Vitamins Blog

Being His Girlfriend : Lima

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

39 votes, average: 1.00 out of 1 (39 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

*********

“Lo dapet stock film baru ya, Ji?”

Radit memerhatikan cowok disebelahnya dengan alis terangkat. Pasalnya, sejak mereka berada di dalam kelas pada mata kuliah Aljabar Geometri dan sampai ketika mereka berdua berada di dalam sekret, Aji terus saja menyunggingkan senyumnya. Senyum yang nggak jelas, menurut Radit. Karena selama ia mengenal Aji, cowok itu tidak pernah senyum-senyum sendiri seperti ini ketika melihat ponselnya.

Aji menoleh dengan kening berkerut, “Maksud lo?”

“Itu,” mata Radit tertuju pada ponsel yang dipegang Aji, “Lo dari tadi gue perhatiin senyum-senyum mulu ngeliatin hape. Bagi napa, Ji!” Radit menyeringai.

“Gila! Lo kayaknya kebanyakan nelen rumus deh, bro.” Aji menggelengkan kepalanya. Kemudian matanya beralih pada ponsel hitamnya kembali, jemarinya berlari diatas layar ponsel sesaat. Lalu, menaruh ponselnya keatas meja.

Radit tertawa terbahak. “Asli bro, tu dosen bikin kuis soalnya nggak nanggung-nanggung.” Keluh Radit. Cowok itu membayangkan bagaimana kuis yang diterima mereka pagi tadi. Mata ngantuk karena semalaman begadang menonton bola, dan harus mendapati soal berumus di pagi harinya. Perfect.

Aji tersenyum.

So?”

Aji yang sedang mengambil lensa kameranya lalu membersihkan lensa tersebut dengan gerakan pelan. “Apanya yang jadi?” Aji balik bertanya, tanpa menoleh.

“Apa yang membuat lo senyum-senyum liatin ponsel dari pagi tadi.” Terang Radit. Tangannya bergerak menekan tombol power pada laptopnya.

“Gue nggak senyum-senyum!” Jawab Aji tak terima. Sedangkan yang dilakukan Radit adalah mendengus, “Yeah, anggep aja begitu. Jadi, chat dari sersan yang mana nih?”

“Bawel amat deh lo, Dit.”

“Oke, biar gue tebak. Hm, Aurel?” Radit tetap melanjutkan. Ia bahkan tidak peduli akan tampang Aji yang sudah kesal karena cowok itu terus saja bertanya.

“Bukan lah! Bukan Aurel.”

“Oh, jadi ada calon sersan baru nih?” Radit menyeringai. “Jangan jahat lo bro sama cewek. Kualat ntar.”

Aji mendengus. Kalau yang bicara seperti barusan itu adalah teman-temannya yang lain, mungkin Aji akan percaya. Tapi, dia Radit. Seluruh dunia juga tahu track record nya cowok itu bagaimana.

“Bukan calon sersan. Tapi, udah di lantik.” Jawab Aji kalem. Tangannya masih sibuk pada lensa kameranya ketika mendengar dua suara sama yang kali ini bernada menyeru,

“Lo pacaran sama Aurel, Ji?!”

“Siapa korban lo?”

Kalimat tanya yang datang bersamaan dengan suaranya membuat Radit cepat-cepat menoleh lebih dulu kearah pintu, dan mendapati Nic dengan tergopoh-gopoh masuk sambil tetap menatap cowok disebelah Radit itu.

“Bukan Aurel, tomboy. Tapi, korban baru.” Jelasnya kemudian.

“Anjir, bukan korban woy!” Aji menggerutu.

Radit menoleh ke Aji, “Kok lo nggak cerita kalo lagi deket sama cewek lain? Tau gitu Aurel gue sikat deh.”

“Lo di sale juga Aurel nggak mau, Radit.” Nic memandang Radit dengan tatapan malas andalannya.

Merasa tak perlu repot-repot menanggapi ucapan Nic, Radit kembali bertanya, “Jadi, siapa pacar baru lo itu? Kawan bukan kita, kok lo rahasia-rahasiaan gini sih bro, macam cewek aja.”

Nic ikut bergabung, bahkan cowok itu kini telah duduk tepat di depan kedua orang itu. Sebagai supplier gossip terpercaya, Nic harus benar-benar mendengarkan gosip hot satu ini. Karena nya, cowok yang kerap kali di panggil tomboy itu sudah bersikap siap seolah akan mendengar curhatan dari aktor hollywood.

“Jennifer.”

Satu kata yang mampu membuat dua pasang mata itu saling menatap satu sama lain. Satu kata yang langsung, “What?!” Suara Nic bertambah dua oktaf ketika satu nama sahabatnya disebut. “Jennifer gue?” Tanya Nic.

Kening Aji berkerut mendengar kata terakhir cowok tomboy itu, namun tak urung mengangguk. “Jen nggak cerita sama lo?”

Seperti baru dihantam petir, Nic mendesah frustasi, “Oh my god! Jen dan si centil itu bahkan ketemu gue tadi di kelas, dan mereka nggak ada bahas soal lo. Oh, yaampun… Gue ini dianggep apaan sama mereka sih!” Nic terus mengomel sendiri. Tangannya sampai mengibas-kibas didepannya saking kesal karena bisa tidak tahu gossip sedahsyat ini.

“Gercep amat lo bro.” Radit speechless. Tidak salah jika cowok itu menempatkan Aji di puncak hirarki cassanova. See?

Lalu, matanya beralih pada Nic yang sudah berdiri dihadapan mereka, “Mau kemana lo?”

“Mau nyidang orang.” Ucap Nic tanpa menoleh. Lalu melangkahkan kakinya melenggang keluar dengan langkah cepat.

 

***

Jen, melirik sekali lagi pada dua orang yang sedang memerhatikannya tanpa mengedip, sejak sepuluh menit yang lalu itu. Pertanyaan yang meluncur dari mulut Nic mampu membuatnya tak berkutik. Gadis itu merasa kalau saat ini ia seperti sedang dalam sidang skripsi saja. Kedua pasang mata didepannya, membentuk sudut tajam yang menyipit dengan ekspresi yang juga begitu sama persis.

“Lo boleh diem sampai lo mau jawabnya kok, gue nggak ada jam setelah ini.” Kata Nic kalem.

“Gue juga.” Suara Tyas menyetujui. “Dan lo harus kasih alasan kenapa lo, Jennifer, kawan gue sejak kita belum kenal sama lipstick, nggak ada cerita apapun ke gue. Jen, gue pikir kita temenan.” Sambung Tyas dengan nada terluka untuk kalimat terakhirnya.

Jen menelan salivanya. Sebenarnya, tidak ada alasan apapun mengenai kenapa Jen tidak memberitahu Tyas maupun Nic prihal hubungannya. Tidak, lebih tepatnya, prihal apa yang terjadi antara Aji dan dirinya. Jen tidak mengiyakan perkataan Aji tempo hari dan… Baiklah, dan semua berjalan begitu saja selama empat hari ini.

Yang jelas, Jen hanya menganggap apa yang dikatakan Aji waktu itu tidak masuk akal, jadi, Jen belum mau membuka hal itu kepada dua sahabatnya. Tapi sepertinya, hari ini Jen harus menceritakan kepada kedua orang itu kalau Jen ingin bisa kembali ke kosannya. Karena, ia sangat paham bagaimana Tyas dan Nic, mereka tidak akan melepaskan seseorang kalau mereka belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.

“Gue bukannya nggak mau cerita sama kalian,” Jen mendesah. Matanya melirik secara bergantian kepada Tyas dan Nic. Lalu melanjutkan, “But, I don’t know how to explain. Gue juga bingung, ini terjadi gitu aja, guys.”

“Gitu aja gimana maksud lo, Jenny?” Nic bertanya.

“Ya gitu…” Belum sempat Jen memikirkan kelanjutan kalimatnya, suara Nic kembali menginterupsi, “Kapan dia nembak lo?”

Nembak… Jen kembali bergedik membayangkannya. Tidak pernah ada di dalam benaknya sedikitpun kalau seorang seperti Triaji Hanggara mengajaknya berkencan.

 

Oh my god.

Jen memerah.

 

“Oh, Jenny! Nggak pake merah juga kali pipi lo. Atau jangan-jangan ada kejadian lain seudah Aji nembak lo, ya?!”

“Nggak!” Sergah Jen cepat. “Dia nggak nembak gue, Nic. Aji nggak bilang kayak gitu. Aih… You know what I mean lah.”

Please deh, ini lo kelamaan jomblo atau terlalu polos sih?” Nic mendesah, “Kita udah umur duapuluh satu tahun dan lo masih mikir nembak yang gue maksud itu kayak, ‘gue cinta sama lo, lo mau nggak jadi pacar gue’?” Nic berucap dengan gaya dramatis.

Jen cemberut. “Gue nggak mikir gitu.”

“Terus, gimana dan kapan dia bilang mau pacaran sama lo?”

“Jangan bilang waktu lo reunian!” Tyas yang sejak tadi diam, langsung menyeru cepat. Ia mengamati Jen yang lagi-lagi memerah dan langsung mendesah kesal. “Lo nggak anggep gue temen lo lagi nih–Oh god! Itu udah hampir seminggu, Jenny! “

“Gue bukannya nggak mau cerita, Yas, Nic, tapi emang nggak ada yang mesti diceritain.” Jen mengeluh. “Bahkan sampai sekarangpun gue nggak tahu hubungan gue dan dia.” Kemudian, Jen menceritakan bagaimana ia dan Aji bisa terjebak dalam hubungan seperti ini.

“Yaampun, Aji tuh idaman banget sih!” Nic berkomentar saat Jen mengakhiri ceritanya. “Lo bener-bener hoki, Jenny!”

“Iya, shio lo emang bagus, Jen. Pokoknya gue iri sama lo!” Tyas menjerit tertahan. Bagi Tyas, cowok sekelas Aji itu adalah impian semua cewek-cewek. Ganteng, jago motret, sayang sama binatang dan playboy.

Jen tidak mengatakan apapun. Disamping dari ke populeran Aji, cowok itu memang baik–menurutnya–. Dan, Aji membuat Jen berfikir kalau tidak semua lelaki populer itu harus bersifat sombong seperti kebanyakan cerita di drama dan novel roman picissan.

Jen meraih ponselnya saat benda persegi itu mengeluarkan getaran. Ada satu notification line.

 

Dari, Triaji Hanggara.

Sorry ya Jen, gue nggak tau kalau lo belum cerita ke Nic. Lo nggak di apa-apain sama dia kan?

Jennifer : It’s ok, Ji. haha dia udah jinak kok jadi ga gigit._.

Triaji : Lol. Lo dimana, Jen?

Jennifer : Kantin fakultas. Kenapa?

Triaji : Oke, i’ll see you in 5 minute, baby!

 

Nic mengerutkan keningnya saat melihat Jen yang memerah sambil menatap ponselnya. Dengan gerakan impulsif, Nic langsung mengambil alih ponsel yang dipegang Jen. Kemudian tanpa permisi cowok itu membaca chat pribadi sahabatnya itu.

“Oh, jadi Aji mau kesini…” Gumam cowok itu.

“Ih, lo bahkan diapelin di jam segini, Jenny! Gue cemburu nih!” Tyas lagi-lagi mengeluarkan suara merajuk. Matanya menyipit, menatap Jen. “Lo ntar kenalin gue ya sama temen-temennya cowok lo, Jen. Biar kita bisa double date.”

Cowok lo… Jen, tidak bisa mendengar kalimat selanjutnya karena otaknya terhenti di kata yang dilontarkan oleh sahabatnya itu.

“Mana mau mereka sama anakan macan kayak lo, Tyas.” Nic berbicara.

“Berisik!”

 

***

Jen, melirik arloji dipergelangan tangan kanannya, kemudian menghela napas. Benaknya sibuk mengutuk Tyas yang meninggalkan dirinya sendirian di kampus seluas ini, sedangkan Tyas memilih untuk tidak masuk di jam kuliah sore ini.

“Kunci kosan lo dong, Jen. Gue diare nih karna makan ayam grepek hasutan si Nic deh kayaknya. Absenin gue ya, Jen.” Begitu ucapan Tyas sepuluh menit yang lalu. Kemudian, cewek itu menurunkan Jen di depan gerbang kampus, sedangkan ia melajukan brio nya menuju kosan Jen. Jen, sebenarnya ingin membolos juga, hidup di kelas tanpa sahabat kita itu seperti berada ditengah orang-orang asing. Aneh, menurut Jen. Tapi, karena Jen sudah memakai jatahnya saat terakhir pertemuan sebelum libur lebaran, jadi Jen mau tidak mau tetap harus masuk. Jen sudah berencana memakai amunisi yang kedua nanti, tiga minggu sebelum saat minggu tenang, lebih tepatnya–minggu yang ‘katanya’ tenang–yang hanya berada diangan karena harus direnggut paksa oleh jam kuliah pengganti.

“Lo sendirian aja, Tyas mana?” Satu lengan tiba-tiba saja sudah bertengger manis di bahu Jen yang membuatnya spontan menoleh.

Aji terkekeh melihat keterkejutan cewek itu, kemudian kembali berjalan dengan Jen yang berada disampingnya.

Jen langsung sadar kalau lengan itu masih setia di bahunya, kemudian ia refleks mencoba melepaskan. “Ji, banyak orang. Lepas deh.” Katanya saat Aji tidak berniat menurunkan rangkulannya.

“Temen lo kemana?” Aji mengacuhkan permintaan Jen barusan.

“Tyas lagi diare. Ji, lepas ntar mereka ngira–“

“Lo kan memang pacar gue, Jen.”

Jen menoleh serta mendongak, dan menyadari kalau jarak Aji dan dia hanya satu setengah jengkal saja. “Kita nggak pacaran. Lo nggak nembak gue.”

Ucapan Jen itu sukses membuat langkah Aji berhenti, kemudian cowok itu menoleh sambil menyeringai kearah gadis dalam rengkuhannya itu, “Jadi, lo minta gue tembak kayak anak abg gitu nih? Ok–“

“Nggak!” Cepat. Sangat cepat, Jen menyergah kalimat Aji. Membuat cowok itu tersenyum lebar.

Tangan yang sejak tadi merengkuh Jen itu perlahan melepaskan diri. Namun, kini beralih menyatukan jemari kekar itu dengan jemari hangat milik Jen. Dan menarik pemiliknya untuk berjalan mengikuti cowok itu.

 

Jen kaku saat teman-teman Aji meledek cowok itu, namun cowok itu hanya tersenyum dan mengenalkan Jen kepada teman-teman Aji yang… Baiklah, Tyas benar, anak fakultas Aji memang kebanyakan good looking.

“Hai, Jennifer!” Sapa seorang dengan riangnya. Jen mengenali cowok itu dengan nama Radit karena ia pernah bertemu dengan cowok otu sebelumnya di fakultas Jen.

“Hai” Jen tersenyum.

“Lo ngapain disini…” Ucapan Rdit menggantung diudara ketika melihat kebawah dan mendapati jemari Jen sedang digenggam oleh milik sahabatnya itu. “Oh!” Ia menyeringai.

Menyadari apa yang dilihat Radit, Jen buru-buru mencoba melepaskan genggaman Aji kepadanya. Namun lagi-lagi usahanya sia-sia karena Aji sama sekali belum berniat melepaskan jemari tangan Jen itu.

“Jarang-jarang, Jen, Aji bawa pacar kesini. Terakhir kali yang fakultas ini tu Aurel. Itupun karena mau minta data.” Jen sama sekali tidak tertarik apalagi bertanya, tetapi nampaknya teman Aji ini dengan senang hati menceritakan hal itu kepada Jen.

Membuat Jen hanya menanggapinya dengan tersenyum.

“Ralat, gue nggak pernah jadian sama Aurel.” Kata Aji.

“Nah Jen, diralat. Jadi jangan didengerin omongan gue, tadi itu cuma becanda.”

Jennifer tersenyum pada Radit karena cowok itu juga mengucapkan hal tadi dengan nada geli dan senyuman dibibirnya. Dan pada saat itu, Jen langsung sadar kalau ia sedang berada di Fakultas orang dan bukan di Fakultas Ekonomi nya. Dan lagi, Jen membelalak saat menyadari lima menit lagi mata kuliah prof. Demian dimulai. Astaga!

“Ji, gue musti ke gedung gue, prof. Demian pasti–“

Tubuh Jen ikut tertarik kedepan saat Aji dengan tiba-tiba berjalan. Diikuti oleh teman-temannya. Dan pada menit berikutnya Jen sudah mendapati dirinya ikut berada di dalam ruang kelas. Aji duduk santai disebelahnya dan genggaman tangan mereka belum juga dilepaskan oleh cowok itu.

“Aji, lo kenapa ajak gue masuk sini coba?” Jen berbisik karena suasana didalam kelas mendadak hening, berbeda dengan suasana diluar tadi.

Aji tersenyum lebar, “Daripada lo kesepian, mending lo ikut gue aja disini. Sumpah, ini dosen boring abis, Jen.”

Jen melebarkan pupil matanya, “Gue juga ada kuliah, Ji…”

“Gue kira udah selesai…” Ucapan Aji membuat Jen mendesah. Kalau Jen sudah tidak ada jam lagi, untuk apa juga ia musti repot-repot berkeliaran di dalam kampus.

“Gimana dong? Gue keluar deh ya?”

Saat Jen hendak berdiri, Aji menahan gadis itu. “Ni dosen galak banget. Bisa-bisa nama lo tercemar diseluruh kampus, Jen.” Aji memberitahu.

“Terus, kuliah gue gimana dong, Ji?” Jen mendesah.

“Lo izin aja deh. Dosen gue yang ini mulutnya suka gossip soalnya, Jen. Ntar kalau lo tiba-tiba izin keluar dan nggak balik lagi, lo bakal di introgasi dan nama lo bakal tenar di kalangan kampus karena masuk-masuk ke fakultas orang. Mana lo bukan anak fakultas ini, kan…” Terang Aji dengan santai. Matanya menatap tepat dimanik mata Jen. Ada kebingungan disana. Kemudian, Aji kembali meneruskan, “Lo sama gue aja disini. Nggak lama kok, cuma dua sks teori, ntar pas jam praktek gue anterin lo balik.”

Jen berfikir. Sebenarnya ia enggan tapi mengingat apa yang Aji tuturkan barusan, lebih baik ia merelakan amunisinya saja deh daripada ia harus berurusan dengan dosen. Dosen killer, pula. Seumur-umur Jen selalu berusaha menjadi siswi dan mahasiswi yang baik, yang taat pada peraturan dan tidak membuat guru atau dosennya kesal. Jadi, Jen mengangguk kemudian mengeluarkan note nya dari dalam tas yang langsung membuat Triaji Hanggara menyeringai senang.

 

***

6 Komentar

  1. nananafisah184 menulis:

    Bisa bangett dahh si aji :KETAWAJAHADD

  2. ew… gemes ih sma mereka….
    tapi kq aku merasa sih jen kayak di bully pacar sendiri yah :wuakakakak :wuakakakak

  3. Ajiiii love youuu :KISSYOU :KISSYOU

  4. waduh Ajiiiii…..???

  5. Sumpahhh ceritanya kok gemesin banget sihhhhh ??

  6. fitriartemisia menulis:

    gemashhhhh gemashhhh haha badboy banget ya nih Aji haha