Vitamins Blog

WHEN : 1. Nobody Loves Me

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

“Semuanya akan baik-baik saja, sayang. Ibu ada di sini.” Wanita paruh baya itu menggenggam erat tangan putrinya. Matanya menatap sendu.

Tayuya tersenyum kecil. Sesekali dia meringis kesakitan. Cuci darah selalu menjadi momen tak menyenangkan baginya.

“Aku sudah tidak apa-apa, bu. Sebentar lagi sakitnya juga akan hilang, seperti biasanya.”

Mebuki mengusap pelan dahi putri sulungnya, penuh kasih. Membetulkan letak selimut agar sempurna menutupi tubuh ringkih Tayuya.

Sakura menatap mereka datar. Rasanya seperti tercubit. Ibunya tak pernah memperlakukan ia seperti itu. Dia pun meremas formulir donor ginjal yang diberikan ayahnya pagi tadi dan pergi dari sana.

***

Mikoto menyerahkan secangkir teh pada Sakura. Kemudian duduk di sebelahnya.

“Bagaimana Tayuya? Bukankah hari ini jadwalnya cuci darah? Maaf kalau bibi malah memintamu datang ke sini.” Tanya Mikoto khawatir. Walaupun bukan hal baru kalau Tayuya melakukan cuci darah, dia tetap merasa khawatir.

Sakura tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, bi. Keadaannya sudah lebih baik. Ibu juga ada di sana untuk menemaninya.”

“Syukurlah.”

Mikoto meraih tangan Sakura dan menggenggamnya. “Karena kalian itu saudara kembar, kemungkinan kau mengalami penyakit yang sama jauh lebih besar. Jadi bibi mohon, kau harus jaga kesehatanmu.”

Sakura tersenyum tulus dan mengangguk. “Akan aku lakukan, bi.”

Mikoto tersenyum lebar. “Bibi mau calon menantuku ini selalu sehat.”

Sakura bersemu merah, tapi tak menampik adanya raut bahagia di wajahnya.

“Lihatlah wajamu itu, Sakura-chan.” Goda Nyonya Uchiha itu.

“Wow, adik ipar, kau memerah.” Itachi muncul di ujung tangga lalu mendudukan dirinya di samping ibunya. Dia ikut menggoda Sakura.

“Itachi-nii! Jangan ikut menggodaku.” Wajah Sakura kini memerah sempurna.

“Ah, jadi hanya Sasuke yang boleh menggodamu? Jahat sekali kau adik ipar.”

Mikoto tertawa kecil. “Sudah Itachi. Jika kau terus menggodanya, dia akan menangis sebentar lagi.”

“Bibi tidak membantuku sama sekali.” Rajuk Sakura.

“Kalau begitu Sasuke yang akan membantumu.” Balas Mikoto.

“Bibi!”

***

“Sakura-chan, tinggalkan saja itu di situ.” Mikoto berjalan menghampiri Sakura. Gadis itu bersikeras membantu pelayan menyiapkan makan malam.

Sakura melempar senyum kecil. “Tidak apa, bibi. Aku senang melakukannya.” Dia memasukkan potongan wortel ke dalam supnya.

Mikoto menghela nafas, dia menyerah.”Kalau begitu hati-hati, jangan sampai terluka.” Mikoto lalu menatap salah satu pelayannya. “Hinata, bantu Sakura dan jangan sampai dia terluka.”

“Baik, Mikoto-sama.” Jawab Hinata. Kemudian Mikoto pergi meninggalkan dapur.

Sakura tertawa kecil, membuat Hinata menghentikan kegiatannya  untuk mencuci sayur. “Bukankah bibi terlalu berlebihan dalam menghawatirkanku, Hinata? Terkadang aku merasa dia lebih terlihat seperti ibuku.”

Hinata tersenyum. “Mikoto-sama hanya menghawatirkan anda, Sakura-sama.”

“Sakura-sama?” Sakura menaikkan salah satu alisnya. “Bukankah menjengkelkan mendengarkan kau memanggilku seperti itu, Hi-na-ta?” Sakura melirik tajam pada Hinata.

Hinata segera membungkuk pada Sakura.”Ah, ma..maafkan saya, Sakura-sama, ah maksudku Sakura-san.”

Sakura tertawa melihat Hinata yang gugup seperti itu. “Aku hanya bercanda Hinata. Kau ini, kita kan sudah berteman sejak kecil, tapi kau masih saja tertipu candaanku.” Kata Sakura, dia meletakkan tangannya di pundak gadis itu. “Tapi Hinata, aku sungguh tidak suka kau bersikap terlalu formal kepadaku. Jadi kumohon, bersikaplah biasa. Oke?”

Hinata mengangguk pelan. “Baiklah, Sakura-san.”

Sakura tersenyum puas. “Kalau begitu, ayo lanjutkan memasak.”

Hinata mengangguk dan berjalan ke arah wastafel untuk mencuci sayuran.

“Bagaimana kabar Sasuke?” Tanya Sakura tiba-tiba. Dia tidak menatap ke arah Hinata, pandangannya terfokus pada sup yang perlahan mendidih.

“Dia baik. Tapi kurasa tidak sebaik biasanya.” Jawab Hinata pelan. Dia mengambil kentang dan membawanya ke bawah pancuran air.

“Apa sesuatu terjadi padanya?” Nada suaranya terdengar khawatir.

Hinata menggeleng. “Aku tidak tau. Tapi akhir-akhir ini, Sasuke jadi lebih sering melamun, dia juga lebih sering mengacak rambutnya, Sakura-san tau kan, itu selalu dia lakukan saat merasa stres. Dan dia jarang tersenyum sekarang.” Hinata menunduk dan menatap telapak tangannya yang basah.

Sakura melirik pada Hinata. Tapi dia tak mengatakan apapun. Sakura meraih pisau dan memotong beberapa daun bawang di atas supnya.

“Dia kan memang jarang tersenyum.” Balas Sakura kemudian. Dia menatap datar Hinata.

Hinata tersenyum kecil. “Ya, memang seperti itu, tapi saat dia tersenyum, senyumnya begitu indah.” Rona merah menjalar di pipinya tanpa sadar.

Sakura hanya bisa mencengkeram erat pinggiran lemari kabinet saat melihat Hinata bersemu. Dada bergemuruh. Dan ia merasa sesak.

“Ya, kau benar.” Kata Sakura.

Sakura lebih banyak melamun sore itu.

***

Sakura baru pulang saat jam makan malam sudah lewat. Tapi dia melihat ayahnya dan ibunya masih duduk dan menikmati makan malam di ruang makan.

“Aku pulang.” Sapa Sakura. Dia memberikan tas tangannya pada pelayan lalu bergabung dengan orang tuanya.

“Kau sudah mengisi formulir itu?” Tanya Kizashi begitu Sakura duduk.

Sakura mengurungkan niatnya untuk mengambil air minum. Dia menatap ayahnya. “Akan kuberikan formulirnya besok.” Jawab Sakura. Kizashi hanya mengangguk dan melanjutkan makannya.

“Kau tau kan kalau keputusanmu ini demi kebaikan kakakmu, Saku? Jadi berkobanlah sedikit demi dia.” Mebuki meletakkan tangannya di atas tangan Sakura.

“Aku tau, ibu.” Jawab Sakura pelan. Dia menyingkirkan dengan sopan tangan ibunya dan berdiri. “Aku lelah dan ingin istirahat. Selamat malam.”

“Kau tidak makan dulu?” Tanya Mebuki.

“Aku sudah makan.” Kemudian Sakura pergi dari sana.

***

Sakura sedang mengeringkan rambutnya saat pintu kamarnya diketuk pelan. Dia hanya menoleh sekilas saat tau itu Tayuya dan membiarkan kakaknya masuk.

Tayuya segera duduk di atas kasur. Dia mengambil guling dan bertumpu padanya.

“Kemana kau seharian ini? Pergi ke rumah si brengsek Uchiha itu dan meninggalkan aku sendirian di rumah sakit?”

Sakura meletakkan hairdryer-nya. “Kau tau jawabannya.” Dia menatap Tayuya. “Kembalilah ke kamarmu. Kau harus istirahat.”

“Biarkan aku tidur di sini malam ini.” Pinta Tayuya. Dia memberikan tatapan memohon pada Sakura.

Ayah dan ibunya akan langsung memberikan apa saja ketika ia memberikan tatapan itu.

Sakura menghela nafas. “Tidak. Pergilah. Aku lelah.” Dia berjalan ke lemari dan mengambil baju tidur.

“Hanya malam ini. Aku sedang tidak ingin sendiri.” Kata Tayuya.

Sakura berbalik menghadap Tayuya. Matanya menyipit, kesal. “Kenapa kau tidak minta ayah atau ibu saja untuk menemanimu? Bukankah kau bayi besar mereka?” Sakura mengepalkan tangannya. “Jadi lebih baik kau keluar dari sini dan berhenti mengangguku.”

Tayuya bangun dengan jengkel dan berjalan ke arah pintu. “Asal kau tau, si brengsek Uchiha itu suatu saat akan pergi darimu karena sifat menyebalkanmu.” Dia pun membanting pintunya dengan keras.

Sakura terduduk di depan lemari. Dia menatap kosong ke langit-langit kamar.

***

Sakura melenggang santai di lobi perusahaan Uchiha. Beberapa orang yang berpapasan dengannya mengangguk dan menyapanya sopan.

Dari kejauhan Sakura melihat pintu lift yang hampir tertutup. Dia melambaikan tangan, meminta seseorang untuk mencegah pintu lift-nya tertutup. Sakura mengucapkan terima kasih saat di dalam lift.

“Selamat siang, Sakura-sama.” Sapa seseorang di belakang Sakura.

Sakura menoleh ke belakang. “Ah, Kotori-chan, selamat siang.” Sapa Sakura. “Kafetaria?” Dia menunjuk pada kantung kertas di tangan gadis pirang itu.

Kotori mengangguk. “Pagi ini cukup sibuk dan saya belum sempat sarapan, dan ini sudah hampir jam makan siang.” Keluhnya.

“Kalau begitu kau harus meminta tambahan bonus pada Sasuke bulan ini.” Canda Sakura.

Kotori tertawa kecil dan mengangguk setuju. “Anda benar, Sakura-sama.” Dia menatap Sakura dengan pandangan bertanya. “Apa anda mau bertemu Sasuke-sama?”

Sakura mengangguk. “Apa dia ada di ruangannya?”

“Sasuke-sama sedang ada rapat.” Kotori melihat jam di tangannya. “Mungkin akan selesai sebentar lagi.”

Sakura menghela nafas. “Kalau begitu aku akan menunggu saja di ruangannya.”

Pintu lift terbuka.

“Apa anda ingin dibawakan sesuatu?” Tanya Kotori.

“Tidak perlu.” Sakura menunjuk kantung makanan di tangan Kotori. “Lagi pula, kau harus menghabiskan itu.”

Kotori tersenyum menggoda, dia mengacungkan jempolnya. “Anda memang paling mengerti saya, Sakura-sama.”

Sakura hanya tertawa kecil sambil mengibaskan tangannya. Kotori membungkuk dan berlalu ke mejanya. Sementara Sakura berjalan masuk ke ruangan Sasuke.

***

Sasuke melonggarkan ikatan dasinya dengan sembarangan, kesal. Sekertarisnya memberitahu jika Sakura datang dan sedang menunggu di ruangannya.

Dan benar saja.

Dia menemukan Sakura sedang duduk di sofa, di tangannya ada majalah bisnis minggu ini yang menampilkan potret kakaknya, Uchiha Itachi.

“Kenapa kau ke sini?” Tanya Sasuke langsung. Dia menatap Sakura tak suka.

Sakura meletakkan majalah ke atas meja. Dia menatap Sasuke tenang. “Menemui tunanganku, tentu saja.” Jawabnya.

Sasuke mendengus dan berjalan ke arah mejanya. Dia duduk di kursi kebesarannya. Membuka dokumen yang diletakan Kotori pagi ini, mengabaikan Sakura.

Sakura tersenyum tipis.

Entah bagaimana, walaupun hanya menatap pria itu duduk dan sibuk dengan dunianya, Sakura merasa begitu bahagia.

Lihatlah senyum gadis muda itu yang melebar hanya karena Sasuke mengusap wajahnya sendiri dan terlihat sedikit mengerutkan dahi.

“Tentang pertunangan kita.” Kata Sasuke tiba-tiba. Dia meletakkan bulpoint-nya dan menatap Sakura. “Aku ingin mengakhirinya.” Ucapnya.

Senyum itu seketika lenyap seperti asap yang tersapu hujan. Hilang. Tanpa jejak.

“Kenapa?”

“Aku tak mencintaimu.” Jawab Sasuke lugas.

Sakura menatapnya nanar. “Cinta?” Dia tertawa kaku. “Lalu siapa yang kau cintai? Pelayanmu? Hinata-chan, begitu?” Tanya Sakura dengan nada menyebalkan.

Sasuke menatap tajam Sakura. Tapi Sakura tak berhenti.

“Seorang Uchiha Sasuke mencintai pelayannya yang rendahan.” Sakura berdiri dan memasang senyum sinis. “Romantis sekali bukan?”

Sasuke memukul mejanya. “Tutup mulutmu, Haruno!”

Sakura melihat bagaimana marahnya Sasuke. Dia mengatupkan rahang dan mata lelaki itu pun menatapnya dengan benci.

Rasanya Sakura ingin sekali menertawakan hidupnya sendiri.

Sakura mengepalkan tangannya. Ia terluka. Tapi Sakura memasang senyum angkuh di wajahnya.

“Aku tak peduli dengan siapa kau jatuh cinta.” Sakura mengangkat tangan kirinya. Di sana tersemat cincin di jari manisnya. “Karena bagaimanapun, aku adalah tunanganmu. Dan akan menjadi bagian dari keluargamu, Uchiha Sasuke.”

Setelah mengatakan itu, Sakura berbalik, membawa tasnya dan berjalan keluar dari sana. Meninggalkan Sasuke yang mengeram marah.

***

4 Komentar

  1. seru2…. lnjutkan,,,
    sakura yg jadi pemain utama nya yah

    1. Makasiiiih ??

      Iyya, sakura main cast di sini.

      Makasih buat dukungannya #HUG

  2. Unprettygjrl menulis:

    Ceritanya menarik! Kayaknya banyak sedih2annya ? ditunggu lanjutannya~

    1. Wah makasih ?
      Story ini juga di post di akun wattpadku @gege_summer
      Silahkan mampir dan makasih buat dukungannya #HUG