Vitamins Blog

Cause I’m (not) Fine at All – Chapter 6

Bookmark
Please login to bookmark Close
15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Chapter 6 – Beautiful

Di UKS sekolah, Rani masih menunggu Michael yang sampai saat ini tak kunjung sadarkan diri. Beberapa waktu lalu ia menelpon satpam sekolahnya untuk menjemput mereka dan untungnya tempatnya tidak terlalu jauh dari lingkungan sekolah. Entahlah, apa yang ada di kepala Rani sampai-sampai ia harus menelpon satpam sekolah untuk menjemput mereka.

Rani hanya tersenyum saja mengingat tindakannya saat itu.

“Cantik.” Seru suara itu.

Rani mendengarnya langsung terkejut dan menoleh.

“Lo udah sadar?”

Michael mengangguk pelan.

“Kalau gitu, gue pergi dulu ya. Bentar lagi juga temen lo balik kesini.” Rani bangkit dari duduknya, namun sebuah tangan menahannya.

“Tunggu disini aja sampe dia dateng. Gue takut sendirian di UKS,” Tutur Michael masih memegang pergelangan tangan Rani. “sorry.

It’s okay,” Jawab Rani, “kalau boleh tau, kenapa lo bisa berantem sama anak IPA?” terang Rani.

Hal itu membuat Michael kembali mengingat kejadian beberapa jam lalu. Di mana Alvin memukulnya begitu keras di bagian wajah. Sontak tangannya pun terangkat memegangi wajahnya.

“Argh…” erangnya kesakitan.

“Bodoh, udah tau sakit masih aja dipegang.” Omel Rani sarkatis.

Michael meringis malu.

“Lo tuh ya, kalau mau berantem cari yang selevel. Liat tuh muka lo jadi ancur kayak gitu.” Tunjuk Rani.

“Tapi masih ganteng ‘kan.” Michael percaya diri.

Rani berdecak sambil tersenyum.

“Ngomong-ngomong, kenapa lo bisa berada di sana pas kejadian itu,” Michael teringat saat Rani datang melerainya dan Alvin tadi. Ada raut marah dan khawatir di wajah kecil perempuan itu.

“Temen lo yang narik gue. Dia minta tolong bantuan gue. Gue kira minta tolong apaan, eh, pas liat lo yang dipukulin, gue nggak habis pikir sama temen lo. Dia kira gue apaan sampe nyuruh gue yang harus melerai lo sama Alvin.”

Michael tertawa.

“Emang suka bego itu anak.” Tawa Michael keras.

Tanpa disadari keduanya, orang yang tengah dibicarakan keduanya kini muncul.

“Katain aja terus, terus, sampe lo puas,” Rafi datang sambil membawa kantung plastik berisi beberapa obat dan cemilan. “nggak jadi deh gue mau obatin lo.” Rafi pura-pura merajuk.

Michael duduk dari tidurnya. “Oh, sini, sini. Anak pintar jangan marah donk.” Tangan Michael terulur seolah-olah Rafi adalah anak kecil yang baru bisa jalan.

Dengan malas Rafi duduk di sisi ranjang Michael.

“Kayaknya gue harus balik ke kelas, deh. Temen lo juga udah dateng,” Rani menginterupsi keduanya. “byye. Get well soon.” Lalu berpaling keluar dari ruang UKS.

Sebuah tepukan pelan mendarat di kepala Rafi.

“Lo ngapain dateng. Jadinya dia pergi.” Sebal Michael kepada Rafi.

“Gebukin aja terus. Di sini yang sakit gue, bukan lo jadi plester ini buat gue aja.” Rafi merajuk dan memasang beberapa plester di bagian kepalanya yang baru saja dipukul Michael.

Segera Michael meraih tangan Rafi mengurungkan niat laki-laki itu.

“Yey, nggak usah ngambek segala kenapa sih, kayak emak-emak tau,” Michael mengambil kasar plester yang ada di tangan Rafi, “btw, kabar orang yang mukulin gue gimana?”

Rafi menarik kantung plastiknya yang berada di atas meja.

“Masuk BK.”

“Terus?”

“Ya, kena sidang sama Pak Ilyasa.” Sambung Rafi sambil mengunyah cemilannya.

Dengan sigap Michael menarik bungkus cemilan itu. “Terus gue?”

Rafi mengangkat kedua bahunya, tidak tau.

Tiba-tiba sesuatu terlintas di kepala Michael, lalu ia kembali mengangkat tangannya memukul pelan pundak temannya itu.

“Itu buat kebodohan lo karena udah bawa-bawa Rani ke dalam masalah ini.”

Rafi yang tadinya sudah tenang, kini menjadi berapi-api. Setelah Michael memukulnya, lagi.

“Eh, ini orang udah di tolongin, bukannya bilang makasih.” Sewot Rafi.

Michael melotot, “Ya, elo juga, sih,” Sembur Michael, “gue tanya, kenapa lo narik Rani dari kelas?”

Bukannya menjawab, Rafi pura-pura menggaruk kepalanya, yang tidak gatal. “It… itu—”

“Itu, apa?” tanya Michael cepat.

“Ya, maaf kali, Mic. Gue bingung. Dari depan sekolah gue udah liat rombongan Alvin dateng terus nyusul lo gitu. Jadi gue nggak tau harus gimana. Gue simpulan fakta kalian berdua, dan tiba-tiba gue kepikiran sama Rani.” Rafi menjelaskan tindakannya membawa Rani tadi.

“Kenapa bisa kepikiran Rani?” tanya Michael cepat.

Rafi menghembuskan napasnya, “Karena akhir-akhir ini lo keliatannya lagi deket sama cewek itu, dan juga udah jadi fakta di sekolah, kalau Alvin juga suka sama Rani. Gitu.” Saat mengatakan hal itu Rafi memilin-milin kedua ibu jarinya bersamaan, merasa takut kalau saja sahabatnya itu akan memarahinya.

Michael terkekeh mendengar penjelasan Rafi.

“Kenapa lo?”

“Nggak, lucu aja liat muka lo. Kayak lagi diinterogasi sama kepolisian.” Canda Michael sambil mempraktikkan wajah Rafi beberapa detik yang lalu.

Rafi terperangah mendengar jawaban Michael baru saja. “Wah, parah lo. Kalau bukan temen, udah gue biarin aja lo di pukulin Alvin. Nyesel gue.”

Rafi berdiri dari duduknya, berniat pergi meninggalkan Michael sendirian di UKS.

“Raf, Raf!” panggil Michael.

Rafi sudah berada di depan pintu UKS, tanpa menoleh ke arah Michael yang sibuk memanggil-manggil namanya.

Sorry, sorry. Raf, bantuin gue! Kaki gue sakit, nih!” Michael berusaha menapakkan kedua kakinya, namun rasa nyeri langsung menghampiri.

Dari arah luar Rafi melirik dan berujar, “Kalau gini aja, manggil nama gue. Rempong banget sih lo.” Rutuk Rafi berlalu masuk kembali seraya membantu Michael berdiri.

Michael menyunggingkan senyum, “Thanks, ya.”

Lalu keduanya berlalu keluar meninggalkan ruang UKS menuju kelas.

***

“Dari mana, ran?” tanya Masayu bertepatan saat Rani datang.

“Nggak kemana-mana, kok. Gue keliling aja, liat-liat orang lomba.” Jawab Rani, menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya.

“Tadi siapa yang narik lo?”

“Orang iseng.”

Masayu dan Rani yang tengah duduk di kursi mereka, melihat kehadiran Ulan dan Intan masuk ke dalam kelas sambil berbincang dan membawa beberapa makanan di tangan mereka.

Namun, saat keduanya ingin membuat kembali sebuah obrolan, sebuah bantingan botol air minum terdengar di ruangan itu. Beberapa siswa-siswi yang berada di dalam kelas pun ikut menoleh, mencari tau asal suara itu berasal. Dan hal itu berasal dari Intan.

Masayu dan Rani pun terkejut melihat tingkah laku yang baru saja Intan lakukan.

Tak lama setelah melayangnya sebotol air minum itu, suara keras benda dilempar kembali terdengar. Rani yang duduk tepat di belakang Intan, dapat melihat dengan jelas ponsel perempuan itu dibanting dengan keras menemui lantai.

Sesaat Rani terdiam melihat aksi yang tiba-tiba dilakukan Intan dan hal yang sama pun terjadi kepada Masayu di sampingnya. Keduanya terdiam menyaksikan setiap tingkah yang perempuan itu lakukan.

Setelah melempar bebas ponselnya, Intan langsung pergi keluar kelas tanpa ada satu pun yang mengikutinya. Bahkan Ulan yang tadinya bersama dengannya, tidak tau harus melakukan apa.

“Itu kenapa?” tanya Rani sesaat setelah Intan keluar kelas.

Ulan memungut ponsel yang menjadi korban bantingan Intan. Lalu menghampiri Rani dan Masayu.

“Banyakan tersinggungnya dia sama omongan kalian.” Ujar Ulan.

Rani terperangah mendengar ucapan Ulan.

“Ya Allah, segitunya. Kalau gue punya niat nyinggung dia, udah sejak pertama kali, gue bilang di depan muka dia sendiri.” Rani menggeleng kepala tidak percaya dengan sikap Intan yang menurutnya kekanak-kanakan.

“Niat kita itu cuma pingin dia itu menghargai. Kalau dia nggak mau maafin kita, ya udah. Yang jelas kita udah niat minta maaf.”

Rani tidak perduli lagi dengan sikap Intan kepadanya. Ia sudah menyerah dengan kekecewaannya kepada perempuan itu. Ia tau jika pun ia dan Intan harus berbaikan, hubungan pertemanan itu tidak akan lagi sama. Nantinya hanya akan ada kecanggungan di antara keduanya. Dan Rani tidak mau hal itu terjadi.

Ia hanya ingin melupakan kejadian yang pernah Intan lakukan kepadanya atau pun kepada teman-temannya. Ia bukan seorang ahli dalam mengungkapkan kata maaf secara langsung, menurutnya hanya dengan sebuah tindakan itu sudah cukup menunjukkan bahwa ia melakukan semuanya dengan tulus, dan itu semua nantinya juga untuk kebaikan mereka sendiri.

***

Malam harinya Rani merenung sendiri di kamar memikirkan kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini terjadi dalam hidupnya. Tekanan batin, itulah yang Rani simpulkan saat ini. Seolah setiap masalah yang terjadi saat ini tengah membimbingnya, bagaimana cara menghadapi situasi pada saat itu, menahan segala emosi, dan terakhir menilai sebatas mana tingkat kesabaran yang tengah ia miliki.

Rani menghembuskan napas berat.

Jari-jarinya sibuk bergerak naik-turun memainkan layar ponsel dengan bosan. Saat ini ia ingin keluar menghirup udara malam yang sejuk. Semua fokusnya saat ini begitu berat, memikirkan hal-hal yang kadang di luar kepala orang normal.

Jika ia tengah bergunda, semua isi kepalanya menjadi kacau. Kadang ia menggambarkan fisiknya menjadi periang dan kadang pula menjadi pemurung. Hal itu buruk bagi kesehatannya. Saat ini ia tak ingin melakukan kedua hal tersebut. Semangat hidupnya seolah telah redup dan sekarang ia tengah membutuhkan energi yang besar untuk kembali.

***

1 Komentar

  1. fitriartemisia menulis:

    Rani nya tekanan batin :PEDIHH