?”
Dimas mengembuskan napas. “Malam Minggu kemarin kamu ke Misbar kan? Sama siapa?”
“Ooh, saya pergi sendiri.”
“Sendiri banget?”
Mohon maaf, itu pertanyaan apa lo lagi ngeledek gue?
Aku mengedik acuh. “Ya, memang kenapa kalo saya pergi ke Misbar sendirian? Itu me time saya setelah seharian bekerja di bawah tekanan bos. Yah, walau enggak ada yang bisa saya peluk atau cium pasnya gerimis dateng.”
Dimas bergumam sambil manggut-manggut persis boneka di dasbor mobil.
Gue nyindir loh, itu tuh. Tapi muka lo kok gitu-gitu aja.
“Bagus lah, saya kira sama anak sini juga. Ternyata … jomblo.”
Aku melotot. “Maksud lo apa?!”
“Saya sudah cukup jadi bahan perbincangan di toilet prihal kerjaan saya, tapi tidak untuk kehidupan pribadi saya.”
Aku menarik sebelah alis. Sejak kapan ini anak jadi protektif gini sama masalah pribadi.
“Emang yang kemarin siapanya?”
Hmm, ternyata ada gunanya juga gue temenan sama si Jengkol. Sekarang gue bisa ngelambeh, korog-korog informasi fresh dari sumbernya. Terlebih sumbernya adalah tetangga lo sendiri.
Udah mirip bu ibuk rumpis kan.
Dimas melirik dari ujung matanya. Menyelidik.
Hmn, belum aja gue colok pake sumpit mie ayam.
“Nanya doang duuuh, lo kayak enggak tau gue aja,” selorohku. Kali ini kulepas jubah kesopananku, tidak ada lagi kata bos dan anak buah, yang ada hanya antar tetangga.
“Kamu kan sudah lihat. Kenapa masih tanya?” jawabnya acuh tak acuh, setelahnya kembali pada layar komputer.
Aku mencebik. “Ya kan siapa tau cuma temen.”
“I can’t kiss her, kalau dia bukan siapa-siapa.”
“Yes, you do it. Mungkin aja lo lagi khilaf.” Aku mengedik bahu asal.
“Maksud kamu seperti ini?”
Dalam sepersekian detik, Dimas beringsuk ke depan meja. Mencondongkan tubuh ke depan, sebelah tangan panjangnya terjulur ke belakang kepalaku, menariknya hingga mendekat, dan belum sempat aku berreaksi, wajah Dimas sudah di depan wajahku. Refleks aku memejam mata, tidak mau melihat kejadian selanjutnya. Dalam hati aku menghitung.
Tiga.
Dua.
Satu.
Tapi tidak ada yang terjadi.
“Kenapa kamu merem? Berharap saya menciummu?”
Aku segera membuka mata, melotot, begitu tahu Dimas masih ada di posisi semula–tepat di depan wajahku. Pria tersebut menyeringai kemenangan.
Sialan, gue dikibulin.
“Saya bukan pria kurang ajar yang seenaknya mencium perempuan yang bukan siapa-siapa saya. Sekalipun saya ingin, tapi saya akan menahannya.”
Seperti anak kecil yang sedang dinasehati, aku diam mendengarkan ocehan Dimas. Dengan jarak sedekat ini, aku bisa memperhatikan wajah dimas dengan leluasa.
Mata kurang ajarku malah menelusuri setiap inci wajah Dimas; matanya yang sayu namun menenangkan, jejak kacamata yang dulu pernah membingkai masih tersisa di sana. Hidung mancung seperti prosotan, bibir tipis yang menggemaskan untuk dicium. Pikiranku terlempar lagi pada malam minggu di Misbar.
Ketika wanita itu mencium Dimas dengan posesif, sedangkan Dimas meladenin dengan menahan diri. Kalau bukan di depan umum, kalau bukan disaksikan banyak mata, bagaimana pria ini akan meladeninya?
Hmn, gue penasaran.
Aku tarik dasi Dimas dengan dua tangan, hingga tidak tersisa jarak di antara kami. Bibirku mendarat sempurna di bibir Dimas, kukecup kuat-kuat bibir pria itu sebisa mungkin, dan aku tersenyum mendapat reaksi Dimas yang lama membeku mulai terpancing. Begitu Dimas mulai melumat bibirku, sekuat mungkin kudorong jidat lebar Dimas hingga terduduk kembali.
Wajah syok Dimas adalah pemandangan paling memuaskan dalam permainan ini.
“Srigala dalam kolong meja,” ucapku. “Lo enggak bisa nipu gue!”
***
13 tahun lalu.
“Nay! Nay!”
“Apa, Mih?” sahut Arivah malas.
“Anterin ini ke rumah tatu Maya, ya.”
Arivah menerima rantang yang diberikan wanita tersebut dengan alis terangkat. “Apaan isinya, Mih?”
“Nasi sama lauk buat a’Dimas. Kan tatu Maya sama om Ridwan lagi ke Bekasih, kasian kan kalo harus cari makan di luar.”
Wajah remaja perempuan tersebut segera berubah cemberut, menaruh asal rantang yang diterimanya di atas meja. “Males, ah Mih, kalo mesti ketemu sama Dimas.” Arivah membanting tubuh kembali ke atas sofa kembali menonton acara favoritnya, Doraemon. “Kenapa enggak Amih aja yang kasih?”
“Iih, Amih kan mau jemput adek kamu.”
“Ya kan sekalian, Mih. Lagian enggak jauh ini.”
Wanita tersebut menjawil dagu anaknya gemas. “Justru karena enggak jauh makanya Amih suruh kamu. Udah cepetan sana, kasian loh a’Dimas nanti kelaperan.”
“Bodo amat ah.”
“Emang kenapa sih kamu sentimen gitu sama a’Dimas? Awas loh kelewat benci jadinya suka.”
Arivah bangkit terduduk dengan cepat. “Idih! Amit-amit suka sama si Dimas itu, Mih! Mending aku sama si Jordi daripada sama Dimas!”
“Husss, sembarangan! Ucapan adalah doa loh, Nay. Emang kamu mau nikah sama kucing!”
Arivah semakin cemberut. “Ya abisnya! Naya kan enggak suka sama Dimas! Cowok kok letoy gitu, kalah lagi kalo berantem sama Naya! Giamana mau lindungin Naya kalo berantem aja enggak bisa!”
Wanita itu tersenyum kemudian duduk di samping putri sulungnya. Diusapnya rambut Arivah dengan sayang. “Justru bagus dong, Nay, kalo a’Dimas kayak gitu….”
“Bagus di mananya sih, Mih?”
“Berarti dia enggak bakalan nyakitin kamu. A’Dimas itu bukannya enggak bisa ngelawan kamu, cuman dia ngalah sama anak perempuan badung kayak kamu.”
“Amiiih….” Arivah merengek sambil bergelayut di lengan ibunya. Memohon untuk sekali lagi.
“Terus kamu mah nikah sama si Jordi?”
“Daripada sama Dimas.”
“Aa Dimas, Naya. Dia lebih tua tiga tahun dari kamu.”
“Enggak mau!”
Sang ibu mengembus napas pasrah dengan kelakuan anaknya. “Terus, kalo kamu beneran sama si Jordi emang kamu mau? Amih sih enggak yakin. Soalnya, pasnya kamu besar kan enggak tahu si Jordi masih idup apa enggak. Kan kucing enggak idup selama manusia, Naya. Kalo ternyata si Jordi udah mati duluan, kamu bakal jomblo seumur idup dong. Kamu tetep mau nikah sama kucing?”
“Iiiiih, Amiiiiiih!!!!! Itu namanya nyumpahin anaknya enggak ketemu jodoh!”
“Loh, bukannya kamu yang minta? Itu baru ‘andaikan’ loh, Nay. Kamu udah ketakutan duluan.” Wanita itu terkekeh geli.
“Enggak gitu jugaaa!”
“Udah, sekarang … anterin ini ke a’Dimas. Ngeladenin kamu mah enggak kelar-kelar. Anterin, ya, Nay. Amih mau berangkat dulu. Awas kalo enggak dianterin, Amih potong uang jajan kamu.”
Arivah berdecak sebal namun tetap menyahut. “Iyaaa. Asal pulangnya beliin Naya es krim.”
“Iya.”
Sepeninggal ibunya, Arivah remaja menjinjing rantang di tangan sambil bersenandung ringan menuju rumah bercat hijau pastel. Didepannya ditanami bebungaan yang dirawat dengan apik oleh pemiliknya. Sebuah motor terparkir di halamannya yang rapih, Arivah mengenalinya sebagai motor si penghini rumah. Ya, siapa lagi kalau bukan Dimas.
Arivah hendak mengetuk pintu namun ternyata pintunya tidak dikunci, dengan seenaknya Arivah nyelonong masuk. Rumahnya sepi, tidak terdeteksi tanda-tanda makhluk lain selain dieinya di dalam rumah yang cukup megah itu.
Biasanya jam segini orangnya masih molor sih.
Arivah ngeluyur menuju dapur, lebih baik ia taruh di dapur. Kalo dingin tinggal panasin sendiri. Remaja perempuan itu memang sudah bisa keluar masuk rumah tersebut, tapi tidak sesepi ini. Biasanya ada tatu Maya atau Ambar–adik Dimas.
Kalo sepi begini, rasanya kayak masuk rumah hantu.
Ketika tinggal tiga langkah memasuki dapur, Arivah mendengar suara-suara ganjil. Bahkan sama asingnya dengan suara lain yang ada di dalamnya. Ia yakin tidak ada orang lain di dalam sana selain dirinya dan si penghuni rumah. Rasa penasaran remaja tersebut mengalahkan rasa takutnya, dengan mengendap-endap Arivah melangkah menuju dapur.
Begitu ia samlai di pintu dapur, barulah ia membeku di tempat. Di sana, di atas meja makan keluarga Wirmansyah duduk seorang gadis dengan kondisi yang … berantakan? Sedangkan di depannya seorang lelaki tengah memeluknya sedangkan kepalanya menyusup ke lekukan leher si gadis, ia adalah salah satu penghuni rumah ini. Dimas Wimansyah.
Bagi remaja berumur 14 tahun seperti Arivah, apa yang tengah dilakukan oleh kedua orang tersebut harunysa hanya dilakukan oleh orang dewasa. Amihnya selalu bilang, ‘jangan pernah membiarkan lelaki dan perempuan berduaan di ruang tertutup. Karena kalau sudah begitu, yang ketiga adalah sayton.’ Dan Amihnya akan melanjutkan, ‘jangan pernah memperbolehkan seorang pria menyentuhmu sebelum jadi muhrimnya, yang boleh menyentuhmu adalah dia yang sudah menjadi imam halalmu, atau suamimu.’
Lalu, apa yang sebenarnya dua orang di depannya ini lakukan? Mereka bahkan belum menikah, bukan juga pasangan suami istri.
Mata polos Arivah berseliroh dengan gadis yang tengah bercumbu mesrah tersebut. Merasa ketahuan, Arivah sesegera mungkin bersembunyi di balik tembok dapur. Remaja itu membekap mulutnya agar tidak mengeluarkan suara apapun, dengan mengendap-endap Arivah meninggalkan rumah tersebut.
Sesampainya di rumah, Amih dan adiknya sudah kembali. Arivah segera masuk ke dalam kamar dan tidak keluar hingga waktu makan malam. Begitu makan malam tiba, Arivah keluar dengan pikiran linglung. Amihnya menanyakan soal makanan di rantang yang bahkan sempat terlupakan oleh Arivah, ia lupa dimana ia tinggalkan benda tersebut.
Ketika Arivah menjawab ragu-ragu dan siap mendapat ocehan dari Amihnya, bersamaan dengan itu pintu rumahnya diketuk. Hukuman Arivah tertunda, hingga Amihnya kembali diikuti oleh orang yang siang ini ia pergoki tengah bercumbu di dapur rumah tetangganya, Dimas.
“Ternyata kamu beneran kasihin ke a’Dimas. Maaf ya, Amih kira kamu makan sendiri.”
Dalam keadaan normal, sudah pasti Arivah akan membantah mati-matian. Tetapi kali ini, Arivah hanya diam. Seluruh perhatiannya tertuju pada Dimas. Dari Dimas datang, mengembalikan rantang, duduk di depannya, bahkan makan bersama mereka. Tidak akan satu gerakkanpun yang lolos dari Arivah. Anehnya, Dimas benar-benar bertindak normal, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Bahkan, setelah aksi terang-terangannya tersebut dipergoki oleh Dimas, Arivah tetap menantangnya.
“Kenapa, Nay? Ada nasi di wajah aa?”
Arivah menyipit, Dimas benar-benar amnesia, atau dia yang salah lihat?
Tapi tadi itu beneran Dimas!
“Enggak,” sahut Arivah datar.
Hari-hari berikutnya Arivah baru paham, ternyata Dimas tidak sebegitu polos yang orang lain lihat. Ia bisa menjadi srigala buas yang siap menerkam mangsa mana saja.
“Lo enggak bisa nipu gue Dimas Wirmansyah.”
TBC??
P.s
Thanks yang udah mau baca cerita abal-abal saya dan udah mau kasih dungungan vote n komen. Ini untuk kalian ?
ditunggu kelanjutannya…
Lucu???
Dari awal udah koplak