Vitamins Blog

SeruniRian Story – Dia Rian

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

14 votes, average: 1.00 out of 1 (14 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Pukul 17:45

“Run, habis ini lo mau ke mana?” Sinta, teman dekatku, bertanya. Aku menoleh ke arahnya, tersenyum masam.

“Penginnya sih langsung balik aja. Tapi hujan gini.” Aku menengadahkan kepala menatap hujan yang tak kunjung berhenti, lalu mendesah pelan. Kalau saja hari ini tidak ada seminar prapendadaran aku pasti lebih memilih mendekam di rumah dan menonton dvd yang baru kubeli kemarin daripada berangkat ke kampus di saat hujan terus mengguyur di sore sampai malam hari. Aku mengangkat kakiku ke atas bangku yang sedang kami duduki, memeluk lutut. Udaranya sangat dingin sekali.

“Lo nggak dijemput?” tanya Sinta lagi. Dan aku pun tersenyum masam lagi.

“Kakak gue nggak mau jemput gue kalau hujan-hujan gini, Sin,” jawabku. Ah, aku jadi ingat chat yang kulakukan dengan kakakku lima menit yang lalu.

Seruni : Kak, jemput dong.

Haikal : Bakso 2 mangkuk?

Seruni : Iya bakso 2 mangkuk, tapi jemput dulu.

Haikal : Ntar ah, masih hujan gede gini.

Seruni : Ya udah deh. Lagian sini juga masih hujan juga sih.

Aku terpaksa mengalah dan menunggu hingga hujan reda, tahu kalau kakakku yang super duper “baik” itu tidak akan rela kehujanan naik motor tanpa mantel – dia anti pakai mantel – hanya demi untuk menjemput adiknya ini.

“Biasanya lo kan dijemput bokap, Run. Emangnya bokap lo nggak ada di rumah?” lagi-lagi Sinta bertanya. Ish, nih anak kepo banget sih.

“Di rumah, mungkin. Cuma gue-nya aja yang lagi nggak kepengin ngerepotin bokap. Kasihan bokap udah tua,” jawabku sekenanya. Sinta mencibir.

“Ck, kalau kasihan ya latihan ngendarain motor dong, biar bisa pulang pergi sendiri,” komentarnya blak-blakan, yang langsung saja kuhadiahi geplakan mematikan di kepalanya.

“Lo kalo ngomong bisa nggak sih disaring dulu? Nyelekit banget di hati tahu nggak?” sungutku padanya. Dia hanya nyengir kuda sembari mengusap-usap kepalanya. Dan setelah itu kami hanya diam sambil menunggu hujan reda.

***

Pukul 19:40

Hujan masih saja turun, tapi sudah tidak selebat tadi, dan Sinta memutuskan untuk pulang terlebih dulu walaupun di luar masih saja hujan. Sedangkan aku? Aku masih di sini menunggu kakakku yang tak kunjung datang, seiring hujan yang tak kunjung berhenti.

“Run, kok masih di sini? Nggak pulang?” tanya sebuah suara. Aku mendongak. Itu Rian, teman sekelasku. Dia berdiri di depanku, sedang mengalungkan tasnya ke bahu. Sepertinya dia sudah mau pulang.

Aku tersenyum padanya. “Nunggu jemputan.” Aku menjawab singkat.

“Mau pulang bareng?” tawarnya. Aku menggeleng pelan.

“Nggak ah, nunggu kakakku aja. Habis ini kami mau mampir ke suatu tempat dulu.”

“Beneran nih nggak mau?” tanyanya memastikan. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.

“Ya udah deh, aku pulang duluan ya,” pamitnya, lalu berbalik dan pergi.

Dan sekarang tinggal aku sendiri di sini. Ya walaupun bukan sendiri yang beneran sendirian di kampus ini. Ada beberapa mahasiswa yang juga masih menunggu hujan reda. Tapi mereka tidak duduk sendirian, juga tidak sedang menunggu jemputan sepertiku.

Oh, betapa aku terdengar menyedihkan.

Aku menatap handphone-ku, menimang-nimang sebentar dan memutuskan untuk menelpon kakakku.

“Kak cepetan jemput dong,” cecarku sedetik setelah kakakku mengucapkan kata ‘halo’.

“Ogah, masih hujan juga,” jawabnya. Aku menghela napas pelan. Sabar, Run, sabar. Aku menenangkan diriku sendiri, menahan sebisa mungkin agar tidak mengumpatnya.

“Tapi ini udah hampir jam delapan, Kak. Aku harus nunggu berapa lama lagi?” Aku menghirup napas sedalam mungkin, sambil merasakan mataku yang memanas dengan sendirinya.

“Ya udah kalau udah nggak sabar nunggu pulang aja sendiri.”

Dan seketika itu juga aku memutuskan sambungan telepon, bertepatan dengan setetes air mataku yang meluncur turun membasahi pipi. Aku menundukkan kepala, agar tidak ada orang yang tahu kalau aku sedang menangis.

Payah! Gitu aja udah nangis! Padahal sudah biasa kak Haikal menyebalkan seperti itu. Namun nyatanya hidup sembilanbelas tahun sebagai adiknya tidak juga membuatku terbiasa.

Aku menghela napas dan menghembuskannya lagi. Sesak sekali rasanya. Kenapa aku menyedihkan sekali? Tidakkah ada yang peduli padaku? Sungguh, aku tidak ingin sendirian sekarang.

Aku mengusapkan kedua mataku yang basah ke lututku. Aku tidak boleh cengeng seperti ini. Masa 19 tahun masih cengeng?

Setelah menghela napas sekali lagi, aku memutuskan untuk beranjak ke kamar mandi terdekat untuk membasuh muka agar tidak terlihat habis menangis.

Selesai membasuh muka aku kembali lagi ke bangku tadi, dan betapa terkejutnya aku ketika menemukan Rian duduk di sana. Dia… belum pulang?

“Ayo pulang!” ajaknya sambil berdiri dari duduknya. Aku yang masih terkejut hanya bisa memandang bingung ke arahnya, sedangkan dia malah berbalik badan, mulai beranjak berjalan menuju parkiran.

Merasa aku tidak mengikuti, Rian berbalik badan. Ia menghela napas ketika melihatku masih berada di tempat semula. Ia kembali menghampiriku.

“Ayo! Aku nggak mau nerima penolakan!” Dia menarik tanganku begitu saja, menyeretku agar aku mengikutinya.

Aku hanya diam memandangi punggungnya. Lalu mataku turun memandangi tangan kami yang bertautan.

Hangat.

Aku tersenyum. Dari semua orang yang ada, ternyata ada satu yang peduli padaku.

Dia… Rian.

-Selesai-

AN: Cerita ini dibuat berdasarkan pengalaman pribadiku, yang udah ubah beberapa bagian biar kelihatannya nggak ngenes2 amat. Aslinya ngenes bgt sumpah >_<

Btw, makasih udah baca cerita yang pendek banget ini :D

Salam dari penulis yang masih amatiran ini,

Laela Nifi

7 Komentar

  1. Waah pengalaman pribadi yaaa hehehe so sweet :inlovebabe

    1. Yg bagian sweet-nya aslinya gk ada sih :anakayamnangis

  2. Ciee pengalaman pribadi, hihi

  3. Hampir mirip sama pengalaman, sama-sama malam dengan ujan deres, nggak bisa naik motor, sering banget minta jemput abang. Cuma bedanya nggak nemuin lawan jenis kayak Rian, boro2 ditawari nebeng. Kan miris :TERHARUBIRU tp abang langsug jemput, eh begitu bonceng ditengah jalan ban pake acara bocor segala :ngambeknih minta tukang tambal buat nambalin eh tukang tambalnya g mau juga. Untung ada tukang tambal yg lain

  4. fitriartemisia menulis:

    whoaaaaaaaaaaaaa meleleh aku hahaha

    pernah gini nih waktu pulang ekskul sekolah dulu :LARIDEMIHIDUP

  5. farahzamani5 menulis:

    Yg diubah bagian mana nya ini hihi
    Wahhh aq bca ny senyum2 ini hihi betapa manisny eaaa
    Kok abang ny nyebelin yak haha
    Ditunggu karya2 lainnya
    Semangat trs ya

    1. Laela Nifi menulis:

      Yang diubah endingnya. Aslinya aku tetap pulang bareng kakakku (setelah menunggu sekian lama), dan si sosok Rian ini beneran pulang seabis nawarin pulang bareng *duh, nyesek*