Vitamins Blog

Tir Na Nog ~Act 3

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

26 votes, average: 1.00 out of 1 (26 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Matahari mulai meredup. Langit kini tersaput warna jingga, tampak arsiran hitam di kaki langit disertai titik gugus bintang. Lou melangkah; pelan, tanpa tujuan, dan tak ada banyak hal yang bisa diharapkan. Desanya telah dimusnahkan bala tentara Ratu Amber. Lou tahu, tak ada lagi yang bisa ia harapkan. Ratu Amber pasti memerintahkan serdadu merah untuk menjarah; mengambil anak-anak untuk dijadikan budak, wanita berparas cantik akan berakhir sebagai pelacur, sementara yang lain … mungkin akan dibakar beserta bangunan. Tak boleh ada yang tersisa. Ciri khas Ratu Amber.

Vegetasi di sekitar Lou terlihat muram, atau mungkin ini dikarenakan suasana hati Lou yang murung. Pohon-pohon cedar, oak, dan waru hitam tumbuh tak beraturan; sebagian tinggi menjulang hingga menyela cahaya langit, bagai raksasa purba penghuni alam raya—garang, kokoh, tak terelakkan. Selimut lumut merayapi akar dan kulit pepohonan. Semak beri liar menyebar di sekitar pohon dedalu. Lou tak mengucap syukur kala melihat warisan semesta tersebut. Benak terlalu gelap untuk berpikir lurus. Lou tak memiliki banyak pilihan yang tersisa. Satu hal yang ia harus lakukan hanyalah bertahan hidup.

Bertahan hidup selama mungkin….

Sebelum napas terhenti.

Lou mungkin akan berakhir sendirian—sama seperti sebelumnya. Ia tak mengerti cara menunjukkan rasa sesak yang ada di dada. Kalaupun ia ingin menangis, tampaknya air mata tak akan mengalir. Ia sudah lama mengeringkan air mata untuk penolakan warga desa. Entah penolakan tersebut akibat identitas ibunya, atau mungkin manusia memang terlahir untuk saling menyangkal keberadaan manusia yang lain. Bila memang benar semacam itu pola pikir manusia, Luma pasti sangat menyesal menciptakan mahluk berakal buas sejenis manusia.

Berhenti. Lou menatap segaris sinar sore yang lolos di antara rerimbunan daun. Lou mulai berandai, jika saja sinar tersebut merupakan jalan menuju suaka, sebuah dunia di mana ia bisa diterima dan hidup sebagai manusia. Sebuah dunia yang hanya tercipta dalam benak manusia dan mungkin hanya akan dianggap sebagai sebuah ideologi semu. Di setiap tempat, setiap manusia mencoba menemukan surga, namun tempat itu sesungguhnya tidaklah nyata. Begitulah pendapat Lou mengenai surga dan dunia.

Tak ada kenangan yang bisa dibanggakan seorang Lou Yenlui. Ibunya mantan pekerja di sebuah bar kumuh. Safia Yenlui, wanita korban pemerkosaan. Lou tak tahu, begundal mana yang bertanggung jawab sebagai ayah kandungnya. Safia tak terlalu banyak bicara. Wanita itu menutup rapat masa lalu suram tersebut. Lou sudah terbiasa diabaikan, bahkan oleh Safia sendiri. Masih jelas dalam bayangan Lou; bocah kumal yang patuh dengan segala aturan hidup Safia. Jangan lakukan itu, maka Lou akan menjauhi larangan Safia. Lakukan ini, maka Lou tanpa bertanya akan melaksanakan perintah Safia. Hingga di suatu malam musim dingin, tubuh Sofia tak mampu menoleransi cuaca. Kala itu keluarga Lou terlalu miskin untuk pergi ke tabib. Lagi pula, tabib hanya menerima pasien dari kalangan berpunya. Yang terjadi, terjadilah. Safia meninggal. Hubungan di antara Safia dan Lou terhenti.

Lou belajar menutup rapat semua emosi dan membuang empati pada sekitar. Anak-anak tak ingin bermain dengan Lou kecil. Bocah itu bahkan mendapatkan perlakuan kasar dari orang dewasa karena mereka menganggap Lou sebagai aib. Lou pada awalnya tak sanggup menerima penolakan tersebut, bocah itu terlalu bodoh untuk menerjemahkan penyakit manusia yang mulai merayapinya kala itu. Penyakit yang menyebabkan seseorang menjadi antisosial. Sakit semacam itu tak bisa disembuhkan. Tak ada obat yang bisa menghilangkan penyakit kemanusiaan.

“Kau hanya bisa mengandalkan dirimu sendiri,” kata seorang pengemis yang pernah dijumpai Lou sewaktu kecil.

Maka Lou tak lagi bergantung pada belas kasih manusia. Ia belajar menghidupi dirinya sendiri. Berburu, mencari kayu di hutan, dan segala hal yang bisa membuat Lou tetap bernapas—ia melakukannya.

Air mata. Ya, Lou tak pernah menangisi kemalangannya.

Kini matahari terbenam secara sempurna. Bintang-gemintang tersebar di langit. Lou mendongak, menatap kumpulan kristal yang berbinar terang. Satu bintang melintas, Lou mengamati berkas-berkas cahaya yang ditinggalkan bintang tersebut.

Begitu halus dan apik lukisan semesta yang membentang luas. Kontras dengan Lou yang terisolir … terlupakan.

Perhatian Lou teralih saat ia mendengar suara genderang dan suling. Samar-samar Lou mengenali beberapa alat musik yang tengah dimainkan. Tak ada perasaan curiga, Lou mengikuti sumber suara yang kini mulai membimbing langkahnya. Dari dalam hutan, Lou bisa melihat api obor dan kumpulan mahluk rupawan yang menari di sekitar api unggun. Mahluk-mahluk tersebut terlihat elok. Mereka mengenakan pakaian indah. Tak hanya itu, penampilan mereka bagai peri yang sering dikisahkan dalam berbagai dongeng; rambut seindah lembayung senja, tanduk-tanduk yang mencuat di kepala mereka, pakaian yang tak mungkin sanggup digambarkan manusia. Dengan segala keindahan tersebut, Lou pun tersihir—terseret ke dalam perjamuan.

Musik terhenti. Para mahluk rupawan menatap sosok asing yang ada di antara mereka.

“Siapa kau?” tanya salah satu dari mereka yang bertanduk rusa. Pria tersebut tampak gagah dengan pakaian kulit. Rambut hitamnya terurai indah hingga pundak. “Kenapa kau memasuki wilayah kaum bertanduk?”

Lou menatap satu per satu kaum bertanduk.

“Ya.” Kali ini seorang wanita pirang. Tanduknya bagai cabang pepohonan. Di setiap keliman gaun putihnya, Lou bisa melihat lonceng dan pernik indah di sana. “Manusia tak boleh ada di sini.”

Diam. Lou tak berani menjawab.

Jauh di dalam hati, Lou pun tak tahu alasan mengapa ia tertarik masuk ke dalam perkumpulan tersebut.

Khalayak mulai merasa terusik. Mereka tak menyukai kedatangan anak manusia di tengah-tengah mereka. Gumaman dan bisikan mulai menggema. Beberapa di antara mereka ingin menghukum Lou atas kelancangannya, sebagian berkata agar membakar Lou supaya keberadaan mereka tak terendus mahluk lain. Lalu, di antara bising, keluarlah sosok agung yang dituakan oleh kaum bertanduk.

Pria itu memiliki ketampanan yang begitu rupawan. Rambut pirangnya menjuntai indah. Sepasang tanduk rusa emas menyembul di kepalanya. Pria itu memiliki sepasang mata biru yang begitu memikat. Di tangan kanannya tergenggam tongkat dengan safir menghias kepala tongkat. “Daroir,” katanya. “Raja bertanduk dari Hutan Suci.”

Meski tak mengerti, Lou memutuskan untuk membalas, “Lou Yenlui, manusia, tak berpengharapan.”

Kaum bertanduk yang lain menunduk, menunggu perintah Daroir, sang pemimpin.

“Apa yang dilakukan anak manusia tak berpengharapan di dalam hutanku?” tanya Daroir. “Bukankah kalian telah mendapatkan hasil alam yang melimpah? Atau kalian ingin menjarah alam raya?”

Lou menggeleng. “Desaku diserang,” katanya, lirih. “Ratu Amber membumihanguskan kampungku. Aku lari dan….” Lou mengedikkan bahu. “Sampailah aku di sini.”

“Ratumu bersimbah darah.”

“Dia bukan ratuku,” tepis Lou.

“Dan kau pun bersimbah darah.”

Diam. Lou tak mengerti maksud ucapan Daroir.

“Aku sudah melihatnya,” ujar Daroir, “jauh sebelum dirimu terlahir dalam wujud fana. Kau mungkin tak mengingat petaka yang kaubawa pada kami sebab jauh di dalam dirimu, mahluk tersebut masih hidup. Ia ingin dibebaskan. Ratu Amber, wanita itu mungkin satu-satunya jalan untuk menebus dosamu.”

Kerumunan mulai mendecih, samar-samar mereka mulai bergumam dalam bahasa purba yang tak dimengerti Lou.

“Aku tak mengerti maksud ucapanmu.”

“Aku ingin sekali menyebut namamu,” kata Daroir. “Nama lamamu, namun aku tak berani mengusik mahluk buas yang satu itu. Dulu kau hancurkan separuh negeri ini, membakar hutan, mengeringkan mata air, dan kaum bertanduk harus hidup sengsara karenamu. Kini, atas restu penguasa hidup, kau kembali ke tanah kelahiranmu.”

“Aku tidak mengerti.”

“Kaum kami menjaga telur yang ditinggalkan indukmu. Kami menjauhkanmu dari badai, melindungimu dari terik, dan pada akhrinya kau tumbuh menjadi mahluk yang beringas. Lou, kau tak mengingat kami karena fisikmu yang sekarang tidak mengizinkan. Kau dihukum. Kau harus menjalani suratan takdirmu. Ratu merah berkuasa dan kau yang harus membayar derita lama atas kebengisanmu.”

Cahaya memudar, satu per satu mahluk bertanduk meninggalkan Lou.

“Tunggu!” panggil Lou. “Aku tidak mengerti!”

Lenyap. Tak ada lagi suara musik. Tak ada gegap gempita.

Hanya ada keheningan.

“Lou,” kata suara selirih desir angin, “bayarlah uang darah yang kautumpahkan.”

 

***

 

Ratu Amber berdiri di depan perapian kamarnya. Ia mengenakan gaun tidur yang terbuat dari sutra. Hitam, warna yang selalu membuanya terlihat sedikit jahat. Oh, ia memang jahat hingga ke tulang.

Suara kayu yang dilahap api mengisi kesunyian di dalam ruangan tersebut. Benak Ratu Amber dipenuhi rencana penaklukkan. Ia tak peduli pada tangis istri yang kehilangan suami, ataupun anak-anak yang meneriakkan nama ibu mereka. Ratu Amber lebih mencemaskan kilasan maut yang membayang di kepalanya.

Ratu Amber berhasil mengalahkan penyakit fana. Wanita itu pun telah menemukan cara memperpanjang usia dan menjaga kemudaannya. Namun, itu tidak berarti Ratu Amber tidak bisa dilenyapkan. Sebilah pedang pun bisa menghentikan degub jantung sang ratu. Satu tikaman, selesai.

Susah payah ia mendapatkan keagungan ini, dan sekarang … Ratu Amber merasa kepayahan mengalahkan kecemasannya.

 

Ratu memakan jantung raven.

Ia mendapatkan kesaktian.

Lalu, ratu mendapatkan kunjungan dari iblis malam.

Mahluk itu menawarkan segelas kegelapan.

Ratu meneguk cairan hitam yang diberikan iblis.

Iblis tertawa.

Ratu tersenyum bengis.

Satu perawan untuk setiap pembayaran.

Ratu menjelma maut.

Ia berkuasa di atas kumpulan lelaki.

Ratu Merah….

 

Menghela napas, Ratu Amber teringat potongan lagu yang disenandungkan badut istana. Ia tak menghukum badut tersebut. Pria berpakaian aneh dengan topi yang dipenuhi lonceng. Badut tersebut cukup menghibur, Ratu Amber tak terlalu ambil pusing dengan kelakar yang diujarkan badut gila itu.

Gila? Sebagian orang menatap jijik pada penampakan badut tersebut. Wajah si badut dihias bedak putih dan gincu semerah darah. Kadang ia menari-nari dan mendencingkan lonceng-lonceng yang ada di topi dan bajunya. Ratu Amber menganggap badut itu sebagai anekdot.

“Bukankah sebagian dari kita tak lebih waras dari si badut?” kata Ratu Amber suatu hari.

Dan ya, memang sebagian dari kita tak lebih waras dari badut.

 

4 Komentar

  1. Vote dulu ya hehe

  2. farahzamani5 menulis:

    Ahhhh kaka, kerennnn ceritany
    Bingung aq komen ny gmn haha
    Pas bca tau2 dah tbc aja dah
    Udah mulai bsa ngeraba2 nih, Lou kasian bngt ya idup ny huhu, akankah dia yg harus nanggung perbuatan isyura dimasa lampau
    Wahhhh kykny ceritany bakal bgni bakal bgtu dah, edisi sok tau hihi
    Ditunggu kelanjutanny
    Semangat ka

  3. fitriartemisia menulis:

    hmmm Ratu Amber masih bisa mati

  4. syj_maomao menulis:

    Aihhh makin lama makin deg-deg-degan nihh :LARIDEMIHIDUP
    Aku makin penasaran langkah Lou selanjutnya apa ketika dia ingat dulu dia itu Isyura. Perang dengan Ratu Amber kah??