Vitamins Blog

Cause I’m (not) Fine at All – Chapter 9

Bookmark
Please login to bookmark Close
12 votes, average: 1.00 out of 1 (12 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Chapter 9 – Need Help

Malam itu Rani sedang berada di ruang tengah rumahnya, menyibukkan waktu luangnya menonton tv, sekedar melihat-lihat berita yang sedang terjadi di Tanah air. Setelah sekiranya puas menyaksikan berita dari tanah air, Rani mengubah channel tv-nya ke kartun kesukaannya Spongebob. Namun, belum lama ia menyaksikan kartun favoritnya, layar itu telah berganti menjadi serial drama india.

“Ibu,” Keluh Rani, berusaha menarik kembali remote tv dari genggaman tangan Ibunya.

“Jangan ganggu ibu nonton tv,” Jawab Ibunya mulai sibuk menyaksikan drama india itu.

“Hmm…” dengan terpaksa Rani ikut menonton drama itu. Sebenarnya ia ingin meninggalkan ruangan itu dan berlalu ke kamarnya, namun ia tidak tahu ingin melakukan apa.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan menampilkan kakak perempuannya.

“Ayah belum pulang, bu?” tanya kakak perempuan Rani. Mengambil duduk di samping Rani.

Ibu menggeleng, matanya masih memfokuskan kepada layar segi empat di depannya. “Jam sepuluh kata Ayah.”

Sebuah ketukkan pintu membuat mereka menoleh, namun belum sempat menanyakan siapa. Mereka sudah mengetahui dari suara laki-laki di luar sana.

Rani pun bangkit dari duduknya dan membuka pintu, lalu kembali ke tempat duduknya.

Kakak perempuannya sudah tidak ada lagi, perempuan itu sudah kembali lagi ke kamar.

“Minta uang, bu.” Suara itu mendekati Rani dan Ibunya.

Rani tahu siapa yang datang, laki-laki itu adalah kakaknya. Ia ingin pergi dari ruangan itu tapi entah mengapa tubuhnya begitu sulit untuk bangkit dan ingin tetap berada di posisi itu.

“Buat apa?”

“Aku kena tilang polisi.”

Pernyataan itu membuat Rani berdecak keras, Rani sempat berujar kasar bahwa kakaknya itu tengah berbohong dengan mengatas namakan kena tilang. Rani sudah hapal akan segala macam kebohongan yang saudaranya itu ucapkan. Setiap kali laki-laki itu pulang ada saja alasan yang dilontarkan agar mendapatkan uang dari orang tuanya.

“Ngomong apaan lo. Lo itu masih kecil nggak usah ikut campur.”

Bahkan Rani sudah sering mendengar kata-kata itu setiap kali ia akan menyuarakan suaranya walau hanya sekedar umpatan kasar.

Rani tidak tahu lagi bagaimana caranya mengubah pola pikir saudaranya itu. Rasanya ia ingin marah saja, saat melihat wajah saudaranya itu ada di dekatnya.

Sejak kecil ia diperlakukan seperti itu oleh kakaknya hingga kini ia mulai beranjak remaja hal itu pun tidak pernah berubah. Rasanya seperti trauma, namun masih bisa ditahan. Entahlah, sampai kapan pertahanannya itu akan bertahan, mengingat sudah sering ia mengalah dan terus bertahan.

Dengan amarah di dalam dirinya, Rani bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam kamar. Sesak di dada rasanya setiap kali ia terus melakukan hal ini. Menghindar dari keributan. Ia tidak tahu sampai kapan sesak ini akan berlangsung, jika laki-laki itu tidak berubah.

Mungkin sampai gue mati.

***

“Sisi, buatin gue mozaik. Gue nggak bisa.”

Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, sebelumnya Kintan sudah pamit pulang duluan kepada Rani karena Papanya sudah menunggu di depan gerbang. Dan kini Rani menghampiri kelas IPS5 untuk bertemu dengan sahabatnya yang lain.

“Yey, gue udah.” Sambar Wulan datang dari balik Sisi.

“Tumben lo nggak bisa soal edit mengedit, biasanya jago,” Ujar Sisi. “Eh, emang kelas kalian belum selesai, ini udah selesai UN, loh, Ran.”

Rani mencibir sebal ke arah Wulan, lalu kembali kepada Sisi. “Nggak tau, deh. Gue bingung sama photoshop. Sebenernya juga hari ini terakhir kumpul. Tapi karena banyak anak kelas belum selesai jadi besok terakhir.”

“Bingung apa nggak bisa? Mau gue buatin nggak?” sahut Wulan dari tempat duduknya.

“Nggak. Entar lo banyak maunya,” ucap Rani ke arah Wulan yang disambut sahabatnya itu juluran lidah jahil.

“Ya udah. Mau dibuatin di mana?” tanya Sisi.

“Di rumah lo.”

**

Setelah mengerjakan tugasnya di rumah Sisi, Rani segera pamit pulang. Setibanya di jalan raya, Rani menepi dan menunggu bus jurusan ke arah rumahnya lewat. Rani sesekali melirik jam tangannya, hari sudah sore. Bahkan jalanan di depannya sudah ramai dilalui kendaraan. Ia pun sempat mengurungkan niatan untuk naik saat melihat bus jurusan arah rumahnya yang penuh dengan orang.

Di atas sana pula langit sudah berubah menjadi gelap, menandakan hujan akan segera turun. Pandangan Rani pun menyisir ke sekitar, mencari tempat untuk berteduh. Di belakangnya terdapat mini market dan dengan langkah cepat ia berlari ke sana, mengingat rintikkan hujan mulai berjatuhan.

Saat ia tengah berlari, suara ponselnya terdengar. Setelah berada di tempat teduh, Rani pun mengangkat panggilan di ponselnya.

“Halo?” suaranya sedikit keras, agar orang diseberang sana mendengar suaranya yang tertutupi oleh suara hujan.

“Ran, lo dimana?”

“Hah? Nggak denger? Ini siapa?” suara Rani keras.

“Yeh, dia nanya balik. Sisi. Lo ke hujanan ya?”

“Ah, iya, Si. Gue lagi berteduh di depan mini market. Belum naik bus.”

Rani mengamati beberapa pengendara sepeda motor meminggirkan kendaraannya di mini market ini juga.

“Lo nggak pa-pa? Apa mau gue jemput, teduhan di rumah gue aja dulu,” Tawar Sisi.

“Nggak usah. Gue nggak pa-pa, ini juga rame kok. Thanks ya, Si.”

“Ok, kalau gitu. Kabarin gue kalau udah nyampe.”

“Sip.”

Rani mengakhiri sambungan telpon dari Sisi. Kini pandangannya sibuk mengamati sekitarnya seraya menunggu hujan berhenti.

Ada beberapa pengendara motor yang berteduh sejenak hanya untuk memasang jas hujan, lalu kembali lagi menjalankan laju sepeda motor mereka menembus derasnya air hujan.

Rani tidak sendiri yang memakai seragam sekolah, di samping kirinya tak jauh terdapat beberapa siswa-siswi SMP juga tengah berteduh. Bahkan di samping kanannya terdapat anak SD bersama orang tuanya tengah bercerita di atas motor.

Rani hanya tersenyum mengamati pemandangan yang indah menurutnya.

Bosan menunggu, Rani mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi wattpad, membaca beberapa cerita yang sudah terdapat di perpustakaannya.

Bahkan deru suara motor yang begitu nyaring tidak membuat perempuan itu menghentikan aktivitasnya, sebegitu konsentrasinya Rani. Padahal orang-orang di sekitarnya sudah merutuk suara mesin motor yang begitu nyaring di saat hujan deras sekalipun.

Michael memarkirkan motornya dan berlari ke tempat yang teduh. Ia sempat mendengar omelan seorang ibu kepadanya, dengan segera ia pun meminta maaf dan mengambil tempat yang sedikit jauh dari ibu itu.

Langkah Michael terhenti di samping kedua ibu dan anak yang tengah berpelukan seolah saling memberikan kehangatan, ia pun sempat tersenyum ramah ke arah sang ibu.

Michael melepas helm yang menutupi hampir seluruh wajahnya, lalu dipeluknya helm itu.

“Bu, kakak itu ganteng.”

Walaupun terdengar kecil, suara yang berasal dari anak kecil itu masih dapat didengar Michael, dan membuatnya tersenyum ke arah anak kecil itu.

Sang Ibu pun menoleh dan tersenyum tipis seraya mengusap kepala anaknya. “Kamu ada-ada aja,” Kata Ibu itu.

Anak kecil itu pun mengangguk semangat. Kemudian anak kecil itu mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh Michael datang mendekatinya.

Michael yang bingung tanpa menolak maju mendekati anak kecil itu. Namun, saat Michael sudah berada di samping sang Ibu, anak kecil itu masih menyuruh Michael semakin mendekatinya. Lantas Michael pun memajukan kepalanya, tanpa menunggu lama, sebuah ciuman mendarat cepat di pipi Michael.

Michael tersenyum merasakan ciuman dari anak itu. Lalu dengan cepat pula ia membalas mencium pipi anak itu.

“Ibu, kakak itu menciumku,” ucap anak kecil itu kepada ibunya dengan histeris.

Michael dan sang ibu hanya bisa tertawa melihat kebahagiaan anak kecil itu. Lalu sang ibu pun berterima kasih kepada Michael karena Michael telah membuat anaknya kembali tersenyum.

Secara singkat sang ibu menceritakan kepada Michael alasan kenapa ia berterima kasih kepada Michael. Beberapa hari yang lalu, saudara laki-laki anak kecil itu meninggal karena sebuah penyakit, sebelumnya yang selalu mengantar dan jemput anak itu adalah sang kakak. Namun, setelah sepeninggal kakaknya, anak kecil itu menjadi murung dan tidak ingin pulang, bahkan dengan kedua orang tuanya.

Michael hanya mengangguk kepala pelan, mendengari cerita Ibu itu. Walaupun ia tidak tahu bagaimana rasanya memiliki seorang saudara tapi ia juga dapat merasakan bagaimana kehilangan seseorang yang begitu disayang pergi selamanya. Lalu ia pun teringat dengan Papanya.

Dengan semangat, Michael pun membagikan semangatnya kepada anak kecil itu agar tidak murung lagi. Ia merangkai sebuah cerita pendek kepada anak kecil itu.

“Karin nggak boleh sedih lagi. Kakak kamu entar sedih liat Karin juga sedih,” Bujuk Michael, tangannya sudah berada digenggaman anak kecil itu yang bernama Karin.

“Tapi kakak aku udah pergi jauh, kata Ibu, kakak nggak akan pulang lagi. Kakak nggak sayang lagi sama Karin.” Suara anak kecil itu terdengar pilu di telinga siapapun yang mendengarnya, tak terkecuali Rani yang sudah sejak tadi mengamati pemandangan ibu dan anak serta Michael yang tiba-tiba datang dari arah berlawanan.

“Karin nggak boleh gitu. Kakak kamu itu sayang sama Karin. Dia pergi biar Karin jadi perempuan yang pintar, mandiri, dan jadi juara kelas,” kata Michael sambil menggenggam tangan Karin ke udara dengan semangat.

Karin pun tersenyum mendengar penuturan Michael. “Kalau gitu, Karin mau belajar terus supaya pintar, biar Kak Deva sayang terus sama Karin,” ujar Karin memegangi pipi Ibunya.

Sang ibu pun mengangguk pelan, di pelupuk matanya sudah terpenuhi dengan genangan air mata, mengamati putrinya yang begitu semangat saat mendengar penyataan-pernyataan yang Michael berikan.

“Jadi, sekarang Karin nggak boleh sedih lagi. Ok!” Michael mengacungkan tangannya berbentuk ‘ok’ kepada Karin. Lalu Karin membalasnya dengan cara yang sama.

Tak terasa hujan yang tadinya deras kini sudah mulai reda, Ibu dan anak kecil itu pun berpamitan dengan Michael. Michael membalas lambaian tangan Karin ke arahnya hingga sepeda motor sang Ibu hilang dibalik bangunan.

“Keren.”

Michael yang masih mengangkat tangannya berhenti di udara saat mendengar suara seseorang di sampingnya. Lantas ia menoleh dan menemukan wajah kecil Rani di dekatnya.

“Rani,” Kagetnya sampai menjatuhkan helm dari genggamannya tadi.

Rani tersenyum kikuk, melihat tingkah Michael yang terkejut.

“Segitu kagetnya, ya?”

Michael menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Jarang-jarang gue liat cowok dekat sama anak kecil,” kata Rani sambil menatap ke arah depan dengan tatapan kosong.

Michael mengamati Rani sejenak. “Kasihan denger cerita Ibunya. Gue nggak tahan kalau ngebiarin perasaan anak kecil itu sedih terus, dan juga Ibunya yang juga terpuruk ngeliatinnya.” Jujur Michael. “Gue nggak bisa ngebayangin kalau gue harus ditinggal sama saudara gue sejak kecil kayak Karin.”

Rani menganggukkan kepalanya pelan masih dengan tatapan kosong.

“Eh, bukannya lo punya kakak ya?” tanya Michael tiba-tiba.

Rani menghembuskan napasnya berat. “Gue punya, tapi gue nggak pernah punya memori indah untuk dikenang bareng dia.”

Michael mengerutkan dahi, bingung mendengar penuturan Rani. Apa maksudnya?

“Ah, udah lupain,” kata Rani tiba-tiba, lalu beralih ke langit luas.

“Kayaknya udah nggak hujan lagi. Gue duluan, ya.”

Namun, belum satu langkah perempuan itu melangkah, Michael sudah menahan lengan Rani.

“Gue anter!” Seru Michael lalu memasang helmnya.

Rani tersenyum tipis. “Kok, lo jadi nganterin gue pulang terus, kayak tukang ojek aja.”

Michael tertawa mendengarnya. “Salah sendiri, kenapa ketemu gue terus. Jadi tukang ojek, deh.”

“Nggak di sengaja,” kata Rani.

“Namanya takdir. Cepetan naik,” balas Michael, menyuruh Rani menaiki boncengan motornya.

Keduanya pun berlalu dengan sejuta perasaan. Dan kali ini langit dan rintikkan hujan menyaksikan dengan seksama bagaimana keduanya menjadi semakin dekat dan mulai menumbuhkan perasaan saling peduli antar sesama.

***

Keesokan harinya.

Saat menemukan Rani tengah berjalan menuju kelasnya, Sisi langsung menarik perempuan itu dan mengulik bagaimana sahabatnya itu pulang kemarin.

“Ah, gue pulang naik angkutan umum,” jawab Rani santai.

Sisi mendelik tidak percaya dengan jawaban sahabatnya itu.

“Terus kenapa lo nggak kasih kabar ke gue kalau udah nyampe rumah?” tanya Sisi lagi.

“Lupa.”

Sisi menggerutu sebal mendengar setiap jawaban yang Rani berikan kepadanya. Bukannya menjawab dengan benar, perempuan itu malah dengan santainya seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

“Ok. Terus, gimana tugas TIK lo, udah dikumpul?”

“Udah,” Jawab Rani malas. “kok kita belum libur ya. Padahal udah selesai ujian.” Pernyataan Rani tidak dibalas oleh Sisi. Tak ada yang mengetahui kehendak dan keinginan Kepala sekolah selain Kepala Sekolah itu sendiri.

Setelah itu Rani kembali ke kelasnya, suasana kelas tidak terlalu ramai, mengingat Ujian Nasional telah selesai. Berbondong-bondong siswa-siswi meliburkan diri sendiri sebelum mendapatkan jatah libur yang diberikan langsung oleh Kepala sekolah.

Mereka pun memegang teguh alasan bahwa sudah tidak ada lagi yang perlu dipelajari, jadi buat apa lagi ke sekolah dan hal itu sempat membuat Kepala sekolah marah besar.

Rani menghampiri Masayu dan Kintan di kursinya.

“Kok gue jadi baper ya, akhir-akhir ini,” kata Masayu dengan nada lemah.

Rani melirik Masayu dengan tatapan aneh. “Baperan sama siapa? Sama doi, ya?” jahil Rani.

“Enak aja lo.”

“Mana nih kepala sekolah, kita nggak libur-libur. Butuh refreshing, Barbie.” Pernyataan Kintan sontak membuat Masayu dan Rani melirik aneh kepada Kintan. Lalu ketiganya tertawa bersama mengamati tingkah aneh mereka.

**

“Michael!” panggil sebuah suara dari seberang tempat Michael berdiri.

Michael sejak tadi tengah menunggu seorang kenalannya yang sudah lama tidak bertemu. Ia bediri di gerbang sekolahnya menunggu kenalannya itu datang. Saat mendengar namanya dipanggil, Michael langsung mengenalinya.

“Hai, Rob. Apa kabar?” Michael memeluk teman lamanya saat berada di bangku SMP.

Orang yang dipanggil pun membalas pelukan Michael begitu erat. “Gue selalu baik, yang lain juga baik.”

Michael tersenyum tipis, membayangkan orang-orang yang dulu berada di dekatnya.

“Wah, beneran nih, ini sekolah lo. Jauh banget, Mic. Gue aja sampe nyasar ke sini.” Terang Roby menepuk bahu Michael.

Roby adalah teman satu tim basket Michael saat SMP. Sampai sekarang keduanya masih saling memberikan kabar walaupun tidak terlalu sering, tapi keduanya cukup dekat saat salah satu di antaranya menanyakan kabar via media sosial.

“Iya, ini sekolah gue. Biar orang rumah sulit cari tau keberadaan gue.” Michael menjawab asal.

Roby tiba-tiba menggelengkan kepala pelan. “Sorry banget, bro. Soal bokap lo. Kita telat dapet kabar waktu itu. Lo juga setelah itu langsung pindah sekolah entah ke mana. Anak-anak juga nggak tau rumah lo di mana jadi kita nggak pernah dapet kabar dari lo selain dari medsos.” Roby mengungkapkan bela sungkawanya kepada Michael, yang kejadiannya sudah hampir tiga tahun berlalu.

“Santai aja kali, Rob. Gue juga udah enjoy di sini, sama pilihan gue,” jawab Michael misterius.

Roby menaikkan sebelah alisnya. “Sepak bola.” Tebak Roby.

Michael mengangguk pelan.

So, karena kita udah lama nggak kete—” ucapan Roby terpotong.

“Lo yang nggak pernah ketemu gue, gue udah sering liat lo di turnamen melawan tim basket sekolah gue.” Sambung Michael cepat.

Roby melotot kaget mendengar perkataan Michael. Lalu ia bertepuk tangan.

“Lo emang kapten paling keren menurut gue,” ujarnya sambil menggeleng-geleng, seolah membanggakan Michael.

“Mana ada kapten yang ninggalin timnya maju sendiri.”

“Terserah lo deh. Jadi, sekarang lo mau ngapain?” Roby kembali menanyakan sesuatu yang sempat terpotong oleh ucapan Michael sebelumnya.

“Gue butuh bantuan kalian.”

***

4 Komentar

  1. Penasaran nih.

    1. Hertina Rani menulis:

      Jangan penasaran hehehe :TERHARUBIRU :TERHARUBIRU :TERHARUBIRU

  2. fitriartemisia menulis:

    Michael minta bantuan Roby hmmm :CURIGAH

  3. Ditunggu kelanjutannyaa