Vitamins Blog

Sepasang Sepatu Usang

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Hari ini kau pulang dengan wajah kusut. Rambutmu lepek, wajahmu kusam, dan tubuhmu berbau matahari. Sama sekali tidak menarik untuk ukuran gadis tujuh belas tahun. Seragam putih abu-abu melekat pas di tubuh cekingmu, terdapat noda kuning pada bagian depan rokmu; bekas gorengan yang tak sengaja dijatuhkan temanmu saat di kantin. Meski begitu kau tidak ingin ambil pusing atas perlakuan temanmu. Lagi, di dalam hati kau berpikir, “Ini tidak sengaja.” Maka kau pun akan segera melupakan hal buruk yang terjadi di sekolah, menganggap segalanya akan berubah menjadi lebih baik.

Selalu seperti itu.

 

Kau berpikir bahwa dunia ini diisi oleh manusia-manusia aneh. Mereka mengenakan topeng, bermacam topeng. Sementara dirimu … kau pun memiliki bermacam topeng yang akan engkau pakai sesuai suasana hatimu. Jika hari ini langit dipenuhi dengan gumpalan awan kelabu, maka engkau akan meletakkan topeng berwarna putih agar hatimu yang layu tak tampak di depan kawan-kawan sekelasmu yang mulai berguncing perihal dunia. Namun sebaliknya, ketika tiada satu pun manusia di sekitarmu, kau akan melepas aneka topeng yang berlapis di wajah itu. Kau akan meletakkanku di sudut ruangan, membiarkanku duduk di sana sembari mengamati wajah tirusmu yang kini dipenuhi dengan air mata.

 

Hari ini kau menangis, lagi. Aku tahu sejatinya dirimu. Meskipun kau berlagak kuat di depan bocah-bocah itu, akan tetapi jauh di sudut hatimu kau pun merasa kesepian. Kau rindu kata-kata pelipur, kau ingin dipahami, kau ingin merasakan cinta monyet, dan kau ingin berada di tempat berbeda … sebuah tempat di mana kau bisa menjadi dirimu yang sejatinya.

 

Tapi tidak. Kau tidak bisa melakukan itu.

 

Ada setumpuk buku pelajaran yang harus kaupahami. Ada seember cucian yang harus segera engkau bereskan. Ada berderet tugas yang harus engkau kerjakan. Aku tahu itu. Aku sangat memahamimu.

 

Oh gadis kecilku, dirimu terlalu rapuh untuk memahami konsep sebuah dunia. Jingganya langit di kala malam akan tiba pun tak seindah bayangmu. Kau berpikir dunia ini akan menerima segala duka dan lara yang menumpuk di pojok hatimu. Gadis kecilku, aku tak akan berdusta padamu. Dunia ini lebih rumit dari yang terlihat di luar. Ada lebih banyak hal yang harus diperjuangkan daripada sekedar dibayangkan; dipendam, dilupakan, dihilangkan karena engkau pikir ini hanyalah sebatas angan semu.

 

Tapi biarlah, aku akan setia memperhatikanmu di sudut kecil ruang kamarmu. Menunggu … hingga esok membawamu padaku.

 

***

 

Hari ini tak ada bedanya dengan hari kemarin. Pulang sekolah kau langsung menuju kamar dan meninggalkanku di sudut kecil itu, lagi.

 

Tidak. Aku tak akan marah padamu. Sebab aku tak bisa membencimu. Aku tak bisa membencimu karena aku tahu apa pun yang engkau sembunyikan dari sekian juta mata yang memandang rendah padamu.

Seperti saat ini. Aku tahu tak seorang pun yang bertanya mengenai sekolahmu. Mereka juga tak akan menanyakan suasana hatimu. Bapakmu duduk berselonjor sambil menikmati sepuntung rokok. Tak peduli pada simpang siur berita tembakau yang terpampang di televisi. Angin panas berembus, menambah masam aroma udara yang membaur dengan nikotin. Biasanya bapakmu akan meminta secangkir kopi yang akan dinikmatinya hingga sore tiba. Lalu kau hanya akan menatap garis-garis halus yang mulai muncul di kening dan pelipis bapakmu, mengira dalam hati bahwa beberapa tahun ke depan kau pun akan mendapatkan garis-garis yang sama di wajahmu.

 

Oh gadisku, saat itu, saat kerutan mulai merayapi wajahmu, itu masih sangat lama. Dan aku tidak ingin membayangkan hal semacam itu padamu. Setidaknya untuk saat ini.

Ibumu? Ah, tentu saja aku tahu. Aku tahu apa yang beliau lakukan saat ini. Ibumu, wanita dengan dahi lebar dan mata merah. Kau selalu bisa mencium aroma bawang dan asam yang menguar dari tubuhnya. “Aroma dapur,” katamu. Berkutat dengan panci, ia bahkan tak menyapamu. Meski begitu kau yakin, sangat yakin bahwa beliau pun mencintaimu, putri semata wayangnya.

 

Melirik ke meja makan, kau bisa melihat sepiring nasi dan lauk daun singkong rebus. Kau tidak ingin melahap santapan itu karena tak menggugah selera. Awalnya kau berpikir, “Air putih bisa menjadi pengganjal perut.” Tapi hal yang kau lakukan adalah menarik kursi, duduk, dan mulai berdoa. Kau tahu nasi dan daun singkong itu sama sekali tak menarik hati. Ayam goreng, sayur asam, dan kerupuk, kau ingin menikmati santap siang dengan menu semacam itu. Kau sangat ingin makan ayam goreng, sayur asam, dan kerupuk. Oh gadisku, kau tak menyuarakan keinginan hatimu, hanya diam dan terus menyuapkan makanan itu hingga tandas tak tersisa. Engkau tahu, Tuhan mengasihi umat-Nya yang bersedia menghargai rahmat-Nya. Sebagai anak yang dibesarkan dengan hal yang baik, kau mulai berpikir bahwa meski sekolah kadang tak terlalu menyenangkan, akan tetapi kau tahu Tuhan tak pernah meninggalkanmu. Kau tahu itu. Tuhan masih memberimu kesempatan untuk bernapas, mengecap udara, merasakan hangatnya matahari di kulitmu, dan berbagai kesempatan hidup lainnya.

 

Kau tahu bahwa Tuhan memperhatikanmu dari balik selimut awan yang menggantung di langit sana. Tuhan tak pernah ingkar janji, maka kau pun tak akan mengomel perihal makanan yang ala kadarnya.

Gadis kecilku, aku sungguh bangga padamu. Kau tak pernah meminta hal yang tak mampu diberikan orangtuamu. Kau gadis yang baik.

 

Pernah, suatu hari salah seorang kawanmu menghinaku. Ia mencelaku, berkata bahwa aku terlalu usang, tak sedap dipandang. Tapi apa yang engkau lakukan membuatku diam tak berkutik. Harusnya aku menangis karena ucapan kasar yang mereka tujukan padaku. Harusnya aku berteriak marah ketika mereka dengan teganya menyepelekanku, merendahkanku. Namun apa yang engkau lakukan membuatku terenyuh.

 

Kau tersenyum dan berkata, “Tidak, itu tidak benar.”

 

Mereka, kawan-kawanmu, masih saja menghinaku. Tapi sekali lagi, kau tersenyum dan bertutur lembut. Kau berkata bahwa keberadaanku membuat dirimu nyaman. Aku adalah salah satu penyebab mengapa kau terhindar dari luka dan rasa sakit.

 

Oh, andai kau tahu, kata-katamu itu bagai angin di musim semi; sejuk, menenteramkan hati yang gundah, dan membuatku sadar bahwa aku pun tidak terlalu buruk.

 

***

 

Malam ini aku melihatmu sibuk berkutat dengan berbagai macam tugas yang sekolah berikan padamu. Duduk di atas kursi reyot, kau pun mulai menulis catatan penting dan merangkumnya dalam sebuah buku cokelat. Sesekali kau menepuk udara ketika mendengar bunyi dengung serangga pengganggu.

 

Aku? Seperti biasa, aku duduk di sudut kamarmu, memperhatikanmu dari jauh tanpa pernah bermaksud menarik simpati darimu. Terkadang aku bisa mendengar percakapan laba-laba yang mulai saling pamer perihal rumah siapa yang paling indah. Beberapa cecak mulai berdecak kesal saat tak satu ekor pun nyamuk yang berhasil mereka tangkap. Lampu neon bersinar redup dan membuatku merasakan kantuk.

 

Sunyi. Tiada suara lagu pop yang mengisi ruang kamarmu. Ranjang bunga yang kusam itu pun dipenuhi dengan lembaran kertas ulangan. Ah, aku tahu, kau akan segera menghadapi ujian sekolah. Inilah saatnya bagimu untuk melakukan pembuktian. Di saat orang-orang mulai memandang rendah padamu; mencibir sepeda kuno yang engkau kendarai setiap harinya, mencerca tas butut yang selama ini selalu bertengger di pundakmu, dan pada mereka yang hanya menilai seseorang dari penampilan luar saja.

 

Kau ingin membuktikan bahwa hal semacam itu bukanlah tolok ukur dalam menilai seseorang. Kau ingin membuktikan pada mereka bahwa kau memiliki hal yang ingin diperjuangkan. “Ini bukan mimpi,” katamu. “Ini adalah harapan.”

 

Ya, aku percaya padamu.

 

Aku percaya pada harapan yang membawamu pada kebaikan.

 

Aku percaya pada impian yang selama ini engkau agungkan.

 

Aku percaya pada tiap kebaikan yang engkau coba tanamkan di setiap kehidupan.

 

Aku percaya pada Tuhan yang selalu menyertai langkahmu.

 

Aku percaya….

 

Aku percaya….

 

Kau akan membuktikan pada mereka bahwa impian itu nyata. Oh gadisku, saat hari itu, saat di mana mimpimu terwujud, aku ingin menjadi yang pertama mengucapkan selamat padamu.

 

***

 

Aku tak pernah menyangka bahwa gadis kecilku akan menjelma menjadi sesosok wanita rupawan dengan kasih yang mengayomi wajah ayunya. Ya, gadisku telah berubah. Ia berubah menjadi sosok yang rupawan dan berperangai halus.

 

Sama seperti sebelumnya. Aku … di sini … memperhatikan si gadis dari satu sudut ruang. Kali ini ia tak lagi mengenakan baju lusuh, tiada lagi hal menyedihkan yang menaungi jalannya. Ia telah berhasil membuktikan kepada manusia-manusia kerdil itu bahwa harapan itu ada dan nyata.

 

Dan aku … tersenyum melihat kebahagiaan yang kini Tuhan limpahkan padanya. Aku tahu ia tak akan pernah meninggalkan umat-Nya. Ia selalu menyertai manusia yang percaya pada harapan dan bersedia memperjuangkannya.

 

Aku percaya itu.

 

Gadisku, ia bahkan tak melupakanku. Meskipun hari-hari berat itu telah berlalu, ia masih menyimpanku di sudut kamarnya.

 

Aku … sepatu hitam usang yang selalu dihina kawan-kawan si gadis. Akulah sepatu yang selalu menyertai setiap langkah yang diambil si gadis di masa silam. Akulah saksi hidup perjuangan gadis itu. Dan akulah … kenangan yang tidak akan lekang di makan zaman.

 

Setidaknya, untuk gadis kecilku.

 

7 Komentar

  1. Bagus puisinya, tp panjang beuttt ya :MAWARR

  2. Suka puisinyaa

  3. aishelatsilla menulis:

    :tepuk2tangan :tepuk2tangan :tepuk2tangan

  4. QisthiZain08 menulis:

    :tepuk2tangan :tepuk2tangan :tepuk2tangan Suka bangeett

  5. fitriartemisia menulis:

    whoaaaaaa, jadi ini sudut pandang sepatunya yaa, keren :tepuk2tangan

  6. farahzamani5 menulis:

    Huaaaa kok sedih ya bca ini
    Aq jdi mikir jngn2 barang mati bsa mikir kyk gtu gubrakkk haha *pemikiran apa ini
    Selalu suka sma kta2 dikau ka hehe
    Semangat trs ya

  7. syj_maomao menulis:

    Keren kak dirimu menggambarkan sudut pandang si sepatu itu :YUHUIII
    ahh aku udah metik pelajaran hidup dalam cerita ini, aku suka kak pesan tersiratnya~~ semangat~!!