Vitamins Blog

Catatan Patah Hati

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

19 votes, average: 1.00 out of 1 (19 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Setiap manusia setidaknya memiliki satu sosok penting di dalam hidupnya. Semua orang … kecuali aku.

 

Aku pernah jatuh hati pada seorang bocah, dan karenanya aku merasa bahagia. Sayang, pada saat itu aku masih terlalu hijau untuk mengenal cinta. Maka karenanya ketika perasaanku tak berbalas, aku merasa sakit dan hancur. Aku tak siap menerima realitas dan menganggap kekecewaan sebagai ilusi—tidak nyata.

 

Hingga aku pun perlahan-lahan belajar untuk melepaskan dan merelakan dia yang bukan untukku. Aku kalah dan mereka menang, tak ada lagi yang bisa aku perbuat—semua sudah jelas.

 

Tahun berganti dan aku masih saja menyimpan sosok yang aku kasihi di dalam hati. Aku tidak bisa melupakannya, tapi yang terjadi sebenarnya hanyalah ilusi. Aku tak akan pernah ada di dalam benaknya, jiwanya, bahkan hatinya. Seberapa keras aku berusaha menunjukkan perasaanku padanya, dia yang aku cintai tidak akan pernah melihatku sebagaimana kasihku melihatnya. Aku memberikannya ketulusan dan pengertian, sementara darinya aku mendapatkan kekecewaan dan rasa sakit. Aku tahu, semua tahu, bahkan Tuhan pun tahu bahwa dia tidak akan pernah memberikan sesuatu yang aku inginkan. Di dalam hati dia yang aku cintai telah tertulis nama seorang perempuan, bukan sekedar perempuan biasa, dialah sahabatku.

Ada baiknya aku membagi sedikit pahit yang aku dapat ketika mencicip sepotong cinta.

 

Tidak, jangan pernah berpikir aku tengah mendengki karena dia tak memilihku. Bukan, bukan itu. Aku hanya ingin menunjukkan rasa cinta yang tak berbalas ini agar setiap perempuan tahu bahwa cinta yang pahit itu adalah obat termanjur dalam menolong seseorang menghadapi hidup.

 

Percayalah, karena aku telah mengalaminya.

 

***

 

Hal yang membuatku bahagia adalah aroma basah di pagi hari kala aku berangkat ke sekolah. Sembari mengayuh sepeda, aku mulai memperhatikan jalanan yang mulai ramai oleh sepeda motor dan kendaraan umum. Entah mengapa, memperhatikan wajah para manusia itu selalu menarik, aku menyukai setiap ekspresi yang mereka miliki. Semisal wajah pak tua yang menunggu dagangannya laku, wajah wanita gendut penjual sayuran yang tampak dipenuhi dengan kilatan semangat, atau wajah malas pemuda penunggu toko kelontong. Aneh, tapi menyenangkan … maksudku memperhatikan wajah-wajah itu selalu membuatku bersemangat.

 

Gadis SMA, masa-masa di mana segala hal dipenuhi romansa dan persahabatan. Masa di mana mereka menemukan cinta pertama dan mengenangnya di hari tua. Aku taka da bedanya dengan gadis-gadis di masa itu, melakukan hal menyenangkan bersama sahabat, membaca novel percintaan yang berakhir bahagia, lalu berharap suatu saat aku menemukan pangeran berkuda putihku sendiri.

 

Pikiran sederhana, impian indah, dan harapan yang mulai bertunas pun tumbuh di dalam hati mudaku.

 

Mencintai, dari cinta kita mendapatkan energi untuk melakukan segala hal. Dari cinta pula kita belajar untuk mengasihi dan menyayangi satu sama lain. Dan dari cintalah kita merasa sakit dan terabaikan.

 

Aku merasakannya, semua itu, aku merasakannya di masa mudaku.

 

Aku yang naif berpikir bahwa semua cinta akan berakhir bahagia, tidak peduli siapa pun yang mengalami hal tersebut. Kenyataanya cinta tak pernah semudah itu, atau mungkin, memang cinta tak pernah sebaik itu.

 

Setidaknya untukku.

 

Ada seorang bocah SMA bernama Ito. Pada saat itu aku begitu mabuk kepayang akan sosok bernama Ito tersebut. Segala hal yang mungkin bisa membuat Ito tertarik padaku, aku melakukan berbagai macam hal dari yang wajar hingga yang tidak bisa diterima oleh nalar. Pada saat itu aku hanya berpikir cara agar dia tertarik padaku, agar dia melihatku.

Nyatanya, hal itu tidak pernah terjadi.

Di suatu malam aku melihat Ito bergandeng tangan bersama seorang gadis yang aku harap tidak pernah jumpai. Kirana, sahabatku, gadis cantik yang selalu menjadi pusat perhatian orang sekampung itu kini berdiri di samping Ito yang aku kasihi. Mereka bersama, tersenyum, dan terlihat begitu bahagia.

 

Langit malam yang kini dibalut awan mendung pun mulai menitihkan air mata. Aku sedih, aku sakit, dan aku tak tahu cara menyampaikan kata-kata yang hingga masa dewasaku tak pernah tersampaikan. Butiran dingin yang membasuh tubuhku pun tak mampu membawa pergi rasa kehilangan yang kini menekan dadaku.

 

Harusnya aku tahu, harusnya aku mawas diri bahwa ketika kita mulai mencintai seseorang, maka kita harus bersiap akan kemungkinan kekecewaan sebesar rasa cinta yang kita miliki.

 

Entahlah, mungkin memang dia tak akan pernah melihatku, sampai kapan pun!

 

***

 

Selayaknya pengecut, aku pun lari dan tak berani memperlihatkan rasa perih yang mengiris hatiku. Tiada bedanya perasaan itu tersampaikan olehku atau orang lain, dia tak akan pernah melihatku dan memang seharusnya sebagai orang luar, aku harus segera menyingkir dari jalan cinta milik Ito dan Kirana. Tapi iblis di dalam hatiku berkata, “Mengapa harus kau seorang yang menanggung pedih, sementara mereka tertawa di atas penderitaanmu?” Aku pun merasa takdir tak seharusnya berjalan seperti ini, aku pun pantas mendapatkan kesempatan yang serupa dengan Kirana. Aku ingin bahagia. Aku ingin dicintai.

 

Aku katakan pada Kirana, “Aku pun menyukai pemuda yang kini menjadi bagian dari hidupmu.”

 

Kirana diam. Tak berkata apa pun.

 

“Aku telah lama memendam rasa padanya, namun aku tak berani melangkah sedikit pun. Aku tak berani mendekatinya,” ungkapku jujur. “Aku hanya ingin mengatakan ini padamu, sahabatku, aku tak mungkin menyimpan perasaan ini lebih lama lagi. Aku bisa gila, hatiku sakit acapkali aku melihatnya bersamamu.”

 

Kirana masih diam. Aku hanya bisa melihat riak yang mulai mengeruh di dalam dua bola mata Kirana.

 

“Aku tak akan mengatakan apa pun pada Ito,” lanjutku. “Aku tahu batasan diriku. Aku sadar siapa diriku. Kau boleh berkata bahwa aku ini kejam dan tak punya hati. Terserah, aku akan menerima segala caci dan hinaan yang akan kau lontarkan. Aku rela.”

 

Kirana, dia tidak menampakkan raut siap mencaci atau mencerca. Kirana, dia berdiri di depanku, bibirnya terkatup, lalu setetes air mata pun mengalir. “Maafkan aku,” katanya dengan suara bergetar. “Maafkan aku yang tak peka ini. Maafkan aku.”

 

Dingin. Aku pendosa yang tak tahu malu. Demi inikah aku ingin memisahkan Ito dan Kirana? Demi rasa cintaku? Demi kebahagiaanku? Demi keegoisanku? Tuhan, aku telah melakukan kesalahan, tapi aku pun ingin bahagia. Tak bolehkan aku mencoba mendapatkan cinta yang sama? Tak bolehkah aku mendapatkan perhatiaan yang sama?

Aku telah menuang racun di dalam persahabatan. Akulah Lilith yang merayu Hawa agar memakan apel terlarang milik Eden. Akulah setan yang menyebabkan kejatuhan Adam. Akulah derita yang menyebabkan Ito dan Kirana terpisah. Pada akhirnya tak satu pun dari kami yang bahagia.

 

Dari Ito aku mendapatkan kebencian yang hingga kini mungkin tak akan pernah surut. Tak peduli seberapa keras aku menunjukkan rasa cinta yang aku miliki, dia tak pernah sudi menyentuh kasih yang aku tuang dalam sutra cinta. Bagi Ito, Kirana adalah tulang rusuk yang diambil Tuhan dan darinya tercipta sesosok wanita yang akan menemaninya hingga aja memisahkan. Kirana, bukan aku. Aku tak akan pernah menjadi bagian dari Ito. Tidak akan pernah….

 

Sementara Ito memberiku tantrum, maka Kirana memberiku pengampunan dengan cara menjauhi Ito. Demi aku yang menyedihkan ini, Kirana memilih meninggalkan belahan jiwa yang mungkin tidak akan pernah ia temukan di mana pun juga.

 

Segalanya berubah menjadi terlalu menyakitkan untuk ditanggung oleh kami bertiga. Tak bisa menjauh, tapi tak bisa pula mendekat. Kami terluka dan tak satu pun dari kami yang mendapatkan pelipur.

 

Telah terjadi … tak satu pun yang bisa mengobati kami-kami yang terluka ini.

 

***

 

Aku telah kehilangan dan tak akan pernah mendapatkan pengampunan atas jelaga yang aku tuangkan di taman kebahagiaan milik Ito dan Kirana. Waktu berjalan dan berganti, namun waktu tak pernah mampu menyembukan luka yang ada di hatiku. Cinta telah pergi dari genggaman tanganku dan kasih pun tidak akan pernah kembali lagi padaku. Aku kalah dan kesepianpun menjadi satu-satunya hal yang menemaniku.

 

Hari-hari yang aku lewati terasa bagai cermin yang terus memantulkan segala dosa yang telah aku lakukan. Tapi inilah yang terjadi dan aku harus belajar memaafkan diriku sendiri sebelum aku mampu menatap wajah kedua manusia yang telah aku pisahkan. Tapi sungguh, aku tidak pernah memiliki niatan semacam itu. Andai pun aku diberi kesempatan, aku ingin mengucap maaf dan berharap kalian berdua kembali dipeesatukan oleh sang dewa cinta.

 

Dari mereka aku belajar, mencintai tak akan pernah membawa kebahagiaan jika dilandasi dengan dengki dan iri hati.

 

Inilah ungkapan permintaan maafku. Semoga saja, kalian berdua memaafkan si bodoh ini.

 

Maafkan aku….

 

10 Komentar

  1. farahzamani5 menulis:

    Cinta tak harus memiliki
    Kompleks bngt klo sikon ny dah kyk gtu
    Sakittt ni sakitttt ehh hihi

  2. Sakit ketika yg dicinta memilih sahabat, dan hati tetap memilih tdk menerima :PATAHHATI

  3. aishelatsilla menulis:

    :PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI

  4. :ngambeknih :ngambeknih :PATAHHATI

  5. :TERHARUBIRU :TERHARUBIRU :TERHARUBIRU

  6. :PATAHHATI :PATAHHATI

  7. Lenajoey1003 menulis:

    :TERHARUBIRU :PEDIHH :owlbersedih :beruraiairmata :wowkerensekali

  8. fitriartemisia menulis:

    sakitttt hiks :PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI

  9. :PATAHHATI :PATAHHATI :PATAHHATI

  10. syj_maomao menulis:

    Betul itu, pengalaman menyakitkan kita bisa menjadi penolong untuk orang lain >_<
    Pas digambarin sosok anak SMA yang suka baca novel dan seterusnya, aku merasa membayangkan diriku kak hihihi…
    Ketika cinta tak rela untuk melepaskan, hanya ada penyesalan diakhir :PATAHHATI