Part 6 – PMS atau ‘PMS’?
Dorr
“HUAAAAAAAAAAAA….” Aku melemparkan bolpoin hitam yang tengah kupegang begitu saja. Jantungku berdetak liar di dalam rongga dadaku.
Astaga! Siapa yang berani mengu-
Dia lagi!
“Hai…” sapanya dengan nada ceria dalam suaranya. Aku mendengus. Menyebalkan sekali harus bertemu dengan makhluk Tuhan yang satu ini. Kupikir setelah kejadian kemarin-kemarin, dia akan bosan menggangguku dan menghilang begitu saja seperti yang lainnya. Mendekatiku hanya karena penasaran lalu membullyku setelah tau bagaimana sifatku dan latar belakang yang kumiliki.
Aku mendengus. Kembali memfokuskan konsentrasiku pada buku biologi untuk jam pertama nanti.
“Idih… Judes amat, Mbak! Lagi PMS ya?”
Aku mendelik. Apa? PMS?
“Enak saja. Aku masih bersih. Masih suci, belum pernah memiliki teman laki-laki apalagi pacar. Jadi, tidak mungkin terkena penyakit menular seksual!!!” sahutku berapi-api. Nyaris meledak sebenarnya. Terlebih keinginan terbesarku saat ini adalah menimpuk kepalanya dengan menggunakan buku yang tengah kupegang lantas mengusirnya jauh-jauh agar ia tak mengusikku lagi.
“He? Pacar? Penyakit? Maksudnya?”
Aku mengernyit mendengar pertanyaannya. Apa maksudnya? Apa ia sedang berpura-pura idiot mendadak sekarang?
Aku mengepalkan sebelah tanganku kesal. Merasa di permainkan, tentu saja.
“Kamu yang bilang kalau aku punya penyakit menular kan? Sembarangan! Aku tid-
“Wait! Wait! You mean that I said if you-“
“Nggak usah sok inggris!” potongku cepat. Laki-laki ini tidak menghargai bangsanya sendiri, sampai harus berbicara dengan menggunakan bahasa inggris dalam percakapan sederhana seperti ini. Bahasa Indonesia saja dia masih belum bisa menggunakannya dengan baik dan benar, sudah beralih menggunakan bahasa inggris yang bukan merupakan bahasa aslinya. Keterlaluan sekali.
“Okey. Siapa yang bilang kalo gue lagi ngomong tentang penyakit menular, dodol? Ah lo polos apa bego sih sampe hal begituan aja gak tau!”
Ia berdecak.
Wow! Dia benar-benar nekat mencari mati denganku rupanya.
Sabar… Sabar… Sabar Gladys…
Aku menghela nafas panjang sebelum bersua.
“Sepertinya kamu memang anggota Palang Merah palsu ya? Dimana-mana, PMS itu kepanjangan dari Penyakit Menular Seksual. Itu kan maksud kamu!”
Plakk
“Aduh..”
Aku mengelus-elus keningku yang baru saja ditepuk keras oleh tangannya. Sakit sekali.. Tidak taukah ia kalau kekuatan lelaki dan perempuan itu berbanding terbalik? Aku yang bukan siapa-siapanya saja sudah mendapatkan ‘salam’ dari tangannya. Bagaimana jika itu istrinya? Aku tak bisa membayangkannya. Terlalu mengerikan pastinya.
“Bukan itu maksud gue… PMS itu kepanjangan dari Premenstrual Syndrome. ngerti?”
Ooh Premenstrual Syndrome… Kukira Penyakit Menular Seksual. Ternyata ada juga nama lainnya.
“Ya Ampun, Gladys Anindya. Lo sebenernya dari abad berapa sih? Mama lo bukan Pithecantropus Erectus kan?” Aku mendelik. Enak saja, mamaku disamakan dengan manusia purba. Mem-
Mama?
Aku tersenyum getir saat satu kata penuh arti itu melintas di benakku. Wanita yang menjadi ibuku sangat cantik. Meskipun dia hanyalah wanita desa yang salah pergaulan ketika merantau ke kota. Bertemu dengan Papa dan…
Aku menggeleng.
Untuk apa mengingat hal-hal menyakitkan itu lagi. Mereka bahkan entah berada di dunia sebelah mana dan tentunya tak akan mungkin mau repot-repot mengingat anak yang sudah mereka anggap pembawa… sial?
“Hoi!”
Aku terlonjak. Kenapa lelaki ini menyebalkan sekali sih?
“Sudahlah. Aku mau belajar lagi. Kakak ke kelas sana. Sebentar lagi pasti murid-murid datang. Aku nggak mau digosipin sama Kakak. Kakak kurang tampan, menyebalkan pula.”
Ia mendelik. Aku melengos tak peduli. Masa bodoh lah. Hanya membuang waktu berhargaku untuk berkencan saja.
Oh, bukuku sayang. Maaf ya untuk yang tadi…
“Heiiiii… Dis! Gladys! Gue ini cowok terganteng se-SMA, paling pinter, rajin menabung, cinta alam, cinta keluarga, dan sayang sama pacar! Gladys! GLADYSSSSSSSS……”
Memangnya apa peduliku?
Ya, tertampan se-SMA mungkin. Tapi jika dilihat dari rooftop dengan sedotan pasti orang baru akan menyebutnya tampan. Apa dia tak pernah bercermin? Lihat saja pipinya yang memiliki banyak kawah. Belum lagi dengan rambutnya yang seperti baru saja tersetrum arus listrik bertegangan tinggi. Berantakan dan entah bisa dijabarkan dengan model apa.
Dasar manusia tak tau introspeksi! Hanya bisa menyombongkan diri dan melihat dirinya seolah lebih baik dari kaum yang lebih kecil darinya. Padahal ia tak memiliki apa-apa yang bisa diakuinya sebagai hak milik di dunia ini. Semuanya hanya titipan Tuhan. Bukan mutlak miliknya.
_._._
To Be Continue~