Miss Adviser (Part 1)

21 Juni 2017 in Vitamins Blog

14 votes, average: 1.00 out of 1 (14 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Note : Ini adalah side story Alby dari cerita Mr. Red Wristlet-watch. Jadi ini bercerita dari sudut pandang Alby. Akan aku bagi jadi dua bagian. Ini part 1 dulu. Part 2-nya… ntah kapan :D *duh*

Kalau gitu selamat membaca :)

=============================================================

Sabtu siang, saat di mana para siswa dan siswi bersorak gembira karena jam pelajaran telah usai. Semuanya berhambur keluar dari ruang kelas. Kecuali seorang siswa kelas XII Ipa 2 itu.

Namanya Alby Luthfy Adinata. Ia adalah siswa semester lima di sekolah itu. Ia merupakan siswa terpandai seangkatannya, memperoleh nilai yang selalu memuaskan di setiap mata pelajaran, membuat setiap guru bangga terhadapnya. Ia juga merupakan mantan ketua klub sepak bola di sekolah. Satu piala emas pernah diraih klub sekolahnya setahun lalu, saat ia masih menjabat sebagai ketua klub, dan itu membuatnya digandrungi banyak siswi di sekolah.

Semua orang membanggakannya, kecuali ayahnya. Ia tidak pernah tahu apa isi otak ayahnya itu. Ia sudah menjadi juara satu, tapi ayahnya itu tidak pernah menunjukkan kalau dia bangga pada anaknya. Sesuatu yang membuatnya iri. Ketika para orang tua memuji anaknya saat anaknya menjadi juara kelas, ayahnya tidak pernah melakukan itu. Dia malah menekan Alby terus-menerus, menyuruhnya untuk selalu belajar.

“Hah….” Helaan napas itu keluar begitu saja dari mulut Alby. Pria itu menelungkupkan kepalanya ke atas meja. Lelah, itu yang ia rasakan. Setelah lebih dari seperempat hari berkutat dengan berbagai mata pelajaran yang membuatnya pusing setiap harinya, kini saatnya lelah itu datang.

Alby memejamkan matanya. Tidur sebelum pulang sepertinya lebih baik.

***

Satu jam kemudian Alby bangun dari tidurnya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan merenggangkan badannya untuk beberapa saat. Ia memeriksa jam tangannya. Tepat pukul tiga. Ia harus pulang sekarang.

Mengingat pulang membuat kepalanya kembali sakit. Pulang dan rumah, bukanlah kata-kata yang bagus untu dia ucapkan. Rumahnya bagaikan neraka untuknya. Kembali ke rumah berarti masuk ke dalam neraka. Terdengar berlebihan memang. Tapi itulah yang ia rasakan.

Alby bangkit dari kursinya dengan tasnya yang ia selempangkan di pundak. Dan ia pun berlalu meninggalkan kelas.

Ia berhenti di depan kelasnya, mengedarkan pandangan dan berujung menggerutu. ‘Aisshh… Kenapa sepi sekali? Ke mana orang-orang?’ batinnya. Ia merogoh saku celananya mengambil handphone-nya, bermaksud menghubungi temannya, Anan, saat tiba-tiba ada seseorang yang menabrak punggungnya.

“Ah, maaf. Aku tidak lihat,” ujar seseorang di belakangnya. Pastilah orang itu yang menabraknya. Ia membalikkan badan dan akhirnya melihat orang itu.

Seorang gadis. Dan dia tidak sendiri. Dia bersama temannya. Alby terus menatap gadis itu hingga gadis itu mendongakkan kepalanya dan akhirnya ia bisa melihat dengan jelas wajah itu. Dahinya mengkerut. Wajah itu sepertinya tidak asing baginya. Tapi, kapan dan di mana tepatnya dia pernah melihat gadis itu?

Ia berlalu dari hadapan kedua gadis itu sambil mengingat-ingat lagi. Tapi nihil. Ia tidak mengingat apapun.

Al, kau payah! Mengingat pelajaran kau bisa. Tapi mengingat wajah satu gadis saja kau tidak bisa? Pantas saja kau jadi jomblo sampai sekarang!

***

“Hallo, Al?” jawab orang di seberang. Alby—yang sedang sendirian di parkiran—mendengus kesal.

“Kau ada di mana sekarang? Kau bilang kau mau pulang denganku. Masa aku tinggal tidur sebentar saja kau sudah menghilang?” Orang di seberang telepon mendelik tidak terima. Sebentar katanya?

“Hei Al, kau tidak sadar kau tidur seperti babi? Satu jam kau anggap sebentar? Aku tinggal makan di kantin, sampai aku kembali ke kelas saja kau belum bangun juga dan kau bilang itu sebentar?” dengus orang itu. Alby terkekeh kecil mendengar ocehan orang di seberang.

“Hahaha… Maaf saja Nan, dalam kamusku kan sebentar sama dengan satu jam,” gurau Alby. Orang di seberang telepon yang dipanggilnya ‘Nan’—Anan—itu mendengus lagi. Namun tidak dihiraukannya sama sekali. Ia kembali melanjutkan, “Kau tahu sendiri, akhir-akhir ini aku kurang tidur. Papa menyuruhku untuk belajar, sampai larut malam sekalipun, hanya gara-gara aku mendapat nilai 95 di kuis matematika minggu kemarin,” terang Alby mencoba menjelaskan.

Di seberang, Anan menghela napasnya. Ia kasihan pada Alby. Temannya itu sangat pintar, dan selalu menjadi nomor satu di sekolah. Tapi herannya ayah temannya itu tidak pernah puas akan semua prestasi yang telah susah payah didapatkan Alby. Kalau ia menjadi Alby mungkin ia akan memilih bunuh diri sangkin stresnya.

“Ya, ya. Aku tahu,” balas Anan singkat.

“Terus kau ada di mana sekarang?” tanya Alby sembari mengedarkan pandangannya ke segala arah, berharap menemukan Anan agar ia bisa segera menyeret temannya itu untuk pulang bersama.

“Tidak usah mencariku. Aku sedang berkeliling. Dan, ah…sepertinya aku tidak bisa pulang denganmu. Aku ada urusan mendadak. Kau pulang saja dulu. Atau kau bisa ke tempat futsal biasa. Teman-teman yang lain sedang bertanding futsal di sana. Kau ke sana saja,” cerocos Anan, yang hanya ditanggapi dengan dengusan oleh Alby.

“Ke parkiran sekarang atau…” ucapan Alby terpotong saat sambungan telepon terputus begitu saja. Anan sialan!

Hah… Jadi, mana yang harus kupilih? Segera kembali ke neraka, atau mampir ke surga terlebih dahulu?

Alby, kau bodoh! Tentu saja kau harus memilih surgamu!

***

Dan di sinilah dia sekarang. Bermain futsal bersama teman-temannya dengan penuh kegembiraan. Inilah saat-saat di mana ia tidak perlu memusingkan nilai-nilainya. Ia hanya perlu bermain sepuas mungkin, mencetak gol sebanyak mungkin.

“Goooooll!!!” Sorak sorai yang entah sudah ke-berapa-kalinya itu terdengar sangat riuh saat Alby berhasil membobol gawang lawannya lagi. Ia tersenyum senang. Inilah surganya. Surga bagi seorang Alby.

Ia mengatur napasnya sesaat sambil mengecek jam tangannya. Pukul lima sore. Dan seketika itu juga ia mengumpat.

“Oh, shit!” Dengan tergesa Alby berlari ke pinggir lapangan dan menyambar tasnya.

“Kau mau ke mana Al?” tanya salah satu temannya saat ia sudah hampir mencapai pintu keluar. Ia berhenti dan menjawab pertanyaan temannya itu.

“Aku harus pulang,” jawabnya singkat. Setelah itu ia bergegas keluar dari tempat futsal itu.

Alby berhasil sampai di parkiran beberapa saat kemudian. Ia menetralkan napasnya sejenak setelah berlari, dan mulai merogoh tasnya untuk mencari kunci motornya.

“Sial! Di mana kunci motorku?” tanyanya pada diri sendiri. Ia mendengus kesal karena tak kunjung menemukan kunci motornya. Ia berhenti mencari dan menghela napas sesaat sambil mengedarkan pandangan, menenangkan diri sejenak. Mungkin ia terlalu tergesa-gesa sehingga tidak bisa menemukan kunci motornya.

Alby memincingkan matanya saat menemukan satu pemandangan yang menarik mata di seberang jalan sana. Dan seketika itu juga ia ingat akan wajah gadis itu.

Gadis itu, gadis yang tadi menabrak punggungnya, adalah gadis yang sama dengan gadis yang kini sedang dilihatnya. Ternyata benar ia pernah melihatnya.

Ah, bukan pernah lagi. Tapi sering. Ia sering melihat gadis itu.

Setiap kali ia hendak pulang dari tempat futsal itu, ia selalu melihat gadis itu sedang menyiram bunga, seperti yang sedang dilakukan gadis itu sekarang.

Dan rasa penasarannya mulai muncul. Siapa nama gadis itu? Sepertinya dia tertarik.

***

‘Aku benci hari Senin dan aku benci upacara bendera!’ gerutu Alby dalam hatinya. ‘Apa pula mereka menunjukku sebagai pemimpin upacara hari ini? Ah, sial sekali!’

Alby terus saja menggerutu. Ini semua gara-gara ketua OSIS yang menjadi pemimpin upacara hari ini tidak bisa hadir karena sedang sakit, dan kepala bagian kesiswaan langsung menunjuknya begitu saja sebagai pemimpin upacara dadakan karena menurutnya hanya Alby-lah yang bisa menjadi pemimpin upacara dengan baik walau tanpa latihan sekalipun, membuat Alby mengeluarkan sumpah serapahnya dalam hati. Terkutuklah kau wahai bapak kepala bagian kesiswaan!

Namun sumpah serapahnya terhenti ketika ia melihat gadis itu—gadis yang dilihatnya hari Sabtu kemarin—berdiri di barisan paling depan. Ia juga bisa melihat papan kelas yang ditancapkan tepat di depan gadis itu.

‘XI IPS 2,’ ejanya dalam hati. Senyum Alby mengembang.

Jadi itu kelasmu, eh?

***

Jam istirahat kedua, pukul 12.00.

Jam istirahat tiba. Semua orang berhamburan keluar dari ruang kelasnya masing-masing. Tujuan mereka beragam. Ada yang pergi ke kantin untuk makan siang, ada yang ke kamar mandi, ada yang pergi ke perpustakaan, ataupun keluar hanya untuk duduk di depan kelas dan membuka obrolan ringan dengan teman sebaya sekedar untuk menjernihkan pikiran setelah beberapa jam berada di dalam ruang kelas yang seperti neraka itu.

Alby dan Anan pun sama. Mereka keluar dari ruang kelas mereka. Kedua pria tampan yang digilai banyak gadis itu pergi menuju kantin. Mereka sudah sangat kelaparan sejak satu jam yang lalu karena saat jam istirahat pertama mereka tidak makan apapun gara-gara si guru killer—Bu Hanifa—tidak memberikan waktu untuk mereka istirahat.

Benar-benar killer.

Anan menepuk-nepuk perutnya. “Sabar ya perut, aku akan segera mengisimu,” ucapnya pada dirinya sendiri. Alby yang berjalan di sampingnya hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan teman satu kelasnya itu. Lapar benar-benar bisa membuat orang jadi gila ya?

Alby melirik Anan untuk melihat ‘kondisi’ temannya itu. Namun sesuatu di tangan Anan menarik perhatiannya.

“Buku? Untuk apa kau membawa buku ke kantin?” tanya Alby dengan mata terfokus pada buku yang Anan bawa.

“Oh ini?” Anan memperlihatkan bukunya. “Ini komik. Milik temanku, Asha. Aku meminjamnya minggu lalu,” terang pria itu yang hanya dibalas dengan anggukan oleh Alby.

Mereka masih terus berjalan ketika tiba-tiba saja Anan berseru memanggil nama seseorang. Nama pemilik buku komik yang Anan bawa. Alby mendongak, mencari-cari seseorang yang dipanggil Anan Asha itu. Dan seketika ia merasa kalau takdir selalu memihak padanya.

Jadi namanya Asha?

***

Gadis itu—Asha—berdiri di sana, di ujung koridor. Berdiri mematung dengan mata yang terfokus pada Alby, bukan pada Anan yang memanggilnya. Ia terpaku pada sosok tampan itu—walaupun Anan juga tampan—dan juga jam tangan merahnya, hingga ia tidak sadar kalau kini Anan sudah ada tepat di depannya dan melambai-lambaikan tangan sambil memanggil-manggil namanya di depan wajahnya, meminta fokusnya beralih ke pria itu.

“Oh, kau Nan,” ujar Asha sedikit linglung. Anan mengernyit, bingung melihat tingkah laku temannya ini. Ada apa dengannya? Dan apa yang dilihat Asha tadi?

Anan menengok ke belakang, arah yang ditatap Asha untuk beberapa saat tadi, dan hanya menemukan Alby yang sedang berdiri di ujung koridor satunya sambil mengecek jam tangannya. Apa Asha memperhatikan Alby dan tertarik padanya? Mungkin saja. Tapi…

Ah, sudahlah. Itu tidak penting sekarang. Lebih baik ia menyerahkan buku itu dan pergi ke kantin secepat mungkin agar ia bisa cepat mengisi perutnya yang sudah berbunyi sejak tadi.

***

Hari Sabtu, pukul 14.03.

Bel pulang sekolah berdering tiga menit yang lalu, dan Alby dengan langkah terburu-buru segera meninggalkan kelasnya. Anan yang melihatnya hanya mengerutkan dahi bingung. Tidak biasanya Alby pulang cepat di hari Sabtu. Pasti ada sesuatu yang terjadi.

Alby sampai di parkiran beberapa saat kemudian. Pria itu buru-buru memakai helm dan menghidupkan motornya. Sejurus kemudian ia telah melesat keluar dari gerbang utama sekolah. Pikirannya melayang ke beberapa menit yang lalu, saat ayahnya mengiriminya pesan agar ia datang ke tempat futsal secepatnya.

Dan, sial! Apa yang direncanakan ayahnya sekarang?

-bersambung-

SeruniRian Story – Dia Rian

3 Juni 2017 in Vitamins Blog

14 votes, average: 1.00 out of 1 (14 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Pukul 17:45

“Run, habis ini lo mau ke mana?” Sinta, teman dekatku, bertanya. Aku menoleh ke arahnya, tersenyum masam.

“Penginnya sih langsung balik aja. Tapi hujan gini.” Aku menengadahkan kepala menatap hujan yang tak kunjung berhenti, lalu mendesah pelan. Kalau saja hari ini tidak ada seminar prapendadaran aku pasti lebih memilih mendekam di rumah dan menonton dvd yang baru kubeli kemarin daripada berangkat ke kampus di saat hujan terus mengguyur di sore sampai malam hari. Aku mengangkat kakiku ke atas bangku yang sedang kami duduki, memeluk lutut. Udaranya sangat dingin sekali.

“Lo nggak dijemput?” tanya Sinta lagi. Dan aku pun tersenyum masam lagi.

“Kakak gue nggak mau jemput gue kalau hujan-hujan gini, Sin,” jawabku. Ah, aku jadi ingat chat yang kulakukan dengan kakakku lima menit yang lalu.

Seruni : Kak, jemput dong.

Haikal : Bakso 2 mangkuk?

Seruni : Iya bakso 2 mangkuk, tapi jemput dulu.

Haikal : Ntar ah, masih hujan gede gini.

Seruni : Ya udah deh. Lagian sini juga masih hujan juga sih.

Aku terpaksa mengalah dan menunggu hingga hujan reda, tahu kalau kakakku yang super duper “baik” itu tidak akan rela kehujanan naik motor tanpa mantel – dia anti pakai mantel – hanya demi untuk menjemput adiknya ini.

“Biasanya lo kan dijemput bokap, Run. Emangnya bokap lo nggak ada di rumah?” lagi-lagi Sinta bertanya. Ish, nih anak kepo banget sih.

“Di rumah, mungkin. Cuma gue-nya aja yang lagi nggak kepengin ngerepotin bokap. Kasihan bokap udah tua,” jawabku sekenanya. Sinta mencibir.

“Ck, kalau kasihan ya latihan ngendarain motor dong, biar bisa pulang pergi sendiri,” komentarnya blak-blakan, yang langsung saja kuhadiahi geplakan mematikan di kepalanya.

“Lo kalo ngomong bisa nggak sih disaring dulu? Nyelekit banget di hati tahu nggak?” sungutku padanya. Dia hanya nyengir kuda sembari mengusap-usap kepalanya. Dan setelah itu kami hanya diam sambil menunggu hujan reda.

***

Pukul 19:40

Hujan masih saja turun, tapi sudah tidak selebat tadi, dan Sinta memutuskan untuk pulang terlebih dulu walaupun di luar masih saja hujan. Sedangkan aku? Aku masih di sini menunggu kakakku yang tak kunjung datang, seiring hujan yang tak kunjung berhenti.

“Run, kok masih di sini? Nggak pulang?” tanya sebuah suara. Aku mendongak. Itu Rian, teman sekelasku. Dia berdiri di depanku, sedang mengalungkan tasnya ke bahu. Sepertinya dia sudah mau pulang.

Aku tersenyum padanya. “Nunggu jemputan.” Aku menjawab singkat.

“Mau pulang bareng?” tawarnya. Aku menggeleng pelan.

“Nggak ah, nunggu kakakku aja. Habis ini kami mau mampir ke suatu tempat dulu.”

“Beneran nih nggak mau?” tanyanya memastikan. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.

“Ya udah deh, aku pulang duluan ya,” pamitnya, lalu berbalik dan pergi.

Dan sekarang tinggal aku sendiri di sini. Ya walaupun bukan sendiri yang beneran sendirian di kampus ini. Ada beberapa mahasiswa yang juga masih menunggu hujan reda. Tapi mereka tidak duduk sendirian, juga tidak sedang menunggu jemputan sepertiku.

Oh, betapa aku terdengar menyedihkan.

Aku menatap handphone-ku, menimang-nimang sebentar dan memutuskan untuk menelpon kakakku.

“Kak cepetan jemput dong,” cecarku sedetik setelah kakakku mengucapkan kata ‘halo’.

“Ogah, masih hujan juga,” jawabnya. Aku menghela napas pelan. Sabar, Run, sabar. Aku menenangkan diriku sendiri, menahan sebisa mungkin agar tidak mengumpatnya.

“Tapi ini udah hampir jam delapan, Kak. Aku harus nunggu berapa lama lagi?” Aku menghirup napas sedalam mungkin, sambil merasakan mataku yang memanas dengan sendirinya.

“Ya udah kalau udah nggak sabar nunggu pulang aja sendiri.”

Dan seketika itu juga aku memutuskan sambungan telepon, bertepatan dengan setetes air mataku yang meluncur turun membasahi pipi. Aku menundukkan kepala, agar tidak ada orang yang tahu kalau aku sedang menangis.

Payah! Gitu aja udah nangis! Padahal sudah biasa kak Haikal menyebalkan seperti itu. Namun nyatanya hidup sembilanbelas tahun sebagai adiknya tidak juga membuatku terbiasa.

Aku menghela napas dan menghembuskannya lagi. Sesak sekali rasanya. Kenapa aku menyedihkan sekali? Tidakkah ada yang peduli padaku? Sungguh, aku tidak ingin sendirian sekarang.

Aku mengusapkan kedua mataku yang basah ke lututku. Aku tidak boleh cengeng seperti ini. Masa 19 tahun masih cengeng?

Setelah menghela napas sekali lagi, aku memutuskan untuk beranjak ke kamar mandi terdekat untuk membasuh muka agar tidak terlihat habis menangis.

Selesai membasuh muka aku kembali lagi ke bangku tadi, dan betapa terkejutnya aku ketika menemukan Rian duduk di sana. Dia… belum pulang?

“Ayo pulang!” ajaknya sambil berdiri dari duduknya. Aku yang masih terkejut hanya bisa memandang bingung ke arahnya, sedangkan dia malah berbalik badan, mulai beranjak berjalan menuju parkiran.

Merasa aku tidak mengikuti, Rian berbalik badan. Ia menghela napas ketika melihatku masih berada di tempat semula. Ia kembali menghampiriku.

“Ayo! Aku nggak mau nerima penolakan!” Dia menarik tanganku begitu saja, menyeretku agar aku mengikutinya.

Aku hanya diam memandangi punggungnya. Lalu mataku turun memandangi tangan kami yang bertautan.

Hangat.

Aku tersenyum. Dari semua orang yang ada, ternyata ada satu yang peduli padaku.

Dia… Rian.

-Selesai-

AN: Cerita ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadiku, yang udah ubah beberapa bagian biar kelihatannya nggak ngenes2 amat. Aslinya ngenes bgt sumpah >_<

Btw, makasih udah baca cerita yang pendek banget ini :D

Salam dari penulis yang masih amatiran ini,

Laela Nifi

Mr. Red Wristlet-watch

11 April 2017 in Vitamins Blog

45 votes, average: 1.00 out of 1 (45 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

A story by Laela Nifi & Hasanah Niggrat

***

“Ashaaaaa…..” teriak seorang gadis sambil berlari tergesa-gesa masuk ke dalam sebuah ruang kelas. Gadis yang dipanggil Asha itu hanya memutar matanya bosan. Pasien lagi, batinnya. Asha mengalihkan matanya dari novel yang sedang dibacanya dan mendongak. Ia menemukan Hana, kakak kelasnya berdiri di samping mejanya.

“Duduklah,” perintah Asha, menunjuk bangku kosong di sampingnya. “Ceritain masalah kakak,” lanjut gadis itu. Hana pun mulai bercerita tentang masalahnya, masalah percintaannya kepada Asha.

Di sekolah, Asha sudah biasa menjadi tempat curhat bagi para gadis yang sedang mempunyai masalah percintaan dengan pacar mereka. Terkadang Asha juga memberikan nasihat kepada gadis-gadis itu. Ya walaupun pada kenyataannya dia belum pernah sekalipun menghadapi masalah-masalah percintaan seperti itu karena sampai sekarang dia bahkan tidak pernah berpacaran sekalipun. Tapi ajaibnya nasihat-nasihatnya selalu diterima oleh gadis-gadis bermasalah itu. Ah bukan hanya masalah percintaan saja sebenarnya, masalah keluarga, sampai masalah nilai sekolah pun kadang dipertanyakan oleh mereka.

“PUTUSIN AJA!!!” sambar Asha menjawab pertanyaan Hana.

“Tapi kakak masih suka sama dia, masih sayang sama dia, Ashaaa~” Lagi, Asha hanya menarik napas dan memutar matanya. Bosan, itulah tepatnya yang ia rasakan saat menjawab pertanyaan mereka. Selalu saja seperti ini pada awalnya. Mereka berkeluh kesah, bimbang, dan lain-lain. Membuat Asha harus mempersiapkan petuah panjang untuk mereka.

“Aisssssshh…. Kak Hana itu berniat meminta pendapatku atau tidak sih sebenarnya?” kesal Asha. Gadis itu menekuk wajahnya sebal, membuat Hana tidak berani berbicara lagi. Tapi Asha kasihan juga melihat kakak kelasnya ini menjadi takut padanya. Sesaat kemudian gadis itu pun menghela napasnya. Sabar Sha, bisiknya dalam hati.

“Oke, sekarang gini aja, dia hanya sekali saja kan tidak membalas SMS kakak? Tidak bertemu satu kali pas malam minggu? Cobalah berpikir positif. Mungkin saja dia sedang banyak tugas kuliah jadi tidak sempat untuk SMS kakak atau bertemu kakak. Jangan berpikir yang macam-macam soal dia selingkuh. Sekarang Asha tanya, apa kakak sudah pernah lihat dia selingkuh pakai mata kepala kakak sendiri? Belum, kan?” terang Asha. Hana terdiam mencerna kata-kata Asha. Iya juga sih, pikir gadis itu dalam hatinya.

“Sha, kita jadi pergi les bareng, kan?” sambar Nadine tiba-tiba dari balik pintu kelas. Gadis itu memberi isyarat mata kepada Asha agar gadis itu mengiyakan pertanyaannya.

“Oh iya, hari ini kan ada les. Kakak, Asha pulang dulu ya, ada les. Kalau belum puas curhatnya kapan-kapan kita lanjut lagi, oke?”

“Tapi sha, kita kan belum selesai. Nanti kakak traktir makan deh, gimana? Mau ya?” Aduh makanan, batin Asha. Berat rasanya jika menolak tawaran baik.

“Ashaaaaaaaaaaaaa……!!! Ayo, kita hampir telat ini!” balas Nadine sambil melotot garang melihat kelakuan temannya yang kalau sudah diumpan dengan makanan pasti lupa daratan.

“Iya iya, duluan ya kak. Curhatnya dilanjut lain kali aja.” Asha pun segera memasukkan novelnya ke dalam tas dan beranjak keluar kelas menyusul Nadine.

“Gimana sih Sha? Tadi kamu suruh aku akting bilang kita mau pergi les. Eh pas denger kata makan aja, lupa sama rencana melarikan diri dari pasienmu itu,” gerutu Nadine, kesal.

“Hehehe,”  balas Asha dengan cengiran lebarnya, tidak memperdulikan omelan Nadine.

Kedua gadis itu terus mengobrol, tidak memperhatikan bahwa ada seseorang beberapa meter di depan mereka yang sedang berkonsentrasi dengan handphone-nya, hingga akhirnya Asha menabrak punggung orang itu.

“Ah, maaf. Aku tidak lihat,” ucap Asha meminta maaf. Gadis itu menunduk sembari mengusap-usap dahinya yang terasa sakit. Punggung orang itu keras sekali. Aku seperti menabrak batu besar, gerutu Asha dalam hati.

Orang itu membalikkan badannya tepat pada saat Asha mendongak. Seketika itu juga Asha membeku di tempatnya. Bukan, bukan karena wajah orang itu yang tampan bak pangeran, tapi lebih kepada jam tangan yang dikenakan oleh orang itu. Jam tangannya berwarna merah.

Asha terus menatap jam tangan merah itu, hingga beberapa saat kemudian Nadine menyenggol lengannya, membuatnya tersadar akan apa yang sedang ia lakukan. Gadis itu beralih menatap wajah pria di depannya dan mendapati bahwa tinggi badannya hanya sampai dada pria itu. Sial! Itu penghinaan namanya!

Pria itu mengerutkan dahi, entah apa yang sedang dipikirkannya, Asha tidak tahu dan tidak berniat untuk mencari tahu. Tapi sesaat kemudian pria itu membalikkan badannya dan pergi.

“Ayo sha,” ajak Nadine sambil menarik tangan Asha dan membawanya kembali ke duania nyata.

Pria itu, siapa namanya? Tiba-tiba dia penasaran.

***

“Nad, kau lihat jamnya?”

“Jam siapa?” tanya Nadine balik bertanya.

“Itu, jam orang tadi yang aku tabrak,” jawab Asha bersemangat.

“Jam? Aku tidak memperhatikan jamnya,” ucap Nadine acuh.

“Ah payah! Jamnya warna merah lho Nad, warna MERAH!” balas Asha berapi-api.

“Terus?”

“Aku suka jamnya,” ucap Asha singkat. Gadis itu tiba-tiba tersenyum mencurigakan. “Nad, boleh minta tolong tidak?”

“Jangan menggunakan nada manis seperti itu, Sha. Kau membuatku takut. Cepat katakan, mau minta tolong apa?” ucap Nadine cepat. Gadis itu ngeri sendiri melihat temannya berubah menjadi manis.

“Bisa carikan informasi siapa nama orang itu? Dan kelas berapa dia?”

“Ckk…. Aku kira minta tolong apa. Kalau itu sih aku tahu. Dan mungkin semua orang di sekolah ini tahu, kecuali kau! Tapi, bukannya kau hanya tertarik pada jam tangannya? Kenapa tanya nama dan kelasnya? Ah~ kau suka padanya ya?” tebak Nadine.

“Sudahlah, tidak usah banyak bicara. Kau mau membantuku tidak?” Hah, setannya sudah kembali, batin Nadine.

“Kalau kau tidak mau membantuku ya sudah. Tapi awas ya kalau kau curhat-curhat lagi tentang Anan,” ancam Asha kemudian.

“Eh, kok gitu sih Sha? Aku kan cuma bercanda. Lagi pula, kau itu kuper sekali sih, Sha. Dia kan kakak kelas terkeren. Namanya Alby Luthfy Adinata. Biasa dipanggil Alby. Dia satu kelas sama Anan,” beri tahu Nadine.

“Oh,” balas Asha singkat. “Ayo les!” lanjut gadis itu.

“Eh?” Nadine mengerutkan keningnya. “Kamu sakit ya Sha?” tanya Nadine sambil menempelkan telapak tangannya ke kepala Asha. Asha berusaha menjauhkan kepalanya dari jangkauan tangan temannya itu.

“Ini kan hari Sabtu. Kita mana ada les hari ini? Atau karena kamu lagi jatuh cinta sama kak Alby, si Mr. Jam Tangan Merah itu makanya otakmu jadi konslet gitu?” goda Nadine.

“Tutup mulutmu Nad!” ucap Asha memperingatkan sambil memalingkan wajahnya. Tapi Nadine masih bisa melihat wajah Asha berubah memerah.

“Cieee… yang lagi jatuh cinta. Ternyata penasihat cinta kita bisa jatuh cinta juga. Tapi, kau jatuh cinta pada Alby, atau jam tangannya?” goda Nadine lagi, membuat wajah Asha menjadi lebih memerah.

“Nadiiiiiiiiiiiiiine!! Awas kau! Akan aku beri tahukan pada Anan kalau sebenarnya kau su….” Perkataan Asha terputus karena Nadine mebekap mulutnya. “Le…pas…kan…”

“Hai Sha, Nad,” sapa seseorang. Deg, bekapan tanggan Nadine terlepas seketika. Suara itu…. Anan?

“Awas kau Sha. Kalau kau berani bicara yang macam-macam sama Anan, mati kau,” bisik Nadine di telinga Asha agar gadis itu tidak membuka suaranya.

“Tidak akan,” balas Asha santai. Tidak macam-macam, hanya beberapa macam saja. Hihihi….

“Eh Anan, pucuk dicinta ulam pun tiba,” mulai Asha. Anan dan Nadine yang melihatnya hanya bisa mengerutkan dahi. Mau apa gadis ini? Tiba-tiba Nadine merasa was-was dengan gelagat mencurigakan temannya ini.

“Nan, ada yang mau bicara nih sama kamu,” ucap Asha kemudian, dan gadis itu langsung mendapatkan hadiah berupa tatapan membunuh dari Nadine.

“Ada apa Sha?”

“Sebenarnya sih bukan Asha yang mau ngomong. Tapi ini, si Nadine. Dia ngajak Asha nonton, tapi Asha habis ini mau pergi sama mama, jadi Anan aja ya yang gantiin Asha nemenin Nadine?” pinta Asha dengan wajah manisnya yang dibuat-buat. Nadine semakin mendelik ke arahnya. Sialan kau, Asha!

***

“Kau gila, Sha! Kau mau aku bunuh sekarang?” sembur Nadine saat ia mampir ke rumah Asha.

“Kalau aku gila, berarti kau berteman sama orang gila dong. Dan itu berarti kau juga gila,” balas Asha sekenanya.

“Aku serius!” geram Nadine.

“Aku lebih serius,” jawab Asha pura-pura serius. “Eh, ngomong-ngomong tadi bagaimana? Kau jadi jalan sama Anan?”

“Ashaaaaaaaa! Kau itu ya, bikin aku mau mati! Tapi makasih, aku senang akhirnya bisa jalan berdua sama Anan,” ucap Nadine sambil tersipu malu.

“Jadi, kapan kau mau mengungkapkan perasaanmu ke Anan? Aku bosan dengar curhatmu terus.” Plakk

“Auwww, sakit Nad! kalau mau sayang-sayangan jangan sama aku, mending sama Anan.” Plakk

“Nadine sakittt!!”

“Makanya jangan berbicara sembarangan. Aku jadi heran, kok bisa orang macam kau jadi tempat curhat orang-orang sesekolahan?” ujar Nadine heran. “Oh ya, besok aku mau jalan lagi sama Anan dan mungkin besok juga aku mau bilang kalau aku suka sama dia. Dan aku mau kau membantuku membuat surat cinta buat dia. Kau mau kan, Sha? Mau aja ya Sha?” mohon Nadine.

“Kau meminta tolong apa memaksaku, hah?” sembur Asha pada Nadine. Nadine hanya nyengir kuda. Seperti tidak mempunyai dosa saja, dumel Asha dalam hatinya.

“Makasih Asha, kau memang teman terbaikku. Tapi Sha, apa kau tidak ingin ikut membuat surat untuk kak Alby?” tanya Nadine kemudian.

“Tidak! Terima kasih,” sambar Asha cepat, takut kalau nanti Nadine tahu yang sebenarnya kalau dia sudah lebih dulu mempunyai niatan untuk membuat surat buat Alby.

“Kau yakin? Sha aku tahu kau itu sangat susah hanya untuk sekedar suka pada lawan jenis. Jadi buat sajalah. Mana tahu dengan membuat surat itu perasaanmu jadi lebih terarah?” bujuk Nadine. Asha terlihat berpikir sesaat sebelum memutuskan.

“Baiklah. Tapi aku mau kertas yang warna merah. Kau pilih saja yang lain,” putus Asha.

“Cih, tadi siapa yang bilang tidak mau? Kenapa sekarang malah dia yang bersemangat untuk menulis surat?” gerutu Nadine pelan.

“Kau bilang apa barusan?” tanya Asha memastikan pendengarannya.

“Tidak ada,” elak Nadine. “Ah, apa yang akan aku tulis?”

***

“Loh Nad, kok suratnya masih ada? Kau belum memberikannya pada Anan?” tanya Asha saat melihat surat cinta yang ditulis Nadine hari Sabtu lalu masih ada di dalam tas gadis itu.

“Belum Sha. Aku tidak berani. Kau sendiri?” Nadine balik bertanya. Dilihatnya isi tas Asha dan surat gadis itu juga masih ada.

“Aku juga Nad. Keberanianku Sabtu kemarin menghilang seketika. Lihat wajahnya dari jauh saja sudah bikin aku blank,” jawab Asha lemas. Gadis itu mengeluarkan suratnya dan memandangi benda itu dengan tatapan hampa.

“Ah, sepertinya Tuhan masih sayang dengan status jomblo kita,” ucap Nadine asal.

“Mungkin.”

“Hai ladies!” seru seseorang tiba-tiba dari luar kelas, membuat kedua gadis galau itu terlonjak kaget. Mereka menengok ke arah pintu dan menemukan Anan tengah melongokkan kepalanya ke dalam kelas. Pria itu lalu melangkah ke arah meja Nadine dan Asha.

“Kalian belum pulang?” tanyanya setelah sampai di samping meja kedua gadis itu. Jam sekolah sudah usai dan hanya ada kedua gadis itu di dalam kelas. Pantas kalau Anan bertanya seperti itu.

“Sebentar lagi,” jawab Asha pendek. Anan melihat gadis itu sedang memasukkan barang-barangnya, dan ada sebuah kertas berwarna merah tergeletak di atas meja. Kertas apa itu?

“Ini kertas apa, Sha?” tanya Anan penasaran. Asha membelalakkan matanya seketika saat tangan Anan bergerak untuk mengambil kertas itu.

“Jangan dibaca!” seru Asha. Telat! Anan sudah berhasil membaca satu baris tulisannya. Mata pria itu membelalak kaget.

“Untuk Alby?” seru Anan syok. Plakk!

“Jangan keras-keras bodoh!” sembur Asha. Namun Anan tidak menghiraukan kata-kata gadis itu. Ia terus membaca surat itu sampai akhir.

“Jadi kau menyukai Alby?” tanya Anan setelah selesai membaca surat Asha.

“Dia gila. Suka pada seseorang hanya karena orang itu memakai jam tangan warna merah,” komentar Nadine. Asha menekuk wajahnya, sebal mendengar komentar temannya itu.

“Kau sendiri apa? Suka pada seseorang hanya karena orang itu ja…. Hmmm….” Perkataan Asha terpotong karena Nadine membekap mulutnya. Gadis itu tidak mau Asha membocorkan rahasianya pada orang yang ia sukai. Sedangkan Anan hanya melihat tingkah aneh kedua gadis itu dengan alis berkerut dan tidak perduli. Pria itu melipat kembali surat Asha dan menyerahkannya pada gadis itu.

“Ah iya, kita ada les Sha. Kita harus cepat pulang. Sampai jumpa Anan.” Nadine bergegas menyeret Asha untuk pulang.

***

Seminggu kemudian. Jam istirahat…

“Asha,” panggil Nadine pada Asha. Namun Asha hanya menggumam tanpa mengalihkan perhatiannya dari komik Detective Conan yang sedang ia baca.

“Asha!” panggil Nadine sekali lagi, sedikit menaikkan volume suaranya. Namun sekali lagi, Asha hanya menggumam.

“ASHA!” kali ini berupa seruan dari Nadine, dan Asha langsung mendelik pada gadis itu.

“Apa sih Nad? Berisik tahu!” omel Asha. Gadis itu mengerucutkan bibirnya ketika melihat temannya itu malah membalasnya dengan cengiran lebar.

“Sha, ini tahun terakhir kak Alby di sekolah ini,” beri tahu Nadine.

“Lalu? Apa urusannya denganku?” balas Asha acuh. Gadis itu kembali melanjutkan acara membacanya yang terganggu.

“Kau tidak mau mengatakan perasaanmu padanya?” tanya Nadine, membuat Asha langsung menengok ke arahnya.

“Tidak akan!” jawab Asha tegas. “Dan hei, apakah tidak ada pertanyaan lain? Setiap hari kau hanya menanyakan hal itu saja. Membuat telingaku sakit saja,” gerutu gadis itu kemudian.

“Tidak ada,” sahut Nadine pendek. Asha mendecak kesal. Seandainya mencekik orang itu diperbolehkan, dia akan mencekik gadis di depannya ini. Hah, bagaimana dia bisa berteman dengan gadis menyebalkan seperti Nadine?

“Jadi kau tidak mau menyatakan perasaanmu pada kak Alby?” tanya Nadine lagi.

“Mau aku bilang berapa kali lagi, hah? Aku tidak mau!” jawab Asha kesal.

“Ah sayang sekali. Padahal ini kesempatan terakhirmu. Karena kabarnya setelah lulus nanti kak Alby mau melanjutkan kuliah di Bandung. Bayangkan Sha! Bandung! Jarak dari Medan ke Bandung jauh sekali! Kau tidak akan melihatnya lagi! Terlebih kalau dia kesangkut gadis Bandung dan berniat menikah dengan gadis itu. Mungkin dia tidak akan kembali lagi ke Medan. Dan akan kupastikan kau akan menyesal seumur hidupmu kalau kau tidak menyatakan perasaanmu di tahun akhirnya ini,” jelas Nadine menakut-nakuti. Terlihat Asha berpikir sejenak. Namun gadis itu malah tersenyum setelahnya, membuat Nadine mengernyit heran. Kenapa gadis di depannya itu malah tersenyum?

“Aku yakin aku tidak akan menyesal karena tidak menyatakan perasaanku padannya. Dan Nadine, berhentilah merecoki kehidupanku! Kau sendiri bagaimana, hah? Kau saja sampai sekarang tidak berani kan menyatakan perasaanmu pada Anan?” Dan skak mat! Nadine tidak berbicara lagi setelah itu.

***

Hari berikutnya…

“Asha, Asha, Asha, ayo buruan ikut.” Nadine menarik-narik tangan Asha agar cepat mengikutinya. Asha yang bingung hanya bisa pasrah ditarik-tarik oleh temannya. Sampai di tempat tujuan, Nadine melepaskan pegangan tangannya dan mendorong Asha untuk melihat sesuatu yang terpasang di papan mading.

“Lihat sendiri,” suruh Nadine. Asha mengerutkan kening tidak mengerti, tapi tetap menuruti apa yang Nadine katakan. Sesaat kemudian matanya membelalak lebar melihat sebuah kertas berwarna merah terpasang di papan itu. Ada tulisan tangannya di kertas itu. Dan ia tahu dengan jelas apa isinya. Itu…. Surat cintanya untuk Alby. Sial! Siapa yang memasangnya?

Asha menatap nanar surat itu. Aisshh…. Pasti sudah banyak yang membacanya. Apa Alby juga sudah membaca….

“Huwaaaaa….” teriak Asha tiba-tiba. Gadis itupun buru-buru melarikan diri dari tempat itu. Sial! Kenapa dia tidak menyadari kalau Alby ada di sampingnya? Asha bodoh! Rutuk gadis itu dalam hati. Gadis itu terus berlari hingga akhirnya ia sampai di lapangan bola voli yang terletak di belakang gedung lab TIK. Ia sedang mengatur napasnya yang sesak sehabis berlari ketika ia mendengar sesorang berseru memanggilnya.

“Asha?” panggil orang itu. Asha memandang sekelilingnya dan melihat Anan, Fachri Andreas Hanan, sahabatnya sedang melambaikan tangan ke arahnya di sisi lain lapangan. Pria itu sedang duduk di pinggir lapangan, menonton anak-anak yang sedang bermain bola voli. Asha menghampiri pria itu dan duduk di sebelahnya.

“Kenapa kau berlarian seperti itu? Aku rasa tidak ada yang mengejarmu,” tanya Anan heran. Pria itu meneliti wajah sahabatnya, dan mendapati titik-titik keringat di dahi gadis itu.

“Surat itu Nan,” mulai Asha. “Ada yang mengambil surat itu.” Gadis itu berhenti saat merasakan telapak tangan Anan mengusap dahinya pelan.

“Kau berkeringat,” ujar pria itu pelan. “Lanjutkan ceritamu!”

“Aku tidak tahu siapa yang mengambilnya dan tiba-tiba saja surat itu sudah tertempel di mading. Dan parahnya lagi Alby sudah membacanya. Aisshh… Bagaimana ini?” terang Asha panjang lebar dengan intonasi yang cepat. Sedangkan Anan masih tetap mengusap dahi gadis itu. Pria itu tersenyum melihat raut wajah sahabatnya yang sebal sekaligus ngeri membayangkan bagaimana reaksi orang-orang satu sekolah setelah membaca surat gadis itu.

“Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Kau kan sudah biasa membuat malu diri sendiri. Jadi seharusnya kali ini tidak menjadi masalah,” tukas pria itu enteng. Dan seketika itu juga ia mendapatkan jitakan keras dari gadis di hadapannya.

‘Plak’

“Aww…. Asha, ini sakit,” ucap Anan sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit.

“Aku tahu,” balas Asha tak acuh. Ingin rasanya Anan balas menjitak gadis ini. Namun ia masih berpikir waras. Sahabatnya ini seorang gadis, dan ia tidak pernah setega itu untuk menyakiti seorang gadis.

“Ah~ Anan, bagaimana ini?” rengek Asha kemudian. Gadis itu menelungkupkan kepalanya pada kedua lengannya yang ia tumpukan pada lutut. Anan tersenyum geli melihatnya. Namun senyumnya pudar ketika melihat seseorang sedang berjalan ke arah mereka.

Anan berdiri secara diam-diam dan pergi dari tempat itu tanpa Asha ketahui.

“Nan…” Asha menengokkan kepalanya ke arah tempat Anan duduk tadi. Tapi pria itu sudah tidak ada. “Eh? Kemana anak itu?”

Asha tidak menyadari bahwa ada seseorang sedang berdiri di depannya dan memandanginya intens. Orang itu menghela napas pelan lalu berujar.

“Jadi, kau suka padaku gara-gara jam tangan merah ini?” Deg. Itu kan suara….

Asha mendongak dalam gerakan pelan, dan… Ya Tuhan…. Dia benar-benar Alby. Bagaimana dia bisa ada di sini? Aduuh tamatlah riwayatmu Sha…. Tapi, ya sudahlah, masa bodo, jujur saja Sha, ucap gadis itu dalam hati.

Asha sudah hendak membuka mulutnya untuk menjawab tapi pria di depannya malah menyelanya.

“Atau sebenarnya kau hanya suka pada jam tanganku saja?”

“Apa?” tanya Asha tidak fokus. Pria itu berada tepat di depannya, mengenakan seragam sekolah yang harusnya terlihat biasa-biasa saja tapi tidak akan pernah menjadi biasa jika pria itu yang memakainya, dan jam tangan merah itu memperkeruh keadaan. Gadis itu sangat suka dengan barang-barang berwarna merah, dan jam tangan pria itulah yang paling ia sukai.

“Kau hanya suka pada jam tanganku?” ulang Alby. Seakan tersadar, Asha buru-buru menggelengkan kepalanya.

“Tidak!” seru gadis itu.

“Lalu?” tanya Alby. Cisshh…. Tidakkah sudah jelas? Kenapa masih bertanya? Apa dia sedang bermaksud mempermalukanku? kesal Asha. Gadis itu melirik ke kanan dan kirinya. Banyak orang yang memperhatikan mereka. Oh sial! Alby menyebalkan!

Asha menghela napasnya dan menjawab dengan lirih, “Aku mencintaimu. Kau puas?”

“Apa? Kalau berbicara yang keras, Asha. Aku tidak mendengarnya,” goda Alby. Dengan geram Asha menginjak kaki pria itu dan berlalu pergi. Namun langkah gadis itu terhenti seketika saat merasakan tangannya ditarik ke belakang. Pasti pria itu. Aisshh….

“Asha, kau mau ke mana?” tanya Alby ramah. Namun bagi Asha itu terdengar lebih mengerikan daripada bisikan setan sekalipun.

“A-Aku mau ke kelas,” jawab Asha takut-takut.

“Sebelum ke kelas, kita ke suatu tempat dulu.” Dan tanpa permisi Alby langsung menarik tangan Asha.

***

Lapangan sepak bola. Alby mengajak Asha ke lapangan sepak bola.

“Mau apa kau mengajakku ke sini?” tanya Asha was-was. Asha melihat ke sekeliling lapangan. Banyak siswa yang menonton mereka. Dan jangan bilang kalau pria itu mau…

“Mengajakmu bertanding sepak bola, tentu saja. Memangnya mau apa lagi?” jawab Alby. “Aku akan menawarkan sesuatu yang menarik padamu. Kalau kau bisa memasukkan bola sekali saja ke dalam gawang sebelum aku berhasil memasukkan 10 bola, maka aku akan mengatakan sesuatu yang romantis padamu,” lanjut pria itu. Asha melongo mendengarnya. Gila! Bagaimana bisa dia melawan Alby yang notabenenya mantan ketua klub sepak bola di sekolah mereka? Dan….

“Hei kau sudah gila? Menyuruhku melawanmu dengan menggunakan seragam ini?” tanya Asha, menunjuk seragam sekolah yang dipakainya. Masa iya dia mau bermain sepak bola memakai rok dan sepatu ber-hak? Dan sebenarnya itu hanya alasannya saja agar pria menyebalkan ini mau mengurungkan niatnya.

Alby terlihat berpikir sejenak lalu menyeringai. Oh God! Dia terlihat seperti setan penuh dosa sekarang. Terlalu tampan, terlalu menggoda. Haissshh…. Singkirkan pikiran-pikiran itu Asha!

Alby berjalan ke pinggir lapangan, menghampiri seorang gadis berkacamata. Kalau tidak salah gadis itu teman sekelas Alby. Asha melihat pria itu tersenyum kepada gadis berkacamata itu dan berkata sesuatu kepadanya.

“Riska, boleh aku meminjam seragam dan sepatu olahragamu?” tanya Alby kepada gadis berkacamata yang ternyata bernama Riska itu. Asha memutar bola matanya. Cisssh…. Perayu ulung.

“Boleh. Sebentar, aku akan mengambilkannya untukmu.” Gadis itupun berlalu pergi untuk mengambil seragam dan sepatu olahraganya. Aisshh…. Kenapa juga gadis itu harus menurut kepada Alby? Apa gadis itu menyukai Alby? gerutu Asha kesal dalam hatinya. Beberapa saat kemudian gadis itu kembali.

“Ini seragam dan sepatu olahraganya, Al.”

“Thanks ya.” Alby pun kembali ke lapangan tempat Asha sedang menunggu.

“Ganti dengan ini,” suruh pria itu.

“Kau ini berniat sekali kan mempermalukanku di depan semua orang?” kesal Asha. Dan hanya dibalas dengan cengiran lebar oleh Alby. Sial!

***

“Kenapa dia lama sekali?” gerutu Alby sambil memainkan bolanya di tengah lapangan. Dia sedang menunggu Asha yang tidak juga kembali sejak lebih dari 5 menit yang lalu. Untung saja hari ini semua guru sedang ada acara, jadi dia tidak perlu mempercepat permainannya dan bisa menyiksa gadis itu lebih lama.

“Isssshh…. Kenapa anak perempuan selalu lama kalau ganti baju?” Alby sudah berdiri dan hendak menyusul Asha ke kamar mandi, tapi langkahnya terhenti ketika melihat gadis yang ia tunggu sedari tadi sedang berjalan ke arahnya dengan wajah yang menunduk. Tebakan yang paling memungkinkan adalah gadis itu malu menjadi pusat perhatian semua orang. Dan sepertinya itu benar. Tapi perhatian Alby teralih pada rambut gadis itu yang dikuncir kuda. Memperlihatkan leher gadis itu yang seharusnya tidak ia lihat di saat-saat seperti ini. Astaga….! Hei Alby! Perhatikan raut wajahmu sendiri! Kau seperti orang bodoh sekarang.

“Puas kau?!” semprot gadis itu saat sudah berada di depannya. Alby memperbaiki raut wajahnya menjadi datar lalu menyeringai puas. Dan mereka pun memulai pertandingan.

***

“Kau curang!” teriak Asha. Sudah 8 kali ia meneriakkan hal yang sama, dan sudah 8 kali pula Alby berhasil memasukkan bola ke dalam gawang Asha, hal yang sangat mudah untuk dilakukan oleh pria itu.

“Kau saja yang tidak bisa menendang. Dasar bodoh!” ejek Alby. Pria itu bersedekap dan memandang Asha remeh. Asha sendiri sudah hampir kehabisan napas. Tapi ia tidak akan membiarkan pria itu mengalahkannya. Lagipula ia penasaran akan ‘sesuatu yang romantis’ yang pria itu janjikan.

“Kau mau menyerah?” tanya Alby dengan lagak sombongnya. Cisshh…. Menyerah katanya?

“Hanya dalam mimpimu!” jawab Asha. Gadis itu mengatur napasnya sejenak, lalu menegakkan badannya lagi. Ia mengatur kembali tatanan rambutnya yang sudah agak berantakan, mengikatnya menjadi gulungan yang lebih tinggi lagi. Gadis itu juga mengikat bagian depan baju olahraga yang dipakainya. Baju itu terlalu longgar untuknya.

Setelah selesai, Asha mendongak, melihat pria di depannya yang sedang mengalihkan tatapannya ke arah lain dengan wajahnya yang sedikit memerah. Kenapa pria itu? Malu melihatnya, eh?

“Hei, ayo lanjutkan,” ajak Asha. Pria itu kembali menatapnya, tapi sepertinya sedikit tidak fokus.

“Ayo,” balas Alby datar. Asha mengerutkan kening, tidak mengerti dengan perubahan sikap pria di depannya. Pria aneh, pikirnya.

Pertandinganpun dilanjutkan. Asha berhasil merebut bola. Gadis itu menyeringai kepada Alby. Namun Alby malah terdiam dan terlihat…. gugup? Entahlah. Atau matanya saja yang salah lihat?

Dengan semangat Asha menggiring bola itu ke depan gawang Alby. Alby yang tersadar akan apa yang sedang terjadi langsung mengejar Asha. Namun ia terlambat karena gadis itu telah berhasil memasukkan bola itu ke dalam gawangnya.

“GOOOOL!!!” Semua orang berseru senang atas keberhasilan Asha. Gadis itu tersenyum senang. Akhirnya…..

Di belakangnya, Alby berdiri mematung, menatap nanar kejadian itu. Dia kalah? Dan itu berarti…. Dia harus menepati janjinya.

“Oke, kau harus berani Al!” sugestinya pada dirinya sendiri. Alby menghembuskan napasnya pelan untuk meminimalisir kegugupannya, lalu pria itupun menarik tangan Asha hingga gadis itu berbalik menghadapnya. Mata mereka saling menatap. Lama mereka melakukan hal itu sampai akhirnya Alby mengatakan sesuatu.

“Aku….” Pria itu menelan ludahnya gugup.

“Aku….” Kenapa di saat-saat seperti ini ia tidak mempunyai keberanian?

“Aku….” Pria itu kehilangan fokusnya. Dan dalam sekali sentakan ia menarik Asha ke dalam pelukannya. Ia menunduk, menyeruakkan wajahnya ke cekungan leher Asha, meredam suaranya.

“Aku mencintaimu. Kau dengar, kan?”

***

“Jadi, siapa yang menempel suratku di mading?” tanya Asha pada Nadine dan Anan. Dengan cepat Nadine menunjuk Anan.

“Siapa yang mempunyai ide tidak manusiawi itu?” tanya Asha lagi. Kali ini Anan menunjuk Nadine.

Asha menghela napasnya, mencoba untuk bersabar. Di sudut ruang kelas terlihat Alby sedang berdiri, menonton aksi introgasi yang sedang dilakukan oleh gadis yang sudah resmi menjadi pacarnya sejak satu jam yang lalu itu. Pria itu tersenyum kecil ketika melihat wajah gadisnya yang bersungut-sungut karena jengkel akan kelakuan kedua temannya.

“Nad, kau tahu ini apa?” Asha memegang sebuah surat di tangan kanannya. Surat milik Nadine. Sontak Nadine membelalakkan matanya. Asha menyeringai puas.

“Nan, tangkap!” Asha melemparkan surat itu kepada Anan. Anan pun menangkapnya dan membuka lipatan surat itu.

“Jangan dibaca!” seru Nadine panik.

“Baca saja,” saran Asha santai.

“ASHA MENYEBALKAN!”

“BWAHAHAHAHAHA……”

-END-

AdrianAra – Momen (Gagal) Romantis

11 April 2017 in Vitamins Blog

36 votes, average: 1.00 out of 1 (36 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

‘Kriiiiiiiing…..’

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring, menandakan kegiatan belajar mengajar hari Jumat itu telah selesai. Adrian membereskan peralatan tulisnya dan bergegas keluar kelas setelah bu Ariana pergi. Pria itu berlajan menuju kelas X.5 dimana kelas Ara berada.

Sampai di sana, ia mendapati gadisnya baru saja keluar kelas. Ia menghampiri gadis itu dan mengajaknya pulang.

“Yuk pulang!” Hanya itu yang Adrian katakan. Ara pun mengangguk, dan mereka pun berjalan menuju parkiran dimana mobil Adrian berada.

“Tadi PR matematika-nya gimana? Bener semua nggak?” tanya Adrian saat ia dan Ara sudah sampai di samping mobilnya. Adrian membukakan pintu untuk Ara, namun gadis itu hanya diam dan malah memandang Adrian jengkel.

“Plis, bisa nggak kita nggak ngomongin pelajaran dulu, Dri? Tiap kali ngobrol, pelajaran mulu yang dibahas. Emang nggak ada topik lain apa?” Ara menjawab dengan jengkel, membuat Adrian hanya bisa terdiam untuk sesaat.

Sembari menggaruk tengkuknya, pria itu ragu-ragu bertanya, “Besok kamu berangkat ekskul, kan?”

Ara seketika melengos dan memilih masuk ke dalam mobil. Adrian yang melihat itu hanya meringis dan menutup pintu mobil di sisi Ara duduk. Pria itu kemudian memutari mobil dan masuk ke kursi kemudi.

“Kita ini pacaran. Tapi tiap hari yang diomongin cuma pelajaran doang, pelajaran lagi, pelajaran terus, pelajaran mulu. Bosen tau nggak?!” Ara berkata dengan berapi-api, membuat Adrian yang tengah memakai sabuk pengamannya terlonjak kaget.

Pria itu menghela napasnya pelan, mencoba bersabar menghadapi gadisnya yang entah mengapa hari ini senang sekali marah-marah. Ia pun menatap gadis yang duduk di sampingnya itu.

Manis. Gadisnya ini manis sekali, sebenarnya. Tapi kalau sedang marah-marah seperti ini, dia bisa jadi menyeramkan.

Adrian menepuk puncak kepala Ara sekali sembari menatap gadis itu dalam dan Ara balas menatap Adrian dengan jantung yang berdetak kencang. Pasalnya Adrian tidak pernah berlaku seperti ini. Adrian adalah pria kaku yang tidak bisa melakukan hal romantis lain-selain membukakan pintu mobil untuk Ara. Jadi dipandang seperti itu oleh Adrian membuatnya berdebar.

Beberapa detik berlalu masih dengan posisi yang sama. Sampai momen itu rusak oleh pertanyaan Adrian.

“Kamu belum makan ya?”

Ara hanya menjawab “Ha?” dengan tatapan bingungnya.

Detik berikutnya pria itu menyeringai dan mengacak-acak rambut Ara. “Kamu rese kalo lagi laper.”

Dan Ara tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menjambak rambut Adrian.

Marrie Yan – 03. Marrie, Bad Mood

27 Februari 2017 in Vitamins Blog

24 votes, average: 1.00 out of 1 (24 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Di Sabtu siang pada bulan Agustus, semua siswa SMA Taruna Bakti melaksanakan bersih-bersih masal yang dilakukan setiap sebulan sekali sepulang sekolah hingga jam 3 sore.

Di kelas XI IPA 1, terlihat Marrie sedang membersihkan kaca jendela yang tingginya lumayan, hingga mengharuskannya memakai kursi agar bisa menjangkau jendela itu. Mengingat tinggi badannya yang tidak seberapa.

Dia sedang asik membersihkan kaca ketika ada seseorang yang menyebut namanya.

“Mer, gue pulang dulu!” ujar seorang gadis bernama Arum. Ia berujar sambil berlari tergesa-gesa.

“Arum, lo mau kemana?” teriak Marrie ketika dilihatnya Arum sudah agak jauh dari tempatnya berdiri.

“Nanti sore gue ada kencan sama pacar gue. Jadi gue harus siap-siap dulu!” balas Arum berteriak. Marrie kesal, tentu saja. Dan apa katanya tadi? Kencan? Yang benar saja? Ini bahkan baru jam 2 lebih 15 menit, dan gadis itu bilang harus bersiap-siap kencan? Berarti, berapa lama gadis itu bersiap-siap? Lebih lama dari membersihkan ruang kelas? Hah… menyebalkan!

Marrie membalikkan badannya dan menemukan beberapa teman sekelasnya memandanginya.

“Apa? Kalian juga mau izin kayak Arum, hah?” bentak Marrie pada teman-temannya. Sontak semua temannya menggeleng cepat. Tidak mau diamuk oleh Marrie. “Kembali bersih-bersih!” lanjutnya kemudian, masih dengan nada membentak. Teman-temannya pun kembali melakukan aktivitas mereka semula, bersih-bersih.

Marrie meloncat turun dari kursi yang tadi digunakannya sebagai pijakan. Masuk ke kelas dan mencari-cari sosok Rian yang sedari tadi tidak terlihat. Kemana pria itu?

“Lo tahu dimana Rian?” tanya Marrie pada seorang teman laki-lakinya yang sedang mengelap kaca bagian dalam kelas. Kalau tidak salah namanya Ardi.

“Tadi sih kita ke kantin bareng, tapi katanya dia mau makan dulu. Kayaknya dari pagi dia belum sarapan deh Mer,” jawab Ardi.

“Oh, ya udah kalau gitu. Lo balik bersih-bersih,” suruhnya pada Ardi. Ardi hanya manganggukkan kepalanya dan kembali mengelap kaca.

“Marrie!” Seorang gadis memanggilnya. Dia Shilla, gadis paling cantik dan juga paling manja di kelasnya.

“Ya?”

“Emm…, gue boleh pulang duluan nggak? Nyokap gue udah nungguin di depan. Boleh ya Mer?” Marrie menatap Shilla dan menghela nafas panjang. Dasar anak mama, gerutunya dalam hati.

“Ya udah deh, pulang sana. Toh dari tadi lo nggak ngapa-ngapain juga,” jawab Marrie dengan setengah hati dan kesal. Dan Shilla hanya nyengir kuda menanggapi kekesalan Marrie.

“Kalau gitu, gue pulang dulu, ya. Bye~ Marrie!”

“Ish…, kenapa hari ini semuanya nyebelin, sih?” gerutu Marrie.

“Jangan marah-marah terus Put, cepet tua loh,” ujar sebuah suara dari arah belakangnya. Marrie membalikkan badan dan menemukan Rian sedang tersenyum, jelas sedang bermaksud menggodanya.

“Gimana nggak marah-marah kalau semua orang hari ini nyebelin banget?”

“Coba aku tebak, pasti kamu lagi haid, ya?”

“Haissh…, Ian! Jangan bikin aku tambah gondok deh. Kamu mau aku plaster mulutnya, apa aku sumpal pakai ini?” ujarnya sambil mengacungkan kemoceng yang tadi ia gunakan untuk membersihkan jendela.

“Ck, emang ya, perempuan kalo lagi haid itu bawaannya marah-maraaaaah terus,” goda Rian lagi.

“Ian!” Marrie mengerucutkan bibirnya kesal.

“Oke, oke. Sini kemocengnya!” Ian merebut kemoceng yang dipegang Marrie. “Kamu pasti nggak nyampe ke jendelanya ya? Makanya kamu pakai kursi, iya kan?”

“Ian, udah deh, jangan ngegodain aku mulu!”

“Iya iya. Dasar pendek. Berapa sih tinggi badanmu?” ejek Rian.

“Jangan bawa-bawa tinggi badan segala, deh. Cepat bersihin jendelanya!”

“Iya bawel. Dan hei! Aku ini ketuanya. Kenapa jadi kamu yang ngasih perintah, sih?” tanya Rian heran.

“Karena dari tadi kamu belum ngerjain apa-apa. Malah enak-enakkan makan di kantin. Ketua macam apa kamu, hah?” balas Marrie.

“Itu kan karena aku belum makan sejak pagi tadi. Jadi aku ke kantin dulu,” ujar Rian membela diri. “By the way, kamu tahu dari mana aku ke kantin, Put?” tanya Rian dengan senyum di bibirnya. “Kamu nyariin aku ya?”

Bingo. Tebakan Rian tepat sasaran. Dan lihatlah, sekarang gadis itu terlihat seperti maling yang tertangkap basah habis mencuri sesuatu. Sangat gugup.

“Sudahlah, nggak usah dibahas lagi!” seru Marrie dengan wajah kesalnya yang dibuat-buat untuk menutupi kegugupannya. Namun gagal, karena sekarang wajahnya sudah memerah seperti tomat. Rian tersenyum penuh kemenangan. Pria itu kembali melanjutkan acara membersihkan jendela dengan kemocengnya. Tapi lama-lama, ia merasa ada yang memperhatikannya.

“Kenapa kamu ngelihatin aku terus sih, Put?” Rian berbicara kepada Marrie tanpa melihat ke arah gadis itu. Ia tengah sibuk membersihkan bagian atas jendela yang tinggi, hingga ia harus memanjat kursi untuk bisa menjangkau bagian yang kotor itu.

“Nggak. Siapa yang ngelihatin kamu? Aku cuma awwww….!” Marrie mengaduh sambil menutupi mata kanannya dengan tangan. Rian menunduk untuk melihat Marrie.

“Kamu kenapa, Put?” tanya Rian panik.

“Aku kelilipan bodoh! Masih tanya lagi. Tiupin kek!” pinta Marrie dengan wajah cemberut.

“Ck, minta tolong aja pakai acara ngata-ngatain bodoh dulu. Dasar pendek,” ejek Rian, tapi tetap menuruti perintah gadis itu untuk meniup matanya.

“Sini, deketan dikit,” suruh pria itu. Marrie mendekat ke arah Rian dengan mata tertutup sebelah. Lalu pria itu menangkup pipi Marrie dengan tangan kirinya dan melebarkan mata kanan Marrie dengan kedua ibu jari tangannya.

Wajah pria itu mendekat, dan semakin dekat dengan wajah Marrie. Membuatnya terserang gugup secara tiba-tiba. Rian menghela nafas pelan, lalu mengarahkan bibirnya ke arah mata Marrie dan meniupnya pelan. Tiba-tiba….

*jepret*

“Cieeeeee~ so sweet banget sih,” goda Lisa setelah melihat hasil jepretan kamera digital barunya. Ia puas dengan hasil jepretannya. “Hmm… bagus juga. Nih Dho, bagus kan?” tunjuknya pada Ridho.

“Iya, bagus. Kamu emang berbakat jadi photographer, Lis,” puji Ridho. Rian ingin muntah mendengarnya. Tapi ia tetap fokus meniup mata Marrie.

“Sudah,” ucap Rian ketika ia sudah selesai meniup mata Marrie.

“Oh, makasih Yan.” Marrie mengucek-kucek matanya. Lalu mengarahkan matanya ke arah Lisa. Memandang gadis itu dengan murka.

“Oh…, jadi lo yang berulah barusan, Lisa sayang?” tanya Marrie. Lisa merasakan aura membunuh yang terpancar dari tubuh Marrie. Gawat! Ia merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi setelah ini. Dan benar saja, sedetik kemudian kamera barunya sudah berpindah ke tangan Marrie. Gadis itu telah merebutnya.

“Emm…, Lis, berapa harga kamera ini?” tanya Marrie. Lisa menggeleng. “Gaimana kalau gue celupin ke air di ember itu? Rusak nggak ya?” tanya Marrie lagi dengan wajah horor. Dan setelah itu, yang terdengar adalah suara teriakan Lisa dan juga suara tawa Rian.

***

“Harusnya tadi kamu buang aja kameranya, Put. Lihat anak itu sekarang! Dia ngikutin kita terus dari tadi. Kaya paparazzi aja,” gerutu Rian. Ia melirik ke arah belakang, di mana Lisa dengan semangat membidikkan kameranya ke arah pria itu dan Marrie yang sedang berjalan bersisihan. Mengganggu saja, pikir Rian.

“Biarin aja lah. Hitung-hitung amal,” jawab Marrie asal. Gadis itu tidak sadar bahwa jawabannya barusan membuahkan sebuah ide jahil di kepala Rian.

“Amal, eh?” tanya Rian, membuat Marrie mendongak menatapnya. “Kalau gitu, mari kita beramal lebih banyak!”

***

“Eh? Apa ini, Yan?” tanya Marrie penasaran ketika Rian datang memberinya sebuah bungkusan plastik setelah tadi tiba-tiba pergi tanpa mengatakan apa-apa.

“Cokelat dan es krim. Kamu suka kan?” Marrie mengangguk menanggapi pertanyaan Rian. Matanya berbinar-binar menatap cokelat dan es krim yang ada di dalam plastik itu.

*jepret*

“Woaaa…. bagus hasilnya. Lagi dong lagi!” suruh Lisa setelah melihat hasil jepretannya barusan. Dan ia tidak menyadari perubahan wajah Marrie yang mengerikan.

“Lisa sayang, sebaiknya lo amankan kamera lo sebelum gue lempar ke tengah jalan.” Lisa bergidik ngeri, dan secepat kilat kabur dari Marrie sebelum gadis itu berhasil merebut kameranya lagi.

“Sudahlah, ayo pulang!” ajak Rian. Pria itu mengulurkan tangannya dan disambut dengan senang hati oleh Marrie. Marah-marah tidak akan menyelesaikan semuanya. Sebaiknya dia pulang saja. Toh nanti di kos-kosan dia akan bertemu dengan Lisa lagi. Dan saat gadis itu tidur, ia bisa mengambil kamera gadis itu dan menghapus foto-fotonya bersama Rian, beres kan?

 

-END-

Drabble Abi Gisella – Rindu

26 Februari 2017 in Vitamins Blog

18 votes, average: 1.00 out of 1 (18 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

*PS: Jangan baper ya! :D

 

***

 

Aku sedang duduk di sofa balkon kamarku. Suara biola dari Lindsey Stirling mengalun indah di earphone-ku, membuatku tanpa sadar memejamkan mata. Kegiatan ini adalah kegiatan paling menyenangkan sejak enam bulan terakhir. Di sore hari, mendengarkan musik, dan melihat balkon kamarnya. Berharap… dia akan muncul di sana.

Oh, dia bahkan baru pergi selama enam bulan. Tapi aku sudah serindu ini. Dia kurang ajar sekali, bukan? Membuat orang rindu setengah mati.

Aku mendesah pelan. Bayangan dia tersenyum memenuhi otakku sekarang. Terlihat nyata. Oh yeah, aku dan imajinasiku.

Tapi bayangan itu semakin terlihat nyata kala aku membuka mata dan… menemukannya tepat di depanku. Oh, apa aku sudah gila gara-gara merindukannya? Atau imajinasiku saja yang terlalu tinggi hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku?

Aku mengerjap beberapa kali untuk memastikan apakah ini hanya bayangan dari imajinasiku saja atau memang sungguhan. Dan seharusnya kalau dia hanya bayangan, dia pasti akan hilang setelah aku mengerjap – oh itu hanya teoriku – tapi ini… dia bahkan masih tetap ada walaupun aku sudah mengerjap sepuluh kali.

“Ini nyata?” tanyaku bodoh. Dan detik berikutnya kurasakan pipiku dicubit. Good! Ini benar-benar nyata. Sakitnya nyata!

“….” Dia tersenyum. Sangat manis. Aku balas tersenyum. Eh tapi, barusan bibirnya bergerak, dia bicara apa?

“Kamu bilang apa barusan, Bi?” Aku bertanya. Dia mendengus, melepas earphone-ku lalu melenggang masuk ke dalam kamarku. Aku pun beranjak mengikutinya. Dia membanting tubuhnya ke ranjangku, berbaring menelungkup, dan memejamkan mata. Dan tidak mengatakan sepatah kata pun untuk menjawabku! Oh apa dia marah karena aku tidak mendengarnya tadi?

“Abi, kamu marah?” tanyaku. Kugoyang-goyangkan bahunya, membujuknya untuk bicara. “Abi maafin kak Gisel. Tadi kakak lagi dengerin musik makanya kakak nggak denger Abi ngomong. Abi kan tahu kakak suka dengerin musik, apalagi biola. Abi…” Kata-kataku terhenti saat kudengar suara dengkuran halusnya. Aku menghela napas. Dia tertidur. Mungkin dia kelelahan setelah mengendarai motor dari Jogja ke Jakarta.

Aku mengelus kepalanya pelan dalam gerakan teratur. Baru enam bulan dia menjadi mahasiswa di Jogja dan berada jauh dariku, tapi aku sudah merindukannya separah ini. Bagaimana nanti kalau dia sedang praktik kerja dan ditempatkan di tempat yang lebih jauh lagi selama sebulan, atau bahkan lebih? Dia mungkin tidak bisa menghubungiku selama masa praktik kerjanya.

Dan aku akan gila dibuatnya!

Aku masih mengelus kepalanya saat kurasakan dia bergerak dan menjangkau tanganku yang tengah mengelus kepalanya, membuatku berjengit karena kaget. Dia mencium telapak tanganku, lalu merubah posisinya – dari berbaring menelungkup – menjadi terlentang. Hingga kini dia menghadapku.

“Abi kangen Kak Gisel,” ujarnya, dengan suara beratnya. Lalu ganti dia mengecup punggung tanganku lama. “I love you.”

Aku tersenyum senang, mengetahui bahwa bukan hanya aku saja yang merindukannya, karena pada kenyataannya dia juga merindukanku. Bahwa bukan hanya aku saja yang tersiksa dengan fakta bahwa kami saling berjauhan selama eman bulan ini. Dan bahwa dia mencintaiku – seperti aku mencintainya.

Aku menundukkan kepalaku, dan berbisik di telinganya, “I miss you, and love you too.”

Cerpen – Ceritaku Tentang Patah Hati

26 Februari 2017 in Vitamins Blog

24 votes, average: 1.00 out of 1 (24 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Kau tahu rasanya patah hati? Sakit. Sakit sekali. Aku baru saja merasakannya.

Dia, yang secara tidak langsung mengatakan kalau dia tidak punya perasaan apa-apa padaku, telah menyakiti hatiku untuk yang keduakalinya. Ya, keduakalinya.

Oh, jangan suruh aku menceritakan kronologi bagaimana dia bisa membuatku begini. Itu terlalu menyakitkan – sekaligus memalukan – untuk diceritakan.

“Nduk, kamu mau ikut apa nggak?” tanya ibu padaku yang tengah duduk di sofa depan tv, melamun.

Aku menengok sekilas pada ibu lalu berpura-pura fokus pada layar tv di depanku. “Ikut ke mana Bu?” Ugh… sinetron, sinetron, sinetron. Ganti, kuganti channel tv-nya.

“Ke rumahnya om Danu, temen ayahmu itu loh.” Ibu menjawab sambil berlalu ke kamar. Beberapa saat kemudian ibu keluar membawa tasnya. Itu loh, tas yang biasa dibawa emak-emak ke acara resepsi orang nikahan. Bukan tas ransel yang biasanya kubawa ke mana-mana loh ya.

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Emm… aku sih pengin ikut. Tapi kaaan…” Kulirik penampilanku sejenak. “… aku belum ganti baju, Bu. Apa nggak kelamaan kalau nungguin aku?” tanyaku. Yah, daripada di rumah dan menggalau, lebih baik aku ikut ibu sama ayah aja kan? Siapa tahu aku bisa lupa sejenak dari “orang itu”.

Kulihat ibu sedang becermin sambil merapikan baju yang dikenakannya – yang sebenarnya sudah sangat rapi – itu. Hah, dasar ibu, nggak pedean banget sih sama penampilannya sendiri.

“Ya udah, cepat kamu ganti baju sana. Ayah sama Ibu nunggu di depan.” Ibu berjalan ke ruang tamu sedangkan aku masuk ke kamarku sendiri untuk berganti baju.

***

“Eh, Mas Imam, Mbak Fira, Illa?” Itu tante Diana, istri om Danu. Ayah, ibu dan aku bersalaman dengan tante Diana. “Ayo silakan masuk. Duduk dulu. Aku mau panggilin mas Danu dulu ya.” Kami mengangguk dan tante Diana masuk ke ruangan – ntah ruangan apa itu.

Beberapa saat kemudian om Danu muncul diikuti tante Diana – yang membawa nampan dengan beberapa gelas berisi minuman berwarna merah, sirup di atasnya – yang berjalan di belakangnya. Om Danu menyalami kami.

Dan setelah itu para orangtua itupun mulai mengobrol, menyisakanku yang hanya duduk di sana, memandangi mereka. Sesekali aku akan tersenyum ataupun menanggapi sekenanya saat tante Diana ataupun om Danu mengajakku mengobrol.

Aku mengambil gelas yang ada di hadapanku, meminum sedikit isinya untuk membasahi kerongkonganku yang kering sambil mengedarkan pandangan. Mataku menyipit saat melihat kepala seseorang menyandar ke sofa yang membelakangiku di ruang tengah. Ada televisi yang menyala di seberangnya. Aku baru sadar kalau ada orang di situ. Siapa orang itu?

“Itu siapa, Tante?” tanyaku pada tante Diana sembari menunjuk ke arah orang itu. Tante Diana memandang ke arah yang aku tunjuk dan tersenyum kemudian.

“Itu Gilang,” jawab tante Diana. “Biasa, dia suka ketiduran di situ. Samperin gih, bangunin dia,” suruh tante Diana. Aku hanya tersenyum kikuk.

“Tapi Tante, Gilang kan nggak suka kalau acara tidurnya diganggu.” Terakhir kali aku main ke sini – sekitar lima tahun lalu, ketika aku dan Gilang masih SMP – aku membangunkan Gilang yang sedang tidur, disuruh tante Diana juga. Dan kau tahu? Membangunkan Gilang sama saja membangunkan singa yang sedang tidur nyenak. Sulit dibangunkan, dan kalau sudah bangun dia akan mengamuk.

Dan aku tidak mau mendapat amukannya untuk yang keduakalinya!

“Tenang saja, dia tidak akan mengamuk lagi seperti dulu,” ujar tante Diana menenangkanku. Tante tahu saja ketakutanku.

Aku menggaruk belakang kepalaku. Ragu-ragu aku beranjak bangun, berjalan perlahan ke arah sofa, dan berhenti di depan Gilang yang tengah tertidur dalam posisi duduk menyandar ke sofa. Bagaimana bisa dia tidur dalam posisi seperti ini? Dasar tukang tidur!

Aku memandang sekilas ke arah para orangtua yang ada di ruang tamu. Mereka tengah memandangiku sambil tersenyum. Seperti sedang memberiku semangat. Ckck… aku jadi seperti sedang berjuang menghadapi sesuatu yang sulit. Tapi membangunkan Gilang yang sedang tidur itu memang sulit sih.

Kembali pada Gilang. Wajahnya damai sekali kalau sedang tidur seperti ini. Aku jadi tidak tega untuk membangunkannya.

“Gi-Gilang.” Aku menepuk bahunya sekilas. Dia tidak bergerak sama sekali. Lagi, kutepuk bahunya sambil menyuarakan namanya, “Gilang, bangun!”

Dan dia masih saja tidak bergerak pemirsa!

Ini orang apa kebo sih?

Kuhela napas kasar, mendengus. Aku memutuskan untuk duduk di sisi sofa yang kosong di sebelahnya. Membangunkan Gilang dengan posisi berdiri sangat tidak menguntungkan. Kakiku bisa-bisa pegal karena berdiri lama menunggu Gilang yang tak kunjung bangun.

“Gilaaaaang, banguuuuun!” Kucubit pipinya keras. Ia mengerang pelan dengan mata yang masih tertutup. Lalu tanpa diduga dia menarik tanganku yang ada di pipinya hingga aku jatuh ke dalam pelukannya. Dia memelukku erat. Sangat erat!

Deg!

Deg!

Deg!

Aku menelan ludah gugup. Tubuhku kaku. Mataku sudah membelalak maksimal. Dan jantungku, jantungku memukul rongga dadaku dengan keras. Berdetak dengan sangat keras. Apa aku terkena serangan jantung?

“Gi-Gilang…” Aku mencoba melepaskan pelukannya. Tapi nihil, aku tidak bisa. Tangannya sangat erat melingkari bahuku. “Lepas Gil.”

“Ssssssst… jangan bersisik. Aku masih ngantuk.” Gilang bergumam dengan mata yang masih saja tertutup. Dia bergerak pelan, mengubah posisi tidurnya. Sekarang tangannya berpindah ke pinggangku. Kepalanya kini menyeruak ke cekungan leherku. Dia bernapas di sana, membuatku merinding.

“Kau wangi, Ill,” gumamnya tepat di telingaku. Aku bergidik, dan sedetik kemudian mengernyit saat menyadari sesuatu. Bagaimana dia tahu kalau ini aku? Dia sudah bangun dari tadi ya? Atau sedari tadi dia hanya pura-pura tidur?

“Kau tahu ini aku?” tanyaku, masih ada di pelukannya. Dia bergerak sedikit, memundurkan kepalanya dan memandangku.

“Tentu saja. Sejak tadi aku tidak tidur, bodoh. Aku hanya memejamkan mata.”

Oh, begitu?

Kulihat dia memajukan wajahnya perlahan. Refleks aku memundurkan kepalaku. Namun tangannya menahan kepalaku hingga tidak bisa mundur lagi. Hei, hei, dia mau apa?

“Gil, kamu mau apa?” tanyaku, mencoba menahannya dengan menangkup wajahnya di antara ke dua telapak tanganku. Dia berhenti sejenak. Memandangku. Lalu detik berikutnya tangannya yang tidak menahan kepalaku menurunkan kedua tanganku dari pipinya. Dan wajahnya kembali semakin mendekat. Sialan! Dia nggak mau macam-macam padaku kan?

Kemudian kudengar suara dehaman keras dari ruang tamu.

“EHEM!” Itu om Danu. Dan selamatlah aku, Gilang berhenti. Cowok di depanku ini mengalihkan pandangannya pada om Danu dengan tatapan malasnya.

“Papa ganggu aja ih,” protesnya pada om Danu dengan bibir mengerucut. Ih sok imut! Tapi memang imut sih. Tampan lagi. Eh?

“Jangan berbuat kurang ajar pada Illa, Gil!” Om Danu memperingatkan Gilang. Sedangkan yang dikasih peringatan malah cengengesan. Dasar Gilang.

“Aku kan lagi kangen-kangenan sama Illa. Ya kan, Ill?” Dia beralih memandangku lagi, dengan senyum jahil tersungging di bibirnya. Aku memutar mata. Ya kali kangen-kangenan kaya gini?

“Gil, posisi,” gumamku, mengingatkannya pada posisi kami yang sangat sangat tidak pantas untuk dilihat orangtua kami. Segera saja dia menjauhkan wajahnya dari wajahku dan membebaskan kepalaku dari tangannya yang tadi menahanku. Setelahnya kami hanya terdiam sambil memandang bosan ke arah televisi yang menayangkan acara yang sangat tidak menarik bagiku, bagi kami. Sinetron! Astaga, malesin banget dilihatnya.

Tiba-tiba kurasakan bahu kiriku memberat. Aku menoleh, dan mendapati kepala Gilang menyandar ke bahuku. Enak sekali dia. Kepalanya berat tahu!

“Sinetron lagi, sinetron lagi.” Gilang memencet-mencet tombol remot dengan brutal. “Ah, nggak ada yang asik.” Dia menggerutu, lalu menekan tombol power pada remot tv hingga layar tv tidak memunculkan gambar apa-apa lagi.

Gilang beralih menatapku tepat di manik mata, dengan kepala yang masih bersandar di bahuku. Aku balas menatapnya, sehingga mata kami saling menatap satu sama lain, saling menyelami tatapan satu sama lain. Suasana mendadak sunyi, dan berubah menjadi mellow. Mungkin karena sekarang dia menatapku dengan tatapan sendu.

“Sepertinya ada yang ingin kau ceritakan padaku.” Dia berujar lirih. Aku hanya menghela napas mendengarnya. Gilang selalu tahu apa yang aku rasakan hanya dengan menatap ke dalam mataku. Dia sangat mengertiku.

“Katakan Ill, katakan semua yang ingin kau katakan.” Gilang menangkup kedua sisi wajahku. Aku menggeleng dan menggenggam kedua tangannya yang berada di pipiku.

“Nggak di sini, Gil,” kataku pelan, nyaris berbisik padanya. Dia mengangguk mengerti.

“Kalau begitu kita ke kamarku.” Gilang beranjak dari duduknya dan menarikku ikut bersamanya.

“Eiii, kalian mau ke mana?” tanya om Danu tiba-tiba, menghentikan langkah kami berdua yang hampir mencapai pintu kamar Gilang – aku tahu karena di pintu itu terdapat tuliskan “Gilang’s Room”. Gilang menoleh pada papanya dan menyengir.

“Papa mau tahu aja. Ini urusan anak muda, Pa. Orang tua nggak usah ikut campur,” jawab Gilang dengan sangat menyebalkannya. Om Danu melotot pada anaknya ini. Kucubit pinggang cowok rese ini.

“Aduh, sakit Ill.” Gilang mengusap pinggangnya yang kucubit. Rasakan!

“Makanya kalau bicara sama orangtua tuh yang sopan.”

“Iya, Illa sayang,” katanya, dengan senyum jahilnya yang kembali tersungging di bibirnya. Aku mendengus sebal. Sifat jahilnya nggak pernah ilang ih.

Gilang kembali menoleh pada om Danu. “Aku mau ngobrol sama Illa. Jangan ganggu kami. Jangan coba-coba buat nguping, apalagi ngintip!” katanya, mencoba untuk memperingatkan om Danu. Aku hanya menggeleng-geleng melihat tingkahnya. Dia anak yang sangat ‘sopan’ pada orangtua, kan?

Kembali kami berjalan menuju kamar Gilang setelah perdebatan kecil antara ayah dan anak itu selesai. Langsung saja aku berbaring di single bed Gilang saat kami sudah ada di dalam kamarnya. Gilang menutup pintu kamar dan berbalik menghadapku. Dia lalu duduk menyandar ke sisi ranjang. Posisinya memunggungiku sekarang. Aku beringsut mendekati sisi ranjang tempatnya berada, mengalungkan kedua lenganku melingkari bahunya dan menyeruakan kepalaku ke lehernya.

“Aku patah, Gil,” bisikku lirih, semakin menenggelamkan kepalaku ke lehernya. “Untuk yang keduakalinya, dengan orang yang sama.” Suaraku semakin lirih, serak. Bibirku bergetar. Dan sedetik kemudian tangisku pun pecah.

Sakit! Rasanya sakit sekali. Hatiku seperti diremas dengan kuat. Sungguh menyakitkan. Dan aku butuh Gilang untuk mencurahkan isi hatiku.

Untuk sesaat Gilang hanya diam. Tangannya mengelus kepalaku pelan dengan gerakan teratur. Kurasakan ia mengambil napas dalam dan mengembuskannya dengan kasar. Sepertinya dia menahan amarahnya. Aku tahu itu.

Gilang adalah orang yang paling overprotective terhadapku. Bahkan mengalahkan ayahku sekalipun. Satu sekolahan dengannya di SD dan SMP membuatku sangat dekat dengannya. Dia baik dan sangat pengertian terhadapku. Dia selalu menjagaku, menjauhkanku dari anak-anak nakal yang sering menjahiliku hingga kami lulus SMP. Tapi setelah itu keluarga Gilang pindah ke Riau dan aku menjadi jauh darinya.

Setelah lima tahun lamanya aku baru bisa bertemu dia lagi. Dan setelah lima tahun tidak bertemu aku malah bercerita tentang patah hatiku lagi.

Dulu aku juga pernah bercerita tentang hal yang sama, dan ekspresi Gilang lebih mengerikan dari ini. Dia sangat marah saat itu. Dia bahkan berniat untuk menghajar laki-laki yang sudah menyelingkuhiku itu – ya, menyelingkuhiku – yang segera aku cegah tentu saja. Gilang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah cintaku. Aku tidak mau melibatkannya. Menjadikannya tempat curhatku sudah lebih dari cukup.

Dan kali ini aku kembali patah, karena pengakuan tidak langsung dari laki-laki itu. Sialnya, walaupun dia telah membuatku sakit berkali-kali, aku tetap tidak bisa benci terhadapnya. Gilang saja sampai gemas melihatku yang pasrah disakiti berkali-kali. Dia berulang kali menyuruhku untuk melupakan laki-laki itu. Tapi aku tidak bisa. Belum.

Gilang menggeser duduknya menjadi menghadapku. Sedangkan aku masih berbaring menelungkup di atas ranjangnya. Dia mengangkat daguku dan mata kami bertemu. Gilang menghapus air mata yang mengalir di pipiku.

“Jangan menangis lagi, Ill. Sudah cukup selama ini kau menangisinya. Aku tidak ingin melihatmu menangis lagi. Ini sangat menyakitkan bagiku, Ill.” Gilang menggenggam tanganku.

“Kumohon, untuk kali ini kau mau mendengarkanku.” Ia menghela napas sejenak. “Lupakan perasaanmu padanya, Ill. Kau pasti bisa. Kau pasti bisa.”

Gilang kembali menghapus air mata di kedua pipiku yang kini semakin deras mengalir. “Kau bisa datang padaku, Ill. Lupakan dia yang tidak menginginkanmu dan mulailah menatapku. Aku mencintaimu, Nayla Fira Imama.”

***

“Gil, kenapa aku nggak cinta sama kamu dari dulu aja ya? Kan aku nggak perlu patah hati kaya gini,” ujarku dengan bibir mengerucut. Gilang hanya tersenyum menanggapi pertanyaan konyolku satu itu.

Saat ini kami tengah mengobrol santai di atas single bed Gilang, dengan Gilang yang memeluk pinggangku erat dan aku menyandarkan kepalaku di dada bidangnya.

Oh ya, mengenai pernyataan cinta Gilang tadi, aku menerimanya. Jangan berpikir aku menerimanya karena depresi ya. Bukan itu alasannya. Tapi lebih karena perasaan aneh yang muncul saat Gilang memelukku di ruang tengah tadi. Sepertinya aku mulai mencintainya.

“Ini namanya takdir, Illa sayang.” Gilang menjawil hidungku gemas. “Kau disakiti oleh laki-laki itu sampai dua kali, itu takdir. Dan kau baru sekarang mencintaiku, itu juga takdir,” paparnya menjelaskan. Aku hanya ngangguk-angguk saja menanggapinya. Merasa lelah karena menangis sedari tadi. Bahkan semalam aku juga menangis selama dua jam. Jadi sekarang aku lelah, dan juga mengantuk.

“Tidurlah kalau kamu ngantuk. Nanti biar aku bilang sama ayah kamu kalau aku yang bakalan nganterin kamu pulang,” kata Gilang saat melihat mataku yang mulai terpejam. Aku hanya mengangguk sekilas dan aku pun tertidur.

-End-

Marrie Yan – 02. Obat… Oh Tidak!

26 Februari 2017 in Vitamins Blog

20 votes, average: 1.00 out of 1 (20 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Apakah obat memang semengerikan itu?

***

“Lis, lo kok sendirian? Marrie mana?” tanya Rian saat melihat Lisa hanya berangkat sendiri.

“Marrie nggak masuk hari ini. Dia lagi demam,” jawab Lisa.

“Demam?”

“Iya. Kemarin dia keluar, entah kemana, dan baru pulang jam 7 malam. Mana basah kuyup lagi badannya. Kemarin dari sore hujan gede sih. Kayaknya dia nerjang hujan,” jelas Lisa. “Gue ingat kemarin waktu dia masuk ke kamar. Dia bilang gini, ‘Lis, kayaknya gue demam’, terus badannya langsung ambruk ke lantai. Dan herannya, dalam keadaan nggak berdaya kayak gitu pun dia masih aja keras kepala. Dia nggak mau minum obat yang udah gue beliin buat dia,” jelasnya lagi dengan nada kesal. Ia kesal sekali dengan sifat Marrie yang keras kepala itu. Ingin sekali dia memaksa Marrie agar gadis itu mau meminum obatnya. Tapi melihat kondisi gadis itu, ia jadi tidak tega.

“Lo kayak nggak tahu Marrie aja. Dia kan alergi sama rasa dan bau obat. Jadi sebisa mungkin dia jauh-jauh dari benda bernama obat itu,” terang Rian. Ia ingat dulu waktu gadis itu pingsan karena kelelahan saat mengikuti MOS di sekolah, sampai-sampai pihak sekolah harus membawanya ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatannya. Dokter memberinya resep obat yang harus ia beli. Namun gadis itu menolaknya mentah-mentah dengan alasan ia alergi dengan bau dan rasa obat yang pahit. Sepertinya ia harus turun tangan untuk menghadapi gadis itu.

***

“Nih, minum obatnya!” suruh Lisa. Marrie yang sedang membaca buku pun terpaksa mendongakkan kepalanya untuk melihat temannya itu. Dan sedetik kemuadian matanya membelalak lebar. Ngeri melihat obat yang disodorkan oleh Lisa.

“Nggak mau ah. Pahit tauk,” Marrie menolahnya mentah-mentah, mendorong jauh tangan Lisa yang terulur kepadanya. Lalu dengan santainya ia melanjutkan acara membacanya. Tidak memedulikan omelan Lisa setelahnya.

“Issshh, anak ini. Terus mau lo apa, hah? Lo mau obat yang manis? Sirup, gitu? Lo pikir umur lo berapa, gundul?” ujar Lisa jengah. Bagaimana bisa ada gadis yang sudah berusia 17 tahun masih merengek-rengek tidak mau minum obat? Aissshh…. sepertinya hanya Marrie saja, gerutu Lisa dalam hati. Ia berpikir sesaat, mencari cara agar temannya ini mau meminum obatnya.

“Aha!” seru Lisa setelah mendapatkan ide, membuat Marrie yang sedang menekuni bukunya terlonjak kaget. Ingin sekali ia mencekik leher gadis itu karena telah membuatnya kaget, dan tentu saja membuatnya kehilangan konsentrasi membaca.

“Lo tunggu di sini! Jangan kemana-mana, oke?” Marrie hanya menatap Lisa yang berlari ke luar kamar dengan wajah bingungnya. Mau apa anak itu? Dan sedetik kemudian terdengar pintu yang ditutup dengan keras, membuat Marrie lagi-lagi terlonjak kaget.

“Lisa!!! Awas ya lo!” jeritnya kesal, dan tanpa pikir panjang melemparkan bukunya ke arah pintu. Sakit benar-benar membuat emosinya menjadi tak terkendali.

Dengan kesal Marrie turun dari ranjang dan memungut bukunya yang tadi dilempar ke arah pintu. Saat sedang menunduk untuk memungut bukunya, tiba-tiba pintu di depannya didorong masuk oleh seseorang. Membuat kepalanya terbentur pintu dengan keras hingga ia merasakan pusing seketika itu juga. Ia mengusap-usap kepalanya yang sepertinya benjol itu, sambil memungut buku lalu berdiri dan berniat mengumpat orang yang berani-beraninya membuat kepalanya benjol. Siapa lagi kalau bukan Lisa?

“Sialan lo Lis…” umpatannya terhenti ketika melihat ternyata bukanlah Lisa yang mendorong pintu itu.

“Lis?”

“Oh, Rian,” ucapnya kaku. Tiba-tiba ia merasa gerogi. Dan tanpa ia sadari, tangannya masih saja mengusap-usap kepalanya yang masih terasa sakit.

“Kepalamu kenapa?” tanya Rian.

“Oh, ini…. Barusan kepentok pintu pas kamu buka. Tadi aku lagi….”

“Sakit ya?” sela Rian. Dan tanpa sadar mengulurkan tangannya. Mengusap-usap kepala Marrie dengan gerakan lambat. Membuat Marrie terpaku di tempat.

“Maaf,” ucap Rian, menyesal telah membuat gadisnya mendapatkan tambahan penyakit. Niatnya datang ke tempat kos Marrie adalah untuk menjenguk gadis itu yang sedang sakit, dan memastikan sendiri bagaimana keadaan gadis itu. Tapi yang dilakukannya sekarang malah membuat gadis itu tambah sakit.

Suasana seketika hening. Baik Marrie maupun Rian tidak ada yang bersuara.

“Mer, ini gue bikinin…. teh,” ujar Lisa tiba-tiba. Membuat Rian kaget dan buru-buru menjauhkan tangannya dari kepala Marrie.

“Oh? Ada Rian ternyata,” ucap Lisa senang. Sepertinya pria ini bisa menaklukkan teman sekamarnya yang keras kepala itu.

“Lo bawa apaan Lis?” tanya Marrie sambil berjalan ke arah tempat tidurnya lagi. Di belakangnya, Lisa dan Rian mengikuti.

“Gue bawa teh nih, buat lo. Tadi lo bilang nggak mau minum obat karena obatnya pahit kan? Jadi gue bikinin teh aja. Terus ini ada pisang. Kata ibu kos dia sering minum obat pakai pisang, dan obat itu jadi nggak kerasa pahit. Mungkin lo mau coba?” jelas Lisa panjang lebar. Marrie hanya terbengong-bengong mendengarkan penjelasan Lisa. Kalau biasanya gadis lain akan terharu melihat temannya yang perhatian, maka hal itu tidak akan berlaku untuk Marrie. Gadis itu benci sekali dengan yang namanya obat. Tapi temannya ini malah mengusahakan segala cara agar dia mau meminum obatnya. Itu sama saja dengan menyuruh Marrie untuk bunuh diri! Oke itu berlebihan.

“Tapi kan Lis,” ujar Marrie, hendak memprotes Lisa. Ia mengeluarkan jurus andalannya, puppy eyes. Biasanya jurus itu bisa menaklukkan Lisa. Mungkin saja jurus itu masih mempan terhadap gadis itu.

“Jijik tauk Mer,” ujar Lisa sadis sambil mendorong kepala Marrie. Membuat Marrie mengumpat-umpat dalam hati. Ah, sialan lo, Lis! Awas aja lo. Kalau gue udah sembuh, abis lo!

“Atau…. Lo mau Rian yang nyuapin obat?” tanya Lisa, bermaksud menggoda Marrie. Dan hal itu berhasil membuat wajah Marrie memerah.

“Pangeran berkuda putih yang tampan, datanglah kemari. Putrimu yang cantik ini ingin disuapi olehmu,” kata-kata yang Lisa lontarkan itu sukses membuat perut Marrie menjadi mual seketika. Astaga, bagaimana dia bisa memiliki teman yang menjijikkan seperti itu? Apa itu pangeran berkuda putih? Memangnya dia anak kecil apa?

Marrie melihat Rian mendekat ke arah ranjang dengan senyum aneh menghiasi wajahnya. Seperti sedang menahan tawa yang bisa meledak kapan saja.

“Ini obatnya, dan ini minumnya. Kamu harus buat Putrimu yang keras kepala itu mau minum obat ini. Kalau nggak, jangan harap kamu bisa pulang dengan selamat, pangeran! Mengerti? Do you understand?” suruh Lisa menyerahkan obat itu kepada Rian. “Gue pergi dulu. Mau ngerjain PR sama Mona. Bye bye putri cantik!” lanjutnya, lalu melenggang pergi. Keluar dari kamar.

“Huh, dasar Mona Lisa,” ujar Marrie kesal. Hah… lagi-lagi temannya itu bisa kabur dengan alasan yang masuk akal. Membuatnya tidak bisa mencegahnya dan terkurung dengan pria yang sekarang sudah berstatus sebagai pacarnya itu.

“Jadi, kamu mau minum obat apa nggak?” tanya Rian, menyodorkan obat yang ada di tangannya ke depan wajah Marrie. Marrie menimbang-nimbang sejenak. Minum, atau tidak ya?

“Kalau aku mau minum obat itu, aku dapat apa?” tanya Marrie. Astaga…. Apakah sakit bisa membuat orang menjadi kekanakan seperti ini?

“Yaampun… Jadi kayak gini kelakuan pacarku kalau lagi sakit? Manja banget,” goda Rian, membuat Marrie gugup. Sejak kapan pria itu jadi suka menggodanya seperti Lisa?

Marrie membalikkan badannya memunggungi Rian. Berharap pria itu tidak melihat wajahnya yang memerah.

“Kalau kamu nggak suka, kamu bisa cari cewek lain buat kamu pacari,” ujar Marrie asal.

“Sayangnya aku suka. Aku suka sifatmu yang manja itu. Asal jangan ditunjukin ke cowok lain aja,” jawab Rian. Kali ini Marrie semakin menyembunyikan wajahnya. Ia yakin wajahnya sekarang sudah semerah tomat.

“Nih,” tangan Rian terulur, mengulurkan sebatang coklat ke depan wajah Marrie. Marrie tersenyum senang. Namun beberapa detik setelahnya, coklat itu sudah hilang dan digantikan oleh obat pahit yang sangat dibenci Marrie. Membuat senyum itu hilang dan digantikan wajah cemberutnya. Hah, sepertinya ia tidak bisa menang melawan Rian. Pria itu tahu saja kelemahannya.

Marrie berbalik, menemukan Rian yang tengah tersenyum penuh kemenangan. Pria itu mengulurkan coklatnya lagi. Kali ini benar-benar memberikannya pada Marrie. Lalu mengulurkan tangannya lagi, kali ini untuk menyuapi Marrie obat. Gadis itu menurut. Membuka mulutnya, membiarkan obat itu masuk ke mulutnya dengan tidak rela. Dan sedetik kemudian ia bisa merasakan rasa pahit itu di lidahnya. Buru-buru ia merebut gelas yang Rian sodorkan kepadanya. Rasanya pahit sekali. Ia meminum teh yang ada di gelas itu banyak-banyak. Menghilangkan rasa pahit obat yang diminumnya.

“Nah… udah kan? Nggak kerasa pahit lagi kan?” tanya Rian.

“Tetep aja awalnya pahit,” gerutu Marrie, mengingat-ingat rasa pahit obat tadi. Ia jadi ingin mengeluarkannya lagi.

“Segitu mengerikannyakah obat buat kamu?”

“Hmm… Bener-bener mengerikan,”

“Makanya, jangan buat tubuhmu sakit. Jadi kamu nggak perlu minum obat,” ujar Rian. Terdengar helaan nafas dari mulutnya. “Berjanjilah kamu nggak akan sakit lagi. Berjanjilah untukku.”

Marrie Yan – 01. My Friend, My Love

26 Februari 2017 in Vitamins Blog

20 votes, average: 1.00 out of 1 (20 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Di pagi yang cerah, seorang gadis cantik sedang memakai dasinya sambil berkaca. Ia sedang bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Nama gadis itu Meridian Dwi Saputri, atau kerap dipanggil Marrie. Ia merupakan siswa Sekolah Menengah Atas Taruna Bakti yang baru menginjak tahun kedua di sekolah itu.

Cantik, manis dan pintar. Banyak siswa laki-laki yang diam-diam menyukainya. Namun mereka memilih mengamati gadis itu dari jauh, tidak berani mendekat. Alasannya hanya satu. Karena gadis itu pernah berkata bahwa niatnya bersekolah adalah untuk menuntut ilmu, bukan untuk bersenang-senang. Jadi mereka memilih memandang gadis itu dari jauh sepuas hati mereka. Terlebih, ada seseorang teman laki-laki gadis itu yang selalu berada di sisinya, membuat anak laki-laki manapun tidak berani mendekat.

“Oh no! Mana buku matematika gue?” seru seorang gadis lainnya di kamar kos-kosan itu.

“Apaan sih Lis? Buku matematika yang mana?” tanya Marrie jengah. Lisa, teman satu kamarnya di kos-kosan itu sangat ceroboh dan pelupa. Sering sekali ia kehilangan buku, pensil, kotak pensil, ataupun barang-barang yang lainnya karena kecerobohannya dan sifat pelupanya yang tak kunjung hilang itu. Bahkan Lisa pernah kehilangan laptop pink kesayangannya. Dan kalau sudah seperti itu, Marrie lah yang bertindak membantu temannya yang ceroboh dan pelupa itu untuk mencarikan barang-barang Lisa yang hilang. “Perasaan kita baru masuk tahun ajaran baru. Dan buku matematika lo pasti masih kosong. Buat apa dicari?”

Lisa menepuk jidatnya. “Oh iya ya, gue lupa,” katanya sambil nyengir kuda. Marrie menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Sifat pelupa temannya ini sepertinya makin bertambah parah.

***

Marrie dan Lisa berjalan beriringan menuju sekolah mereka. Sekolah itu tidak jauh dari tempat kos mereka berdua. Hanya dua menit waktu yang dibutuhkan untuk berjalan kaki dari kos-kosan tempat mereka tinggal sampai ke sekolah. Kedua gadis itu telah sampai di depan gerbang sekolah ketika ada seseorang yang memanggil nama mereka.

“Marrie! Lisa!” seru seseorang dari arah belakang, membuat kedua gadis itu berbalik dan menemukan seorang siswa laki-laki tampan berperawakan tinggi layaknya atlet basket yang sedang tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya ke arah Marrie dan Lisa dari seberang jalan. Dialah Rian. Siswa laki-laki yang sangat dekat dengan Marrie, yang membuat siswa laki-laki lain tidak berani menyakatan perasaannya kepada Marrie. Bahkan tidak sedikit siswa yang mengira kalau Marrie dan Rian berpacaran, sangkin dekatnya mereka.

“Hai!” sapa Rian setelah ia sampai di depan Marrie dan Lisa. Sapaan itu lebih ditujukan kepada Marrie melihat mata laki-laki itu tertuju padanya. Memandang intens gadis itu. Seolah-olah memancarkan perasaan….. rindu, mungkin?

Marrie tersenyum simpul dan menyapa balik Rian, “Hai!”

“Hmmm, gini nih kalau dunia serasa milik berdua. Gue berasa jadi obat nyamuk di sini. Ya udah deh gue pergi duluan ya,” ujar Lisa sedikit kesal dan ada rasa ingin menggoda kedua temannya itu. Ia tidak habis pikir, selama setahun kedua temannya ini menjalin hubungan pertemanan yang amat sangat erat. Sampai-sampai mereka terlihat seperti pasangan kekasih jika sedang berjalan bersama. Tapi, apa mereka berdua tidak merasakan ada getaran-getaran cinta di hati mereka? Oke ini berlebihan.

“Yah, mau kemana? Kita ke kelasnya bareng aja,” ujar Marrie, mencekal tangan Lisa ketika dilihatnya gadis itu hendak kabur meninggalkan mereka berdua. Ia tidak suka jika hanya ditinggal berdua dengan Rian. Membuatnya sedikit risih karena tatapan pria itu yang…. entahlah, selalu bisa membuat jantungnya berdetak di luar kendali.

“Apa sih Mer? Gue mau ke kelas. Lagian gue sama lo udah nggak satu kelas lagi. Gue di kelas XI IPA 3, sedangkan lo berdua di XI IPA 1,” ujar Lisa beralasan. “Jadi mending gue pergi duluan. Ah, tuh ada Dani. Dani!” seru Lisa memanggil Dani, teman sekelasnya, yang kebetulan lewat di depan mereka. Ia melepaskan tangannya dari cekalan Marrie, berusaha secepatnya kabur dari gadis itu.

“Eh, Lis! Lo mau kemana?”

“Gue ke kelas duluan ya!” teriak Lisa yang sudah berjalan menjauhi Marrie bersama Dani di sebelahnya. Aissh, kalau sudah begini mau bagaimana lagi, gerutu Marrie dalam hati.

“Ayo kita ke kelas!” ajak Rian membuat Marrie menatap Rian. Dan tindakannya itu disesalinya sedetik kemuadian. Ah, kenapa laki-laki di depannya ini mudah sekali membuatnya terpana?

***

“Mer, aku duduk sama kamu ya? Soalnya tempat duduk yang lain udah penuh. Boleh kan?” tanya Rian meminta izin kepada Marrie untuk bisa duduk di sebelah gadis itu.

Marrie mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Memang benar apa yang dikatakan Rian, semua tempat duduk sudah ada pemiliknya masing-masing. Yang tersisa hanyalah tempat duduk di sebelahnya. Pihak sekolah sudah megatur jumlah tempat duduk untuk disamakan dengan jumlah siswa, jadi hanya tempat duduk di sebelah Marrie saja yang masih kosong karena Rian belum mendudukinya.

Marrie menatap Rian. Pria itu menantikan jawabannya dengan kening berkerut, harap-harap cemas dengan apa yang akan dikatakan gadis itu sebagai jawabannya. Ia melakukan semua itu karena ia menghormati Marrie. Kalau Marrie tidak nyaman dia duduk di sebelahnya, maka ia akan mengusahakan segala cara untuk tidak duduk di sebelah gadis itu.

Beberapa saat yang terasa lama itu, Marrie menganggukkan kepalanya. Membuat Rian tersenyum senang dan langsung menjatuhkan tubuhnya di atas tempat duduk di sebelah Marrie. Teman-teman mereka yang ternyata menonton mereka berdua sejak tadi, mulai bersorak riuh menggoda mereka.

Namun keadaan kelas yang riuh itu tidak bertahan lama, karena guru mapel pertama hari ini sudah masuk ke kelas mereka. Guru mapel kimia. Kalau tidak salah namanya bu Musafrida, dan biasa dipanggil bu Ida. Guru itu menyandang gelar guru ter-killer di sekolah itu, membuat semua siswa takut ketika diajar olehnya.

Bu Ida maju ke depan kelas, melihat ke seluruh penjuru kelas, lalu tatapannya berhenti saat melihat Marrie dan Rian yang mendapatkan tempat duduk di depan, tepat di hadapan bu Ida yang saat ini sedang berdiri. Dan dengan “sedikit” gebrakan di meja, bu Ida menanyai Marrie dan Rian.

“Kenapa hanya kalian yang duduk dengan lawan jenis?” tanya bu Ida dengan mata menyipit. Membuat Marrie sedikit takut.

Rian melirik ke arah Marrie, lalu berkata, “Nggak ada tempat duduk lain yang kosong, Bu. Jadi saya terpaksa duduk di sini,” ujar Rian menjelaskan.

“Kalau begitu, kenapa yang lain tidak mengikuti kalian berdua? Duduk satu meja dengan lawan jenis?” pertanyaan bu Ida itu membuat seluruh siswa di kelas itu melongo. Guru mereka ini sedang tidak waras atau apa?

***

“Hei Mer!” sapa Lisa dari belakang Marrie dengan menepuk pundak gadis itu, menyadarkan Marrie dari lamunannya tentang guru kimia tadi yang setelah mengatur tempat duduk agar semuanya duduk dengan lawan jenis, guru itu memperkenalkan diri sebagai wali kelasnya, membuat semua siswa di kelasnya tadi menghela napas panjang. Semuanya menjadi lesu. Siapa yang mau memiliki wali kelas yang notabene-nya guru ter-killer sesekolahan?

Lisa duduk di sebelah Marrie, saat ini mereka sedang berada di kantin langganan mereka berdua, atau bahkan bertiga? Biasanya Rian juga ikut bergabung dengan kedua gadis ini untuk makan bersama saat istirahat tiba.

“Eh Mer, Rian mana?” tanya Lisa, menyadari bahwa tadi Marrie hanya duduk sendiri tanpa Rian.

“Dia disuruh ke kantor, bawain buku tugas ke mejanya bu Ida,” terang Marrie.

“What? Buku tugas? Di hari pertama guru killer itu udah ngasih kalian tugas?” tanya Lisa dengan nada kagetnya yang berlebihan. Dan dijawab dengan anggukan oleh Marrie.

Sebenarnya tidak berlebihan juga sih kalau Lisa berekspresi seperti itu, mengingat guru itu memang keterlaluan. Di hari pertama saja sudah memberi tugas. Ah, rasanya memikirkan semua itu membuat kepala Marrie seperti mau pecah.

“Terus kenapa harus Rian yang disuruh ke ruang guru?” tanya Lisa lagi, penasaran.

“Karena bu Ida yang nyuruh. Lagian Rian dipilih bu Ida buat jadi ketua kelasnya, jadi dia yang harus bawa buku-buku itu ke kantor. Bahkan gue aja yang wakil ketua kelas nggak boleh ngebantuin,” jelas Marrie.

“Lo dipilih jadi wakil ketua kelas?” tanya Lisa kaget. Dan untuk kedua kalinya Marrie hanya menganggukkan kepalanya.

“Isshh…. kenapa tuh guru seenaknya aja milih perangkat kelas sesuka hati? Nggak ngasih kesempatan siswa lain buat nentuin pilihan,” gerutu Lisa, sebal dengan guru killer itu. Dia tidak bisa membayangkan, akan semengerikan dan semenyebalkan apa kalau guru itu menjadi wali kelasnya. Untung saja itu tidak terjadi, batin Lisa.

***

2 hari kemudian

“Kalian sudah mengerjakan PR yang Ibu berikan kemarin?” tanya bu Ida kepada anak-anak didiknya itu, membuat wajah beberapa siswa memucat karena mereka belum menyelesaikan PR mereka. Bukan, bukan karena mereka malas, tapi mereka tidak mengerti bagaimana cara mengerjakan soal-soal yang menurut mereka sulit.

Perlu diketahui, PR itu terdiri atas 10 soal, yang tiap soalnya memiliki 3 sub soal. Dan guru itu mewanti-wanti mereka agar mengerjakan sendiri PR mereka. Tidak boleh meminta bantuan teman yang lain. Benar-benar mengerikan. Mereka bisa saja melanggar aturan yang merugikan mereka itu, tapi mereka tidak berani menanggung resiko jika mereka ketahuan. Mereka diharuskan mengerjakan soal yang lebih sulit dari yang mereka terima jika mereka melanggar. Dan Rian termasuk dalam jajaran siswa yang belum selesai mengerjakan PRnya. Ah, kalau saja tidak hari ini mengumpulkan hasil pekerjaannya pasti dia masih bisa mengerjakan PR tersebut. Ia mengutuk dalam hati orang yang telah membuat jadwal pelajaran untuk kelas mereka. Kenapa mapel kimia itu tiga hari berturut-turut sih? Hasshh…. sialan.

Bu Ida menghampiri meja Rian. “PRmu belum selesai, Rian?” tanya bu Ida, yang sukses membuatnya menegang. Lalu sedetik kemudian ia menggeleng lemah. Bu Ida menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa saat kemudian ia mendongakkan kepalanya dan memandang siswanya yang lain. “Siapa lagi yang belum selesai PRnya?”

7 siswa terlihat mengangkat tangan mereka dengan tangan yang gemetar, takut. Cobaan apa lagi yang akan mereka terima setelah ini?

***

“Kamu pulang duluan aja Mer. Aku bisa kerjain sendiri,” ujar Rian saat dilihatnya Marrie masih saja setia menunggunya yang sedang berusaha mati-matian mengerjakan 5 soal tambahan yang diberikan oleh bu Ida tadi bersama ke-7 temannya yang lain. Batas akhir pengumpulannya adalah jam 3 sore ini. Sekarang sudah jam 2 lewat 15 menit dan Rian masih kurang 1 soal yang belum ia kerjakan. Ia tidak mau membuat gadis itu menunggunya lama. Jadi ia sedari tadi meminta Marrie agar mau pulang terlebih dulu. Namun gadis itu keras kepala sekali. Tetap tidak mau pulang sebelum Rian juga mau pulang. Menggelengkan kepalanya ketika Rian memintanya untuk pulang duluan. Membuat Rian berusaha menyelesaikan soal-soal itu secepatnya agar dia bisa menyeret gadis itu pulang.

Beberapa menit berlalu, dan kini jam di kelas itu sudah menunjukkan pukul 2 lewat 30 menit. Teman-teman Rian sudah selesai mengerjakan soal-soal itu.

“Ian,” panggil Marrie kepada Rian. ‘Ian’ adalah panggilan kesukaan Marrie untuk Rian. “Aku ke toilet dulu,” lanjut Marrie. Rian hanya menganggukkan kepalanya. Dan saat gadis itu menghilang di balik pintu, Rian tersenyum. Ternyata gadis itu masih suka memanggilnya dengan panggilan itu.

Sekarang, di kelas itu hanya ada Rian yang sedang bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Marrie kembali dari toilet. Namun tiba-tiba beberapa teman sekelasnya ketika ia kelas X, masuk ke kelas itu. Mereka mengerubungi Rian, membenahi barang-barang Rian, lalu menyegel tas Rian dengan gembok yang mereka bawa. Setelah itu mengikat tangan Rian dengan borgol mitasi, serta mengikat tubuh Rian di kursi dengan rantai dan menggemboknya dengan beberapa gembok lain. Entah dari mana mereka mendapatkan semua itu.

“Eh, apa-apaan sih lo-lo pada? Cepat lepasin! Gue mau pulang!” Hah… teman-temannya ini masih saja jahil. Dulu pas Lisa ulang tahun juga dikerjain.

Eh, ulang tahun? Sekarang tanggal berapa? Jangan bilang ini tanggal 25 Juli.

“Happy birthday Rian!!!” teriak mereka semua secara bersamaan. “dan selamat menantikan bidadari penyelamatmu,” lanjut seorang dari mereka. Sepertinya itu ketua kelasnya dulu, Ridho. Setelah itu, mereka semua keluar dari kelas dan bertemu dengan Marrie di luar kelas.

“Kalian ngapain di sini?” tanya Marrie curiga, ketika melihat teman-temannya berjajar di depan kelasnya.

“Marrieku sayang, nih gue kasih kunci. Selametin tuh pangeran berkuda putih lo. Wajahnya ngenes banget tauk,” ujar Lisa memberikan beberapa kunci kepada Marrie, dan mengedikkan dagunya ke arah Rian yang terduduk lesu di bangkunya sambil mengumpati semua teman-temannya yang telah berani-beraninya melakukan semua ini kepadanya. Awas saja kalian. Gue bakal balas kalian nanti, gerutunya dalam hati.

“Cepat bukain borgol dan gembok-gembok itu!” suruh Ridho sambil mendorong Marrie agar cepat masuk ke dalam kelas, lalu menutup pintu kelas dan menguncinya dari luar.

“Eh, pak ketua, buka pintunya! Kalian ini kejam banget,” teriak Marrie. Ia menggedor-gedor pintu kelas itu kuat-kuat. Namun, apa balasannya?

“Kalian berdua harus jadian dulu, baru kita bukain pintu,” balas Ridho dari luar. Blush, semburat merah muncul di pipi Marrie. Pipinya memanas. Hal yang sama juga dirasakan oleh Rian. Ah, bagaimana ini?

“Hei, bukain borgolku dan gembok-gembok ini dulu,” pinta Rian kepada Marrie. Marrie terkesikap mendengar suara Rian. Ia memandang Rian dengan gugup. Lalu berjalan ke arah laki-laki itu dan membukakan gembok-gembok yang ada di tubuh Rian, juga borgol mitasi yang melingkari pergelangan tangan laki-laki itu. Mereka berdua saling berhadapan. Membuat Marrie tambah gugup dengan Rian yang memandangnya terus-menerus.

“Put,” ujar Rian lirih. ‘Putri’, panggilan kesukaan Rian untuk Marrie. Marrie mendongak menatap Rian, “gimana kalau kita turutin permintaan pak ketua bangka itu?” lanjutnya. Marrie mengerutkan keningnya bingung.

“Gimana kalau kita jadian?” tanya Rian, yang sukses membuat pipi Marrie merona untuk kedua kalinya. Marrie terdiam sesaat.

“Emmmmm, terserah kamu aja,” jawab Marrie cepat dan lirih. Ia jadi tidak bisa berkonsentrasi membuka borgol mitasi di tangan Rian.

“Apa? Aku nggak dengar. Coba ulangi!” pinta Rian disertai senyuman lebar di wajahnya.

“Aku tahu kamu dengar. Nggak usah pura-pura nggak dengar,” ujar Marrie sebal. “Ahh~ kenapa susah sekali sih? Nih buka sendiri borgolnya!” Marrie melemparkan kunci borgol mitasi itu ke arah Rian, lalu berjalan menuju pintu dan menggedor-gedornya lagi. Kali ini lebih keras dari yang tadi.

“Hei Pak Ketua Bangka sialan! Buka pintunya!” jerit Marrie kesal.

“Eh, gue bukan pak ketua bangka sialan, ya!” sembur Ridho kepada Marrie setelah ia membukakan pintu kelas. Marrie tak peduli dan malah menanyakan hal lain.

“Kalian dapat benda-benda kayak gitu dari mana sih?” tanya Marrie sambil menunjuk arah Rian. Yang dimaksudkan adalah rantai, borgol, dan gembok-gembok itu. “Dan kunci kelas juga. Kalian bilang apa waktu minjam?”

“Kasih tahu nggak ya?” balas Ridho malah meledek Marrie. Marrie yang sudah bersiap-siap ingin menghajar Ridho mengurungkan niatnya, saat mendengar suara Rian.

“Ketua bangka sialan, mana kunci gembok tas gue, hah?” tanya Rian jengah. Dari tadi ia mencoba membuka gembok itu dengan kunci-kunci yang diberikan teman-temannya, tapi tidak ada satupun yang cocok.

“Oh itu, tadi Agung yang bawa. Dan sekarang bocah itu udah pulang. Katanya ada latihan futsal,” jelas Ridho tak acuh. Rian menghela napas panjang. Beginilah nasibmu kalau kau mempunyai teman-teman yang sangat jahil. Mereka tidak akan melepaskanmu di hari ulang tahunmu, dan kau akan dikerjai habis-habisan di hari itu juga.

“Rian!” panggil Marrie pada laki-laki itu. Rian hanya bergumam menjawabnya. “Ayo cepat kita serahin tugas-tugas itu ke bu Ida. Ini hampir jam 3.”

“Oh iya, sampai lupa. Ini semua gara-gara kalian!” sembur Rian kepada teman-temannya dengan wajah bengisnya. Ia segera saja mengambil buku tugas yang tadi diletakkannya di meja beserta tasnya yang masih tersegel gembok dan langsung berjalan cepat ke arah Marrie, menggenggam tangan gadis itu dan menyeretnya menjauhi kerumunan teman-temannya. Ia tidak menyadari tindakan spontannya itu.

“Cie cie…..” sorak riuh teman-temannya membuat langkah kedua orang itu terhenti lalu berbalik.

“Apaan sih? Ribut!” seru Rian kesal. Ridho menunjuk ke arah tangan mereka berdua yang bertautan. Rian dan Marrie mengikuti arah yang ditunjuk Ridho, dan buru-buru melepaskan tautan tangan mereka setelah tahu apa yang dimaksud Ridho.

“Nggak usah malu-malu kayak gitu,” goda Lisa. Diiringi tawa teman-temannya yang lain.

“Diam nggak? Atau mau gue tabok pake tas ini satu satu?,” gertak Marrie sambil mengacungkan tas Rian yang bergembok itu, dan sukses membuat teman-temannya yang tadi tertawa-tawa itu langsung bungkam. Mereka tidak bisa membayangkan akan semengerikan apa jika Marrie sudah marah, terlebih mengamuk.

“Ayo Yan!” ajak Marrie pada Rian. Gadis itu berjalan lebih dulu ke arah kantor guru, berusaha menyembunyikan wajahnya yang telah memerah.

Sesampainya di ruang guru, Rian dan Marrie langsung meletakkan buku tugas yang mereka bawa ke atas meja bu Ida, lalu bergegas keluar dari kantor dan memutuskan untuk langsung pulang.

Di perjalanan pulang, Rian dan Marrie berbincang-bincang. Membuat perjalanan yang sebenarnya hanya memakan waktu 2 menit, menjadi bermenit-menit agar bisa sampai di kos-kosan.

“Emmm… Ian,” panggil Marrie ketika mereka telah sampai di depan kos-kosan tempat Marrie tinggal. Rian menghadapkan tubuhnya ke arah Marrie, menunggu kelanjutan kata-kata yang akan diutarakan gadis itu. “Kayaknya aku belum ngucapin,” lanjut Marrie. Kening Rian berkerut bingung. Apa maksud gadis di depannya ini?

“Selamat ulang tahun,” ujar Marrie. Gadis itu tersenyum, membuat Rian ikut tersenyum. Sejenak ia terpana melihat kecantikan gadis itu yang bertambah berkali-kali lipat ketika ia tersenyum. “Dan, kayaknya aku mulai tertarik sama kamu,” lanjutnya lagi dengan nada cepat dan wajahnya yang menunduk malu.

“Apa?” tanya Rian terkejut mendengar pernyataan gadis itu. Gadis itu mulai tertarik padanya? Namun bukannya menjawab pertanyaan Rian, Marrie malah berbalik meninggalkan Rian yang masih belum sadar dari keterkejutannya.

“Sampai jumpa, Ian.”

Merry Ran

26 Februari 2017 in Vitamins Blog

21 votes, average: 1.00 out of 1 (21 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Ini oneshot tentang Shinichi dan Ran (Detective Conan) buatanku. Dan ini postingan pertamaku di sini. Yang suka Shinichi Kudo, bisa dibaca :D

***

Aku membuka pintu ruang perpustakaannya, ruang di mana aku sering menghabiskan waktuku dengannya dulu, dengan Shinichi. Aku tersenyum meengingat-ingat hal itu.

Sudah sepuluh tahun lamanya sejak terakhir kali kami menghabiskan waktu di tempat ini sepanjang hari. Tidak terasa waktu cepat berlalu.

Dan sekarang… Aku merindukannya.

Aku berhenti di tengah-tengah ruangan. Mataku menjelajah ke semua sudut perpustakaan milik Shinichi ini. Semua barang masih ada di tempatnya semula, tidak ada yang berubah sejak seminggu yang lalu aku datang ke tempat ini. Tapi, barang-barang di atas meja besar itu menarik perhatianku. Aku pun mendekat ke arah meja untuk melihatnya.

Aku mengerutkan kening. Sebuah kertas, lilin, dan pemantik api? Seingatku minggu lalu tidak ada benda-benda itu di meja. Lalu, siapa yang meletakkannya di sini?

Aku mengambil kertas tersebut dan membolak-baliknya. Tidak ada tulisan apapun di sana.

Apa Profesor Agasa yang iseng meletakkannya di sini? Atau… Shinichi?

Shinichi… Apa dia sudah kembali?

Lalu, apa maksud dari semua ini?

Aku memperhatikan lagi ketiga benda itu, mencoba mengingat-ingat apa yang biasanya aku lakukan dengan benda-benda ini.

Kertas, lilin, dan pemantik.

Dan ingatanku pun langsung melayang ke 15 tahun yang lalu, saat Shinichi mengajariku cara menulis pesan tersembunyi dan bagaimana cara membacanya. Seingatku dia menggunakan nyala api untuk memunculkan pesan pada kertas yang terlihat kosong (namun sebenarnya berisikan pesan) itu. Apa dia yang meletakkan benda-benda ini dan menginginkan seseorang yang menemukannya membaca pesan di kertas ini?

Buru-buru kunyalakan lilinnya menggunakan pemantik api yang ada. Lalu kuposisikan kertas kosong tadi di atasnya, memberi jarak agar kertas itu tidak berakhir dengan terbakar, dan perlahan-lahan muncullah sederet tulisan pada kertas yang semula kosong itu.

 

‘Marry me, Ran?’

‘Shinichi’

 

Aku terhenyak membaca sederet kalimat di sana. D-dia… Melamarku?

“Kau sedang apa, heh?” tanya sebuah suara di belakangku. Aku tersenyum. Suara itu…

Aku hendak membalikkan badan, namun gerakanku terhenti karena tangannya memeluk pinggangku posesif dari belakang secara tiba-tiba. Dia menyandarkan kepalanya di bahuku.

“Diam-diam membaca pesanku, hm?” bisiknya di telingaku dengan suara beratnya. Aku tertawa kecil.

“Aku hanya penasaran apa isi pesannya.” Aku menyentuh tangannya yang melingkari pinggangku.

“Jadi, bagaimana?” tanyanya, semakin mengeratkan pelukannya.

“Apanya?” tanyaku pura-pura tidak mengerti maksud pertanyaannya. Kedengar ia mendengus dari bahuku.

“Kau sudah membaca pesanku. Jadi apa jawabanmu?” tuntutnya tidak sabar. Kini ganti aku yang mendengus.

“Bodoh! Bagaimana kalau yang membaca pesan ini bukan aku, hah? Bagaimana kalau Profesor Agasa yang membacanya?” tanyaku, dan dia hanya terkekeh pelan.

“Aku tahu kau pasti akan datang ke sini, Ran,” ucapnya lirih. “Dan kalau Profesor Agasa yang menemukan pesanku dan membacanya lebih dulu, dia pasti akan menggantinya dengan yang sama persis seperti yang aku buat.” Dia melepaskan pelukannya dan membalikkan badanku hingga menghadapnya.

“Jadi… apa jawabanmu, Ran?” Dia menatap ke dalam mataku, menunggu jawaban dariku dengan tangannya menggenggam tanganku. Dan ini, sungguh membuatku gugup setengah mati. Ah, bagaimana ini?

Aku mendengus lagi untuk menyamarkan kegugupanku, dan mencoba berbicara senormal mungkin.

“A-apa kau tidak ada inisiatif untuk bertanya langsung kepadaku, eh? Kenapa malah lewat kertas? Tidak romantis sekali!” Eh? Apa yang kukatakan barusan? Kenapa aku malah berbicara seperti itu? Harusnya kan aku langsung menjawabnya saja. Tidak romantis, kataku? Ini bahkan hal teromantis yang pernah dilakukannya. Dan aku sudah segugup ini. Bagaimana kalau dia berlaku lebih romantis lagi? Aku bisa pingsan!

“Kalau seperti ini? Apakah sudah romantis?” Dia berlutut, dengan tangan yang tetap menggenggam tanganku erat. Lalu kulihat dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil berwarna biru safir. Ia membuka kotak itu dan menghadapkannya padaku.

“Marry me, Ran?”

DayNight
DayNight