Vitamins Blog

DWINA part 10

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

Love it! (No Ratings Yet)

Loading…

10. Malu

 Dokter mengganti jarum infus Dwina karena tangan Dwina yang di beri infus lama-lama menjadi bengkak dan rasanya nyeri. Alam bawah sadar Dwina menjerit ketakutan akan jarum suntik. Kemarin malam disuntik tidak begitu bermasalah baginya, karena Ia hampir tidak sadarkan diri jadi rasanya tidak begitu menyakitkan. Masa aku harus minta di anastesi dulu? Dwina menertawakan idenya. (Anastesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh)

“Kamu takut?” tanya dokter yang memiliki paras tampan, pada Dwina. Namun dirinya telah terpaku pada jarum suntik yang sedang dokter pegang. Gidik ngeri menerpa Dwina membayangkan betapa sakitnya jarum itu merobek pembuluh venanya.

Arya berdehem keras sebagai peringatan pada dokter mesum sialan itu agar berhenti menatap Dwina. Arya adalah laki-laki, jadi ia sangat mengerti bagaimana tingkah para kaum adam bila sedang terpikat dengan seorang wanita. Lihat saja raut muka dokter tersebut, sudah seperti ingin menerkam Dwina. Segera Arya menuju ke sisi samping Dwina kemudian mengancingkan bagian atas baju yang tidak sangaja terbuka hingga membeberkan bagian tubuh Dwina. Sekuat tenaga Arya menahan napasnya saat melakukan tindakan yang menantang libidonya.

Dwina terkejut, wajahnya berubah merah padam atas perlakuan Arya padanya. Oh No! Jadi selama ini dirinya jadi santapan gratis bagi dua orang laki-laki sekaligus. Hancur sudah harga diri Dwina. Dirinya begitu malu untuk menatap wajah dua laki-laki menyebalkan di depannya.

Dengan kasar Dwina menghindari Arya kemudian memilih mengkancingkan sendiri pakaiannya.

Dwina tidak peduli orang lain mengatakan dirinya perempuan judes dan bertindak sangat berlebihan. Ini masalah harga diri, dirinya bukan perempuan murahan. Ingat itu!

Paranoid akan jarum suntiknya lenyap seketika. Dengan nada ketus Dwina menyuruh dokter membereskan urusannya secepat mungkin supaya dokter tersebut cepat pergi dari hadapannya.

Tangan Dwina terasa tersengat hebat saat jarum suntik menusuk pembuluh darahnya padahal ia sudah meminta dokter untuk mengoleskan alkohol dalam jumlah banyak dan menggunakan jarum khusus bayi.

Ibu sakit banget…

Alam bawah sadar Dwina mengeluh hingga meneteskan air mata.

Tidak memakan waktu lama akhirnya Dwina telah terinfus kembali lalu dokter beserta suster keluar dari ruang inapnya setelah memberinya juga beberapa pesan untuknya.

Arya gelagapan Dwina menatap sinis dirinya. Ia tidak mengerti cara menangani Dwina bila perempuan itu sedang kesal. Tidak ada satupun wejenang dari Bayu mengenai hal tersebut. Jadi Arya hanya terduduk di kursi yang terletak di sebelah ranjang sambil mengamati Dwina sedang menatap tv tanpa berniat menontonnya.

“Maaf…” Arya mengatakan dengan tulus karena ia tidak menginginkan keadaan seperti ini. Bahkan ia juga ikut kesal saat dokter sialan tadi menatap Dwina dengan maksud tertentu.

Dwina diam seribu bahasa. Tidak memperdulikan Arya sedang memberikan tatapan menyesal ke arahnya. Semua laki-laki itu sama aja. Otaknya nggak jauh dari pikiran kotor. Tapi yang membuat Dwina makin gondok , Arya mencoba memberikan penjelasan padanya atas tindakan yang dia perbuat tadi tanpa maksud lain.

Sudahlah, Dwina tidak akan menoleransi alasan apapun. Intinya semua sudah terjadi.

“Jangan diam begini dong Dwina. Kamu boleh marahin aku” tukas Arya frustasi. Bayu memang mengatakan kalau Dwina sangat menjaga dirinya untuk laki-laki pilihannya nanti. Jadi tindakannya tadi akan menjadi hal sensitif sekali karena menyangkut harga dirinya terutama masalah tubuhnya yang menjadi tontonan gratis bagi para laki-laki.

Dwina mencebik sebal. Dasar laki-laki aneh meminta dirinya untuk marah!

Bukankah lebih baik ia tetap diam dari pada marah.

“Lupain… udah aku maafin” Dwina menatap malas ke arah Arya untuk beberapa saat supaya laki-laki itu berhenti berbicara dan mengganggu ia menonton drama korea yang sedang di putar kembali untuk ketiga kalinya di tv.

Arya mendengus sebal mendengar permintaan Dwina untuk melupakan kejadian tadi. Kenapa perempuan itu selalu menghindari masalah dengan menyuruhnya melupakan atau berpura-pura untuk lupa? Memang dia komputer, tinggal meng-klik delete kemudian terhapus habis begitu tanpa bekas.

Sudahlah.. keluh Arya. Dwina-kan sedang sakit dan membutuhkan banyak istirahat jadi saran Dwina itu adalah pilihan tepat untuk mengakhiri perdebatan.

Setengah jam kemudian Dwina menguap berulang kali, tapi masih ada lima belas menit lagi drama koreanya akan habis. Apalagi ini adalah episode terakhir, dimana Dwina tidak sabar menunggu pemeran utama kembali bersama setelah perseteruan masalah keluarga yang hebat.

Arya yang sedari tadi anteng bermain games di ponsel tiba-tiba beranjak mematikan tv.

“Kok..  di matiin tvnya” protes Dwina.

“Kamu udah ngantuk. Sekarang mendingan kamu tidur. Kamu itu harus banyak istirahat” balas Arya menggunakan intonasi memerintah.

Awalnya Dwina ingin membalas perkataan itu kemudian ia urungkan karena amarahnya belum kunjung larut atas masalah sebelumnya. Lagi pula Dwina bisa streaming online. Jaman-kan sudah era internet.

Dwina mencoba memposisikan tidur senyaman mungkin lalu menarik selimut hingga seleher. Kemana sih Kak Bayu? Bukannya nungguin adiknya lagi sakit malah ngelayap nggak balik-balik.

Cepat sekali Dwina terlelap. Suara napasnya sangat teratur dan sekali lagi Arya harus mengantisipasi tangan Dwina yang tiba-tiba saja bergerak ingin menggaruk ruang merah yang gatal.

Jam telah menunjuk sepuluh pagi dan dokter mengatakan nanti malam Dwina sudah diperbolehkan untuk pulang bila keadaanya makin membaik…

Sebelumnya Arya sudah tidur selama satu jam saat Bayu mendapat giliran menjaga Dwina. Jadi tubuhnya tidak terlalu lelah. Sedangkan keluarganya akan menjenguk Dwina saat makan siang, sekalian membawakan pakaian ganti milik Kak Bika untuk Dwina. Terserang alergi kemudian berakhir di rumah sakit memang di luar rencana jadi mana mungkin Dwina menyiapkan pakaian lebih.

Arya memperhatikan Dwina tidak begitu nyaman dalam tidurnya, dia terlihat kesulitan bernapas dan tangannya mulai bergerak menggaruk kasar bagian lehernya.

Segera Arya menahan tangan Dwina kemudian mengelus rambut Dwina agar tenang. Kapan ini akan berakhir? Sungguh dirinya sedih melihat Dwina tersiksa seperti ini.

oOOOo

Dwina betah sekali dalam tidurnya. Ketika Ayah dan Ibu Arya menjenguknya setengah dua siang dia masih terlelap.

“Nggak usah di bangunin biarin adikmu tidur” ucap Bu Ati pada Bayu.

Bu Ati membawakan banyak makanan terutama buah-buahan khusus Dwina. Semua orang di rumah ikut khawatir karena semalam keadaan Dwina cukup parah dan terpaksan harus dilarikan ke rumah sakit. Sebenarnya yang lain ingin ikut menjenguk tapi anak-anak tidak baik berada di rumah sakit lagi pula nanti malam Dwina sudah di perbolehkan untuk pulang.

“Kata dokter gimana keadaannya?” tanya Bu Ati pada Arya dan Bayu

Yang memilih menjawab pertanyaan itu adalah Juwita, dirinya seolah merasa yakin ke dua laki-laki tersebut masih menyalahkan dirinya masing-masing.

“Sudah mulai membaik tapi gatal-gatalnya masih cukup parah. Hampir seluruh punggungnya memerah” tadi Juwita membantu Dwina mengoleskan bedak Herocyn yang di anjurkan oleh dokter. Cukup mengerikan sekali alergi yang di derita Dwina.

Bu Ati prihatin mendengar penjelasan tersebut. Niatnya main ke Bandung buat liburan malahan jadi sakit. Semua orang akan merasa sedih bila mengalami hal seperti itu.

“Kalian belum makan siang kan? Ibu udah buatin ayam goreng sama sop daging enak”

Masing-masing menerima piring berisikan nasi hangat dan lauk pauk lengkap sembari mengobrol pelan takut membangunkan Dwina.

Tenggorokkan Dwina terasa gatal, ia terbatuk dalam tidurnya membuat semua orang seketika di landa kepanikan padahal hanya sekedar batuk biasa.

“Kamu nggak pa-pa kan?” tanya Arya saat Dwina mulai membuka kelopak matanya.

Dwina membalas dengan sebuah gelengan kepala lalu matanya mengamati kemunculan Bu Ati di ruang rawat inapnya.

“Udah baikkan nak?” Bu Ati mendekat sembari membawakan segelas air putih.

“Iya bu”

Dwina ingin menangis karena merindukan sosok Ibunya sendiri. Kalau dirinya sedang sakit, ia memang sangat manja dengan Ibunya sendiri. Semua keluhan bisa ia katakan secara terus terang tanpa tahu malu

Setelah minum Dwina meminjam ponsel Kak Bayu untuk menelpon Ibunya yang akan pulang dari Jawa. Sedangkan ponsel Dwina tertinggal di rumah Arya.

Dwina menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut supaya orang lain tidak melihatnya menangis cengeng seperti anak kecil.

Nada sambungan terdengar sampai lima kali dan Ibunya baru menjawab panggilan darinya.

“Assalamualaikum.. Kakak gimana kabarnya?” suara lembut Ibunya membuat Dwina sesenggukan.

“Waalaikumsalam… ini adek Bu” Dwina sulit mengendalikan rasa paraunya.

“Adek lagi sakit atau lagi nangis? Kok suaranya serak sih?”

“Dua-duanya” Dwina tidak kuat menahan dirinya akhirnya diapun menangis.

“Jangan nangis… Ibu nggak bisa dengar jelas suara kamu” seru Bu Aminah khawatir pada anak perempuan tersayangnya.

“Memang sakit apa kamu?”

“Aku di rumah sakit gara-gara kena alergi dingin sampai susah napas Bu”

Bu Aminah hanya bisa terdiam. Hati seorang Ibu akan terasa teriris mendengar berita anaknya jatuh sakit.

“Kenapa Bu?” Dwina mendengar suara Ayahnya bertanya pada Ibunya

“Dwina sakit masuk rumah sakit”

“Astagfirullah.. sakit apa? Ayah mau ngomong sama Dwina”

Sekarang ponsel diambil alih oleh Ayah Zaki.

“Adek di rumah sakit mana?”

“Nggak tau, intinya di rumah sakit di Bandung”

“Coba kasih hpnya ke Kak Bayu. Ayah mau ngomong sama dia” suara Dwina itu tidak jelas karena menangis membuat Ayah Zaki kebingungan sendiri.

Dwina membuka selimutnya lalu mengembalikan ponselnya pada Kak Bayu “Ayah mau ngomong” Bayu menjawab sambungan telepon dari ayahnya dengan serius di koridor rumah sakit tapi ketika kembali Dwina makin menangis menatapnya.

“Aku tuh mau ngomong sama Ibu kok dimatiin telponnya” seru Dwina marah-marah. Dasar laki-laki itu nggak peka!

“Cepetan-cepetan telpon lagi Ibumu” tukas Bu Ati panik.

“Baterai hp aku habis, aku juga nggak hapal nomer telpon Ibu sama Ayah” plus-plus ditambah nggak bawa chargeran, ponsenya IPhone nggak kayak yang lain punyanya Android. Aduh…

Tangisan Dwina memecah “lagian ngapain sih pakai ngobrol lama-lama” seru Dwina jengkel dengan ber-uraian air mata.

Semua orang frustasi menghadapinya, gimana mau cepat sehat kalau Dwinanya saja sedih tidak mau berhenti menangis dan melarang orang lain mendekatinya kemudian mengurung diri di balik selimut.

Arya berdecak keras mendapati tingkah aneh Dwina.

“Dwina aku beliin kamu Vitamin C mau nggak?” semua terpaku pada perkataan Arya mencoba membujuk Dwina agar tidak menangis. Dan cara itu benar ampuh.

Dwina membuka sedikit selimutnya lalu membuka salah satu telapak tangannya pada Arya.

“Mana?” Arya makin sedih mendengar suara Dwina sangat serak dan sesenggukan hebat. Matanya pun juga bengkak.

Arya terburu membuka bungkus permen pada Dwina kemudian memasukkannya langsung ke mulut Dwina. Untung saja tadi ia tidak lupa meminta Bayu untuk membelikan Vitamin Cnya di mini market terdekat.

“Makasih…” balas Dwina

Arya memberi sebuah senyuman tipis sembari mengelus rambut Dwina.

*

*

*

Ternyata sorenya Dwina sudah diperbolehkan pulang. Semua anak-anak dirumah keluarga besar berjumlah enam orang langsung mengerubungi kamar Arya untuk melihat keadaan Dwina.

“Teteh serem banget badannya pada merah-merah”

“Iya memang serem” balas Dwina antusias menghadapi pernyataan itu.

“Teteh pasti rasanya gatel banget ya?”

“Teteh abis di gigit nyamuk?”

“Teh dapet dokter ganteng nggak?” Jelas pertanyaan di lontarkan oleh Maura anak pertama Abang Ares membuat emosi Dwina naik satu Defcon..

“Anak kecil nggak boleh disini, yang boleh anak gede aja”

Dwina hampir tertawa Arya mencoba mengusir para keponakannya kemudian dibalas desisan serempak dari mereka.

“Yeh…. Om Arya pelit” pa

 Tinggal Dwina dan Arya di dalam kamar. Dwina sedang asik membalas chat temannya sambil rebahan di atas kasur empuk milik Arya. Ia sudah terbiasa menikmati aroma khas Arya di kasur itu bahkan kasur Arya lebih empuk dari miliknya.

Sedangkan Arya sedang mengganti baju di depan lemari memamerkan bentuk badan proposional menggiurkan kaum wanita, segera Dwina menutup matanya dengan selimut saat ia tidak sengaja mencoba mencari keberadaan Arya.

Dia pura-pura bego atau apa hah? udah tau ada perempuan di dalam kamarnya. Nggak tau malu! 

Dwina memilih berhenti memainkan ponselnya untuk tidur. Sebagian lebih obat alergi menimbulkan rasa kantuk. Jadi Dwina sudah memposisikan diri sedeimikian rupa untuk beranjak ke alam mimpi.

Tiba-tiba sisi kasur Arya lainnya bergerak. Dwina kaget lalu segera membuka kembali matanya dan menoleh ke arah sampingnya. Arya mulai membuka selimut kemudian ikut tidur di sebelah Dwina.

Oh My God….??? dia mau ngapain? 

Arya menghadapkan dirinya menatap Dwina sebentar setelah itu memejamkan mata. Wajahnya sangat lelah, kalau diingat-ingat beberapa hari ini Arya belum pernah tidur di kasur  jadi Dwina tidak tega untuk marah-marah. Terpaksa Dwina yang mengalah.

“Jangan kemana-mana” Arya sadar Dwina akan menghindarinya atas tindakannya yang sangat berani untuk tidur satu ranjang dengan Dwina. Tapi ia tidak peduli, ia butuh istirahat di atas kasur karena seluruh badannya sudah sangat kaku dan ia butuh berada di dekat Dwina.

Dwina bergerak untuk menaruh guling sebagai pembatas diantara mereka dan memperingati Arya agar mengikuti peraturan kalau tidak!  dirinya tidak akan segan-segan menendang selangkangan Arya.

Mereka terlelap di detik berikutnya. Hari ini sangat melelahkan….

6 Komentar

  1. Ishhh…. si arya cari kesempatan dalam kesemutan. Upppsss kesempitan.

  2. si Arya udah dapat nih bahan sogokan untuk Dwina,,
    Dwina gampang banget ya luluh kalau sama permen,,

  3. Klo sakit bawaanya mellow mau manja2 sama ibu , kasian pasti orang tua dwina cemas

  4. Yah gampang bener nyogok nya cuma pake permen :LARIDEMIHIDUP

  5. fitriartemisia menulis:

    permen hahaha Dwina gemesin ih

  6. Ish si Dwina gampang banget luluh