Vitamins Blog

Queen Of Time: Bloody Sword (Five)

Bookmark

No account yet? Register

Calistha terus memeluk tubuh Max dengan erat sambil memejamkan matanya rapat. Ia tidak menyangka jika pada akhirnya ia dapat bertemu dengan Max, pria yang dicintainya. Setelah selama dua hari ini ia merasa frustasi dan merasa bersalah karena ia telah menjadi penyebab runtuhnya kerajaan Hora. Ia kemudian melepaskan pelukannya dari tubuh Max dan menatap mata hitam pekat Max dengan matanya yang sudah berkaca-kaca.

            “Max, bagaimana bisa.. Kukira kau sudah mati. Maafkan aku Max, aku.. aku..”

            Bibir tipis itu seketika berhenti berucap ketika Max meletakan jari telunjuknya di depan bibir merah Calistha. Pria tampan itu menggeleng pelan sambil tersenyum dengan tulus pada Calistha. Ia sama sekali tidak menyalahkan wanita itu. Ia justru merasa bersalah pada Calistha karena ia tidak dapat melindungi wanita itu dan justru harus membuatnya menderita karena diseret paksa oleh Aiden untuk menjadi pengantinnya.

            “Ssstt, tenanglah, kau tidak bersalah. Aku justru ingin meminta maaf padamu karena aku tidak dapat melindungimu. Maafkan aku Cals.” Mohon Max merasa bersalah. Calistha tampak mengusap air matanya pelan sambil mengangguk pada Max. Wanita itu kemudian menarik tangan Max untuk duduk di atas sebuah kursi merah empuk yang berada di dekat ranjangnya. Ada banyak sekali hal yang ingin Calistha ketahui selama ia berpisah dengan pria itu. Apalagi Calistha benar-benar merasa penasaran dengan bagaimana cara Max dapat menyusup ke dalam istana kerajaan Khronos, mengingat banyaknya penjaga yang menjaga istana ini.

            “Bagaimana bisa kau datang ke kerajaan ini? Bagaimana jika prajurit-prajurit raja kejam itu datang untuk menangkapmu?” Tanya Calistha panik dan khawatir. Max kemudian memegang bahu Calistha erat untuk menenangkan wanita itu. Sungguh ia merasa tidak ada yang perlu ditakutkan sekarang, karena ia telah berhasil mengelabui semua pengawal itu, termasuk Spencer yang merupakan pengawal setia Aiden.

            “Cals, kau tenang saja, aku berhasil mengelabui semua prajurit itu, termasuk pengawal setia raja Aiden. Apa kau baik-baik saja? Apa raja itu menyakitimu?” Tanya Max khawatir sambil menelisik tubuh Calistha satu persatu. Dengan pelan Calistha menggelengkan kepalanya sambil menatap sendu pada Max. Ia merasa begitu berdosa pada Max karena telah menghancurkan semua hal yang dimiliki oleh pria itu dalam sekejap, tapi dengan penuh perhatiannya Max justru terus mengkhawatirkan dirinya tanpa mempedulikan kesalahannnya di masa lalu yang sangat berat. Sungguh itu membuat perasaanya menjadi semakin merasa bersalah.

            “Raja kejam itu tidak melakukan apapun padaku, tapi..”

            “Tapi kenapa Cals? Katakan padaku.” Ucap Max tidak sabar sambil mengguncang bahu Calistha berkali-kali. Kedua mata Max tampak memancarkan sorot mata khawatir yang begitu kental, hingga Calistha rasanya tidak tega melihat Max yang harus menanggung semua perbuatannya.

            “Tapi, raja itu akan menikahiku besok saat bulan purnama. Ia mengatakan jika aku adalah ratunya yang dapat menyelamatkannya dari kutukan yang dideritanya. Apa yang harus kulakukan Max? Aku tidak mau menikah dengannya. Aku tidak mau menikah dengan raja cabul itu!” Ucap Calistha tampak emosi. Max merangkul pundak Calistha, dan membawa kepala wanita itu ke dalam dada bidangnya.

            “Aku akan membawamu pergi Cals, tujuanku datang ke sini adalah untuk menolongmu. Kemarin aku dan ibuku bertemu dengan salah satu anggota pemberontak yang menyelamatkan kami. Ia bernama Gazelle.”

            Mendengar nama Gazelle disebut, sontak Calistha langsung menegakan tubuhnya sambil menatap Max tidak percaya. Ia pikir Gazelle telah mati saat kerajaan Khronos menyerang kerejaan Hora karena saat itu Gazelle tidak pernah kembali untuk menemaninya. Tapi, setelah ia mendengar penjelasan dari Max jika Gazelle masih hidup dan telah menolong pria itu, Calistha menjadi lega dan merasa bersyukur. Setidaknya rasa bersalahnya sedikit berkurang. Sejak ia ditangkap oleh Aiden, ia tidak pernah lagi merasakan hidup damai yang menenangkan. Setiap detik kehidupannya selalu dihantui oleh rasa bersalah yang terus membuat dadanya terus meronta sesak.

            “Syukurlah jika kau bertemu dengan Gazelle. Ia adalah wanita yang baik.”

            “Kau mengenalnya?” Tanya Max terkejut. Calistha kemudian menganggukan kepalanya pelan sambil tersenyum lembut pada Max. Sepertinya ini adalah saat yang tepat untuk menceritakan semuanya. Semua hal yang telah ia sembunyikan dari Max sejak dulu.

            “Sebenarnya aku sudah lama mengenal Gazelle. Kami sering berlatih pedang dan beladiri bersama. Dan sejauh yang kutahu, ia adalah wanita yang tangguh.”

            “Tunggu, sejak kapan kau berlatih pedang dan beladiri. Apa selama ini kau telah menyembunyikan sesuatu dariku?”

            Max tampak mengernyit bingung sambil terus menatap wajah Calistha meminta penjelasan.

            “Maaf karena selama ini aku tidak pernah memberitahumu. Sebenarnya aku sering menyelinap keluar untuk pergi ke hutan terlarang dan belajar beladiri bersama dengan kaum pemberontak. Biasanya aku pergi keluar melalui pintu belakang yang biasa digunakan oleh juru dapur untuk pergi berbelanja ke pasar. Maaf Max, tapi aku sangat ingin belajar bela diri dan berpedang karena menurutku hal itu akan berguna untuk melindungiku. Tolong jangan marah.” Ucap Calistha takut-takut sambil meremas ujung gaunnya. Max tampak tersenyum lembut ke arah Calistha sambil mengangkat wajah mungil untuk menatapnya. Saat ini ia sama sekali tidak marah pada Calistha. Ia justru merasa bangga dengan semangat Calistha untuk belajar beladiri dan pedang, meskipun wanita itu harus menanggung resiko yang cukup besar karena berani menyusup keluar dari istana tanpa sepengetahuan siapapun. Apalagi peraturan di kerajaanya memang melarang wanita untuk melakukan hal-hal yang dilakukan oleh kaum pria. Di kerajaannya wanita hanya diperkenankan untuk belajar memasak, menjahit, mengurus rumah tangga, dan mengurus anak. Karena wanita dianggap sebagai kaum lemah yang merepotkan dan terlalu dipenuhi akan perasaan melankolis.

            “Aku sama sekali tidak marah. Aku justru merasa bangga padamu Cals. Kau adalah wanita yang paling kuat yang pernah kutemui.” Ucap Max tulus sambil mengelus rambut Calistha pelan, membuat wanita itu tersipu malu karena perlakuan Max yang sangat lembut itu.

            “Jadi, apa rencanamu dan Gazelle? Apa kalian akan membawaku pergi?”

            “Ya, kami ke sini untuk membawamu pergi Cals. Lagipula Gazelle memiliki dendam tersendiri pada raja Aiden, sehingga ia ingin membalas perlakuan buruk pria itu melalui dirimu. Apa kau ingin ikut bersama kami? Walaupun aku tidak bisa menjanjikan kehidupan yang mudah jika kau memutuskan untuk bergabung bersama kami, mengingat aku sekarang adalah bagian dari kelompok pemberontak. Kehidupanku benar-benar tidak mudah sekarang.”

            “Aku akan ikut kalian, tidak peduli seberapa sulit rintangan yang akan kita lewati, tapi jika kita menghadapinya bersama, pasti semuanya akan terasa lebih mudah.” Timpal Calistha menenangkan. Max kemudian bangkit dari tempat duduknya sambil menarik tangan Calistha untuk berdiri juga. Karena Calistha telah memutuskan untuk bergabung dengannya, maka ia akan langsung membawa Calistha pergi sekarang juga. Ia tidak mungkin mengulur-ulur waktu lagi lebih lama, mengingat penyamarannya ini akan segera terbongkar jika para prajurit kerajaan Khronos yang lain menemukan mayat prajurit penjaga gerbang yang ia sembunyikan dibalik semak belukar.

            “Kita harus segera pergi dari sini sebelum para prajurit itu menyadari keberadaanku dan Gazelle di sini. Kurasa Gazelle sudah menemukan jalan keluar yang aman untuk keluar dari kerajaan ini, kita harus bergegas untuk menemui Gazelle yang telah menungguku di taman belakang.”

            Mendengar penjelasan dari Max, Calistha justru tampak bergeming di tempatnya sambil menatap sedih pada Max. Ia tidak bisa pergi begitu saja dari kerajaan ini tanpa Tiffany, karena jika Aiden tahu ia telah kabur, maka pria kejam itu pasti akan membunuh Tiffany dengan sangat keji. Sama seperti yang dilakukan pria itu pada wanita-wanita yang dijadikan sebagai menu makan malam hewan-hewan peliharaanya yang buas.

            “Aku tidak bisa pergi begitu saja Max. Aku harus menyelamatkan Tiffany, dia adalah saudara perempuanku satu-satunya yang masih hidup setelah apa yang dilakukan Aiden pada saudara-saudara perempuanku yang lain. Aiden pasti akan membunuh Tiffany jika aku kabur dari istananya. Jadi, sebelum aku benar-benar pergi dari kerajaan ini, aku harus menyelamatkan Tiffany terlebihdahulu, apa kau bisa membantuku? Kumohon Max, aku tidak bisa membiarkannya menjadi santapan hewan peliharaan Aiden yang sangat buas itu. Aku tidak mau melihat Tiffany mati mengenaskan di dalam kandang harimau.” Mohon Calistha pada Max sambil menyeka bulir-bulir air matanya yang telah menganak sungai. Melihat Calistha yang sedang mengiba di depannya membuat Max tidak tega dan mau tidak mau langsung mengangguk setuju untuk menyelamatkan Tiffany. Lagipula jika Calistha tidak bahagia setelah keluar dari kerajaan ini, maka ia pun juga tidak akan pernah bahagia. Bagaimanapun Calistha adalah sumber kebahagiaanya.

            “Baiklah, kita akan menyelamatkan Tiffany setelah ini. Tapi kita harus menemui Gazelle terlebihdauhulu karena ia pasti mengetahui jalan rahasia yang aman untuk membebaskan saudara perempuanmu. Sekarang hapus air matamu. Aku akan berpura-pura menjadi pengawalmu yang akan mengawalmu menuju kebun belakang istana. Apa kau siap?”

            “Ya, aku siap. Semoga Tuhan selalu melindungi kita semua.” Doa Calistha sungguh-sungguh sebelum ia berjalan tenang menyebarangi kamarnya yang luas untuk keluar dan menemui Gazelle di taman. Tapi, dibalik ketenangan itu tersembunyi sebuah ketakutan yang begitu besar di dalam hatinya. Ia sebenarnya sama sekali tidak takut jika pada akhirnya ia harus mati di kerajaan ini, tapi ia sangat takut akan membuat Max dan Gazelle celaka karena telah mencoba untuk menyelamatkannya. Entah kenapa, firasatnya mengatakan jika ini tidak akan berkahir dengan baik.

                                                            -00-

            Di ruang lain di dalam istana, Gazelle tengah mengendap-endap sambil menggenggam erat sebuah nampan yang berisi secangkir teh. Setelah ia melepaskan penyamarannya sebagai prajurit, Gazelle segera mengganti penyamaran menjadi pakaian seorang pelayan. Dengan langkah pasti dan penuh percaya diri, Gazelle segera mendorong pintu kayu besar yang menjulang di hadapannya. Ketika kakinya menginjak karpet merah yang berada di dalam ruangan itu, tiba-tiba ingatannya melambung pada kejadian beberapa tahun lalu, dimana saat itu ia sering sekali datang ke ruangan ini tanpa perlu menyamar sebagai pelayan seperti ini. Gazelle kemudian meletakan cangkir berisi teh yang dibawanya ke atas meja besar yang berada di tengah ruangan. Wanita itu mengelus perlahan pinggiran meja itu sambil memejamkan matanya perih. Ia sungguh merindukan saat-saat itu. Saat dimana ia sering menghabiskan waktu di dalam ruangan ini untuk menunggu Aiden menyelesaikan tugas-tugas kerajaanya atau hanya sekedar untuk mengganggu pria itu yang terlalu serius memandangi semua laporan-laporan yang diberikan oleh berbagai kepala desa di seluruh wilayah jajahannya. Lalu Gazelle melangkah menuju balkon di dalam kamar Aiden yang mengarah langsung pada halaman luas istana. Biasanya dari balkon itu ia dapat melihat Aiden sedang berjalan bersama para menteri untuk membicarakan berbagai macam rencana untuk membangun kerajaanya. Sekarang, semua kenangan itu bagaikan duri dalam hatinya yang setiap saat dapat menusuknya dan menyakitinya. Andai saja pria itu juga membalas cintanya, ia pasti tidak akan berakhir seperti ini. Berakhir sebagai wanita menyedihkan yang penuh akan dendam.

            Samar-samar Gazelle dapat melihat beberapa menteri yang sedang berjalan di halaman besar istana sambil membicarakan suatu hal. Tiba-tiba setetes cairan bening yang sejak tadi ditahannya menetes perlahan di atas pipi putihnya. Ia begitu merindukan ayahnya. Pria tua itu terlihat masih begitu gagah di bawah sana dengan baju kebesaran menteri perang yang berwarna merah. Gazelle kemudian mengusap air mata itu kasar sambil mencengkeram kayu pembatas balkon dengan erat. Ia tidak boleh lemah, karena jika ia lemah maka ia akan mudah untuk dihancurkan. Ditatapnya sang ayah lagi sambil bertekad dalam hati jika ia tidak akan kalah dengan masa lalunya. Ia harus melupakan kenangan-kengan indah itu dari dalam otaknya agar ia tidak berubah menjadi wanita melankolis yang lemah. Gazelle kemudian membalikan tubuhnya sambil merapikan ujung gaunnya yang sedikit lusuh, ia berniat untuk keluar dari dalam ruang pribadi Aiden. Tapi, tiba-tiba gerakannya terhenti begitu saja ketika ia melihat seorang pria tengah menatapnya dalam, sambil memasukan kedua tangannya di saku celana. Dengan gerakan kaku, Gazelle mencoba mendekati pria itu sambil menunjukan senyum sinisnya yang terlihat kikuk dan canggung. Sudah lama sekali mereka tidak pernah bertemu, semenjak kejadian lima tahun lalu yang membuatnya malu dan merasa terhina setengah mati, Gazelle tidak pernah lagi bertemu dengan pria itu. Meskipun ia akui, ia merasa merindukan pria itu. Pria yang selalu menghiburnya dan memberikan nasihat-nasihat bijak padanya jika ia mengadukan nasib percintaanya yang tidak pernah mulus.

            “Spencer, lama tidak berjumpa. Sepertinya kau baik-baik saja.” Sapa Gazelle datar sambil menatap sinis pada kedua manik mata Spencer. Pria itu terlihat begitu tenang di depan Gazelle dan mencoba untuk bersikap sebiasa mungkin pada wanita itu, meskipun hatinya kini sedang bergemuruh karena ia begitu merindukan wanita itu.

            “Ya, aku memang baik-baik saja, dan sepertinya kau pun juga begitu. Setelah sekian lama kau menghilang, ternyata kau masih memiliki keberanian juga untuk masuk ke dalam ruangan pribadi Yang Mulia raja Aiden. Apa yang akan kau lakukan Gazelle? Jangan pernah bertindak bodoh untuk menantang raja Aiden karena ia sama sekali bukan tandinganmu.” Peringat Spencer bersungguh-sungguh. Gazelle tampak mendecih tidak suka dengan peringatan Spencer yang seakan-akan pria itu meremehkan kemampuannya. Padahal ia sangat yakin jika ia dapat membalaskan dendamnya pada Aiden, karena ia memiliki Calistha dipihaknya.

            “Huh, kau meragukanku ya? Tidak masalah. Tapi, aku tidak akan pernah berhenti untuk membalaskan dendamku pada Aiden. Seandainya kau tahu bagaimana sakitnya hatiku, kau pasti tidak akan menyuruhku berhenti untuk membalaskan semua rasa sakitku pada Aiden.”

            “Percayalah aku sangat mengerti bagaimana perasaanmu. Tapi, cobalah untuk berdamai dengan masa lalu dan kembalilah pada kehidupanmu yang sebelumnya. Apa kau tidak merindukan keluargamu? Lagipula jika kau mau memperhatikan orang-orang disekelilingmu, kau pasti akan merasakan cinta mereka yang begitu besar padamu. Tolong berhentilah berharap pada Yang Mulia Aiden, sebentar lagi Yang Mulia akan menikah dengan ratu yang ditakdirkan bersamanya.” Bujuk Spencer halus, mencoba untuk menyadarkan wanita di hadapannya jika ia adalah wanita yang berarti. Tapi, sepertinya hal itu sama sekali tidak menyentuh hati Gazelle, wanita itu justru semakin marah ketika mendengar berita dari Spencer jika Aiden akan menikah dengan ratunya. Tapi, sebelum hal itu terjadi, ia pasti akan menghancurkan semuanya hingga Aiden benar-benar merasa terpuruk, sama seperti dirinya.

            “Menikah? Jadi Aiden akan menikah disaat hatiku masih sakit karena perbuatannya? Cih, dia memang benar-benar kejam.” Decih Gazelle tidak suka, mencoba menyembunyikan rasa sakit di hatinya yang menyesakan. Spencer terlihat menelisik wajah tidak suka wanita itu sambil mendesah pelan. Ternyata apa yang dikatakan Aiden padanya tadi pagi memang benar. Sejak awal Aiden sudah mengetahui semua rencana yang akan dilakukan oleh Gazelle, oleh karena itu ia berada di sini untuk memperingatkan wanita itu agar ia tidak melangkah lebih jauh lagi, karena Aiden tidak akan melepaskan Gazelle hidup-hidup keluar dari istananya. Cepat atau lambat Aiden akan mengirimkan pasukan-pasukannya untuk menangkap Gazelle dan membunuh wanita itu jika ia berani mengacaukan rencana pernikahannya.

            “Lebih baik kau pergi dari kerajaan ini sekarang selagi Yang Mulia Aiden masih memberimu kesempatan. Karena kau pasti tahu jika Yang Mulia Aiden tidak akan melepaskanmu hidup-hidup jika kau tertangkap oleh prajurit kerajaan Khronos.” Peringat Spencer tenang, namun tersembunyi rasa khawatir disetiap kalimatnya.

            “Aku memang akan pergi dari kerajaan ini secepatnya. Tapi, jangan harap aku akan mundur dan mengalah pada raja brengsekmu itu, karena aku akan tetap membalaskan dendamku padanya.” Ucap Gazelle penuh janji dan langsung berjalan keluar dari dalam ruangan pribadi Aiden yang semakin membuat emosinya memuncak. Ketika Gazelle melewati tubuh Spencer, wanita itu dengan sengaja menabrakan pundaknya pada pundak Spencer sambil menatap sinis pada pria itu.

            “Sampai jumpa di medan pertempuran Spencer.” Desis Gazelle sinis dan langsung keluar dari dalam ruangan luas itu, meninggalkan Spencer sendiri dengan perasaanya yang khawatir dan juga frustasi.

                                                            -00-

            Aiden dan beberapa menterinya sedang berjalan melintasi taman untuk membicarakan berbagai macam rencana pembangunan yang akan mereka lakukan di kerajaan Hora. Sesekali Aiden menghentikan langkahnya sambil menggeleng tegas ketika salah satu menterinya memberikan usulan yang tidak sesuai dengan rencananya. Dari jauh pria itu melihat Calistha sedang berjalan dengan tergesa-gesa dengan seorang prajurit dibelakangnya. Aiden kemudian tersenyum sinis pada Calistha sambil menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, namun sarat akan kekejaman dari balik wajahnya yang tampak pias.

            “Yang Mulia, bukankah itu calon isteri anda? Apa kita akan menghampirinya dan menyapanya. Lagipula, kami merasa perlu memperkenalkan diri pada calon ratu.” Ucap menteri ekonomi sopan. Aiden kemudian mengangguk samar dan langsung berjalan menghampiri Calistha yang tampak belum menyadari kehadirannya sebelum salah satu menterinya berteriak sambil membungkuk hormat pada Calistha.

            “Selamat siang Yang Mulia calon ratu.”

            Calistha berjengit kaget ketika ia tiba-tiba dihadang oleh beberapa menteri dan juga… Aiden. Wanita itu tampak gugup dan ketakutan. Ia mengira jika mereka semua datang untuk menangkapnya dan juga Max yang saat ini sedang berdiri di belakang tubuhnya dengan baju prajurit lengkap dan juga penutup kepala. Tapi, semua ketakutan itu langsung lenyap ketika salah satu menteri itu membungkuk hormat padanya sambil memperkenalkan diri dengan sopan.

            “Maaf membuat anda terkejut, perkenalkan saya adalah menteri ekonomi. Dan ini adalah rekan-rekan saya sesama menteri.” Tunjuk menteri itu pada beberapa rekannya yang juga ikut membungkuk untuk memberi hormat pada Calistha. Calistha kemudian tersenyum manis pada para menteri itu dan langsung menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Tapi, para menteri itu tampak saling bertatapan satu sama lain sambil melirik raja mereka yang sejak tadi hanya mengamati mereka dengan mata elangnya yang tajam.

            “Apa yang kalian tunggu, calon ratu kalian sedang mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Apa kalian tidak pernah belajar mengenai etika dan sopan santun?” Ucap Aiden sinis sambil menatap tajam mereka semua. Cepat-cepat menteri ekonomi itu membalas uluran tangan Calistha sambil memperkenalkan namanya dengan formal.

            “Maafkan saya Yang Mulia, saya hanya tidak terbiasa.” Ucap menteri ekonomi itu tersipu malu. Calistha tersenyum maklum menanggapi ucapan menteri ekonomi itu karena ia sudah menduga jika Aiden selama ini terlalu keras pada mereka, sehingga mereka terkesan kaku dan terlalu menunduk hormat padanya.

            “Tidak apa-apa, aku mengerti.” Jawab Calistha tulus. Sembari para menteri itu bersalaman dengan Calistha, tiba-tiba Aiden mengarahkan tatapan menelisiknya pada Max sambil meneliti tubuh pria itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu tanpa diduga, Aiden maju ke depan untuk mengampiri Max sambil menepuk bahu Max pelan.

            “Wah, kau sungguh prajurit teladan, kau bersedia mengawal calon ratu untuk berjalan-jalan di taman meskipun pekerjaanmu adalah penjaga gerbang istana. Setelah aku dan Calistha menikah, aku akan mengangkatmu untuk menjadi pengawal setia ratuku, apa kau bersedia?” Tanya Aiden tenang, namun hal itu justru membuat Max dan Calistha sama-sama terdiam gugup. Bahkan, Max merasa kesulitan untuk bernapas karena ia terlalu takut dengan penyamarannya. Ia benar-benar merasa terancam karena tiba-tiba Aiden mendekatinya dan menawarkan sesuatu yang menggiurkan untuk ukuran seorang prajurit, namun tidak untuknya.

            “Ya, saya siap.” Jawab Max lantang, namun terdengar adanya nada kegugupan disetiap kalimatnya. Aiden kemudian beralih pada Calistha sambil mengulurkan tangan kanannya pada wanita itu. Dengan ragu, Calistha menerima uluran tangan itu, meskipun ia merasa bingung dengan maksud Aiden yang tiba-tiba mengulurkan tangan padanya. Ia pikir Aiden akan menjabat tangannya juga, sama seperti ia menjabat tangan para menteri itu, tapi ternyata dugaanya salah. Aiden justru menarik telapak tangannya kuat dan langsung membuat tubuh kecilnya membentur tubuh kokoh Aiden yang keras.

            “Aa ada apa?” Tanya Calistha gugup. Ia merasa begitu canggung berada di dekat Aiden saat semua orang tengah menatap ke arahnya dengan pandangan menggoda yang penuh arti. Bahkan seluruh wajahnya kini terasa memanas dan memerah. Membuat Calistha merasa semakin malu dan ingin segera pergi dari taman itu. Dari balik topi prajuritnya, Max sedang menahan kesal karena Aiden dengan sesuka hatinya memeluk tubuh Calistha di hadapannya. Tak bisa ia bayangkan jika besok pria itu akan menikahi Calistha, ia pasti akan menjadi orang pertama yang menolak pernikahan tersebut, karena selamanya Calistha hanya miliknya.

            “Besok aku dan Calistha akan menikah. Aku harap kalian datang tepat waktu untuk menjadi saksi sebuah peristiwa besar di kerajaan ini. Dan jangan lupa untuk mengumumkan hal ini pada seluruh rakyatku, karena aku ingin mereka turut merayakan hari besarku. Apa kalian mengerti?” Tanya Aiden datar, namun tersirat sebuah pesan misterius yang membuat kedua alis Calistha mengernyit bingung. Jelas-jelas pria itu sedang menyembunyikan sesuatu darinya, tapi sayangnya ia tidak tahu apa yang dimaksud oleh pria itu. Ia pun akhirnya memilih untuk melupakan segala kecurigaanya dan segera beralih pada Max yang sedang berdiri kaku di sebelah Aiden. Tanpa sengaja kedua mata Max tengah menatap dalam pada kedua matanya untuk meminta bantuan. Calistha kemudian berdeham beberapa kali untuk menetralkan kegugupannya dan setelah itu ia mulai angkat bicara untuk menyelamatkan Max.

            “Ehem, lebih baik kau kembali pada pekerjaanmu. Aku akan pergi ke taman sendiri. Lagipula aku pasti akan sangat aman karena Yang Mulia Aiden ada bersamaku.” Ucap Calistha penuh arti pada Max. Pria itu kemudian segera berjalan pergi dari hadapan Aiden dan Calistha serta para menteri yang lain dengan membungkuk hormat terlebihdahulu. Setelah Max benar-benar pergi, Calistha dapat mendesah lega di sebelah Aiden sambil tersenyum manis pada para menteri. Ia yakin, setelah ini Max pasti akan menyelamatkan Tiffany. Sesuai dengan rencana mereka sebelumnya, malam ini Max dan Gazelle harus mengeluarkan Tiffany terlebihdahulu, dan ia akan menyusul mereka untuk kabur dari istana ini tengah malam nanti. Tanpa ia sadari, sejak tadi Aiden terus mengamati setiap ekspresi wajahnya dengan wajah datar yang tak terbaca. Entah apa yang ada di dalam pikiran Aiden saat ini, namun ia terlihat begitu mengerikan dengan wajah datarnya yang sejak tadi terus mengintai setiap pergerakan Calistha seperti seekor elang yang sedang mengintai mangsanya.

            “Yang Mulia, kami mohon pamit untuk melanjutkan pekerjaan kami. Selamat siang dan semoga anda berdua diberikan kebahagiaan yang besar oleh Tuhan.”

            Setelah para menteri itu pergi, Calistha segera berjalan pergi meninggalkan Aiden sendiri yang masih berdiri menatapnya di tengah-tengah halaman istana. Aiden yang merasa diabaikan begitu saja oleh Calistha, lantas segera memanggil wanita itu dengan keras hingga mau tak mau Calistha harus menghentikan langkahnya dan berbalik pada Aiden.

            “Calistha, aku masih membutuhkanmu.” Ucap Aiden datar. Dengan malas Calistha kembali berjalan menghampiri Aiden sambil mendongakan wajahnya penuh keangkuhan.

            “Ada apa? Cepat katakan, karena aku ingin berjalan-jalan di taman.” Ucap Calistha ketus. Mendengar nada suara Calistha yang begitu ketus dan sama sekali tidak menghormatinya, Aiden menjadi sedikit emosi. Pria itu hampir saja ingin membentak Calistha dan memberi pelajaran pada wanita itu, tapi ia kemudian teringat akan saran Spencer yang memberinya masukan agar ia sekali-sekali bersikap lembut pada Calistha agar wanita itu sedikit melunak padanya. Akhirnya dengan napas gusar, Aiden segera membuang jauh-jauh semua rasa emosinya. Ia kali ini memilih untuk mengikuti saran dari Spencer dan sedikit bersikap lembut pada Calistha. Mungkin saja hal itu dapat memperbaiki hubungannya dengan Calistha yang tidak pernah baik selama ini.

            “Aku ingin kau menemaniku makan siang.”

            “Tidak mau, aku masih merasa kenyang.” Tolak Calistha mentah-mentah dan sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Melihat Calistha yang begitu angkuh dihadapannya membuat Aiden mengeratkan giginya marah. Sungguh egonya sebagai seorang raja merasa terinjak-injak oleh penolakan wanita itu. Padahal untuk meminta wanita itu menemaninya makan siang, ia rela membuang seluruh egonya. Tapi, dengan tidak tahu dirinya Calistha justru langsung menolaknya mentah-mentah seperti itu. Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan. Jika wanita itu memutuskan untuk bersikap membangkang dihadapannya, maka cara satu-satunya untuk menaklukan wanita keras kepala itu adalah dengan jalan kekerasan. Tidak ada cara lain.

            “Aku tidak menerima penolakan. Sekarang juga kau harus menemaniku makan siang di ruang makan istana.”

            Tanpa aba-aba, Aiden langsung menarik pergelangan tangan Calistha kasar dengan sedikit menyeret tubuh wanita itu yang terus meronta di belakangnya.

            “Lepaskan! Sudah kubilang, aku tidak mau makan siang bersamamu. Aku ingin pergi ke taman.” Teriak Calistha meronta-ronta di dalam genggaman tangan Aiden, membuat suasana disekitar mereka begitu ribut dan mengundang perhatian dari para prajurit maupun para pelayan istana yang secara kebetulan melewati mereka sambil sesekali mencuri-curi pandang pada pasangan yang akan menikah esok pagi itu.

            “Disini aku adalah raja, maka kau tidak berhak untuk menolak perintahku karena kau hanyalah wanita biasa yang secara kebetulan membawa karunia yang dapat menghilangkan kutukanku, jadi jangan pernah menilai dirimua terlalu tinggi di sini.” Bentak Aiden kasar dan berhasil membungkam bibir Calistha rapat-rapat. Wanita itu tampak begitu tersinggung dengan ucapan Aiden hingga ia merasa ingin menangis. Namun, sekuat tenaga ia menahan setiap gejolak kepedihan di dalam hatinya agar ia tidak terlihat sebagai wanita lemah dan cengeng dihadapan pria kejam yang saat ini sedang menyeretnya untuk masuk ke dalam istana. Dalam hati ia bersumpah akan segera membalas semua perbuatan keji pria itu dan membuatnya menderita.

            “Kenapa diam? Apa kau telah menyadari posisimu sekarang? Apa kau merasa tersinggung dengan perkataanku?” Tanya Aiden bertubi-tubi pada Calistha dengan nada sinis. Calistha  yang merasa begitu terluka hanya mampu membungkam bibirnya rapat-rapat sambil meremas erat telapak tangannya yang bebas dari cekalan tangan Aiden. Wanita itu kemudian mendongak tajam menatap punggung tegap Aiden yang berada di depannya. Dengan sekali hentakan ia berhasil melepaskan genggaman tangan Aiden sambil menatap marah pada pria itu.

            “Tersinggung? Huh, memangnya apa yang kau katakan padaku? Apakah perkataanmu penting untukku? Cih, kau terlalu percaya diri jika kau menganggapku tersinggung, karena aku sama sekali tidak tersinggung. Aku hanya marah padamu karena kau selalu memaksakan semua kehendakmu pada orang lain tanpa memikirkan perasaan mereka sedikitpun. Apa kau sadar jika tindakanmu itu sangat egois dan sangat memuakan. Kau itu sangat menjijikan.” Marah Calistha berapi-api hingga nafasnya terengah-engah tak beraturan. Ia terlalu emosi dengan segala macam penghinaan dari pria itu padanya, dan ia sudah terlalu lelah untuk menahan semua rasa sakit hatinya selama ini. Sekarang adalah saatnya untuk menyuarakan semua ganjalan hatinya yang sejak beberapa hari yang lalu terus menggumpal di dalam hatinya hingga ia merasa begitu sesak dan ingin meledak.

            “Menjijikan? Apa kau tidak pernah menyadari jika kau dan seluruh keluargamu adalah kumpulan orang-orang yang paling menjijikan di muka bumi ini. Jika kau tidak memiliki karunia istimewa di dalam dirimu, sudah pasti kau tidak akan mungkin bernafas hingga saat ini. Kau pasti sudah mati ditanganku sejak dulu bersama dengan kedua orangtuamu yang menjijikan itu. Jadi, jangan pernah merendahkanku dan mencelaku dengan kata-kata kasarmu itu jika pada kenyataanya harga dirimua tidak lebih tinggi daripada para jalang yang selama ini kubunuh!” Bentak Aiden kasar tepat di depan wajah Calistha hingga membuat wanita itu syok. Ia tidak menyangka jika pria itu akan membalasnya dengan kata-kata yang lebih menyakitkan daripada kata-katanya yang kasar. Meskipun ia tidak mengenal ayah dan ibunya dengan baik, karena saat itu ia masih sangat kecil untuk mengingat semua hal yang terjadi di masa kanak-kanaknya, tapi ia yakin jika kedua orangtuanya adalah orang yang baik. Mereka tidak mungkin melakukan suatu hal yang jahat pada pria kejam yang saat ini tengah menatap marah padanya. Justru pria itu yang telah memporak-porandakan hidupnya dan juga kerajaanya. Tapi, kenapa pria itu terus menghujatnya dan seakan-akan menyalahkan seluruh keluarganya atas kejadian yang menimpa mereka di masa lalu.

            “Jangan pernah menghina keluargaku di hadapanku karena kau tidak tahu apa-apa tentang mereka.” Desis Calistha marah dengan tatapan mata tajam yang menghunus tepat dikedua manik mata Aiden. Namun, pria itu sama sekali tidak merasa takut pada Calistha dan justru membalas tatapan tajam wanita itu dengan tatapan mata tajamnya yang setajam pisau.

            “Tidak mengetahui apapun? Bukankah pernyataanmu itu sangat cocok dengan keadaanmu saat ini? Jika aku memang tidak tahu apapun tentang kerajaan ayahmu yang brengsek itu, lalu bagaimana dengan dirimu? Apa kau tahu bagaimana bentuk kerajaanmu? Apa kau tahu bagaimana sifat ayahmu yang sombong itu ketika memerintah di kerajaannya, apa kau tahu hah? Jawab!” Bentak Aiden keras di depan wajah Calistha, hingga wanita itu hanya mampu memejamkan matanya untuk meredam perasaan marah, sedih, dan terhina yang berkumpul menjadi satu di dalam dadanya. Ia kemudian membuka kedua matanya cepat dan langsung menatap kedua manik mata Aiden dengan garang. Sejujurnya ucapan pria itu memang benar. Ia sama sekali tidak mengenal keluarganya dengan baik. Bahkan, seluruh ingatannya tentang ayah dan ibunya hanya terlihat samar-samar di dalam kepalanya. Tapi, ia sangat yakin jika kedua orangtuanya adalah orang-orang yang baik karena mereka berdua dengan sekuat tenaga melindungi seluruh anaknya dari incaran raja Aiden yang kejam dan bengis itu. Walaupun pada akhirnya raja kejam itu berhasil menemukan semua putrinya dan hampir membunuh mereka semua, tapi setidaknya kedua orangtuanya sudah berusaha untuk melindungi kesepuluh putrinya. Dan jika hari ini ia harus mati di tangan pria itu seperti kedelapam saudaranya yang lain, maka ia tidak keberatan. Lebih baik ia mati daripada harus menghabiskan seluruh sisa hidupnya dengan raja kejam yang tidak berperasaan seperti Aiden.

            “Meskipun aku tidak mengingat mereka semua dengan jelas, tapi sebagai seorang anak, aku sangat yakin jika kedua orangtuaku adalah orang-orang yang baik. Setidaknya mereka berdua tidak menghilangkan nyawa orang-orang yang tidak bersalah seperti dirimu. Kau iblis. Kau raja iblis yang paling kejam yang pernah kutemui.”

            Aiden memandang geram pada Calistha. Wanita itu benar-benar begitu keras dan sangat sulit untuk ditaklukan. Bahkan, meski ia tidak pernah mengetahui seluruh kebenarannya sekalipun, wanita itu begitu berani menyuarakan keyakinannya jika kedua orangtuanya adalah orang yang baik. Tapi, sayangnya keyakinan itu sama sekali tidak benar. Karena pada kenyataanya mereka berdua adalah iblis yang sebenarnya. Iblis yang telah merenggut kedua orangtuanya dan dalang dibaliks setiap kekacauan yang terjadi beberapa tahun terakhir ini.

            “Terserah apa katamu. Aku hanya ingin berpesan padamu, semoga kau tidak mengambil pilihan yang salah dalam hidupmu, karena apa yang kau pilih di masa sekarang akan menentukan masa depanmu, dan masa depan dunia ini. Camkan itu.” Desis Aiden marah sambil berjalan pergi meninggalkan Calistha begitu saja yang langsung jatuh terduduk di tempatnya sambil menangis sekeras-kerasnya. Untung saja saat ini ia berada di sebuah lorong yang sepi, sehingga ia tidak perlu malu pada para pelayan atau para prajurit yang berlalu lalang disekitarnya karena saat ini ia sedang menangis, menumpahkan segala macam sesak yang sejak tadi terus menghantam hatinya hingga ia merasa kesulitan untuk bernapas.

                                                            -00-

            Saat malam hari, Calistha lebih memilih untuk mengurung dirinya di dalam kamar tanpa berniat sedikitpun untuk keluar, meskipun sejak tadi Sunny terus membujuknya untuk keluar dan makan malam bersama dengan raja Aiden. Tapi, penyebab dari kemurungannya hari ini adalah pria kejam itu, jadi ia semakin tidak mau untuk makan malam di meja makan jika pada akhirnya ia harus bertemu dengan pria itu.

            “Nona, saya membawakan makan malam anda.”

            Sunny meletakan sepiring daging panggang dengan saus asam manis di atasnya dengan sepiring kentang tumbuk yang begitu harum dan menggoda untuk disantap. Tapi, kali ini nafsu makannya sedang hilang  entah kemana, sehingga makanan yang tampak menggoda itu terlihat biasa saja di mata Calistha. Wanita itu kemudian kembali menenggelamkan kepalanya diantara kedua lututnya sambil memikirkan berbagai macam hal di dalam kepalanya, termasuk apa yang diucapkan oleh Aiden padanya siang tadi. Pria itu mengatakan jika kedua orangtuanya adalah orang yang jahat. Tapi benarkah demikian? Ia sama sekali tidak mempercayai tuduhan pria itu pada orangtuanya. Tapi, pria itu pasti memiliki alasan tersendiri kenapa ia menyebut kedua orangtuanya sebagai orang-orang yang jahat. Calisthapun mendesah frustasi sambil merebahkan tubuhnya di atas ranjangnya. Hari ini Max dan Gazelle akan membebaskan Tiffany, itu berarti bebannya akan sedikit terangkat karena ia tidak perlu mengkhawatirkan keadaan Tiffany setiap saat. Jika suatu hari ia membuat masalah dengan raja kejam itu, ia tidak akan membahayakan nyawa siapapun lagi. Cukup ia yang akan menanggung buah dari perbuatannya, entah itu baik atau buruk.

Cklek

            Tiba-tiba pintu coklat itu terbuka perlahan, membuat Calistha langsung meloncat sigap untuk melihat siapa orang yang telah masuk ke dalam kamarnya tanpa meminta ijin terlebihdahulu. Biasanya Sunny ataupun pelayan yang lainnya akan selalu meminta ijin dengan sopan padanya sebelum melangkah masuk ke dalam kamarnya. Jadi, ia cukup was-was dengan kedatangan seseorang yang tiba-tiba membuka pintu kamarnya tanpa permisi.

            “Kenapa kau tidak memakan makananmu?”

            Aiden masuk ke dalam kamar Calistha dengan gaya ponggahnya yang begitu memuakan bagi Calistha. Pria itu berdiri tepat di pinggir ranjang Calistha dengan tubuh menjulang yang begitu mendominasi dan tampak angkuh. Melihat Aiden sedang berdiri di tepi ranjangnya, Calistha memutuskan untuk memunggungi pria itu dan sama sekali tidak mau mentap wajah Aiden, padahal pria itu sedang mengajaknya berbicara. Dengan gusar, Aiden meraih pundak Calistha dan langsung menyentaknya dengan keras, hingga Calistha terpaksa membalikan tubuhnya ke arah pria itu dengan sebelah bahunya yang terasa nyeri karena perlakukan kasar raja kejam itu.

            “Apa yang kau lakukan di kamarku? Pergi kau dari sini. Keberadaanmu di sini justru akan membuatku semakin sakit.” Usir Calistha kasar dengan mata yang berkilat-kilat marah. Aiden memandang wanita itu tak peduli, dan justru mendudukan dirinya di atas ranjang Calistha sambil meraih nampan makanan milik Calistha yang sama sekali belum tersentuh.

            “Makan. Aku tidak mau melihatmu sakit, jadi makanlah makanamu sekarang juga selagi aku masih mencoba untuk bersabar menghadapi semua tingkah kekanakanmu ini.” Ucap Aiden datar sambil meletakan nampan makanan itu di atas pangkuan Calistha. Namun, tanpa diduga, Calistha justru melemparkan nampan makanan itu begitu saja, hingga seluruh isi nampan itu tumpah di bawah ranjangnya dan menciptakan sebuah noda saus yang begitu besar di atas karpetnya.

            “Aku tidak mau makan! Kau tidak berhak mengatur hidupku.”

            “Beraninya kau membuang makanan yang dibuat oleh rakyatku. Dasar wanita tak tahu diri. Aku sudah mencoba untuk bersabar menghadapi semua tingkah lakumu yang bar-bar ini, tapi kau justru terus megujiku dengan berbagai macam sikapmu yang sangat kekanakan dan memuakan itu. Apa kau memang berusaha untuk memancing kemarahanku, hah?” Teriak Aiden murka di depan Calistha sambil mencengkeram rahang mungil itu kuat-kuat, membuat Calistha merintih kesakitan sambil terus menerus memukul dada kokoh Aiden dengan kedua tangannya yang bebas. Namun, pria itu sama sekali tidak terpengaruh dengan pukulan Calistha, ia justru semakin kuat mencengkeram rahang mungil Calistha, hingga ia merasa jika sebentar lagi rahangnya akan remuk.

            “Pelayan, ambilkan makanan yang baru sekarang!” Teriak Aiden murka pada Sunny yang sudah bergetar ketakutan di ambang pintu. Wanita mungil itu segera berlari terbirit-birit untuk mengambilkan menu makanan baru untuk Calistha. Sementara itu, Aiden masih terlihat murka di hadapan Calistha, namun ia tidak lagi mencengkeram rahang wanita itu. Ia telah melepaskan cengkeraman tangannya dari rahang Calistha beberapa detik yang lalu dan membuat Calistha langsung meringis kesakitan sambil mengelus kedua rahangnya yang terasa ngilu.

            “Awas jika kau kembali membuang makananmu. Jika kau melakukannya lagi, aku akan menyuruhmu untuk menjilati semua makanan yang telah kau tumpahkan di atas lantai istanaku. Tak peduli seberapa kotor makanan itu, tapi kau memang harus belajar untuk menghargai hasil jerih payah orang lain.”

            Calistha menunduk takut di depannya dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca. Ia sekarang merasa begitu lemah dan takut pada Aiden. Seumur hidupnya ia sama sekali tidak pernah menghadapi kemarahan yang sebegitu mengerikan seperti ini. Biasanya Max hanya membentaknya sekali jika pria itu sedang lelah, kemudian keesokan harinya pria itu pasti akan langsung meminta maaf padanya sambil memberikannya sebuket bunga atau gaun yang indah. Tapi, kini pria yang membentaknya adalah raja Aiden. Raja yang paling kejam dan bengis di muka bumi ini. Ia tidak yakin jika raja itu akan meminta maaf padanya setelah ini, setelah apa yang dilakukan oleh pria itu padanya. Oleh karena itu ia merasa sakit hati atas semua perlakuan kasar pria itu padanya. Andai saja ia memiliki seseorang yang peduli padanya selain Max, maka ia akan langsung meneriakan seluruh keluh kesahnya pada orang itu agar hatinya yang sesak merasa lebih baik dan tidak terus menyimpan rasa sedih yang berlebihan seperti ini.

            Di lain sisi, Aiden sedang menatap Calistha dalam sambil menunggu Sunny untuk membawakan makanan yang baru bagi Calistha. Sejak tadi kedua manik matanya terus mengamati gerak-gerik Calistha yang saat ini terlihat begitu lemah dan rapuh. Tiba-tiba sebuah penyesalan menyusup ke dalam hatinya dan membuat hatinya terasa begitu sesak dan pedih. Ia sama sekali tidak bermaksud untuk menyakiti wanita itu. Ia hanya merasa geram dengan segala tingkah laku Calistha yang terus menerus melawannya, padahal sejak awal ia telah berusaha untuk bersikap lembut pada wanita keras kepala itu. Tapi, pada akhirnya semua sikap lembut itu justru berakhir dengan sangat tidak menyenangkan seperti ini. Andai saja ia adalah pria normal, ia pasti bisa menahan seluruh gejolak emosinya dengan mudah. Tapi… ia bukan pria normal. Yah, setidaknya kutukan itu benar-benar telah merubahnya menjadi seorang monster yang kejam dan hampir kehilangan seluruh perasaan manusianya. Tapi, semenjak Calistha berada di sampingnya, perlahan-lahan jiwa monsternya sedikit berkurang dan tergantikan dengan jiwa manusianya yang hampir tenggelam oleh jiwa monsternya. Sayangnya hari ini ia kembali bersikap kejam pada Calistha karena wanita itu terus membantahnya dan mengucapkan berbagai macam kata-kata kasarnya padanya. Andai saja wanita itu mau sedikit menurut padanya, pasti ia tidak akan sekeras ini pada wanita rapuh itu.

            “Yang Mulia, ini makanan anda.” Ucap Sunny dengan nada bergetar sambil meletakan nampan berisi makanan itu di atas pangkuan Calistha. Setelah mendapat usiran halus dari Aiden, Sunny segera berjalan cepat keluar dari dalam kamar majikannya yang mencekam itu. Ia sendiri tidak tahu bagaimana nasib Calistha nantinnya melihat rajanya sedang sangat murka pada wanita itu. Dalam hati Sunny hanya mampu berdoa, semoga Tuhan senantiasa melindungi majikan barunya yang rapuh itu.

            Di dalam kamar, setelah kepergian Sunny, Aiden masih bungkam sambil memandangi Calistha dengan intens yang tampak murung sambil memandangi makanannya dengan sorot mata kosong dan tak berminat. Pria itu kemudian memegang bahu Calistha pelan dan menggumamkan nada perintah yang begitu tegas dan terdengar tidak ingin dibantah.

            “Sekarang makan makananmu.”

            Dengan tangan bergetar akibat menahan gejolak emosi dan gejolak kesedihan di dalam dadanya, Calista mulai meraih garpu serta pisau yang diletakan Sunny di sebelah piring bundarnya untuk memotong daging. Dengan sangat perlahan ia memotong daging sapi itu dan langsung memasukannya ke dalam mulut. Meskipun daging sapi itu masih mengepulkan asap panas yang dapat membakar lidah, ia tampak tidak peduli dan lebih memilih untuk langsung menelannya bulat-bulat, meskipun hal itu jelas akan membakar lidahnya. Tapi ia sama sekali tidak peduli. Toh saat ini hatinya jauh terasa lebih sakit daripada lidahnya. Justru dengan adanya makanan panas itu, ia merasa sangat bersyukur karena ia sedang ingin menyakiti bagian tubuhnya yang lain agar tidak hanya hatinya yang merasakan kepedihan.

            “Apa kau ingin membakar lidahmu? Berikan garpu dan pisau itu, aku akan menyuapimu dengan tanganku sendiri agar kau tidak bertindak bodoh dengan melukai dirimu sendiri.”

            Tangan kokoh itu langsung merebut garpu serta pisau dari tangan Calistha begitu saja, dan dengan cekatan Aiden langsung memotong-motong daging sapi itu menjadi beberapa bagian yang sekiranya tidak terlalu besar bagi mulut Calistha yang mungil. Ketika Aiden menusukan daging sapi itu dan menyodorkannya di depan mulut Calistha, wanita itu tampak ragu sambil memandangi potongan daging itu cukup lama sebelum akhirnya ia memutuskan untuk membuka mulutnya dan menguyah potongan daging itu dengan perasaan getir.

            “Bukankah itu lebih baik? Daripada kau menyakiti dirimu sendiri, lebih baik kau menyimpan tenagamu untuk hari pernikahan kita besok pagi. Aku tidak ingin melihat calon ratuku terlihat jelek saat hari pernikahan berlangsung.”

            “Mengapa kau bersikap seperti ini padaku? Kenapa kau tiba-tiba mempedulikanku jika pada kenyataanya kau sangat membenci keluargaku?”

            Tiba-tiba Calistha mendongakan wajahnya ke arah Aiden dengan seluruh wajahnya telah dibanjiri oleh air mata. Sejak tadi Aiden sama sekali tidak menyadari jika ternyata Calistha sedang menangis karena wanita itu terus menundukan wajahnya tanpa berniat untuk membalas tatapannya. Sekarang melihat wanita itu sedang menangis kesakitan di hadapannya, membuat hati Aiden seketika merasa tercubit. Ia sama sekali tidak ingin melihat air mata itu. Ia hanya ingin melihat senyum manis Calistha yang begitu cantik.

            “Hapus air matamu. Aku tidak akan terpengaruh dengan air mata bodohmu itu.” Ucap Aiden datar sambil menyodorkan sepotong daging di depan mulut Calistha. Tapi, wanita itu justru mendelik tajam ke arah Aiden tanpa mau membuka mulutnya sedikitpun.

            “Aku tidak akan membuka mulutku jika kau tidak menjawab pertanyaanku. Kenapa kau masih mempedulikanku? Kenapa kau tidak membiarkanku mati?” Tanya Calistha sekali lagi dengan air mata yang kembali meluncur turun membasahi kedua pipinya. Dengan malas, Aiden mulai meletakan piring itu di tempatnya dan langsung membawa Calistha ke dalam pelukannya. Dan kali ini, secara mengejutkan Calistha sama sekali tidak memberontak dan hanya pasrah di dalam dekapannya sambil menangis tersedu-sedu di atas dada bidangnya. Membuatnya merasa begitu miris melihat calon ratunya yang begitu dicintainya itu.

            “Karena kau adalah ratuku, maka aku harus selalu melindungimu dan memastikan dirimu baik-baik saja.”

            Calistha kemudian mendongakan wajahnya ke arah Aiden sambil mengernyit tidak mengerti. Kenapa kali ini pria itu mengucapkan dengan lebih tulus dan terlihat berbeda. Apakah apa yang dikatakannya benar?

            “Benarkah? Kau akan melindungiku? Tapi, kau justru selalu menyakitiku.” Isak Calistha pelan. Wanita itu kembali menangis di hadapan Aiden, membuat pria itu merasa tidak tahan dan akhirnya langsung mendekatkan wajahnya untuk melumat bibir merah Calistha yang sudah dipenuhi oleh air mata. Jika wanita itu tidak percaya dengan ucapannya, maka ia akan membuktikannya dengan tindakan. Ia harap, kali ini Calistha dapat memahami kesungguhan hatinya dan dapat memilih jalan yang tepat untuk masa depan yang lebih baik. Masa depan yang jauh dari peperangan dan pertumpahan darah. Masa depan dimana ia dapat hidup damai bersama Calistha tanpa harus merasakan kepelikan yang mengganggu pikirannya.

            Aiden terus melumat bibir merah Calistha dengan lembut. Awalnya Calistha hanya diam dan tidak membalas ciuman itu. Tapi, setelah cukup lama, dan Aiden terus memperlakukannya dengan lembut, akhirnya ia menyerah dan lebih memilih untuk membalas setiap lumatan yang diberikan oleh Aiden. Ia tidak tahu apakah ini jenis ciuman penuh cinta antara pria dan wanita atau hanya ciuman biasa untuk menghibur hatinya, yang pasti ciuman ini terasa begitu lembut dan mampu membuat hatinya bergetar entah karena apa.

            Setelah cukup lama mereka berciuman, Aiden kemudian melepaskan tautan diantara mereka sambil memberikan kecupan kecil di sudut bibir Calistha yang terasa bagai candu baginya.

            “Tidurlah. Aku akan meminta pelayan untuk membersihkan semua kekacauan ini.”

            Dengan patuh, Calistha mulai merebahkan tubuhnya di atas ranjangnya dengan Aiden yang menyelimuti tubuhnya dengan selimut merah yang terasa begitu lembut dan ringan di tubuhnya.

            “Selamat tidur my queen.” Bisik Aiden sambil memberikan kecupan selamat tidur di dahi Calistha. Setelah itu Aiden segera berjalan pergi dari kamar Calistha dengan berbagai macam perasaan yang membuncah di hatinya.

            “Sisi manusiaku kembali.” Batin Aiden tidak percaya.

            Ditengah-tengah perasaan bahagianya yang membuncah, tiba-tiba Spencer datang dengan terburu-buru menemuinya sambil membungkuk hormat dengan wajah yang tampak kacau.

            “Ada apa? Mereka benar-benar melakukannya?” Tanya Aiden datar sambil memasang wajah piasnya lagi.

            “Benar Yang Mulia. Gazelle dan Max sedang berusaha kabur sambil membawa nona Tiffany. Tapi, mereka sedang menunggu Yang Mulia ratu di gerbang tersembunyi istana. Apa kami harus menangkap mereka semua sekarang?”

            “Ya, bawa mereka semua ke halaman istana dan siapkan upacara eksekusi untuk mereka.” Perintah Aiden datar dan langsung pergi begitu saja dari hadapan Spencer sambil melirik misterius pada pintu coklat di belakangnya yang merupakan ruang pribadi Calistha.

                                                            -00-

            Saat tengah malam Calistha tiba-tiba terbangun dari tidurnya karena ia merasa mendengar suara yang begitu berisik dari halaman istana. Dengan penasaran, ia kemudian berjalan menuju balkon untuk melihat apa yang sedang terjadi di bawah sana. Sekilas Calistha melihat ada begitu banyak rakyat kerajaan Khronos yang sedang berdiri di halaman istana sambil berteriak-teriak dengan riuh. Tampak di bawah sana obor-obor dinyalakan dengan begitu terang. Dengan penuh tanda tanya, Calistha terus mengamati semua hal yang berada di halaman istana. Tiba-tiba ekor matanya melihat seorang pria sedang tengkurap di atas tanah dengan darah yang telah bersimbah di seluruh tubuhnya. Ia kemudian semakin menyipitkan penglihatannya untuk melihat tubuh pria itu. Dan betapa terkejutnya Calistha setelah ia menyadari jika pria itu adalah Max. Kemudian dari sudut lain kerumunan itu, ia dapat melihat Aiden sedang menghunuskan pedangnya pada seorang wanita yang wajahnya telah ditutup oleh kain hitam, tapi ia tahu siapa wanita yang saat ini akan dieksekusi oleh Aiden.

            “Tidak, jangan! Gazelle, Tiffany!” Jerit Calistha histeris. Ia kemudian segera berlari keluar dari dalam kamarnya seperti orang kesetanan. Beberapa kali ia menabrak para pelayan yang sedang berlalu lalang di dalam istana. Tapi, ia tampak tidak peduli dan hanya terus berlari untuk menyelamatkan Gazelle dan Tiffany yang akan segera dieksekusi oleh Aiden. Kini seluruh wajahnya telah dipenuhi oleh air mata penyesalan. Semua ini adalah salahnya. Ia yang menyuruh Max dan Gazelle untuk membebaskan Tiffany, tapi sepertinya mereka bertiga tidak berhasil keluar dari dalam istana dengan selamat dan justru ditangkap oleh prajurit istana.

            Setibanya di halaman, Calistha segera berlari menerobos kerumunan manusia yang sedang berteriak-teriak menghujati ketiga manusia yang telah di eksekusi oleh Aiden.

            “Jangan! Jangan bunuh mereka. Jangan….”

            Seketika Calistha merosot di atas tanah ketika ia melihat wanita terakhir telah dieksekusi. Tiffany… telah meninggal.

            “Apa yang kau lakukan pada mereka? Kenapa kau membunuh mereka?” Bisik Calistha lirih di bawah kaki Aiden. Sedangkan pria itu tampak begitu santai sambil memberikan pedangnya yang telah berlumuran darah pada Spencer yang sedang berdiri di sebelahnya.

            “Karena mereka adalah penyusup dan pengkhianat, juga tahananku. Ayo masuk, seharusnya kau tidak berada di sini.”

            Aiden langsung menyeret tubuh lemas Calistha begitu saja ke dalam istana. Kali ini Calistha terlihat seperti mayat hidup yang benar-benar tidak memiliki jiwa. Setelah Aiden menjatuhkannya di atas ranjang, Calistha hanya terus melamun sambil menangis dalam diam. Hatinya terasa begitu remuk dan hancur. Seharusnya mereka bertiga tidak menanggung semua kesalahannya. Seharusnya mereka dapat hidup layak dan damai. Bagaiman keadaan sang ratu sekarang jika ia mengetahui jika putra satu-satunya telah mati? Sepanjang malam Calistha terus menangis di dalam kamarnya tanpa berniat untuk memejamkan matanya sekalipun. Sekarang ia tidak tahu lagi apa yang akan ia lakukan setelah Max, Gazelle, dan Tiffany meninggal. Ia benar-benar telah tersesat dan kehilangan arah tanpa mereka.

            “Maafkan aku.” Bisik Calistha lirih pada udara kosong dan kesenyapan malam.

                                                            -00-

            “Yang Mulia, bagaimana dengan pernikahan anda besok? Apa ratu akan baik-baik saja setelah kejadian mengerikan malam ini. Ratu pasti sangat terpukul dengan kejadian hari ini.” Ucap Spencer di dalam ruang pribadi Aiden. Sang raja saat ini tengah menyesap anggurnya dengan santai tanpa peduli pada kekhawatiran yang sedang mengganggu pikiran Spencer. Lagipula saat ini ia hanya sedang mengikuti alur permainan, jadi ia sama sekali tidak perlu ambil pusing dengan keadaan wanita itu yang masih syok dengan peristiwa eksekusi malam ini.

            “Kenapa kau harus mengkhawatirkan Calistha. Tugas kita di sini hanyalah mengikuti alur permainannya. Sebenarnya bukan aku yang menginginkan ketiga manusia itu mati, tapi wanita itu sendiri yang menginginkan kematian bagi ketiga orang itu, jadi kau tidak perlu mengkhawatirkan pernikahanku besok. Lebih baik kau periksa lagi semua persiapan untuk pernikahanku besok. Jangan sampai rencana pernikahanku gagal hanya karena masalah sepele seperti ini.”

            “Baik Yang Mulia. Kalau begitu saya permisi. Selamat malam.” Ucap Spencer sopan sebelum ia melangkah pergi, keluar dari dalam ruangan pribadi rajanya. Sembari menyesap anggur merahnya dengan nikmat, Aiden mulai bersiap untuk mendapatkan kilasan kejadian yang akan terjadi esok. Dengan perlahan Aiden mulai memejamkan matanya sambil menahan setiap rasa sakit yang mulai menusuk-nusuk kepalanya.

            “Argghh………” Erang Aiden tertahan sambil berpegangan pada pinggiran mejanya kuat-kuat. Cukup lama Aiden mendapat penglihatan mengenai kejadian di masa depan, hingga akhirnya ia dapat bernafas lega setelah semua penyiksaan yang menyakitkan itu akhirnya berhenti.

            “Jadi begitulah akhir dari kisahnya.” Gumam Aiden tenang sambil menerawang jauh pada sudut-sudut kamarnya gelap.

                                                            -00-

            Keeseokan harinya Calistha terlihat bagaikan mayat hidup yang kosong dan terlihat tak bercahaya. Berkali-kali Yuri mendesah kesal karena riasannya sama sekali tidak berefek pada wajah Calistha yang pucat dan kacau itu. Semalaman Calistha terus menangis sesegukan di dalam kamarnya dan sama sekali tidak tidur, sehingga kedua matanya kini terlihat begitu bengkak dan memerah. Akhirnya Yuri menyerah untuk mendandani Calistha dan memilih untuk segera membereskan semua perlengkapan riasnya. Ia merasa begitu frustasi dan tidak tahu lagi bagaimana cara memoles wajah Calistha yang tampak redup dan kacau itu.

            “Yang Mulia saya pamit untuk pulang sekarang. Semoga pernikahan anda selalu diberkati Tuhan.” Doa Yuri tulus sambil memandang prihatin pada Calistha. Tak berapa lama, seorang dayang masuk ke dalam kamar Calistha untuk menjemput wanita itu. Saat ini sang raja telah menunggunya di aula istana untuk mengucapkan janji pernikahan di hadapan tetua kerajaan.

            Dengan langkah lemah, Calistha terus dituntun untuk berjalan menuju aula istana. Sekilas dayang itu tampak khawatir dengan keadaan Calistha. Tapi, ia tentu saja tidak dapat melakukan apapun selain mematuhi perintah raja untuk membawa Calistha ke aula.

            “Yang Mulia, kita telah tiba di aula.”

            Ketika Calistha muncul di pintu besar aula, seluruh mata langsung menatap pada Calistha dengan pandangan yang bermacam-macam. Ada yang memandang Calistha dengan acuh, ada pula yang memandang Calistha dengan iba. Kemudian setelah Aiden mengumumkan pada seluruh rakyatnya jika upacara pernikahannya akan segera dimulai, mereka semua langsung menghadap ke depan sambil menatap sang tetua yang sedang membacakan kata sambutan sebelum pernikahan dengan khidmat.

            Perlahan-lahan Calistha mulai berjalan menyusuri karpet merah yang telah dipersiapkan untuknya. Berbagai macam kelopak bunga yang begitu indah menghujani tubuhnya dan mengiringi setiap langkah yang dilaluinya. Tapi, meskipun acara pernikahannya sangat mewah, ia justru merasa hampa. Andai saja ia dapat menolak pernikahan ini, maka ia lebih memilih untuk menolaknya karena sejak semalam ia terus dihantui oleh rasa bersalah yang begitu besar di hatinya. Bayangan tubuh Max, Gazelle, dan Tiffany yang bersimbah darah terus berputar-putar di dalam otaknya, membuat ia merasa pusing dan mual.

            Tak terasa langkahnya sudah semakin dekat pada Aiden. Pria itu dengan gagah sedang menunggunya di atas altar sambil mengulurkan tangannya ke arah Calistha untuk menyambut wanita itu. Tiba-tiba perasaan marah dan benci memenihi diri Calistha hingga ia merasa begitu panas saat ia melihat wajah licik Aiden yang sedang menunggunya dengan senyuman palsu yang begitu memuakan. Ketika Calistha sudah berada di beberapa langkah di depan Aiden, pria itu langsung maju dan menarik tangan Calistha agar wanita itu segera menempatkan diri di hadapan sang tetua kerajaan yang terlihat sudah tidak sabar untuk menikahkan mereka berdua.

            “Yang Mulia, apa anda telah siap untuk mengucapkan janji setia pernikahan?” Tanya tetua kerajaan itu sambil mempersiapkan kitab kerajaan yang begitu usang. Dengan mantap Aiden mulai mempersiapkan diri untuk mengucapkan janji pernikahannya di hadapan seluruh rakyatnya dan juga di hadapan ratunya.

            Setelah Aiden selesai dengan janji pernikahannya, tetua itu meminta Calistha untuk mengucapkan janji pernikahan seperti yang dilakukan oleh Aiden. Tapi, Calistha justru terdiam di tempat sambil mengepalkan tangannya erat-erat. Ia tidak mau menikah dengan pembunuh. Lebih baik ia mati daripada harus menikah dengan seorang pembunuh seperti Aiden.

            “Aku tidak mau menikah dengan raja kalian yang kejam ini. Lebih baik aku mati daripada harus menanggung beban berat seumur hidupku!”

Sring

            Tanpa diduga, Calistha langsung menarik pedang yang berada di pinggang Aiden. Seluruh tamu yang berada di sana langsung memekik heboh sambil memperingatkan Calistha agar segera membuang pedang itu. Tapi, Calistha terlihat sama sekali tidak peduli dan justru semakin mendekatkan pedang itu pada perutnya. Ia tidak ingin lagi hidup. Ia ingin mati sekarang juga.

            “Jatuhkan pedang itu! Apa yang kau lakukan di masa sekarang akan memiliki dampak yang besar bagi masa depan.” Peringat Aiden keras. Namun, Calistha sama sekali tidak mempedulikan peringatan itu karena ia merasa sudah muak dengan segala hal yang berhubungan dengan pria itu.

            “Aku tidak peduli! Kau pria kejam dan brengsek! Aku membencimu. Selamanya aku tidak akan pernah menikah denganmu.”

Sret

Brugh

            Seketika darah merembes dari gaun pink yang dikenakan oleh Calistha, menciptakan noda darah yang menggenang di atas lantai marmer yang sedang dipijaknya. Seluruh rakyat yang berada di sana langsung menjerit histeris setelah dengan begitu cepatnya mereka melihat calon ratu mereka mati bunuh diri di hari pernikahannya. Sementara itu, Aiden hanya terdiam di tempatnya dengan kaku sambil memandangi tubuh Calistha di depannya dengan wajah datar yang tak terbaca. Pria itu samar-sama hanya tersenyum sinis pada tubuh kaku Calistha sambil berbisik pelan pada dirinya sendiri.

            “Sampai jumpa lagi, my queen.”

 

2 Komentar

  1. StoryFanLover menulis:

    Loh…chalistanya kok mati?bner2 deh bingung sama penglihatan si aiden,apa yg dia lihat?kyknya sih chalista gak mati..inget2 dia punya tanda pasir waktu di bahunya..bisa aja dia gak diperbolehkan mati sama si takdir??
    #sotoy?

  2. jangan-jangan ini penglihatan raja aiden yang bisa liat masa depan…nanti raja aiden yang bakal mencegah calistha bunuh diri..mudah2an bener…gak mungkinkan si calistha mati masa baru 5 episode udah mati kan dia pemeran utamanya… :owlberbinar :owlberbinar :owlberbinar