“Ujang!” seketika Rangga dan Asep
memanggilnya dengan wajah panik.
“Aduh,aduh, panas, panas!”
“Ya ampun, maaf Ibu gak sengaja, Ibu benar-benar minta maaf.” Sari yang tak lain Ibu Diana dan istri Rangga mengucapakan permintaan maafnya dengan dengan wajah sama paniknya.
“Ibu gimana sih, liat rambutku lengket dan panas seperti ini.” saat berbicara nada Ujang sedikit meninggi dan itu membuat Sari menatap suaminya, Rangga paham arti tatapan itu dengan cepat dia berjalan mendekat pada Ujang. “Sudah tidak papa kau hanya tersiram kopi satu gelas, bukan satu liter.”
Mata Ujang melebar dan ekspresinya bersungut-sungut. Dasar Pak botak menyebalkan, dia bilang satu gelas? Apa Pak botak gak lihat, aku hampir tersiram tiga gelas kopi panas! kopi panas!
Perkataan Rangga, tentunya membuat Asep yang ada di sebelahnya langsung terkikik geli.
Rangga tampak menahan tawa saat melihat wajah Ujang yang seperti itu. Kemudian dia menepuk-nepuk pundak Ujang dan berkata bijak. “Sebagai permintaan maaf dari istriku yang sudah teledor hingga membuatmu seperti ini. Dan kalian tertimpa sial lagi, lebih baik kalian tinggal di sini dulu sambil bekerja bagaimana? Bukankah sebelumnya istriku sudah menawarkan pekerjaan pada kalian?”
Karna Ujang masih kesal, dia merasa ogah untuk menanggapinya, hanya Asep yang meresponnya dengan menganggukkan kepalanya.
****
Di dalam kamarnya Diana sedang tengkurap sambil membaca buku cerita favoritnya, begitu mendengar suara keributan dari luar, dia pun menutup buku tersebut dan segera bangun dari posisi tengkurap. Berisik sekali di luar, ada apa sih, menggangu sekali.
Setelah sudah ada di ambang pintu, Diana pun membuka pintu kamarnya, kamar Diana ada di samping depan yang berhadapan langsung dengan ruang tamu dan warung makan milik orang tuanya, jadi saat dia membuka pintu kamarnya seperti sekarang, langsung tersajilah pemandangan di depannya.
Ya ampun, kenapa dengan orang itu dan… Mata Diana yang semula melihat Ujang yang terlihat kepanasan karna rambutnya tersiram kopi panas, beralih memandang ke lantai dan melihat kopi buatan Ibunya sudah jatuh berceceran di lantai yang terlihat berantakan. Ya ampun. Diana menutup mulutnya melihat sumber keributan di depannya.
Melihat anak gadisnya sudah muncul di depan kamarnya, Rangga pun langsung memanggilnya. “Neng, cepat kamu ke kamar Bapak dan ambil handuk di lemari ya, cepat.” suara Bapaknya membuyarkan keterkejutan Diana, dan saat mendengar suruhannya itu Diana dengan patuh langsung menganggukkan kepala dan pergi menuju kamarnya.
****
Setelah Putrinya pergi, Rangga kembali menatap Ujang dengan tangan masih menepuk pundak Ujang. Saat dilihatnya Ujang masih memasang wajah kesal, dia hanya terkekeh. “Hei, kau masih marah?” hibur Rangga.
Sudah tahu nanya!
Melihat Ujang yang sepertinya masih ngambek, Asep bertanya dengan ragu. “Pak kalau… kalau kita berdua bekerja di sini, kira-kira akan tinggal di tempat ini atau kita ngekos?”
“Kalian tinggal di sini saja, dibelakang ada satu kamar kosong yang kebetulan kamar itu digunakan bagi yang kerja di sini, berhubung pelayanan sebelumnya sudah berhenti, jadi kamar itu tak berpenghuni.”
“Oh” jawabnya sambil lalu. Asep kemudian menggaruk tengkuknya, bingung saat ingin bertanya lagi.
“Kenapa?” tanya Rangga cepat.
“Hehehe maaf Pak, untuk pakaian kami kira- kira gimana ya?”
Rangga mengangkat alisnya. “Lah di dalam tas ranselmu itu ada apa saja? Memangnya kalian tak bawa baju ganti?”
“Bawa sih, tapi cuma dalaman saja.” Ujang yang dari tadi diam, bergumam menjawab sambil lalu.
“Ini Pak.” Diana tiba-tiba muncul di sampingnya, dan menyodorkan handuknya dengan sikap cuek. Melihat anak gadisnya sudah muncul dan sepertinya buru- buru ingin pergi, Rangga pun menghembuskan nafas kasar. Diana selalu seperti itu jika berhadapan dengan banyak orang, selalu bersikap introvert.
“Makasih ya Nak, oh ya. Sepertinya pekerjaan Ibumu tidak akan repot lagi, meraka akan bekerja di sini dan membatu kerepotan ibumu.” beritahunya.
Mendapat info dari Bapaknya, Diana tampak memperhatikan Ujang dan Asep bergantian. Saat melihat Asep, lelaki itu tampak tersenyum ramah dan sedikit salah tingkah saat Diana menatapnya lama. Kemudian Diana beralih pada Ujang, karna kondisi Ujang yang menyedihkan, dia hanya cengar-cengir seperti orang bodoh saat ditatap intens olehnya. Aksinya itu sedikit membuat bibirnya berkedut melihat keadaannya, sungguh Diana ingin tertawa terbahak-bahak. Ya ampun, emang boleh sehitam itu wajahnya? Diana tampak menutup mulutnya, menahan kekehanya.
Melihat anaknya menahan geli, seketika Rangga menatap Ujang yang penampilan sangat ah sudahlah dengan gemas Rangga melempar handuk itu kearah Ujang, yang langsung ditangkap sigap. “Kamu mandi sekarang, dan bersihkan wajahmu itu yang belepotan ampas kopi.”
Rangga kemudian menatap Asep. “Masalah baju, saya punya banyak baju layak pakai dan sepertinya masih cocok dipakai oleh kalian.” beritahunya cepat. “Sekarang kau antar Ujang di kamar mandi, kalian boleh mandi dan mulai bekerja besok. Untuk kasus kecopetan kalian, apa kalian sudah lega? Karna akhirnya kalian tahu pelaku yang sebenarnya?”
“Lega pak, dan maafkan kami berdua sudah menuduh Bapak.” Asep menjawab.
” Ah… sudah, sudah saya sudah memaafkan kalian, sekarang bawa temanmu itu mandi.” suruhnya buru-buru yang langsung dituruti mereka berdua.
“Ma… makasih Pak.” Asep menjawab gugup sambil menarik sikut Ujang setengah menyeretnya.
Setelah kepergian mereka berdua, Diana langsung melepaskan tawanya dan langsung tertawa lepas. “Ckckckck mereka berdua lucu sekali, Bapak menemukan dua spesies itu dari mana?”
“Hush, sembarangan.” Rangga menegurnya dengan menarik hidung Diana. “Aduh sakit Pak.”
“Hukuman, sudah kamu cepat masuk kamar, Bapak mau bicara sama Ibumu.”
****
Siang telah berlalu dan sekarang petang sudah bergulir menjelang tengah malam, suasana rumah ini pun sudah sepi dan tempat warung makan sudah tutup.
Ujang dan Asep kini ada di kamarnya, tengah tidur terlentang dengan tatapan nyalang keatas langit-langit kamar. Posisi mereka berdua mencerminkan seperti seorang bujangan pengangguran yang sedang menghayal sesuatu.
Entah kenapa saat Ujang sedang melamun, wajah Diana siang tadi saat sedang menahan senyuman muncul di langit kamar. Bayangan itu membuat seringaian lembar muncul di wajah Ujang.
Senyuman itu terlihat konyol dan bodoh, hingga Asep yang melihatnya langsung terheran-heran. Nih orang sedang menghayal apa sih? Senyumnya sangat mencurigakan.
“Sep, anak Pak Rangga kalau dilihat-lihat cantik juga ya, dia wajahnya sedikit jutek, tapi manis, dan bibirnya itu apa kau tidak liat, sangat seksi sekali.” saat berbicara tatapannya masih fokus menatap di langit kamar.
Asep mengangkat alisnya “Kalau Pak Rangga dengar kau berbicara seperti itu, aku yakin kau akan langsung ditendang dari kamar ini.”
“Aku tahu, tapi dibalik Bapaknya yang galak dan sangar, kau juga percaya bukan kalau anaknya Pak botak itu cantik?” Ujang melirik sekilas ke arah Asep yang sedang menguap. “Hmm.” jawab Asep dalam gumaman, kemudian Asep bergerak memunggungi Ujang dan memeluk bantal guling. Melihat Asep memunggunginya, Ujang langsung bersungut-sungut. “Hei, kenapa kau tidur, aku masih ingin mengobrol.” ucapnya sambil menendang pantat Asep yang tepos. “Aku ngantuk, udalah Jang kau jangan memujinya terus. Iya aku tahu anaknya Pak Rangga memang cantik, tapi aku sadar, jika aku memujinya langsung di depan orangnya dia pasti akan memasang ekspresi mau muntah. Dan itu juga berlaku untukmu. Ingat, apa kau lupa kata pemimpin daerah yang kita lihat di televisi waktu itu?”
“Aku lupa, memang dia mengatakan apa?”
“Kalau masih jadi pengangguran dan tampang pas-pasan jangan jatuh cinta.” setelah berbicara Asep langsung terbahak, Ujang yang mendengarnya kembali menendang pantat Asep karna kesal. “Sialan kau.”