Vitamins Blog

EVE

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Hari ini, tepat tiga tahun semenjak perpisahan kita, dan aku masih tak mampu melupakanmu; caramu tertawa, binar di kedua matamu saat mengucapkan hal-hal yang aku anggap konyol, mimpi-mimpimu yang tak mampu kucerna, seluruh hal mengenaimu … segala yang kaupercayai itu hanyalah kemunafikan. Tidak nyata. Dan aku, orang yang selalu berada di sampingmu, orang yang selalu mendengarkan setiap decak anganmu. Oh, itu semua hanyalah senyum palsu yang sengaja kutampilkan di depanmu. Agar kau bahagia, senang melihat kebohongan yang aku tampilkan secara apik. Walau sebenarnya jauh di dalam hatiku, aku tak pernah satu kali pun mempercayai dongeng yang kau senandungkan secara apik.

 

Setangkai mawar putih yang kini kuletakkan tepat di atas nisanmu. Aku berdiri di bawah langit yang tampak seolah akan runtuh. Angin bertiup pelan, menggoyang rerumputan. Entah, aku tak tahu waktu yang berlalu-terjatuh di sela-sela jemariku. Andai kau ada di sini, mungkin aku akan memohon sekali lagi agar Tuhan membiarkan bibir mungilmu mengoceh mengenai dunia yang lebih baik. Sebuah tempat di mana kita semua bisa bernapas, menggapai setiap mimpi bagaikan gelembung-gelembung sabun, dan kita tak lagi melihat orang lain sebagai mahluk asing.

 

Aku ingin percaya.

 

Aku ingin mempercayainya.

 

Mimpimu.

 

Harapanmu.

 

Dan segala hal yang membuatmu terlihat bersinar.

 

“Tommy,” katamu suatu hari. “Apakah kau mencintaiku?”

 

Pada saat itu aku hanya diam membatu, menatap ke dua manik indahmu. Kau tanya, mengapa aku mencintaimu? Dan aku pun menjawab, “Ya.”

 

Kau hanya tersenyum, tapi aku tahu, jawabanku tak memuaskanmu.

 

Aku tidak tahu pada keinginanku sendiri. Kau dan duniamu yang kosong itu, sementara aku berkubang pada realitas. Kau bermimpi menggapai bulan nun jauh di sana, lalu aku berusaha mempertahankan dirimu agar tak terbang jauh meninggalkanku seorang diri.

 

Aku tak ingin menjadi cangkang kosong tanpa jiwa dan pikiran, maka dari itu aku belajar menjadi diam dan patuh pada aliran hidup di sekitarku. Apa pun yang orangtuaku ucapkan, meskipun itu hal terkonyol sekalipun, aku akan mengangguk dan patuh. Aku tak peduli pada dagelan yang dipertontonkan manusia-manusia itu. Hal yang ingin aku pertahankan dan miliki hanyalah kau.

 

Hanya engkau seorang.

 

Aku tahu, ada sepasang sayap tak kasatmata yang tumbuh di atas punggungmu. Kau sering tergoda untuk menyeberangi dunia yang bertolak belakang dengan arus.

 

“Tommy, aku ingin hidup.”

 

Tidakkah selama ini kau bernapas-menghirup udara dan mencecap asin dan manisnya dunia? Atau, itu hanyalah sekeping keinginanmu saat selang infus terpasang di tubuhmu?

Dulu kau menari di atas panggung, memamerkan setiap lekuk tubuhmu, membiarkan gamelan membimbing langkah kakimu, dan menghipnotis setiap orang yang menonton lakonmu. Kadang kau berkisah mengenai perempuan yang ingin melawan raksasa, terbang ke nirwana, lalu menetap di suatu pulau eksotis. Kini kau tak lagi menjadi Dupradi yang memperjuangkan haknya, kau bukan lagi si gagah Srikandi, kau … bukan lagi tokoh-tokoh yang selama ini kautarikan.

 

Panggung telah berganti ruangan putih dengan aroma obat. Gelang-gelang emas yang biasa melingkar di lenganmu telah mewujud selang infus. Tak ada lagi topeng wayang, yang ada hanyalah masker oksigen. Kau terbaring di atas ranjang. Aku hanya bisa mematung di samping ranjang-memandang dirimu yang lelap.

 

Kau tak akan bangun.

 

Aku berusaha menjagamu dari sosok-sosok suci yang ingin menjemputmu. Setiap malam aku berdiri di depan altar suci; memohon dan mengiba agar Dia tak mengambilmu dari sisiku. Siang terasa asing kala kau tak lagi menemaniku, sementara malam amatlah menyiksa. Aku ingin menyentuhmu dan berkata bahwa semua yang kauceritakan itu benar adanya. Aku tak akan berpura-pura tertarik padahal sesungguhnya aku sama sekali tak mengerti satu cerita pun yang kaubicarakan.

 

Tolong, jangan tinggalkan aku.

 

Di sini terlalu sepi. Manusia yang ada di sekitarku hanyalah cangkang kopong; tak berisi dan tak memiliki jiwa. Hanya dirimulah yang memiliki pancaran ilahi. Kau lilin yang menerangi jalanku. Kau bintang yang membimbing rohku.

 

Aku meraih tanganmu dan berbisik lirih di telingamu, “Bangunlah. Bangunlah Eve-ku tercinta.”

 

Masih saja kau terlelap dalam mimpi yang tak berujung. Rona merah yang biasa menghias pipimu pun telah memudar, sementara kehangatan yang dulu aku rasakan darimu kian meredup. Aku mengecup buku-buku jarimu, berharap kau bisa merasakan kerinduanku.

 

“Eve, bangunlah.”

 

Selalu kesunyianlah yang membalas salamku.

 

Apakah Dia ingin mengambilmu dariku. Jika Dia memang menginginkanmu, maka aku pun ingin ikut serta bersamamu. Tak mungkin burung bisa bertahan hanya dengan satu sayapnya. Aku tak bisa hidup di dunia ini tanpa dirimu di sampingku.

 

Tidak akan pernah bisa.

 

“Tommy, aku selalu ada di sisimu.”

 

Bohong.

 

Dusta.

 

Lihatlah aku! Berdiri di tengah kumpulan orang yang tertidur di bawah tanah.

 

Aku sendirian.

 

Kesepian.

 

Tahukah kau, Eve? Bagaimana caraku menghabiskan malam? Minuman keras itu mungkin mampu menghilangkan kewarasanku untuk beberapa waktu, namun ketika aku kembali terjaga, rasa sakit pun kembali menyergapku.

 

Kau tak ada di sini.

 

Kau tak lagi menggandeng tanganku.

 

Dan sadarlah aku bahwa selama ini kau hanyalah bagian dari mimpi-mimpi indahku.

 

Sebuah mimpi yang terlalu indah untuk jadi nyata.

 

Air mata … aku tak lagi meraung dan menyalahkan takdir. Ragaku terlalu lelah hanya sekedar untuk mengiakan kekalahanku.

 

Eve, dunia bukanlah tempat yang ramah.

 

Aku mencoba berdamai dengan diriku yang lain. Diriku yang selalu menyalahkan semesta. Lalu, aku tiba pada sebuah kesadaran.

 

Suatu saat kau akan menjemputku.

 

Angin kembali bertiup dan aku bisa merasakan kedinginan yang tak tertahankan.

 

Sekali lagi, aku berdiri di depan nisanmu. Tak ada satu emosi pun yang terlintas di wajahku. Bahkan hati pun mulai beku karena keberadaanmu … kenihilan ini tak tertahankan; menyiksa setiap sel tubuhku dengan keinginan yang mendamba. Aku berjuang. Aku tak ingin jatuh terlalu dalam.

 

“Tommy, bertahanlah.”

 

Ah, kau pasti akan berkata seperti itu.

Bertahanlah.

 

Eve, aku ingin melihatmu menari di atas pentas. Aku rindu melihat gemulai tanganmu yang seolah memetik senar sihir. Lalu, gamelan dan gending Jawa yang menjadi rohmu. Segala hal mengenaimu, aku tak ingin melupakannya.

 

Kau adalah bagian dari jiwaku.

 

Kau adalah….

 

Segalanya bagiku.

 

Satu hari berrlalu, dan kau tak menjawab panggilanku.

 

Kali ini aku berbalik dan melangkah pergi meninggalkanmu terlelap.

 

Hanya ada setangkai mawar putih dan janji-janji yang tak pernah terpenuhi.

 

Hanya ada kenangan yang menyesaki jiwaku.

 

Aku melangkah gontai meninggalkan pemakaman. Sejenak aku mendongak, menatap horison biru di atas sana.

 

Ya, mungkin kau tengah menari bersama dewa dan dewi penghuni kayangan.

 

8 Komentar

  1. Aaa meweeek :PATAHHATI

  2. Oh my this is beautiful
    Indah banget kisahnya walaupun sedihhh
    Eve, semoga kau tenang dan tommy semoga kau bertahan
    Keren tulisannyaaaaa… Makasih sudah apdet :PATAHHATI

  3. Kereenn :tepuk2tangan :MAWARR :YUHUIII
    Sediih menyayat hati

  4. Sediii :PATAHHATI :PATAHHATI

  5. aishelatsilla menulis:

    :GERAAH :nangisgulinggulingan :nangisgulinggulingan

  6. fitriartemisia menulis:

    Eve :PATAHHATI :PATAHHATI
    baper akunyaaa

  7. farahzamani5 menulis:

    Ka galuh mah jagony ihhh bikin yg galau2
    Sakittt ni bca nya ka sakitttttttt huhuhu
    Mau yg so sweet dongs, jngn yg galau2 terus ka huhu

  8. syj_maomao menulis:

    Walau aku kurang ngerti ini separuh puisi atau separuh cerita, tapi keseluruhan buat aku merasakan setiap kata yang dikau tulis kak. Duhh walau hanya sepenggal puisi dan cerita, tapi sukses bikin nyut-nyutan eyy…