Vitamins Blog

Yvonne’s Romance – #4 Percakapan

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

****
Samar-samar suara gemerisik angin yang menerbangkan dedaunan kering menelusup dan mengantarkan gelombang suara yang menggetarkan kedua membran timpani di dalam sepasang telinga milik Yvonne.

Terasa sedikit berisik namun tak mengusik dan sedikitpun tak melunturkan semangat Yvonne untuk tetap memfokuskan kedua bola matanya membaca setiap deretan kata-kata yang membentuk kalimat-kalimat indah dari novel berbentuk buku tebal yang tengah ia baca dan terpaksa ia cintai dari hari ke hari tanpa henti.

Terpaksa mencintai, awalnya tidak mudah namun lambat laun, kebiasaan yang terpaksa itu membuat Yvonne terbiasa dan menemukan keindahan-keindahan tersembunyi di dalamnya ketika ia mulai belajar mencintai secara tertatih-tatih.

 

“Jika kau tak belajar mencintai sesuatu yang dengan terpaksa harus kau hadapi tanpa bisa berlari sedikitpun, lambat laun hanya kehampaan yang membutakanmu, lantas tak sedikitpun keindahan yang mampu kau rasakan, sedangkan di dunia ini, bahkan malam yang gelap gulita hingga begitu pekat yang terasa meremangkan bulu kudukmu, nyatanya mampu menjadi situasi yang membuatmu melihat jutaan bintang-bintang yang berpendar indah di langit, jika kau menyadarinya.”

Hari itu, di suatu suasana menjelang siang yang hampir sama seperti saat sekarang, entah sudah beberapa hari yang lalu hal itu terjadi, namun Yvonne sangat ingat bagaimana ia tengah terperanjat hingga kedua bola matanya mematung sempurna dan menatap dalam tanpa berkedip sedikitpun kepada sosok pria yang tengah duduk di depan matanya dengak kekaguman yang menyerang benaknya secara bar bar.

Pupil matanya terasa mengecil bagai lensa kamera yang sedang menjalankan mode mikro karena begitu fokus menatap sosok Nathan yang baru saja selesai melontarkan kata-katanya. Betapa fokusnya menatap Nathan sampai Yvonne bisa melihat garis senyum hangat milik Nathan sedang mengembang perlahan dengan kaku sebagai sebentuk cara yang bisa dipikirkan Nathan secara cepat untuk mencairkan suasana yang membingungkan dalam sepersekian detik ke menit yang begitu canggung di antara mereka berdua.

“Ah, itu bukan kata-kata yang kubuat sendiri, tapi dari novel itu, sekitar beberapa halaman lagi di belakang.”

Nathan mulai terkekeh dan dengan malu-malu mengucapkan kalimatnya secara perlahan yang menurutnya pantas untuk mencairkan suasana sembari menggaruk pelipisnya yang tidak gatal sedikitpun, melainkan hanya sebuah bentuk pengendalian diri saja.

Yvone mengerjapkan matanya dengan cepat, kesadaran segera meremanginya lantas wajahnya memerah menahan malu atas tindakan impulsif yang tercipta tanpa izin.

“Oh, begitu kah? Bagus sekali.” celetuk Yvone dengan cepat dan mengakhiri kalimatnya dengan tawa kecil yang begitu canggung.

Entah bagaimana situasi hari itu yang terasa canggung bisa kemudian berakhir dengan situasi yang kembali menyenangkan, namun Yvonne sangat tahu dan tak akan lupa bahwa Nathan selalu menempatkan dirinya menjadi nahkoda yang menyeimbangkan kapal yang terombang-ambing oleh gelombang rasa canggung yang menggelayuti perasaan dengan membabi buta saat mereka sedang duduk berdua.

Setiap kali gelombang pasang mulai bermain-main, dengan tenang Nathan mengatur kendali hingga Yvonne kembali fokus dengan tujuan.

Kenyataan yang terlampau banyak terjadi membawa Yvonne nyaris menghabiskan berlembar-lembar halaman novel yang menjadi tanggungjawabnya untuk saat ini kepada Lucas dan saat ini Yvonne termangu sendiri mendapati dirinya menemukan deretan kata-kata indah yang pernah diucapkan Nathan.

Nathan ternyata tidak berbohong.

Bagaimana bisa pria itu menyatakan dengan sempurna kalimat yang terpatri indah dalam selembar novel itu?

Seakan-akan ia mengucapkan dari hatinya?

Yvonne meletakkan novel dalam genggamannya ke atas meja kafe dan mengusap wajahnya beberapa kali dengan kedua telapak tangan mungilnya tanpa menghiraukam sedikitpun bahwa yang ia lakukan bisa memudarkan lapisan bedak tipis yang membantu mencerahkan wajahnya. Pada akhirnya ia mendaratkan kedua telapak tangannya di dasar rahangnya sehingga ia mulai terlihat tengah menopang dagu dan mengarahkan wajahnya ke luar jendela kafe.

Kedua matanya kini mulai meredup sembari mengamati dengan tenang suasana di luar kafe. Meski ia sedang berada di dalam ruangan yang suhunya dimanipulasi oleh pendingin ruangan yang bertengger di setiap sisi dinding kafe, ia bisa merasakan suasana di luar sana begitu hangat oleh cahaya matahari yang berpendar redup, tak terasa terik menyengat, dan berkolaborasi dengan semilir angin yang meniup daun-daun kering hingga berterbangan tak tentu arah dan dengan pasrah berlabuh di manapun angin dengan jahil membawa mereka.

Rasa bosan mulai menyelimuti Yvonne, ia telah selesai menunaikan tugasnya membaca lembaran novel yang menjadi tugasnya hari ini, namun ia terasa terlalu lama menanti kehadiran Nathan dan itu benar-benar tak seperti biasanya. Padahal Yvonne bermaksud menyampaikan sesuatu yang sangat tak sabar untuk ia ungkapkan kepada Nathan. Pagi tadi Yvonne terkejut oleh informasi yang disampaikan oleh Lucas kepadanya dan itu membuatnya begitu ingin segera bertemu Nathan juga menjadi alasan hari ini Yvonne menghabiskan lebih banyak lembaran halaman novel untum dibaca.

Tapi, di mana Nathan?

Yvonne terlalu lama menunggu, ia tahu dari posisi matahari yang nyaris sepenggalah naik hingga mencapai ubun-ubun, biasanya Nathan tak membuatnya lama menunggu seperti saat ini. Mereka biasa menyelesaikan diskusi mereka sebelum jam makan siang. Tapi saat ini bahkan Yvonne bisa merasakan lambungnya mulai meronta-ronta oleh gerak peristaltik yang mulai mencari korban untuk digerus dan Yvonne khawatir enzim dalam lambungnya mulai salah sasaran.

“Astaga, aku mulai lapar. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan saat ini?” gumamnya dengan perasaan sedih.

Yvonne tidak tahu apa sebaiknya ia segera pulang saja atau tetap menunggu Nathan?

Apakah sebaiknya Yvonne memesan makanan atau memilih pulang untuk menikmati sajian dari jasa katering yang selalu disiapkan Lucas untuknya?

Yvonne tidak biasanya memesan makanan siang di kafe Nathan karena ia selalu mengingat sajian makanan yang pasti sudah tersedia di apartemen yang ditinggalinya dengan Lucas. Yvonne biasanya hanya memesan kopi atau makanan ringan seperti kue red velvet yang menjadi favoritnya untuk menemaninya membaca novel.

“Ya ampun, kenapa otakku terasa buntu? Aku bahkan tidak bisa memutuskan sesuatu untukku sendiri saat ini?”

Yvonne merasa bodoh, begitu miris dengan situasinya saat ini dan itu membuatnya terdiam beberapa saat dan meletakkan kepalanya di meja kafe dengan begitu menyedihkan.

“Ya ampun, Yvonne!” rutuknya dalam hati.

Yvonne teringat kartu nama yang pernah diberikan Nathan saat pertama kali mereka bertemu. Sedikit banyak Yvonne ingin sekali menghubungi Nathan melalui deretan nomor telepon yang tertera rapi di lembar kartu nama mungil yang masih tersimpan awet di dalam tas mungilnya namun Yvonne terlalu sungkan untuk melakukannya.

Interaksi mereka selama ini hanya sebatas bertemu di kafe tersebut, meski Nathan sudah pernah memberi kartu namanya, bukankah itu sebuah formalitas bentuk kesopansantunan dalam sebuah bentuk perkenalan resmi saja?

Tidakkah terlalu melampaui batas rasanya jika Yvonne menghubunginya saat ini hanya untum sekadar bertanya apa Nathan tidak berniat untuk menemuinya hari ini?

Setelah sekian banyak hari yang dilalui, bukan, lebih tepatnya setiap hari yang telah mereka lalui bersama, rasanya tetap saja seperti tidak tahu diri jika Yvonne mengusik rutinitas Nathan lebih jauh, ia sudah cukup bersyukur Nathan selalu ada membantunya dan menghiburnya ketika penat membaca novel.

Ya, rasanya begitu.

“Permisi…”

Yvonne terperanjat ketika suara yang terasa asing menyapanya. Seorang pramugara kafe datang menghampirinya dengan membawa sepiring spaghetti carbonara hangat yang wanginya begitu semerbak hingga semakin membangunkan rasa lapar yang berusaha ditahan Yvonne sedari tadi.

Tersadar akan sesuatu yang janggal, Yvonne segera menolak dengan cepat sajian nikmat yang disodorkan kepadanya sebab ia sangat yakin meski sedari tadi tengah melamun kikuk, itu tak membuatnya sudah gila untuk bertindak di bawah alam sadarnya memesan makanan tiba-tiba karena terganggu oleh rasa lapar.

“Maaf, kurasa kau salah menyajikan ini kepadaku. Aku tidak memesan makanan apapun.” tolak Yvonne dan sedikit melirik ke arah secangkir cappuccino-nya yang nyaris tandas dari cangkirnya lalu kemudian ia beralih melirik sepotong kue red velvet yang dipesannya sejak awal datang sudah tak lagi nampak wujudnya di atas piring kue miliknya kecuali sisa krimnya saja yang seperti melukis permukaan piring kue secara berantakan.

“Apa ini sebuah teguran karena aku tak juga pergi dari sini setelah semua menu yang kupesan sudah habis?” ucap Yvonne dalam hatinya yang begitu bertanya-tanya.

“Oh, ini diberikan secara gratis atas perintah Tuan Nathan,” ucap pramugara tersebut dengan singkat namun nada yang digunakan terasa santun.

“Tuan Nathan juga berpesan untuk menyampaikan permintaan maafnya karena tak bisa menemui Nona Yvonne hari ini sebab ada kegiatan yang harus dilakukannya sejak sedari pagi di luar kafe. Semoga sajian ini bisa menghibur Nona Yvonne yang tengah sendirian, selamat menikmati, saya permisi.” terangnya lagi lantas segera meninggalkan Yvonne yang masih diam membisu.

“Bagaimana jika aku yang tidak hadir hari ini?” gumam Yvonne sembari masih dalam kependiaman yang kokoh.

“Bagaimana jika sebelum sajian ini datang, aku sudah angkat kaki dari sini?”

“Bagaimana bisa Nathan seperti cenayang yang begitu percaya diri mampu membaca tindakan yang akan kulakukan, seakan ia tahu aku tetap menunggunya di sini?”

“Sialan! Aku seperti terlalu mudah ditebak!” hardiknya begitu memekik dalam hati dan menutup rasa haru yang baru saja merasukinya karena selalu merasa bingung oleh sikap baik Nathan.

Perasaan yang begitu campuraduk mulai menggelayuti benaknya, tapi yang pasti Yvonne mau tak mau harus tinggal lebih lama lagi untuk menikmati sajian yang sudah dihidangkan di depannya. Senyum tipis mulai mengembang di wajahnya, betapa ia merasa beruntung bertemu Nathan dan ia tahu ia harus merasa cukup sampai disitu saja, Yvonne sungguh tak berani berharap lebih dengan pertemanan mereka yang terjalin setiap harinya.

Bukankah pria tidaklah serumit wanita?

Ketika pria merasakan sesuatu pada hatinya maka ia menyatakan dengan pasti.

Ketika sesuatu itu terasa rumit pada diri seorang pria, maka cukuplah berpikir ia hanya pria yang sedang melakukan perannya, yakni berbuat baik, tidak lebih.

Yvonne memahami itu dengan baik dari hari ke hari, rasa nyaman dan kagum akan nahkoda yang tengah menaklukkan lautan hatinya tak seharusnya ingin dimiliki oleh penumpang gelap sepertinya, meski hal itu terkadang mengusik egonya.

“Sialan!” hardiknya lagi masih berisik di dalam benaknya sendiri.

“Bisa-bisanya aku kagum dan benci padamu, Nathan!” pekiknya lagi namun Yvonne segera larut menikmati makanan yang sudah cukup kurang ajar menggodanya.

Yvonne begitu menikmati makanannya hingga ia tak sadar dua orang wanita berpenampilan modis masuk ke dalam kafe dan mengambil posisi duduk tepat di sebelah meja miliknya.
Tentu saja Yvonne tidak peduli, tampilan mereka berdua yang terlihat mewah bukanlah indikator yang bisa membuat Yvonne menoleh ke arah mereka.
Tapi, ketika ia mendengar nama Nathan terucap dari bibir merah merona salah satu dari mereka, Yvonne melambatkan gerakan makannya, membiarkan seluruh fokusnya tertuju pada indera pendengarannya untuk terus mendengar percakapan di antara keduanya.

“Apa kau tahu kalau kafe ini milik Nathan?”

“Yaa, aku tahu karena itulah aku mengajakmu kemari, kau suka kan?”

“Yaa, aku suka. Tapi bukankah terasa canggung jika kita berada di sini? Kau sungguh tidak tahu malu untuk bertemu muka dengan Nathan.”

“Kenapa aku harus malu? Justru dia harus melihat perempuan cantik yang telah ditolaknya dulu ini sekarang semakin mempesona. Dia pasti menyesal.”

“HAHAHA, kau pikir begitu? Kau lupa dia itu patung es, sangat dingin. Bisa-bisanya kau tertarik padanya dan berusaha menarik perhatiannya bahkan dulu di saat perempuan yang dicintainya masih hidup.”

“Hidup seperti apa jika tidak berdaya? Lagipula sekarang perempuan yang ia cintai setengah mati itu sudah meninggal.”

“Hei, hormatilah mendiang.”

“Memangnya aku bicara apa? Itu kan fakta. Lagipula kau jangan khawatir, aku bukannya ingin mencari perhatian Nathan lagi, aku hanya mau melihat keadaannya sekarang saja, kudengar setelah kejadian itu dia hanya menyibukkan dirinya di dalam kafe ini.”

“Tapi, aku tidak melihat Nathan sedikitpun, bagaimana kalau kita memesan makanan sekaligus bertanya kepada pramugara?”

“Bagus juga, sia-sia riasan cantikku hari ini kalau Nathan tidak melihatku dengan pandangan penuh penyesalan, dasar patung es!”

Kedua perempuan itu mulai memanggil pramugara dengan lambaian tangan yang gemulai namun Yvonne sudah bisa menebak kekecewaan yang akan terpatri di wajah mereka karena Yvonne sudah tahu lebih dulu bahwa Nathan takkan hadir hari ini.

“Rasakan!” hardik Yvonne dalam hatinya.

Yvonne segera menghabisi makan siangnya dengan cepat, ia tak lagi ingin berlama-lama di kafe tersebut, lebih tepatnya ia merasa muak mendadak berada satu ruangan dengan kedua perempuan yang baru saja bercakap-cakap dengan sinis itu.

Selain itu, Yvonne merasa terganggu dengan beberapa kalimat yang telah sampai di telinganya.

“Nathan memiliki perempuan yang dicintai?”

“Pertanyaan macam apa ini? Hei, Yvonne, tentu saja itu wajar untuk seorang Nathan.”

“Tapi, meninggal? Siapa? Kekasihnya? Kejadian apa?”
Yvonne sedikit linglung dalam perjalanan pulangnya ke apartemen dan untungnya di siang hari apartemen kosong hingga membuat Yvonne bisa lebih terlena dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam ingatannya.

Yvonne merebahkan tubuhnya dengan begitu pasrah di atas kasur empuk di dalam kamarnya. Ia tak suka dengan percakapan yang telah ia dengar, itu membuatnya berpikir berat hingga ia tak bisa menemukan solusi apapun untuk memuaskan hasrat keingintahuannya.

Mana mungkin ia bertanya kepada Nathan hal yang begitu sensitif semacam itu?

Kenapa aku harus mendengarnya? Aku tak ingin ikut campur!

Yvonne benar-benar lelah, ia terlalu letih setelah sibuk membaca beberapa lembar novel dan berusaha keras menenangkan jiwanya saat menanti tanpa kepastian akan kehadiran Nathan, kemudian ia terpaksa mendengarkan percakapan rumit yang kini mengganggu pikirannya.

 

Yvonne memilih memejamkan matanya rapat-rapat, menyerahkan sepenuhnya jiwanya untuk terlelap agar energi jiwa dan raganya bisa kembali membaik setelah istirahat yang cukup.

Ia tidak lupa bahwa ketika malam menjelang ia masih harus menunaikan kewajibannya menyampaikan ringkasan-ringkasan cerita dari beberapa lembar halaman novel yang telah selesai dibacanya hari ini.

“Sebaiknya aku tidur, aku harus istirahat.”

 

1 Komentar