Vitamins Blog

L U N A : 1st

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

22 votes, average: 1.00 out of 1 (22 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

“Siapa yang melakukannya?!!!” tanya ayah mereka dengan amarah membara.

Suasana ruang keluarga ini jauh dari kesan hangat seperti biasanya. Aura tegang yang mencekam terasa mendominasi setelah pengakuan anak perempuan tertua keluarga Bachtiar terungkap. Mia mengatakan jika dirinya hamil.

Mia bungkam sambil terisak hebat di atas lantai yang dingin hanya rangkulan sang adik perempuannya Luna yang sedari tadi setia menemaninya, membuatnya tetap kuat menerima segala kata-kata kasar yang dilayangkan oleh ayah mereka namun Mia tidak mengelak, ia memang pantas menerimanya.

“Kau menjadi aib keluarga ini!!!” bentak ayah mereka setengah berteriak. Wajahnya memerah menanggung emosi. “Aku membebaskanmu melakukan apapun di luar sana karena aku mempercayaimu! Tapi lihat apa yang kau lakukan sekarang?! Kau telah mengecewakan ayah dan ibumu Mia! Katakan siapa pria yang telah menghamilimu?!! Siapa pria itu?!” Kembali ayah mereka bertanya dengan nada membentak, menggelegar tegas memenuhi ruangan.

Kedua pundak Mia semakin bergetar hebat dan kepalanya tertunduk kian dalam, kemudian dengan suara kecil yang terbata-bata ia menjawab, “A-aku… ti-tidak tahu…”

Setelah Mia memberikan jawaban, keheningan mencolos beberapa saat hingga suara ayah mereka kembali terdengar, kali ini lebih tajam dan menusuk. “Kau bilang apa… tidak tahu?” Tatapan pria paruh baya itu menggelap seketika, rahangnya mengatup keras. “BAGAIMANA BISA KAU TIDAK TAHU SIAPA PRIA YANG TELAH MENGHAMILIMU!!! KITA MEMANG TIDAK BERASAL DARI KELUARGA TERPANDANG TAPI AKU MENDIDIKMU MIA!!! APA SELAMA INI KAU TELAH MENJAJAKAN TUBUHMU KEPADA BANYAK PRIA SEPERTI SEORANG…”

“Martin!” mendapati pria itu mendadak hilang keseimbangan sambil mencengkram dadanya, ibu mereka tersentak histeris sambil memegangi lengan pria itu. “Martin, kumohon cukup… ingat kondisi jantungmu sayang.” Julia berkata dengan air mata membasahi pipinya. Ia tidak mampu berpihak kepada Mia untuk saat ini. Anak yang telah menjadi kesayangan mereka, kebanggaan mereka. Mia melakukan kesalahan fatal, dan kenyataan itu tidak hanya membuat Martin yang hancur, tetapi juga dirinya.

Julia menatap terluka kepada anak perempuannya yang bersimpuh di atas lantai itu. “Masuk ke dalam kamarmu Mia. Jika waktunya sudah tepat kita akan membicarakannya lagi, renungkan kesalahanmu.”

♦ L U N A ♦

Luna duduk di tengah kasur menemani kakaknya yang juga sedang duduk dengan tatapan kosong mengarah ke jendela yang terbuka lebar, mempertontonkan langit malam dengan semilir angin yang membekukan kulit. Sedari tadi tidak ada yang berniat untuk memulai pembicaraan. Keduanya hanya sibuk dengan pemikirannya masing-masing.

Dan akhirnya hal yang sudah lama ditakutkan olehnya terjadi…

Luna sudah tahu sejak awal jika Mia, kakaknya itu terlibat dalam suatu pergaulan yang tidak sehat. Siapa yang tidak mengenal Mia Bachtiar. Termasuk ke dalam jajaran perempuan cantik dan terkenal di dalam maupun luar kampus negeri yang elit. Kakaknya hanya bergaul dengan para perempuan berstatus sosial tinggi dengan gaya hidup yang high class.

Jika mengingat ibu mereka yang hanya seorang ibu rumah tangga dan ayah mereka hanya seorang staf biasa disebuah kantor milik investor asing, Mia tidak akan sanggup jika dituntut untuk sejajar dengan teman-temannya namun sebagai gantinya Mia mancari keuntungan dengan bergonta-ganti pasangan kencan. Anggaplah seperti simbiosis mutualisme, Mia memberi apa yang para pria itu inginkan dan iapun mendapatkan apa yang ia inginkan seperti uang dan barang-barang mewah. Kasarnya, ia sama seperti pelacur, dan memang begitulah kenyataannya.

Walau terlambat, Mia mengakui dengan hati yang terdalam jika ia benar-benar sangat menyesal. Mungkin ini adalah tuaian yang harus ia terima karena sudah setiap malam ia selalu membohongi kedua orang tuanya dengan pakaian rapi dan sopan serta sebuah alasan kecil seperti mengerjakan ‘tugas kuliah’. Sementara untuk adiknya yang sudah sejak lama mengetahui kelakuan busuknya di luar sana, entah Mia harus bersyukur atau tidak, adiknya Luna adalah gadis yang benar-benar polos namun tak jarang sifat kedewasaannya juga dapat muncul suatu waktu. Terbukti karena tak jarang Luna menasehatinya tentang pergaulannya yang salah dan sayangnya… ia terlalu bebal untuk mendengar sehingga penyesalan hanya tinggal penyesalan. Sekarang ia menggandung tanpa status. Ia sudah mengecewakan kedua orang tua mereka, kuliahnya terancam dan masa depannya sudah berantakkan.

“Aku tahu jika kakak sedang menyembunyikan sesuatu.”

Mendengar suara halus adiknya, Mia tersenyum getir di tengah air mata yang sejak tadi terus membanjiri pipinya. “Kenapa berpikir begitu…” tanya Mia menerawang.

Luna terntunduk memperhatikan jari-jari tangannya. “Karena kita saudara.”

Ini waktunya untuk jujur. Mia mengangkat wajahnya seraya menghela nafasnya panjang saat akan kembali bicara. “Pria itu… adik dari seorang konglomerat. Kami terlalu mabuk malam itu, kami melakukannya tanpa pengaman disaat masa suburku. Aku… sempat khawatir, namun ketika ia memberiku sebuah cek sebagai imbalan ketakutan yang kurasakan menguap begitu saja. Uang itu sangat banyak… uang terbanyak yang pernah kudapatkan seumur hidupku, aku menerimanya namun aku tidak menyangka jika kejadian malam itu akan berujung petaka seperti ini… aku menyesal… aku sangat menyesal Luna… a-aku telah menyakiti ayah dan ibu… aku sungguh-sungguh menyesal.”

“Kenapa kakak tidak berkata jujur sejak awal?” ucapnya sedikit menuntut. Luna masih ingat betul apa jawaban yang Mia berikan saat diruang tamu tadi.

Dengan berlinang air mata Mia menoleh menatap Luna. “Ini sulit… sebelum mengatakannya pada ayah dan ibu, aku terlebih dulu menghubunginya…” Mia terdiam beberapa saat seperti menahan gejolak perasaan dan tiba-tiba ia membuang wajahnya, memutus kontak mata dengan adiknya. “Pria itu, dia menolakku.”

Seketika mulut Luna menganga tidak tidak percaya. “A-apa?! Dia tidak bisa seperti itu! Mau bagaimanapun anak yang sedang kakak kandung juga adalah anaknya! Ia harus bertanggung jawab!”

Mencari seorang pria yang sungguh-sungguh bertanggung jawab mungkin dipikirannya semudah membalikkan telapak tangan. Itu wajar, karena adiknya ini belum pernah menjalin hubungan dengan pria manapun. Pikirannya masih terlalu naif.

“Kau tidak mengerti Luna.” Mia tersenyum perih. “Mereka adalah orang terpandang. Mereka tidak akan menerima kita. Aku tidak ingin mempermalukan keluargaku lebih dari ini, mereka bukan tipikal orang berbelas kasihan. Aku bahkan ragu, mereka akan iba jika aku berlutut di hadapan mereka sekalipun.”

Peryantaan itu benar-benar membuat Luna turut merasakan kepedihan yang dialami oleh kakaknya saat ini. Hatinya seakan tersayat.

Apa serendah itukah derajat keluarga mereka? Mereka memang bukan orang terpandang namun ayahnya adalah seorang perkerja keras dan jujur, tidak pernah mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Sementara ibu mereka adalah ibu rumah tangga yang bertanggung jawab. Jika harta yang menjadi tolak ukur untuk seseorang dapat bertanggung jawab atau tidak, manusia jenis itu harus segera disadarkan dari cara berpikirnya.

“Itu bukan alasan untuk merendahkan orang lain. Manusia menginjak tanah dan memandang langit yang sama.” Luna berucap tegas sambil memandang Mia penuh keyakinan. “Jika kakak tidak berani menemui pria itu secara langsung, aku akan menemuinya sendiri dan memintanya untuk bertanggung jawab.”

♦ L U N A ♦

Malam ini juga, Luna tidak mampu menahan diri untuk mengahampiri alamat pria brengsek yang dengan susah payah ia dapatkan dari kakaknya itu. Ia bahkan tidak sempat berpamitan untuk keluar kepada orang tuanya. Luna sadar jika pukul 10 malam lewat adalah waktu yang sangat tidak tepat untuk bertamu, namun ia tidak perduli. Sama seperti tidak perdulinya ia pada pada penampilannya saat ini.

Sambil mengendarai skuter pink kesayangannya, Luna hanya menggunakan jaket putih kebesaran untuk melapisi piama tidurnya guna menghalau dinginnya udara malam serta sepasang sendal jepit untuk mengalas kakinya. Fokusnya hanya satu, yaitu bagaimana ia harus bisa segera tiba di tempat kediaman pria brengsek bernama Jackson itu.

Rupanya keluarga konglomerat dan sebagainya bukanlah isapan jempol belaka. Perumahan di komplek asing ini membuat Luna sempat terperanggah. Rumah-rumah di sini sangat besar, benar-benar besar. Tipikal gaya Eropa yang dipadu-padankan dengan gaya modern lalu disulap menjadi sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu karya yang mahal dan berkelas. Dan rasa kagum itu hanya sebentar Luna rasakan karena ketika ia mengingat kemana arah tujuannya saat ini membuatnya ingin menarik penuh pedal gas skuternya agar segera tiba di rumah nomor 34.

Dan angka tersebut sepertinya adalah urutan terakhir dari deretan rumah-rumah megah di tempat ini. Luna memarkirkan skuternya tepat di tepi pagar dan memandangi sebentar kemegahan rumah bertingkat di hadapanya itu lalu tanpa pikir panjang menghampiri ke tempat pos penjaga berada.

“Permisi, selamat malam.”

Pria berseragam itu sedikit terpanjat dari posisi santainya yang sedang menonton televisi dan ketika mendapati kehadiran seseorang ia segera bangkit sambil tersenyum ramah. “Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.

“Apa benar ini kediaman Jackson?”

Jujur saja, awalnya ia mengira gadis ini adalah seorang pengantar makanan atau barang dan sebagainya namun ketika mendengar salah satu nama tuan rumahnya itu disebut ia berubah skeptis memandangi gadis mungil itu dari balik pagar namun tetap tidak mengurangi nada kesopanannya saat bicara. “Benar, ini kediaman tuan Jackson. Anda ada keperluan apa jika boleh saya tahu?”

“Ada hal penting yang harus kubicarakan dengannya,” jawab Luna sedikit ketus.

Petugas keamanan itu tampak mengernyit lalu kembali memperhatikannya dari ujung kaki hingga kepala. “Maaf, tuan Jackson sedang tidak di rumah mungkin anda bisa kembali besok.”

Mendengar jawaban itu, tanpa sadar Luna mengatup rahangnya dengan kedua tangan terkepal kuat. “Ini penting. Aku harus bertemu dengannya. Sekarang. Malam ini juga. Jika ia tidak ada. Panggilkan siapa pun yang berhubungan dengan pria itu!” ucapnya menekan setiap kalimat.

Peraturan tetaplah peraturan. Sekali lagi petugas keamanan itu menolak keinginan Luna dan mengindahkan wajah kesalnya. “Ini bukan jam untuk bertamu, silahkan kembali lagi-”

“Pertemukan aku dengan pemilik rumah ini! Apa kau tidak mengerti kata-kataku?! Atau kau ingin aku memanjat pagar ini dan mencari sendiri ke dalam sana?!” sela Luna emosi.

“Anda tidak bisa melakukan itu nona…”

Mendapati gadis itu serius dengan segala ucapannya. Petugas keamanan itu cepat-cepat angkat bicara membuat Luna terhenti untuk berusaha memanjat pagar tinggi di hadapannya. “T-tolong hentikan nona, s-saya akan panggilkan, mohon anda menunggu di sini sebentar.”

Ia hanya tidak ingin menempatkan posisi dirinya dalam bahaya. Jika keributan sekecil apapun sampai ke telinga tuan rumahnya itu keadaan tentu saja akan bertambah buruk sehingga akhirnya dengan pertimbangan yang berat, ia terpaksa untuk menuruti permintaan perempuan asing ini.

♦ L U N A ♦

Lama sekali. Gerutunya dalam hati. Petugas keamanan itu terhitung sudah beberapa menit meninggalkannya dan sampai detik ini ia belum juga kembali sehingga Luna merasa jika dirinya sedang dipermainkan.

Habis sudah batas kesabarannya. Tidak perduli betapa tingginya pagar bergembok di hadapannya, Luna memanjat besi kokoh itu sebisanya dan ketika ia sudah memasuki ke area dalam Luna memilih untuk meloncat dari ketinggian dan ia sedikit menyesali keputusannya karena ia mendengar jelas tulang di pergelangan kaki kanannya itu berbunyi saat ia meloncat menyentuh tanah.

Tulang di pergelangan kakinya bergeser dan hal itu sama sekali tidak mengurangi keteguhan hati Luna, gadis itu tetap mantap melangkah walau dengan langkah yang tertatih sambil menahan rasa sakit. Tanpa perlu memencet bel ia langsung mengetuk pintu mahoni berukir itu keras-keras sampai seorang perempuan muda yang nampaknya adalah salah seorang pekerja di rumah tersebut datang membukakan pintu.

“Di mana pemilik rumah ini?!” tanya Luna tanpa basa-basi. Ia tahu jika tindakannya sangat tidak sopan namun ia sendiri tidak akan bertindak sampai sejauh ini jika ia tidak dipermainkan.

Pembantu rumah tangga itu nampak terkejut dengan sikap ketus yang Luna tunjukkan namun dengan cepat ia kembali menguasi diri. “Maaf nona tuan sedang tidak berada di rumah.”

Jawaban yang sama seperti sebelum-sebelumnya.

Luna menggigit bibir bagian dalamnya menahan emosi. “Kalau begitu panggilkan siapa saja di dalam sana! Aku harus bicara dan dengan begitu urusanku selesai! Aku tidak akan mengganggu lagi!”

“Sekali lagi maaf, tuan sedang tidak berada di rumah dan ini bukan jam untuk bertamu jadi tidak bisa nona.” kembali pembantu rumah tangga itu menolak tegas keinginan Luna.

Ia sudah sampai sejauh ini dan ia tidak akan membuat pengorbanannya berakhir dengan sia-sia!

“Baiklah, kau yang memaksaku!” Dengan tubuh mungilnya Luna berusaha menerobos masuk ke dalam rumah mewah itu melewati perempuan yang juga tak kalah berusaha keras menghalanginya.

“Anda tidak boleh masuk seenaknya!”

“Aku tidak perduli! Lepaskan aku!”

“Tidak bisa! Anda tidak boleh masuk!”

“Ada apa ini!” suara berat itu kental akan dominasi membuat keduanya sontak terdiam kaku karena terkejut.

Pembantu rumah tangga itu bergerak cepat melepaskan pegangannya dari Luna dan langsung membungkuk hormat kepada sosok tersebut. “M-maaf tuan. Nona ini berusaha m-masuk ke dalam. Saya berusaha untuk menahannya tapi i-ia tetap berisikeras,” jelasnya takut.

Luna masih mendongkak diam menatap pria berperawakan tinggi itu. Suaranya yang berat dan dalam membuatnya langsung merasakan teror tanpa alasan yang jelas, bahkan walau dengan penampilan yang sangat berantakkan, kemeja biru dongker yang 3 kancing atasnya sudah terbuka, celana kain hitam yang kusut, pria ini semakin terlihat berbahaya dan harus dijauhi.

Pria itu mengalihkan tatapan tajamnya kepada Luna dengan penuh penghakiman yang tidak dibuat-buat. “Siapa kau? Membuat keributan di rumah orang lain pada malam hari, apa kau tidak tahu sopan santun?”

Tanpa sadar Luna melan salivanya berat, seakan ada sebuah batu yang menyumbat kerongkongannya. Jika tatapan seseorang bisa membunuh mungkin ia sudah mati sekarang.

Tapi tunggu… kenapa ia harus merasa takut?! Seharusnya ia yang menuntut dan marah di sini!

“Apa kau yang bernama Jackson?!” tanya Luna ketus seakan-akan rasa takutnya menguap.

Pria itu diam menatap Luna kemudian ia tampak memperhatikannya lekat dari ujung kaki hingga kepala yang mana hal tersebut membuat Luna merasa sedang dilecehkan.

“Kau benar-benar pria brengsek seperti dugaanku rupanya.”

Alis hitam pria itu tertaut miring mendengar penghinaan yang diterimanya namun jelas ia memiliki kontrol yang baik dengan memilih diam menunggu gadis itu berbicara lebih banyak kepadanya.

“Kakakku hamil dan kau menolak untuk bertanggung jawab! Apa kau tidak punya hati?! Kakakku sedang mengadung anakmu! Jangan mentang-mentang karena kau kaya kau jadi bertingkah seenaknya! Aku menuntutmu untuk bertanggung jawab dan menikahi kakakku segera!” ucapnya sengit.

Dengan santai pria bermanik gelap itupun akhirnya menanggapi, “Kau yakin jika kakakmu sedang hamil?”

Siapapun bisa memahinya, bahwa kalimat itu sama sekali bukan jenis kalimat tanya namun jelas-jelas itu adalah kalimat penuh celaan. Secara tidak langsung pria ini ingin mengatakan jika apa yang semua ia ucapkan tadi hanyalah… kebohongan…?

Mulut Luna terperangah tidak habis pikir menatap pria itu. “Kau pikir aku… berbohong…? Aku sampai melakukan hal nekat dan bodoh semacam ini… kau pikir aku bohong…? Kalian orang kaya benar-benar keterlaluan! Kalian semua sama saja!”

“Kalian orang miskin bahkan hanya bisa menipu demi mendapatkan keuntungan. Aku sudah melihat banyak yang sepertimu sebelumnya, mereka datang untuk memohon sebuah pertanggung jawaban dan bedanya kau mengemis rasa kasihan untuk kakakmu kali ini.” Seakan tidak perduli dengan ledakan emosi yang dialami oleh gadis itu ia bersuara tanpa perasaan.

Tak pikir panjang, Luna lansung mencengram kuat kerah kemeja pria di hadapannya itu dengan kedua tangannya dan menariknya mendekat. Ia tidak perduli ketika hidungnya dan pria itu bahkan nyaris bersentuhan sekalipun.

“Kau adalah manusia paling sombong dan keparat yang pernah kutemui!” sembur Luna merasa sangat direndahkan.

Setelah menerima makian itu, masih tidak ada ekspresi yang berarti terlukis di wajah rupawan pria tersebut. Ia tidak terpengaruh karena baginya makian gadis ini hanya seperti angin lalu. Ia bahkan masih terlihat dengan santai membalas tatapan sengit itu kemudian matanya melirik sejenak ke arah tangan kecil berkulit pucat yang nampak bergetar memegangi kerah kemejanya membuat ia menarik sudut bibirnya samar. “Panggil Jackson kemari,” ucapnya datar tanpa mengalihkan tatapan dari Luna.

Sebagai saksi ketegangan yang terjadi di antara keduanya, pembantu rumah tangga itu tersentak kaget luar biasa ketika sadar kalimat perintah itu ditujukan kepadanya. “T-tapi tuan Gara… t-tuan Jackson sedang berada di kamar bersama-“

“Aku tidak perduli. Katakan padanya aku memberinya waktu 1 menit untuk turun ke bawah,” potongnya tajam tak terbantahkan.

Luna mengerjab lambat. Siapa tadi… Gara? Pria ini… bernama Gara? Bukan Jackson? Jadi ia sudah memaki-maki orang yang salah?

Entah sejak kapan, saat tersadar Luna sudah menerima tatapan tajam dari pria itu dari jarak dekat hingga membuatnya sedikit kaget dan cepat-cepat ia melepaskan cekalan tangannya dari kemeja itu dan mundur beberapa langkah. Luna berdehem singkat karena rasa gugup namun dalam hati ia mencoba membenarkan diri atas tindakkannya yang sudah memaki-maki pria ini karena ia sendiri sudah dihina dan direndahkan, jadi tindakkannya wajar-wajar saja bukan? Ia tak perlu meminta maaf.

Luna terlalu larut dengan pemikirannya sendiri sehingga tanpa ia sadari jika ada sepasang mata terus memperhatikannya dengan lekat. Sejak tadi mengamati gadis itu… Gara dapat menyimpulkan jika gadis di bawah umur ini seorang yang jujur walau ia masih duduk dibangku sekolah. Mengapa ia bisa tahu? Baginya tidak perlu menjadi pintar, penampilan serta wajah polos dan kekanak-kanakan itu sudah cukup menjelaskan semuanya. Terlintas dibenaknya… jika ia membutuhkan sosok yang seperti ini.

“Mengganggu saja. Ada apa sebe-” Pria dengan piyama sutera hitam itupun mengernyit seraya menggantung ucapannya. “Siapa dia?” tanyanya sambil menatap bingung sosok berponi yang tengah memandang marah ke arahnya.

“Tanyakan sendiri padanya.” Gara berucap datar. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menyenderkan tubuhnya pada sisi pintu, bersiap mengamati tontonan di hadapannya. Ia menjadi sedikit penasaran, hal apa lagi yang akan dilakukan oleh gadis ini.

“Jadi kau yang bernama Jackson?!” Yakin jika ia tidak akan salah, Luna langsung mengutarakan kemarahannya. “Kakakku Mia, aku yakin kau mengenalnya! Ia hamil mengandung anak darimu! Aku datang kemari untuk menuntutmu bertanggung jawab!”

“Oh, sebentar, sebentar kau terlalu to the point, pelan-pelan saja gadis kecil. Jadi, biarkan aku mengingatnya.” Jackson memberikan aba-aba dengan kedua tangannya agar gadis ini lebih bersabar. Ia hampir saja mencapai puncak bersama kekasih barunya itu jika saja ia tidak diganggu dan kegagalan itu membuat otaknya sedikit kacau sekarang. Mia… Mia… ya… ia masih mengingatnya karena memang baru beberapa hari yang lalu perempuan itu menghubungi ponselnya dan mengatakan jika ia sedang hamil. Jadi gadis ini adalah adiknya?  Ia memperhatikan sosok mungil bersurai panjang di hadapannya itu. Penampilan, wajah, semuanya… sangat bertolak belakang.

Jackson membuang nafasnya singkat. “Baiklah langsung saja. Aku akan menjelaskannya padamu dengan mudah agar kau paham. Kakakmu menjual ‘jasanya’ padaku dan aku ‘membayarnya’. Ketika ia menderita kerugian itu adalah resiko dari pekerjaannya. Jadi kenapa harus menuntut pertanggung jawaban dariku yang bahkan sudah berbaik hati untuk membayarnya? Lagi pula… aku ragu anak yang dikandung oleh kakakmu itu adalah anakku karena bukan hanya aku seorang yang sudah memakainya,” jelasnya panjang lebar sambil menatap sosok tersebut.

Kakaknya sudah dipakai oleh banyak pria. Kata terakhir yang pria itu ucapkan membuat hatinya berdenyut ngilu namun ia tidak mampu menepisnya karena itu memang benar adanya. Sekuat tenaga Luna menjaga nada bicaranya agar tetap terdengar normal. “Jika anak itu lahir… ia akan lahir tanpa ayah. Ia akan jadi bahan cemoohan orang banyak. Kau… apa kau tidak merasa iba sedikitpun…?”

Kembali Jackson terdengar mengehela nafasnya panjang. “Tadi sudah kukatakan padamu, itu resiko yang harus ia tanggung ketika memilih perkerjaan seperti itu. Jika tidak mengingikannya, buang saja, gampang bukan…”

Sebuah tamparan mendarat mulus pada permukaan kulit pria tampan itu. Membuat keheningan tercipta beberapa saat.

“Tidak punya perasaan!” Luna memandang Jackson dengan tatapan sengit sementara tangan yang ia gunakan untuk menampar wajah pria itu terkepal sangat kuat, nyaris bergetar. “Aku berubah pikiran sekarang! Kupikir jika anak itu lahir ia bahkan akan lebih sangat menderita karena memiliki ayah pengecut dan brengsek sepertimu!” geramnya seraya berbalik pergi begitu saja meninggalkan tempat tersebut dengan mata berkaca-kaca menahan tangisan.

Selepas kepergian perempuan itu, Jackson mengusap permukaan pipinya yang terasa panas seperti tersengat. “Astaga tamparannya cukup lumayan…” keluhnya. Ia tidak menyangka jika gadis itu berani memukulnya walau ini bukan yang pertama kali wajahnya dipukul oleh perempuan namun untuk ukuran tubuh yang kecil seperti itu, tamparan gadis itu cukup lumayan. Jackson spontan melemparkan tatapannya kepada sosok yang masih setia berdiri di sebelahnya itu. Menyadari ada yang tidak beres dengan tatapan Gara, Jackson bertanya waspada, “Kenapa kakak menatapnya seperti itu?”

Tidak ada jawaban. Gara hanya tersenyum miring kemudian ia berbalik pergi masuk ke dalam rumah meninggalkan Jackson yang tiba-tiba merasakan adanya firasat buruk. Ia mengenal sosok itu dengan baik. Gara tidak pernah ingin tahu dan tidak pernah tertarik kepada hal apapun di dunia ini, kecuali kepada perusahaan yang dimilikinya. Melihat arti tatapan pria itu barusan, ia tahu jika mulai dari detik ini kehidupan gadis itu tidak akan pernah sama lagi.

 

♦ L U N A ♦

Testing, daripada jadi sampah difolder.

 

9 Komentar

  1. Hai
    Tambahin kata [ratings] dibagian atas postingan mu yaaa

    1. ??? tadi tulisan ratingsnya salah tpt

    2. Sip udah bisa ya

  2. bagus bagus :tebarbunga :tebarbunga :tebarbunga

  3. farahzamani5 menulis:

    Sbntr sbntr, bukanny emang drtd udah ada tulisan ratings ya, aq dah vote cerita ini dri siang soalny hehe

  4. farahzamani5 menulis:

    Nahhh loh, kok jdi khawatir sma nasib Luna yak klo kyk gni mah, gegara sikap kk ny, dia bakal ‘susah’ nnt berurusan sma Jackson dan klrgany
    Huhu kasian Luna nya
    Ditunggu part selanjutny
    Semangat trs yak
    Aihhhh masukin aja semua sampah folder ny kesini, keren loh ini ceritany

  5. Cukup kasian sama Mia, tapi ya itu akibatnya menyesal kemudian emng gak ada artinya. Gara rada2 tertarik nih sama Luna..jngn sampe nasib Luna jadi tragis gara2 skrng jadi sasaranya Gara.
    Ditunggu kelanjutannya

  6. mardilestari menulis:

    Ceritanya bagus, konfliknya jelas dan yang pasti DITUNGGU LANJUTANNYA YAAAAAAA
    Jangan lama update lanjutannya, keburu lupa jalan ceritanya nanti

  7. fitriartemisia menulis:

    whoaaaaaa, bagus nih part 1 nya xoxo
    konfliknya lumayan berat yoo, cupcupcup Luna tipe-tipe anak sekolahan yg masih naif dan baik banget yaa hehe
    :YUHUIII