by NiyyaCr

Tentang Luna “Cerita Ian”

23 Juli 2017 in Vitamins Blog

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

“Cerita Ian”

Menurut gue, Ian itu salah satu makhluk terkece di jurusan Matematika Nondik. Kenapa gue bilang gitu, karena hampir semua cewek kece yang ada di jurusan gue bisa kenal dekat ke Ian.

      Ian itu satu jurusan sama gue, kita malah satu kelas. kayak timun sama bijinya, Ian itu selalu nempel sama gue. Terbukti dengan dia selalu ada di setiap kelas yang gue ikuti. Setiap semester dia pasti selalu nyusun program matakuliah yang sama. Dari awal semester, Ian selalu jiplak program studi gue.

      Dulu aja sewaktu hari pertama  masuk, Ian itu culun abis karena salah kostum, padahal Ian itu anak kota lho. Gue sih juga nggak kece-kece banget, tapi nggak culun kayak Ian. Hari pertama dia jadi mahasiswa, Ian pakai baju hitam putih. Sebagai mahasiswa yang waktu itu satu-satunya yang menjadi temen ngobrolnya, gue merasa kebawa malu nya Ian.

      Sewaktu gue tanya kenapa dia pakai tuh baju yang nggak ada kece-kecenya. Ian cuman bales, ‘iya nih gue kira kita masih sistem plonco hari ini, ternyata enggak ya?’ diterusin dengan gaya cengengesan alanya Ian. Buat gue yang udah kenal Ian selama 3 tahun kita SMA, gue udah terbiasa sama sikap Ian yang cuek bebek padahal yang lain perhatiin dia kayak orang cupu waktu itu.

      Tapi, sisi unik Ian yang selalu cuek bebek ke orang lain yang nggak terlalu akrab dengan dia, malah buat cewek-cewek berpikir, Ian itu salah satu cowok yang punya wibawa kalau ngomong. Wibawa hoekkk…

      Jangan salah, bibir Ian nggak kalah lancip kayak cewek. Cuman itu dia, Ian nya nggak banyak ngomong, jadi banyak cewek yang nggak paham sisi nyebelin Ian buat nggak disukai mereka itu dimananya.

      Pernah gara-gara Ian, beberapa hari SMS berdatangan ke hape gue yang ujung-ujungnya ngarah supaya Ian bisa diajak ketemuan bareng. Makan siang, makan malam, makan cemilan juga jadi. Jelas sebagai sahabat yang nyebelin, gue aduin ke orangnya lansung. Tahu Ian ngerespon gimana? Begini…

      “Yang namanya si itu tuh setau aku cantik kan, Na?” gue lebih cantik.

      Atau…

      “Eh, mau diajakin makan gratis di Cangkir Café, boleh Na. Terima!”

      Gue ngelus dada, punya sahabat kok ya matre banget.

      “Apa? Anak pendidikan mtk, Na? pinter gak? Kalo pinter hayuk aja, sekalian gue ngambil tugas yang di kasih Pak Sokon dulu di rumah, matkul nondik sama yang dik kan, kalau dosennya Pak Sokon pasti tugas-tugas yang di kasih sama, Na. Lumayan kan dia bisa bantu!”

      Yan, sahabat lo ini IQ nya tinggi lho.

      Tapi lebih dari apapun, Ian selalu menyanggupi semua ajakan yang diberikan cewek-cewek itu. Dia baik. Ian punya segala macam alasan buat nge iyain ajakan cewek-cewek pengagumnya itu sebelum ketemuan. Tapi, toh saat ketemuan, Ian bersikap selayaknya cowok yang pantas di kagumi. Dan gue selalu jadi yang paling banyak ngomong saat pertemuan-pertemuan itu terjadi. Gue merasa dijadiin Ian sebagai tangan kanannya, ahli bicaranya. Nyebelin kan, Ian itu.

      Gue nggak tahu, sejak kapan Ian bisa punya perasaan ke gue. Nggak ada yang istimewa dari gue yang bisa dilebih-lebihkan dari cewek-cewek yang ngejer dia itu, selain bakat-bakat gue yag gue pendam di gudang otak. Tunggu, tapi dalam sebuah hubungan, persahabatan itu sebuah status yang istimewa, kan?

      Setelah Ian tahu akhir-akhir ini gue lari ke mana buat bersembunyi, gue jadi mikir buat apa gue sembunyi lagi, toh setiap hari Ian selalu duduk disamping gue selama kuliah.

      Gimana ya, gue bisa ngelenyapin rasa nggak enakan kalau mau bicara ke Ian? Apa besok gue bisa kayak biasa aja ke Ian? Tunggu. Sebenarnya gue punya perasaan ke Ian nggak sih?, kok jadi canggung abis.

Bersambung…

baca juga part sebelumnya

1. Tentang Luna “Segudang Bakat”

2. Tentang Luna “Ketahuan”

by NiyyaCr

Tentang Luna

23 Juli 2017 in Vitamins Blog

2 votes, average: 1.00 out of 1 (2 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

“Ketahuan”

Akhir-akhir ini ada satu tempat yang selalu gue tuju untuk bersembunyi. Bukan tempat tersembunyi kayak di cerita-cerita yang pernah lo-lo baca atau tonton, yang sepi dan orang pada jarang tahu. Menurut kamus besar gue, malah lebih aman kalo yang dijadikan tempat bersembunyi itu adalah tempat-tempat ramai. Tempat yang padat dengan segala aktivitas orang lain. Tempat yang buat elo nggak bakalan jadi bahan perhatian, karena orang-orang pada sibuk masing-masing.

      Gue suka banget sama keramaian kotanya mahasiswa. Nenangin. Mahasiswa yang lewat bisa gue gambarkan dengan adegan slow motion diiringi awan yang bergerak perlahan dan burung yang samar-samar satu dua terlihat. Tempat persembunyian gue sempurna.

      Oh iya, gue belum ceritakan, kalau sebenarnya gue sembunyi dari apa? Mungkin aneh banget kedengarannya, tapi bener deh, gue lagi bersembunyi dari perasaan gue sendiri. Masih ingat nggak dua sahabat gue yang nembak gue kemaren?

      Setelah mereka nyatain perasaan masing-masing. Bukannya marah karena seharusnya gue merasa kalau mereka itu egois, gue malah seneng. Selama ini gue anggap mereka sahabat, titik. Tapi, siapa yang nggak seneng ada sekaligus dua orang yang suka sama lo, suka sama jidat lo yang makin berkerut, suka sama sifat lo yang sebenarnya suka marah-marah, suka sama lo yang padahal nggak nunjukin kalau lo punya perasaan suka yang sama seperti mereka juga.

      Namun, perasaan senang seharusnya buat gue bahagia kan? Perasaan seneng malah buat gue nyembunyiin diri.

      Sewaktu mereka nyatain perasaan masing-masing ke gue. Nggak tahu kenapa, tiba-tiba semua rasa tersingkap dalam diri gue. Gue yang merasa kalau mereka hanya sekadar sahabat jadi beurbah. Gue jadi bertanya-tanya, oh apa mungkin sebenarnya gue juga suka sama salah satu diantara mereka ya? makanya gue nyaman-nyaman aja kalau main sama mereka?

      Jujur gue masih bingung. Terlebih setelah kejadian itu, kalau gue jumpa mereka, bisa tiba-tiba pipi gue memerah, canggung, rasa persahabatan tidaklah lagi sama, terlebih gue belum mutusin buat nolak salah satu atau nerima salah satunya. Maka dari itu, gue lari, bukan lari dalam artian yang bisa buat nghos-nghosan ya. Gue lari, kalian pasti ngerti.

      Disinilah gue, duduk di trotoar pinggiran kota di depan kampus, dilindungi rimbunnya daun pohon besar yang menjulang tinggi, dengan panas siang yang masih kentara menyengat dan pantat yang mungkin ikut kepanasan karena terus duduk di tiang-tiang pembatas trotoar dan dinginnya embun basah yang nempel di pipi gue dan…

      “Lho…” dingin?

      “Udah dapat berapa halaman dari merhatiin mahasiswa yang lagi jalan?”

Gue ketahuan.

Memang begitulah Ian, suka sekali tiba-tiba menyerobot pikiran seseorang dan menghalaunya sejauh-jauhnya agar dia mendapat perhatian penuh. Dingin dari es tebu yang di tempelkannya ke pipi gue barusan benar-benar ajaib. Sebelumnya gue sama sekali nggak ngerasain haus, tapi tiba-tiba, ya… gue jadi haus.

      “Haus kan?” Iya haus banget, Ian tau banget apa yang gue suka sekaligus butuh. Tapi gue kan lagi lari dari perasaan gue. Lagi lari dari pernyataan suka orang gila satu ini.

      Kalian juga pasti sudah tebak kalau Ian itu adalah salah satu dari “mereka”.

      “Diminum dong kalau haus.”

      Nggak, gue nggak bakalan minum. Mana bisa gue pura-pura masih jadi sahabat kental padahal hati sudah berbicara.

      “Ian coba-coba cari perhatian Una kan? Sori ya Yan, kalau bersaing itu yang sehat dong!” Mungkin kalian berpikir gue gila. Gue memang gini, orangnya terus terangan. Gue juga bingung sama sifat gue yang satu ini, mungkin ini juga alasannya gue lari dari mereka berdua. Alasannya ya diri gue sendiri yang tidak pandai menutupi kata hati gue. Bisa mendadak apa yang lagi gue pikirin keluar gitu aja dari mulut gue.

      “Un, biasanya kan juga gini. Malah biasanya, lo yang langsung serobot minuman gue tanpa permisi, tapi btw, gue baikkan hari ini?”

      “Ian nggak ngerti kalau sebenarnya Una itu lagi kabur dari kalian, tahu! Sekarang kalian aneh banget, sedikit-sedikit nempel ke Una, sedikit-sedikit nawarin Una boneka lah, bunga lah, apalah itu yang lainnya, Una capek Yan. Sembunyi juga selalu ketahuan. Dulu aja, kalau suka temen Una, hemmm dicuekin, sekarang kalian nyatain su…”

      Kan pipi gue merah lagi kalau ingat mereka itu suka sama gue. Suka Un… suka yang antara cowok sama cewek.

      “Una emangnya nggak suka Ian?”

      “Tauk….!”

      Gue lari, nubruk badan Ian kenceng-kenceng, tapi tetap es tebu yang tadi nempel ke pipi gue, gue serobot aja. Sepertinya gue harus cari tempat persembunyian yang lain lagi, tapi toh kayaknya bakalan ketahuan lagi.

      Dasar perasaan yang nggak berperasaan. Gue capek juga kalau harus terus sembunyi.

Bersambung…

by NiyyaCr

Tentang Luna “Segudang Bakat”

23 Januari 2017 in Vitamins Blog

110 votes, average: 1.00 out of 1 (110 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

“Segudang Bakat”

Hai… I’m Luna, and you can call me “Una”, nama gue artinya bulan, tepatnya bulan bulat penuh yang sedang bersinar terang. Tapi, nama Una menjadikan artinya berubah menjadi “satu”. Cocok banget karena gue anak satu-satunya dari bokap dan nyokap gue.Kalo gue hubung-hubungkan, bulan kan juga cuma ada satu a di bumi. Read the rest of this entry →

DayNight
DayNight