Vitamins Blog

dulu (2) gagal move on menahun story line.

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

19 votes, average: 1.00 out of 1 (19 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Bagian dua.

[]

 

Cobalah melepaskan satu ‘dulu’ dalam dirimu untuk perlahan melangkah ke masa depan.

Aroma kesibukan segera menyergap Karen begitu melangkahkan kaki di ruangan promotion product di Xen magazine, sebuah ruangan yang eksentrik mencerminkan pribadi dari perusahaan yg bergerak di Industri  hiburan ini.

Bagi Karen, mepertahankan pekerjaan itu sesulit saat mencarinya, prinsipnya adalah bekerja sebaik mungkin, tidak hanya berorientasi kepada hasil, melainkan juga kepada proses bagaimana hasil itu dicapai, maka barulah pencapaian itu bisa menyenangkan hatinya dan bisa ia banggakan.

Hari ia menyetorkan draft pekerjaannya pada kepala divisi desain di majalah, hasil hunting beberapa barang di pasar import kemarin ,  draft yang sudah beberapa kali ia perbaiki bahkan ia melakukan beberapa pengulangan dari draft mentah yg disodorkan juniornya.

Pria setengah matang-sebagaimana ia biasa menyebut kepala divisinya- itu tengah berkacak pinggang ,mencak-mencak Karena bidikan kamera yang menurutnya kurang pas.

“nggak-nggak bisa lagi begini , ini sudah deadline dan kamu menyodorkan sampah begini ?” ujarnya kasar , membanting draft itu kepada meja, menimbulkan bunyi yg cukup keras.

Tidak ada yg berhasil membuat mood mu anjlok selain hasil kerjamu yg dianggap sampah.

“kita sudah ganti fotografer hampir tiga kali untuk bulan ini pak ” komentar malas Karen , sulit membuat pria ini puas. Oh tentu saja , berita sudah menyebar diseantero divisi , bagaimana pria ini menjadi begitu hobby ganti fotografer, tentu saja semenjak sean mengundurkan diri, fotografer lama , ya mantan-nya pria ini.

“saya nggak minta kamu ganti fotografer, pokoknya hasil fotonya harus lebih bagus dari ini ,kamu ngerti ?” Karen membuang nafas lelah, mau bagaimana lagi kalu yang tidak puas itu batinmu pak, batin Karen.

Pintu dibelakangnya berderit.

“uh , Marry”

Karen mengetahui siapa yg datang ,aroma parfume la parce khas menguar ke penjuru ruangan, Marry dengan draftnya , Karen belum keluar , memang belum disuruh , jadi ia melihat bagaimana pria itu manggut manggut , kelhatan senang dengan pekerjaan Marry, dan wanita cantik itu masih berdiri anggun mempersentasikan hasil kerjanya.

“ini bagus banget Mar , I like it ” ujar pria itu dengan menjijikkan , Marry tersenyum , dengan kemenangan di wajahnya. .

“eh , dan kamu boleh keluar” ujar pria itu padanya kali ini ,

Sadar juga akhirnya kalo gue masih disini, batin Karen, ia pun melangkah keluar.

….

Karen keluar kantor dengan alasan cari fotografer baru , ia baru melangkah keluar dari lift ketika seseorang mengejutkannya

“Karen ? Karen ya ?” Karen menoleh menemukan pria berjas hitam dengan kemeja biru yg menujuk-nunjuk wajahnya

“eh.. iya siapa ?” Karen menelaah wajah itu , wajah berkacamata trendi dengan kumis tipis , kalo kumis dan kaca matanya itu di skip , dia jadi mirip

Mas Erik

“Mas Erik ? yaampun !” Karen baru histeris sendiri.

“hahah iya ini Erik, eh ngobrol di café yuk lagi free-kan ?” Erik memandang Karen yang menjinjing tasnya , ini sudah sore dan memang sudah jam pulang kerja , Karen mengangguk. Mereka berjalan dan memilih sebuah meja di café tak jauh dari tempat kerja Karen.

“Mas Erik sudah lama di jakarta ? pikirku dulu kuliah ke.. kemana tuh ?”

“Jerman”

“lah iya Jerman ” Erik terkekeh , masih menemukan Karen yang cerewet dibalik kamuflase penampilannya yg jauh dari Karen yang dulu ia kenal.

Terlihat lebih dewasa , lebih cantik , dan errr- sexy

“mbok ya nanya apa kabar dulu to Ren , biar seolah jadi kawan lama” ujar erik bercanda

“nggak , hubungan kita nggak se sederhana “apa kabar” mas ” seru Karen dengan tawa renyah di akhir kalimatnya.

“iya , kita memang sesuatu dulu” Erik menimpali

“belum lama , kira-kira dua tahunan Ren , sempet kerja disana dulu soalnya” Erik berseru kembali, suasana café di sore hari menghangatkan siapa saja, membuat obrolan terasa menyenangkan. Terlebih lagi di hadapannya ada Karen, wanita yg tidak pernah habis pesonanya.

“wah , kenapa balik ?, nggak sekalian beranak disana mas ?” pertanyaan yang tidak diduga Erik akan didapat dari Karen.

“kangen sama kamu mungkin , jadi pengen balik aja” ujar Erik menggoda , Karen menanggapinya dengan tertawa

“kamu sendiri apa kabar ? tau-tau udah jadi model begini , mateng siap buat dinikahin”

“tuntutan usia kali ya ?,” Karen terkekeh sejenak “sae-sae mawon mas , sehat, dan lumayan sibuk sih tau sendirilah dunia kerja di Jakarta gimana” ujar Karen

“Iya tau tau,”  Pelayan café datang dengan dua mug kopi pesanan mereka.

“jadi kerja apa di Jakarta sekarang mas ?” tanya Karen usai menyesap kopinya.

“ngurus bisnis keluarga ren, tuntutan anak tertua” ujar erik yg ditanggapi anggukan oleh Karen.

Erick Wicaksana masik ganteng dan menawan seperti dulu , gantengnya tidak luntur meski sudah tersiram keringat oleh teriknya matahari Jakarta, masih enak diajak ngobrol mengimbangi gaya bicara Karen yang blak-blakan,masih sama seperti saat ia kuliah dulu.

Tidak lama ponsel Erik berbunyi , pria itu mengangkatnya kemudian berbicara dengan bahasa asing.

“uh, kerjaan ga bisa di tinggal ya mas ?”

Erik mengangguk

“masih pengen ngobrol nih, banget , kopi aja masih anget” keluh Erik

“its okay , kita memang udah punya tanggung jawab masing-masing mas, nggak kayak anak kuliahan yg bisa bolos kelas seenak jidat mas “ ujar Karen , ah Karen yang dewasa ini bikin meleleh batin Erik.

“setuju , btw, line boleh ?” Tanya Erik , Karen mengangguk dan bertukar id line dengan Erik , kemudian pria itu meninggalkan café untuk kembali pada pekerjaannya.

Satu bagian dari himpunan masa yang disebut “dulu” menyapanya lagi hari ini.

Karen mengaduk kopinya, berusaha melenyapkan Erik dan “dulu-dulu” yang lain, sebelum banyak menganggu otak fokusnya, membiarkan –dulu itu- ikut terlarut kedalam black hole karyanya di tengah kopi hitam miliknya.

Tidak berapalama kemudian ia teringat muka menyebalkan kepala divisinya ia lekas memeriksa email masuk , beberapa calon fotografer baru kiriman junior copy writer-nya, Karen memilah lalu menyetujui.

Pekerjaan memang mengejar, tapi ini lebih baik dari pada dikejar masalalu.

Ya kan ?

Membalas line terakhir dari erik yang mengajaknya tenggelam ke masa kuliahnya dulu di jogja. Masa itu indah , sekaligus keras. Karen ingin menyimpan itu dalam ingatannya saja , tak ingin mengulangi pun tak lagi mungkin untuk diulangi, tulangnya kelu mengingat bagaimna cara ia harus hidup dulu , diselonjorkan kakinya ditengah malam yang tenang. Lagi-lagi bersama kopi.

 

Jogja awal 2010

Kota ini ramai , tapi tak semenyesakkan Jakarta, masih ada cukup ruang untuk bernafas. Berikan Karen waktu untuk menurunkan barangnya dari bus.

Satu buah ransel besar dan tas genggam berisi barang-barang bawaannya.  Hiruk pikuk kota mengantarnya kerumah kecil , tempat sebuah keluarga bernaung.

“budhe ?”

Tak ada jawaban.

Diulaginya panggilan itu sampai menarik minat tetangga, ditatapnya pria tua berjenggot yang hanya mengenakan sarung dan kaos dalam menatapnya dengan pandangan “oh anak Jakarta to ?”

“pak boleh saya Tanya pemilik rumah ini kemana ya ?”

“sarminah ?” orang tua itu menyebut nama budenya dengan logat jawa kental yg segera diberi anggukan oleh Karen,

“wooo lha koe sapane sarminah ?” Karen melongo tidak mengerti.

“maaf pak saya nggak bisa bahasa jawa” ujar Karen sopan.

“woo lha bocah iki mesti kenal karo sarminah !!!!!”  Karen tak mengerti , kemudian muncul sosok lain dari dalam rumah sebelah .

“ono opo to pak ?”

“iki lho ono seng golek I sarminah , lha pora edan , wah wah” kakek tua itu semakin mencak-mencak , menggegerkan tetangga

“wah dadi iki dulure karminah !???” satu tetangga lain yg mulai meyerbu Karen yg tak mengerti apa-apa

Didapatilah satu kesimpulan.

Budhenya adalah seorang penipu, dia membawa lari uang arisan, menunggak kontrakan tiga bulan.

Cukup buruk untuk satu-satunya harapan Karen di kota ini.

Uangnya hanya cukup untuk menyewa kontrakan budenya selama satu bulan , dan itupun dengan membayar tiga bulan tunggakan budhenya.

…..

 

“mbak minum kopinya harus dikurangi ya ?” …

Karen mengangguk malas, jadi ceritanya seminggu kedepan , atau entah sampai kapan ia harus puasa minum kopi.

Jadi begini ceritanya..

Setelah sore minum kopi dengan Mas Erik , kopi hitam vietnam , ia menyeduh kopi lain yang dibelinya diluar sesampainya di apartemen, kopi luak , niatnya ingin mencoba varian baru Karena belum sempat beli racikan khusus dari café Rauf, dan itu malah berakhir dengan Alena yang membawanya kerumah sakit.

Infeksi lambung.

Bukan infeksi yg menganggu Karen , tapi alena yg tidak berhenti berkomat-kamit memaki kebiasaan minum kopi ,

“iya-iya kanjeng mami , minum kopinya bakal dikurangi , btw makasih buat hari ini, iya ini udah sampe diapartemen , selamet kok , iya iya bakal istirahat” Karen menutup panggilan dari alena.

Ia istirahat ? Dalam mimpi ,

Karen kemudian menyambar kunci mobilnya , ia harus mengechek kerja fotografer itu sebelum benar-benar dipecat.

Sesampainya dikantor ia segera mendapat telepon dari Mo-Mo.

“halo , iya mo ?”

“bentar gue otw, tadi ada masalah” berpapasan dengan Marry yg memandangnya kesal.

Ia baru saja bertelepon dengan model iklannya, Amora Auf, cukup terhibur dengan wajah kesal Marry Karena Karen berhasil mendapatkan Amora Auf sedangkan ia tidak.

Ini ternyata asik.

Amora Auf mengenakan tas Prada , baru selesai pemotretan dan  datang menghampiri Karen yang sengaja menemuinya ,

“tadi udah sempet meeting sama ,  Efson Mobil tinggal esekusinya yg gue butuh elo banget, nggak ngerti” keluh Amore, melempar dirinya dengan Anggun ke sofa, menarik cukup perhatian dari orang-orang hanya dengan gerakan sederhana semacam duduk.

Terlalu cantik , meski sekedar duduk.

Wanita ini memang cantiknya tidak tertolonh, tentu saja satu dari empat orang yg spend sepuluh tahun bersama Karen , sahabatnya , wanita ini model yang terkenal , sangat. Wanita itu selain mengandalkan kecantikan dan tubuh eloknya juga memiliki pikiran yang tajam , menjadikannya professional dan nomor satu dibidangnya.

“Prada ?” Karen menyinggung tas yg dipakai Amore, yg baru diluncurkan prada , limited dan Karen bahkan baru lihat tas itu melintas di timeline instagram saat ia mengeceknya beberapa menit lalu saat menunggu Amore.

Wanita itu mengangguk

“Dimas, gue nggak minta loh , dia yang dateng minta maaf bawa prada, see siapa yg nggak leleh kalo begini” ujar Amore , yg ditanggapi gelengan oleh Karen , yah dia bisa dibilang agak suka mempermainkan para lelaki.

“eh kemana deh lo Ne , nggak biasanya mangkir rapat , udah gue lihat mukannya si ‘bangke setengah mateng ’ panic lo nggak ada” ujar Amore.

“gue bikin draft pekerjaan tapi dianggep sampah sama dia , abis ini ada meeting lagi sama Efson makannya gue kemari mau bawa lo kalo bisa” ujar Karen. Pantas , Amore pasti sudah mempengarui pria setengah matang itu sehingga tidak membakar Karen hidup-hidup, Karena telat datang , tentu saja karena kejadian ia masuk rumah sakit pagi tadi. Bisa dibilang kalau Amore ini juga merupakan pusat semestannya sendiri , bahkan kepala divisinya yg sudah jelas menyimpang bahkan tidak bisa menolak pesonannya.

“lagi ?”

“Klien besar memang banyak maunya mo” ujar Karen , Amore mengangguk paham

“udah kelihatan gelagatnya , pasti nggak bakal puas sekali jepret, bikin pegel-pegel gue akhirnya” ujar Amore meratapi nasibnya yg akan segera jadi model Efson, sebelum Karen menanggapi , asisten amore menyela memberi tahu jadwal kegiatan yang harus Amore lakukan selanjutnya.

“kayaknya lo harus ketemu Efson tanpa gue” Amore mengangkat bahunya , Karen mendengar jadwal padat Amore tadi.

“its okay , emang bagian gue ini , yaudah gue balik” ujar Karen , kemudian Amore pun segera pergi , sebelum itu ia smepat mendengar Amore memuji orang yg akan ditemuinya , “CEO hot import”, Amore kembali ke kesibukannya , beruntung wanita itu terlalu sibuk sehingga tidak sempat buka line , kalau sampai tau ia sakit wanita itu pasti sudah heboh seperti kebakaran ,apalagi mendapatinya sempat masuk rumah sakit.

Panas dingin.

Bukan Karena duduk di samping pria setengah matang-kepala divisinya- yg bisa menelannya kapan saja , tapi, tapi lebih Karena ruang dan waktu yang berkonspirasi seperti menelannya.

“Karenina Sofian” tangan itu sampai padannya setelah menyalami pria setengah matang disampingnya.

“Troy Efson” memperkenalkan diri , jelas pria setengah matang itu pasti sudah terpesona dengan suara berat milik pria ini “hot import”. Persetan dengan pria setengah matang itu , kali ini Karen tengah mempertaruhkan dirinya, pesona pria ini mendominasi.

Setelah basa-basi yang dilancarkan pria setengah matang, pembicaraan mengarah ke pihaknya mendengar keinginan dan beberapa perubahan yg diminta Efson mobil , pabrikan mobil import itu menginginkan beberapa hal penyesuaian berkenaan dengan konsep.

Asisten CEO yg lebih banyak bicara, bisa jadi “Hot CEO” itu datang meeting hanya untuk sebuah formalitas. Pekerjaannya ya jelas hanya mengawasi , sementara Karen melawan sakit perutnya dengan berdiskusi , pria setengah matang disampingnya hanya manggut-manggut mendengar diskusi Karen dengan asisten CEO, jeda sejenak , kopinya sudah hampir tandas , sudah lima belas menit memang dan Troy Efson pada akhirnya mengakhiri acara meeting.

Pria setengah matang sudah kembali kekantor sementara ia ditugasi lembur dengan menangani permintaan Efson mobil.

Pahit, baru kali ini ia minum kopi sepahit ini , sudah pasti bukan hanya lambungnya yg sakit, lidahnya pasti juga. Bagaimana kopi ini jadi menjadi sangat pahit ?, Karen diam-diam menekan perutnya, ia pasti sangat bermasalah.

Ah sakit.

Jangan pernah merasa kamu menderita sendirian , bisa jadi diluar sana ada yang juga menderita , menderita untuk sekedar mengingat namamu dalam kesendirian.

Karen melangkah gontai memasuki apartemennya , ia segera merosot , tidak sanggup berjalan lebih jauh. Rauf yang memang menunggu kepulangannya segera datang menghampiri; memeluk sahabatnya yang kelihatan sedang rapuh itu tanpa bertanya, ia memang berniat datang begitu mendengar kalau Karen masuk rumah sakit Karena salah minum kopi dari Alena, Rauf menjadi cukup merasa bersalah, ia datang dengan membawa kopi racikan cafenya untuk Karen.

Rauf tau Karen butuh kopi, tapi ia juga tau, sudah saatnya Karen berhenti minum kopi, saatnya wanita itu berhenti menjadikan kopi sebagai pengganti ketidak hadiran seseorang.

Seseorang yang Rauf bahkan tidak mengenalnya. Ia tau dari keempat dari mereka , Alena mepunyai kisah rumit dengan rahasia yg bisa dibilang cukup besar , namun Karen punya pecahan rahasia itu , dia memupuknya sendiri , menanggung itu dalam kesendirian.

Dan yang bisa dilakukan Rauf sebagai sorang teman adalah membiarkan apapun itu tetap menjadi rahasia. Dulu ataupun saat ini ia hanya bisa membantu Karen dengan kopi racikannya , tapi kini tidak lagi, ia tau kopinya sudah tidak dibutuhkan.

 

biar begini juga yg penting gue sudah berkarya.

karena karya seni, buat gue adalah sesuatu yg nggak bisa diukur keindahanya, tapi  bisa dirasakan.

menulis adalah seni, buat gue.

sebagaimana lo bisa merasakan sebuah keganjilan dalam sebuah tulisan dan lo mengomentarinya, biar si penulis bisa jadi lebih baik.

-dengan secangkir kopi, selamat malam readers PSA, vitamins unyu.

Que.