Vitamins Blog

Sang Putera Bupati

Bookmark
Please login to bookmark Close
16 votes, average: 1.00 out of 1 (16 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Iris jelagaku menyusuri lorong remang menuju pendopo utama padepokan seni ini. Aku menghembuskan napas membiarkan kedua kakiku terus menyusuri jalan itu. Tanganku sibuk merapikan rambut panjangku, menyanggulnya asal kemudian merapikan samping ketat yang kukenakan ini hingga membuatku sedikit sulit berjalan.

Sudah dekat diriku dengan pendopo utama bangunan ini, langkah kakiku tiba-tiba terhenti. Aku masih terdiam memerhatikan kegiatan orang-orang di pendopo utama yang nantinya akan kulewati. Meski di pendopo utama banyak sekali alat musik dan orang-orang yang lalu lalang hingga otomatis menimbulkan keributan, aku menemukan keheningan di tempatku. Banyak hal yang kupikirkan di dalam benakku. Sesaat aku merasa membenci keadaanku, membenci keluargaku. Aku menghela napas dan menampik seluruh pemikiran itu lantas kembali mengayunkan langkahku.

Dalam diam aku berjalan melintasi pendopo utama yang tengah ramai oleh hiruk pikuk beberapa niyaga yang menyetel alat musik. Aku terpaku di tengah pintu. Pandanganku menyapu ruangan yang dipenuhi atribut wayang dan alat-alat musik tradisional. Baru saja aku ingin bergabung dengan para waranggana, Romo menghentikanku.

“Hari ini kamu harus latihan jadi dalang, perhatikan cengkok dan sabetan. Nanti kamu mainkan lakon Gugurnya Bhisma di pendopo kabupaten.”

Aku menunduk, memainkan ujung kukuku. Menjadi dalang, pesinden bahkan penari bukanlah cita-citaku dan coba dengar apa kata Romo, tampil di pendopo kabupaten?!

Tidak. Aku sama sekali tidak berminat.

Tapi, aku adalah orang panggung. Sejak kecil aku dipersiapkan untuk mewarisi dinasti pewayangan keluarga, walaupun aku seorang perempuan. Aku lahir dan besar berdampingan dengan Gatotkaca, Nadra, Supraba dan kawan-kawannya. Padahal, aku tidak suka tampil. Aku membenci tebalnya bedak dan ketatnya korset.

Yang aku impikan, adalah disinari terangnya lampu rumah sakit, menjadi dokter bedah. Tapi, yang kudapat justru cahaya lampu panggung. Selama ini aku memang tidak pernah mendapatkan apa yang menjadi kehendak hatiku.

Malam ini aku kembali naik panggung. Di bawah penerangan lampu, kuhidupkan kembali lembaran-lembaran kulit itu, dialog demi dialog mengalir menjadikan Bhisma dan Srikandi menjelma sempurna di atas pentas.

Ketika Semar baru aku tancapkan di batang pisang, mataku menangkap kelibatnya. Aku sudah tahu dia pasti akan datang dan pesta ini ada untuk menyambutnya. Aku tahu karena Gugurnya Bhisma adalah fragmen favoritnya.

Dan beberapa hari yang lalu santer diberitakan, putera bupati akan pulang dan pesta besar-besar telah dipersiapkan.

Malam ini puncaknya.

Aku mengalihkan atensiku darinya, fokus pada denting gamelan yang beradu suara para pesinden. aku menyelesaikan lakon ini dengan sempurna. Dari sudut mataku kulihat dia tersenyum memberikan standing ovation atas penampilanku.

Aku menyeka peluh, memandang langit malam berusaha memusnahkan bayanganya di pelupuk mataku. Namun, suaranya masih mengalu lembut di telingaku, membisikkan sebait pengharapan …

Haruskah aku percaya lagi?

Airlangga.

Nama yang selalu kusimpan dalam memoriku. aku mengenalnya karena kecintaan kami terhadap wayang, dia sering berlatih di rumah bersama Romo dan paman. Membuatku mengenalnya secara mendalam. Dia laki-laki yang baik, ramah, tetapi sedikit usil. Dia juga yang membawaku terbang lantas menenggelamkanku. Malam ini aku kembali melihatnya, dia masih bersinar membuat orang-orang menatapnya kagum.

Tanganku masih asyik mencabuti rumput-rumput liar di halaman samping ketika Yu Wanti meneriakiku, “Ada tamu, utusan dari kabupaten.” begitu katanya. Aku bergegas bangkit, melangkah masuk menemui Romo dan Ibu.

“Maksud kedatangan kami ke sini untuk melamar Den Ayu Eva …”

Deg!

Aku tersentak, tidakkah dunia akan kiamat? Siapa utusan dari kabupaten? Tepatnya, siapa laki-laki keraton yang menginginkan aku menjadi istrinya? Apakah telingaku salah dengar?

Aku sempat ragu saat Yu Wanti segera mengajakku kembali ke peraduanku lantas mendandaniku secepat yang dia bisa. Aku menghela napas saat memandangi rupaku di cermin. Dadaku berdebar tak keruan, tidak dapat menebak apa yang sebenarnya akan terjadi setelah aku keluar dari ruangan ini.

Yu Wanti mengusap punggungku, menegarkanku. “Den Ayu jangan bimbang, cakep tenan loh yang ada di luar nunggu Den Ayu.” Perkataan Yu Wanti membuatku tersenyum simpul.

Mataku terbelalak saat melihat seseorang yang tengah duduk di ruang tamu padepokan. Jantungku rasanya ingin copot!

Cah Ayu Eva, ini Den Airlangga putra bupati. Kalian pasti sudah saling kenal kan? Silahkan Den Airlangga langsung saja mengutarakan maksud kemari kepada Cah Ayu Eva.” Romo menunjuk santun ke arah Airlangga yang dibalas dengan senyuman menawannya, dan kemudian pemuda tampan itu berdiri menghadapku.

“Romo terimakasih banyak,” ujar pemuda itu menghormat pada Romo lalu menoleh ke arahku. “Eva, saya tahu kedatangan saya sangatlah mendadak, namun saya ingin sekali mengutarakan isi hati saya sejak lama mengenalmu.”

Napasku tercekat, jantungku berdebar tak keruan.

“Maukah kamu menjadi pendamping hidup saya?”

Sesungguhnya, hingga detik ini tidak pernah terpikirkan olehku untuk menjadi seorang istri putera bupati. 

5 Komentar

  1. Unprettygjrl menulis:

    Waah, cerita lingkup keraton ? ditunggu lanjutannyaaaa!!! ??

    1. Evana Chandrawilasita menulis:

      Makasih yaaaa :D

  2. Selalu suka dengan cerita berlatar belakang budaya….

    1. Evana Chandrawilasita menulis:

      Oalah, aku juga makanya rata-rata kalau aku nulis latarnya budaya. Makasih ya dah mampir :D

  3. farahzamani5 menulis:

    Wahhh dikau jg nulis toh ka
    Ini ceritany pendek bngt tp sweet bngt, berasa aq yg dilamar anak bupati ehhh ?
    Yakin ni jdi short story aja ka? Ga jdi long story gtu hihi, penasaran gmn kehidupan Ayu dan Airlangga, apa ayu bsa raih cita2ny jdi dokter bedah, apa apa apa apa