Vitamins Blog

Oh My Fake bo(ss)yfriend || Arivah Inayati

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

24 votes, average: 1.00 out of 1 (24 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Kejombloan adalah bentuk lain dari pernyataan kebebasan diri yang HAQQIH.” @A_Inay

“Vah, lo dipanggil bos tuh.”
Aku baru saja akan mendaratkan pantatku di kursi kebesaranku ketika Jeje muncul dengan berita yang amat tidak aku sukai. Panggilan dedemit … eh, maksudnya si bos kita tercinta di awal pagi yang cerah ini.
“Kayaknya kangen banget sama elo, Vah. Sampe gak rela banget enggak ketemu dua hari aja. Eeeh, hari senin udah suruh apel pagi aja ya, kayak anak SD. Duuuh, toooo tweeeeeet.”
Di mana ada penderitaan di situ ada teman terkampret lo yang mulut dan tingkah lakunya minta dislepet. “Halah, bacot lo aja yang gede! Giliran lo yang dipanggil baru lo mewek-mewek depan gue!”
Jeje malah cekikikan macam kunti kesambet pohon asem.
Aku menatap pintu neraka—well, ruangan pak bos—dengan nelangsa. “Lagian ngapain sih masih pagi juga. Belum juga gue nyalain PC, belum buka-buka data nasabah yang masuk kemarin, belum ngopi, belum sarapan, belum tauch up bibir, belum juga ketemu jodoh … eh, si bos udah minta di apelin pagi-pagi. Ya salaaaaam!!!”
Bukannya membantu, bes(hi)tfriendku ini malah semakin terpingkal-pingkal.
“Idih, kesurupan apa ya ini anak.” Karena jengkel dengan tawa Jeje–yang semakin tidak wajar–langsung saja kuhadiahi dengan telapak tanganku tepat di tengah wajah Jeje. Dengan gemas kuraup wajahnya. “Puaaas banget lo ya, hm puas lo ngetawain gue pagi-pagi. Bahagia banget idup lo Jelita Syahab!!”
Tetapi dasarnya orang sinting, bukannya membalas ia malah semakin terpingkal. “Udah duuuh sana, kasian si Ande-Ande Lumut kelamaan nungguin lo. Inget, rizki pagi-pagi tuh jangan ditolak. Mana tau kalo Ande-Ande Lumut yang ini udah nyiapin suprais party buat ngelamar elo, eeeeeh….”
Aku melotot, tapi tidak berniat membalas.
Percuma, berdebat di pagi hari sama orang sableng, makin sableng aku. Kuhentak-hentakkan kakiku sampai suaranya memenuhi seluruh ruangan. Bodo amat.
Penasaran juga sudah berubahkan si bos menjadi Ande-Ande Lumut. Kalau si Bos sudah berubah jadi Ande-Ande Lumut, nanti aku akan mengaku sebagai Kelenting Kuning biar cepet dinikahin sama doi. Jika si doi enggak berubah jadi Ande-Ande Lumut, setidaknya aku berharap si bos sudah ditumbuhi jamur atau berubah jadi fosil.
Baru menyentuh kenop pintu aku merasa ada kilat cahaya dari sudut mataku, ketika menoleh, kudapati Jeje masih cekikikan—kali ini pada benda persegi di tangannya. Kalau saja bos tahu kelakuan karyawatinya yang satu ini lebih sering buka tokline daripada email-email masuk dari anak-anak marketing, sudah dipastikan Jeje tidak akan bertahan di sini selama dua tahun ini.
Namun, hingga saat ini pak bos masih adem ayem duduk di meja kebesaran tanpa peduli dengan hal itu, walau aku yakin dia tahu tapi seolah-olah mendadak picek dan aku …. aku Arivah Inayati–karyawati yang paling alim sejagat kantor, pekerja keras, baik hati, ramah, rendah hati, dan rajin menabung–yang seolah menjadi bulan-bulanan pak bos tertjinta untuk segala sesuatu yang aku lakukan.
Begini salah, begitu salah, salah aja semua. Sampe napas aja salah, bengek-bengek dah gue!
Terlebih apel pagi si pak bos ini adalah ritual di luar nalar yang kadang membuat darahku naik hingga ke kayangan.
Kuketuk pintu tiga kali hingga terdengar panggilan masuk dari dalam. Aku baru masuk tiga langkah dari pintu ketika dengan amat muliyanya si bos mengeluarkan titah pertamanya pagi hari ini—ini gagang pintunya aja masih gue pengangin, loh, pak. Takut, kali aja si pintu kabur karena bosan tiap hari ngeliatin muka si bos.
“Rivah, tolong buatkan saya kopi. Less suger, ya.”
Hmm hmm hmmm hmm hmm hmmm hmmm hmmm hmm hmmm hmmm hmmm.
Intro ‘Deen Assalam‘ menari-nari dalam kepalaku, bahkan bayangan Nisa and the geng karokean dadakan di dalam ruangan si bos  melayang-layang di pikiranku.
See? Dia memanggilku hanya untuk menyuruhku membuat kopi! Kopi, pemirsah! K. O. P. I! Lantas apa gunanya mang Ohim–OB kantor–atau Jeje yang lebih dulu dipanggilnya ke mari?!
Permisi, saya bekerja di sini bukan menjadi asisten pribadi bapak loh!”
Tentu saja aku tidak benar-benar ingin mengatakannya, dompetku masih membutuhkan asupan bergaji dan cicilan motorku masih perlu disuapi kurang lebih enam bulan lagi.
“Rivah, kamu masih di sana?”
“Eh! Maaf, gimana, pak?”
Si bos mengangkat wajahnya dari map–entah apa aku tidak peduli–melayangkan tatapannya padaku dengan satu alis terangkat. Tanpa perlu menunggu titah kedua dikumandangkan aku segera melaksanakan tugas negaraku. Membuat kopi untuk sang raja.

***

Duuh, ditatap gitu malah deg-degan. Sial!
Apa aku belum bilang kalau bosku ini tampannya gak ketulungan, tinggi, bahu yang sandarebel, dan mata yang mampu membuat wanita manapun mendadak jadi es krim sundays.
Diusianya yang genap kepala tiga ini, Prayudha Syahdin sudah terbilang pria yang mapan dan matang. Matang dalam artian diusianya harusnya ia sudah membina rumah tangga: satu istri dan satu atau dua anak. Namun, entah apa alasannya si bosku yang terhormat ini masih betah melajang.
Meski santer berita, bahwa ia sering wara-wiri bertemu dengan sejumblah wanita di luar jam atau di tengah-tengah jam kerja, namun hingga kini si bos masih bertahan dengan kejomboannya dan lebih fokus pada kariernya.
Terbukti, Prayudha adalah lulusan terbaik di universitar ternama di Singapura, tidak membuang waktu ia langsung mengikuti PMT–program management trainee–dan mampu menyelesaikan PMTnya dalam kurun waktu kurang dari setahun. Satu setengah tahun kemudian Parayudha kembali mendapat kepercayaan dengan diangkat menjadi kepala cabang yang ada di Bogor, dua setengah tahun setelahnya Prayudah dipindah lagi ke Jakarta hingga akhirnya ia dipindah tugaskan di kantor cabang tempatku bekerja sekarang.
Tidak sepertiku, aku lulusan salah satu kampus swasta dalam negeri, kehidupan kuliahku baik-baik saja. Dalam artian aku bukan mahasiswa teladan juga bukan terbodoh, tapi alhamdulillah IPKku selalu 3 koma walau lebih sedikit. Aku tidak terlalu berambisi untuk menjadi pemimpin tapi aku juga tidak ingin menjadi yang ditindas, sedang-sedang saja.
Saat mencari kerjapun aku tidak terlalu memikirkan jurusan dan pekerjaan, yang penting aku bekerja dan mendapat gaji. Sampai akhirnga aku diterima di salah satu bank swasta di Jakarta raya ini.
Tapi tetap saja, kehidupan kacung dan bos itu beda kastanya. Kalo si bos kelas elis, maka aku adalah kaum pelit. Pelit dalam arti waktu, tidak ada waktu bersantai selagi jarum kehidupan masih memburu dan  urusan perut masih belum kelar.
Begitu lah hidup, Tuhan selalu punya cara sendiri untuk bertindak adil. Sepeeti bosku ini:
Muka cakep, otak encer, karier mantep, tapi sayang … jomblo.
Aku jadi teringat dengan ucapan seorang komedian, “Ada dua jenis cowok di dunia ini, kalo gak gay berarti dia berengsek.”
Jika diperhatikan, bosku ini tidak masuk golongan pertaman. Terbukti bahwa ia masih menyimpan foto Emma Wattson di dalam ponselnya–yang satu ini aku tidak sengaja melihat ketika rapat bersama beberapa bulan lalu. Si bos juga bukan termasuk golongan berengsek, dibeberapa kesempatan pak bos bahkan tertangkah sedang berbelanja bersama ibunya, memberi kebijakan khusus untuk karyawati yang tengah hamil, dan tidak jarang memakan bekal buatan rumah yang dibuat oleh adik perempuannya.
Meski begitu, kita tidak pernah tahu barangkali sikap baik itu hanya gemec untuk menutupi seberapa berengseknya si bos.

***

Ketika aku masuk ke dalam pantry, ternyata sudah berpenghuni. Seorang wanita–entah siapa aku lupa tapi aku tahu dia dari bagian taller–dan Farhan yang tengah berdiri di meja pantry membelakangi si wanita, tubuhnya yang besar hampir menutupi sebagian besar meja pantry yang kecil.
“Geser dikit lo,” kataku sambil mendorong tubuh besarnya untuk memberiku cukup ruang supaya aku bisa membuat secangkir kopi bagi maha raja.
“Lah lah lah, dateng-dateng maen dorong aje nih bocah. Kagak ade sopan-sopannye. Sabar ngapa.”
Oh, iya, bang Farhan ini orang Betawi asli, kerjaannya sembayang mengaji, tapi jangan bikin dia sakit ati kalo gak mau liat dia nangis dipelukan emaknya. Kurang paham, sebenarnya dia siapanya Si Doel anak Betawi. Biar bagaimanapun bang Farhan ini orang pertama yang kukenal dan mudah kuajak mengobrol sejak pertama aku masuk ke sini, walau kita berada di divisi yang berbeda. Bang Farhan ini dari bagian taller, ngomong-ngomong. Walau logat Betawinya medok tapi kalau sudah di belakang meja taller, logatnya seketika hilang dengan bahasa Indonesia yang fasih.
“Sori, bang. Lagi urgent,” ucapku acuh.
“Widih, kok gua kagak tau kalo lo sebenernye BO merangkap jadi OB.”
Selain Jeje, mulut pria yang satu ini patut diperhitungan slepet menylepet.
Namun yang kulihat bukan wajah Farhan Ibrohim melainkan layar mulus A9 yang masih mulus. Tapi bukan itu poin pentingnya, melainkan foto yang ada di sana. Fotonya samar, namun aku mengenal dengan jelas siapa itu. Gue! Itu GUE!!! Capsion yang tertulis di sanapun membuatku melotot.
Ngebabu dulu, kali aja besok jadi istri majikan ?? #suami #istri #otwmerrid’
Kusambar benda persegi tersebut dan kudapatkan si pelaku utama.
Jelita Syahaaaaab!!!
“Monyet sableng!!! Ta’ kuliti sampean!!!”
Kudorong kembali ponsel kepada siempunya, seketika moodku semakin jelek di awal minggu. Kalau sudah begini aku harus mencari tempat untuk melampiaskan segala kekesalanku ini.
“Bang mau gue sianidain gak nih?”
Bang Farhan semakin cekikikan, bahkan aku mendengar tawa tertahan dari wanita yang berada di belakang kami. Aku melirik ke belakang dengan cepat wanita tersebut memperbaiki ekspresinya, tapi aku masih melihat ia menahan tawanya.
Ketawa mah ketawa aja kali, kelamaan nahan tawa malah keluarnya dari balakang.
Barangkali tidak bijak mengucapkannya maka aku hanya diam.
“Lagian nih ye, lu ngapain sih mau-maunye di panfaatin gitu ame bos lu itu?”
“Bos lo juga kali.” Aku menarik napas dramatis. “Tau dah bang, bos lo makin hari makin aneh-aneh aja mintanya. Mana sasarannya gue mulu lagi, salah apa sih gue sama doi?”
“Naksir ame elu kali,” celetuk bang Farhan.
“Udah siang masih halu aja.”
“Lah, gua kagak halu. Nih ye, kalo diperhatiin si bos itu kalo mau apa-apa maunya dilayanin ame elu. Terus pernah juge gua mergokin si bos lagi ngeliatin lu terus kalo kita lagi ngobrol. Elu kagak ngerasa begitu emang?”
Demi dedemit di seluruh kantor ini, ingin sekali kusentil ginjalnya. Tau aja.
Ya, kalau dipikir-pikir bosku itu memang aneh. Sempat beberapa kali ia mengajakku makan malam ketika kami lembur. Atau menanyakan keadaanku ketika aku tidak masuk kerja. Atau juga mengirim pesan yang kadang tidak jelas topiknya. Tapi aku tidak ingin ge’er atau salah kapra dengan semua tindak tanduknya, meski sebenarnya senang juga kalau ada yang perhatian.
Ya, maklumlah jomblo emang kurang dipupuk sama perhatian. Sekali diperhatiin malah baper.
“Halah, gak ah, gue mah biasa aja,” elakku.
“Jangan sok-sokan nolak lu, kalo si bos beneran ngelamar, elu juga gak bakal nolak kan.”
Duuh, tau aje sih lu bang. “Jangan sok jadi cenayang lu bang, belum tentu juga gue terima dia.”
“Halah sok laku lu, jomblo dari lahir juga.”
Tampaknya pembicaraan ini sudah mulai tidak sehat pemirsa. “Berisik lo! Gak tau aja kalo kejombloan adalah bentuk lain dari membebaskan diri dari penjajah hati!”
Seketika tawa bang Farhan meledak diikuti dengan wanita di belakang kami–masih dengan tawa tertahan.
“Udah ah, ngeladenin bang Farhan terus mah gak ada faedahnya. Bye!”
Aku hendak keluar dengan secangkir kopi di tangan ketika kembali ditahan oleh bang Farhan. “Eeh, eeh, entu bukan buat gua ya, Vah?”
“Yeeee, sapa bilang buat elu. Orang ini buat suami gue … eeh maksudnya pak bos. Udah ye, udah kelamaan ngerumpi nih. Bisa-bisa mas bos sewot lagi. Daah”

***

Kuletakkan cangkir kopi di atas meja dengan sedikit keras hingga orang di balik meja mengangkat wajah ke arahku sebentar kemudian kembali pada dokumen di tangannya.
Sok sibuk!
“Kopinya, Pak.” Tak lupa kutambahkan senyum semanis gula bibit.
“Hm.”
Udah gitu doang? Gak ada ucapan makasih gitu?  Atau suprise ‘will you merry me’ gitu? Yak elah, gak tau diri banget ini orang.
“Kalo gitu, saya permisi pa….”
“Eeet!” ini pinggang sama kaki udah muter loh, harus banget nih distop diposisi miring gini. “Suruh siapa kamu keluar? Tunggu sampe saya nyicipin kopinya, baru kamu boleh keluar,” lanjutnya.
“Tapi pak….”
“Gak ada tapi-tapi, saya sebentar lagi selesai.”
“Bukan gitu pak, maksud sa….”
Ssst, kamu ganggu konsentrasi saya.”
Seketika aku diam. Selama perdebatan tadi si bos bahkan tidak menoleh sama sekali.
Kan ngeselin, posisi udah kayak orang kena encok gini doi gak suruh kelenting kuning yang satu ini duduk gitu? Sekarang aku tahu dia bukan Ande-Ande Lumut, tapi Yuyu Kangkang!
Lama-lama pegel juga ini pinggang. “P-pak….”
“Sebentar!”
Baik lah, nasib kacung emang selalu mengenaskan.
Beberapa menit setelahnya barulah si bos tertjinta selesai dengan segala urusannya.
“Ngapain kamu kayak orang kena encok gitu?” katanya dengan sebelah alis terangkat.
Aku mendengus terang-terangan. “Setau bapak aja lah gimana ini,” ucapku kesal.
“Kenapa kamu enggak duduk aja?”
Dosa enggak sih kalo aku colok mata si bos ini?
Pak bos mengangkat cangkir kopi ke depan hidungnya, mengendusnya curiga.
“Tenang aja pak, enggak saya kasih sianida kok, kalo bapak pikir begitu.”
Tanpa kata dia menyesap kopinya pelan-pelan.
Tiba-tiba sebuah ide melintas dikepalaku. Aku memyeringai lalu melanjutkan, “Mana mampu saya beli sianida, Pak.” Si bos mengangguk-angguk puas. “Berhubung di pantry cuma ada racun tikus, saya kasih aja….”
Seketika itu juga, pria tersebut menyemburkan kopi dari mulutnya dan sebelum tanduk mas bos keluar aku lebih dulu tancap gas. Kabur!!!
“ARIVAAAAH INAYAAATIII!!!

TBC??? ?

4 Komentar

  1. Lanjuttt kn !!!

  2. Ini Chapter 1 kan…?? Maaf kok gak ada keterangan chapter atau bab nya. Jadi bingung..

  3. annisa09rahma menulis:

    Ceritanya lucu, bikin penasaran??

  4. Indah Narty menulis:

    Pasangan koplak :NGAKAKGILAA