Vitamins Blog

DWINA part 21

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

29 votes, average: 1.00 out of 1 (29 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

21. Gencatan senjata

Aroma asin air laut terhembuskan oleh angin membentuk deburan ombak. Langit begitu cerah menerikkan matahari pagi. Siapapun akan terpesona dengan indahnya hamparan laut lepas. Ada satu orang lebih memilih menikmati indahnya senyuman perempuan cantik di sebelahnya. Rambutnya berantakan tertiup semilir angin laut. Derumah suara mesin kapal menghentikan senyuman perempuan itu. Mereka sampai pada tempat tujuan.

Pesona pulau Tidung memanjakan mata. Air laut jernih berwarna biru kehijauan memperlihatkan terumbu karang cantik di kelilingi para ikan.

Arya dengan cekatan membantu Dwina menuruni kapal. Setelahnya, dia mengangkut barang bawaan milinya dan Dwina tak lepas tangan bebasnya menggenggam tangan Dwina selama menelusuri jalan. Juwita berceloteh tentang apa yang akan mereka lakukan selama di pulau Tidung. Wisata ke salah satu kepulauan seribu ini di anugrahi budget yang lumayan murah. Jadi mereka bisa tinggal lebih lama jika mereka ingin.

Melihat toko sovenir, Juwita menarik Dwina untuk melesat masuk. Dwina masih kikuk berdekatan dengan pacar Kak Bayu, pasalnya tidak ada satupun pacar kakaknya pernah menyentuh hatinya.

Dwina menjatuhkan pilihan pada sandal jepit dan sebuah topi pantai berwarna coklat. Dan dia langsung memakainnya. Senyuman terukir melihat pantulan dirinya di cermin begitu manis.

“Aku mau ambil yang ini aja” seru Dwina pada Kak Bayu.

Kak Bayu adalah dompet berjalan untuk Dwina. Namun, Arya bergerak lebih dulu untuk membayar belanjaannya.

“Belanjaan Dwina biar aku yang bayar” ucapan Arya segera di elak oleh Bayu

“Nggak bisa, lo bukan siapa-siapa” Bayu tetap merasa gengsi menerima bantuan orang lain karena dirinya masih bisa membiayai adiknya bahkan bila semua barang di toko ini di borong oleh kedua perempuan tengil ini. Dia masing sanggup.

“Gue calon suaminya, jadi gue berhak bayarin Dwina”

Bayu membeku. Kata-kata Arya seolah menohoknya. Otaknya membayangkan adik tersayangnya di ambil oleh laki-laki lain sulit untuk di toleransi.

“Lo kalau ngomong jangan ngaco” balas Bayu bernada serius. Kebahagian Dwina itu lebih penting dari kebahagian dirinya. Sangat berat baginya untuk menyerahkan adiknya ke sembarang laki-laki karena dia tau otak bejat kaumnya sendiri apalagi Arya sebelas dua belas dengannya.

“Dwina udah nerima lamaran dari aku, tanya aja sendiri”

Arya sudah siap mental berhadapan dengan dua laki-laki penjaga Dwina dari kecil. Dwina selalu terlindungi dari keburukan dunia dan akan dilimpahakn oleh pengaruh positif apapun demi kebaikan perempuan itu. Betapa beratnya menyerahkan orang yang selalu kita urus baik-baik dari kecil hingga besar kepada orang asing. Arya juga akan bersikap keras bila dirinya di posisi Arya seperti ketika Kak Bika menikah dengan Kak Ridwan.

Juwita menengahi keadaan dengan membayar semua belanjaan dirinya dan Dwina menggunakan kartu kredit miliknya lalu menarik Bayu menjauh dari Arya. Juwita hapal sekali pacarnya tipe pemarah dan egois. Pikirannya harus didinginkan supaya liburan mereka yang baru di mulai ini bisa berjalan lancar.

Batin Dwina berdesis pelan, kesulitan menghadapi keadaan menerpa beberapa detik yang lalu. Ini pertama kalinya Dwina berhadapan langsung bagaimana sikap kakaknya pada seorang yang ingin melamar dirinya. Kak Bayu memang selalu menjaganya sampai titik darah penghabisan menimbulkan rasa hangat terdera dalam dadanya. Tapi dia bukanlah anak kecil lagi. Dia memiliki hak menjatuhkan pilihan pada siapa ia akan menjalani sisa hidupnya. Penjelasan itu akan membantu Arya untuk menghadapi dengan Ayah dan Kakaknya.

Arya menggandeng tangan Dwina kembali menelusuri jalan menuju penginapan. Entahlah Juwita membawa Bayu pergi kemana intinya sampai tengah hari mereka belum saling bertemu.

Arya dan Dwina makan siang di pinggir pantai setelah berkeliling puas menggunakan sepeda sewaan. Menu ikan bakar dan jus strawberry telah tersaji di atas meja makan menggiurkan Dwina. Sayangnya dia harus menahan diri, karena tadi dia sudah mengirim pesan pada Kak Bayu untuk makan siang bersama dan ia tidak akan makan sampai kakaknya itu datang.

Apa gunanya datang jauh-jauh harus menyeberangi lautan untuk mencapai salah satu kepulauan seribu ini kalau ujungnya saling gencatan senjata? buang uang saja!

Makanan sudah dingin ketika Bayu dan Juwita datang. Dwina memutar bola matanya kearah lain karena alam bawah sadarnya sangat jengah. Kakaknya ternyata senang-senang diving sedangkan dirinya menghabiskan waktu mengkhawatirkan kakaknya.

“Maaf dek, ponselnya tadi ada di dalam tas. Jadi baru baca pesan kamu setelah diving”

“Bodo amat” Dwina makan ikan bakarnya dengan hati gondok. Laki-laki memang nggak peka, nggak punya perasaan, nggak tau diri.

“Jangan marah Wi. Nanti kita jalan-jalan deh” bujuk Bayu dengan nada cengengesan

“Udah jalan-jalan. Capek mau tidur” capek mikirin perasaan kakaknya.

“Masa tidur sih.. lautnya bagus loh”

“Biarin aja”

Kalau Dwina sudah jutek seperti ini. Orang lain akan kesulitan menghadapinya. Sikapnya akan egois sekaligus manja, mau menang sendiri. Tindakannya akan sesuai dengan perkataannya. Setelah makan Dwina benar-benar tidur siang.

“Kamu sih.. kalau ngomong nggak di ayak” Juwita mengomel kemudian menyusul masuk ke dalam kamar Dwina. Lebih tepatnya kamar untuk mereka berdua.

“Wi.. belanja yuk atau kita main banana ski?” bujuk Juwita gugup. Sampai saat ini mereka tidak pernah saling akrab.

“Nggak kak. Aku capek” capek makan hati.

“Aku traktir makan es kopyor. Enak lo panas-panas begini minum begituan”

Dwina merasa kurang enak hati telah bertingkah buruk pada Juwita akhirnya mau menerima bujukan itu. Juwita segera merangkul tangan Dwina dengan erat seolah takut Dwina akan berubah pikiran.

Juwita hanya berduaan dengan Dwina menikmati es kopyor di tenda pinggir pantai sekaligus menikmati tubuh sexy dua orang laki-laki sedang seru berselancar di antara indahnya ombak laut.

“Kapan kamu di lamar sama Arya?” tanya Juwita mengisi kekosongan

“Tadi waktu naik kapal ke pulau ini”

“Ah… mungkin waktu itu aku sama Bayu lagi di luar kabin kapal jadi nggak tau”

“Iya”

“Rasanya gimana di lamar?”

Semburan merah menjalar dipipi Dwina. Mengingat lamaran Arya tadi pagi membuat dirinya jadi gugup kembali. Bahkan setelah menerima lamaran, Arya mengecup punggung tangannya cukup lama.

“Seneng lah kak”

“Yah… kalau itu mah aku tau” Juwita terkekeh geli.

Juwita berharap Bayu melakukan itu padanya sekaligus menerima dirinya apa adanya bukan berpura-pura bertingkah seperti Dwina. Juwita kemarin memilih putus dengan Bayu bukan karena laki-laki berciuman, keadaan itu hanya sebagai alasannya saja. Bayu membuat dirinya sakit hati karena selalu membandingkan dirinya dengan Dwina. Setiap orang punya cara sendiri-sendiri untuk mencintai orang lain bukan?

“Selamat ya” Juwita menjabat tangan Dwina dengan senyuman terbaiknya.

“Semoga kakak juga bahagia” balas Dwina begitu lembut.

Juwita mengucapkan kata amin penuh pengaharapan dalam benaknya.

“Percaya nggak kamu, tadi aku lihat Bayu hampir nangis setelah denger kamu nerima lamaran Arya” ujar Juwita

Dada Dwina terasa terpenuhi rasa terharu.

Oh.. Kak Bayu

8 Komentar

  1. gak heran sih Bayu sewot gitu,,
    kan selama ini dia yang jagain Dwina,,
    jadi, sekali tiba-tiba ada yang mau ngambil tugasnya,,
    dia takut kesaing dan dilupakan ya,,

  2. Ichhh… cweetttt dech

  3. Ternyata bayuu juga bahagia dwina nerima lamaran arya, tapi kok pura2 ga setuju sehhh pake acara marah2 segala, ga mau kehilangan adik kecilnya yach hehehhe

  4. Untunglah si kakak merestui

    1. Iya yaaa???

  5. fitriartemisia menulis:

    dududu abang kayak Bayu beli dimana ya? :PATAHHATI

  6. So sweet???

  7. Ditunggu kelanjutannyaa