Vitamins Blog

MERITOCRACY 2 : Lost Sapphire

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

54 votes, average: 1.00 out of 1 (54 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

Hati Rei terenyuh melihat sosok itu lewat tanpa menyadari kehadirannya—atau mungkin memang sengaja mengabaikannya. Hampir satu tahun ia pergi, apakah gadis itu merindukannya juga? Ia ingin sekali menghampirinya, namun terasa seolah-olah ada penghalang tak kasatmata di tengah-tengah mereka. Pembicaraannya dengan Anna kemarin sama sekali tidak membantu. Rei ingin sekali mencekik Anna kalau saja ia tega melakukannya.

“Kau ditugaskan pada bagian apa? Mata-mata? Aku pikir kau ahli di bagian itu, agenda berkelanamu jadi memiliki tujuan.” Ujar Rei.

Anna menatap nyalang dan berkata,” Sialan, tentu saja aku berkelana dengan tujuan. Untuk apa aku melakukannya jika tidak memiliki tujuan? Pelajaran utara memang sama sekali tidak cocok dengan otakmu.” 

“Seorang Lady tidak boleh mengumpat.” Rei memberi tatapan peringatan disertai geli yang terlihat di matanya. “Kau akan menjawab pertanyaanku atau tidak?” 

“Aku bekerja untuk sang Putri,” Anna mendesah. Seakan-akan itu adalah hal yang paling menyebalkan untuk ia kerjakan. 

Rei tidak bisa menahan kekehannya. “Kau melewati neraka hingga bisa ikut ujian itu dan setelah kau menjadi salah satu prajurit paling dihormati, kau hanya ditempatkan ke sisi sang Putri? Jenderal pasti sangat-sangat tidak menyukaimu.” 

Anna kembali menghela napas. Percuma mendebat Rei, semua perkataannya memang benar. “Aku bertekad menuliskan sejarah tetapi pada akhirnya tetap saja menyedihkan.” 

“Hey, namamu tetap akan dijadikan perempuan pertama yang menjadi Cuvari dalam sejarah Dienvidos—atau mungkin Halstead. Itu bagus.” Rei menyemangati. “Aku pikir kerajaan lain belum punya seorang Cuvari perempuan.”

Anna mengangguk dan tersenyum masam. “Tidak begitu membangun, tapi setidaknya kau sudah mencoba menghiburku.” 

“Lalu kau melakukan apa untuknya? Memakaikan gaun… menyisir—”

“Tentu saja tidak!” Sergah Anna. “Aku bertanggung jawab sebagai kepala pengawal pribadinya, bukan sebagai salah satu pelayannya.”

“Itu lumayan—tunggu, kalau begitu kau yang memperketat penjagaannya?” 

“Aku melakukannya karena aku akan melarikan diri dan berusaha memikirkan keselamatannya apabila aku tidak ada di sisinya,” Anna meringis sambil tersenyum seakan-akan tidak ada yang salah.

“Kalau begitu kenapa aku harus menyusun rencana untuk bertemu dia? Kau hanya perlu menyuruh anak buahmu menyingkir.” Ucap Rei berbinar. 

Anna mengerjap menatap Rei seolah baru tersadar akan satu masalah. “Aku pikir itu jadi masalah,” 

“Apa maksudmu?” Rei mengernyit.

“Kau tahu, aku belum bisa masuk ke istana setelah tragedi—pernikahan—melarikan diri. Jadi aku belum bisa memberi perintah apa pun untuk mereka.” Jawab Anna sedikit gugup.

“Kau bisa memberi perintah lewat surat.” 

Anna terlihat berpura-pura berpikir keras. Mencoba menjawab tanpa menyakiti hati sang sahabat. “Karena kehadiranku tidak ada di sana, kemungkinan besar surat itu akan sampai ke tangan Jenderal untuk perihal konfirmasi. Jadi, menghindari terdengarnya kabar bahwa aku sudah kembali ke Dienvidos, untuk saat ini aku tidak bisa—tidak boleh melakukan apa-apa.” 

Rei mengerjap menghilangkan suara menyebalkan Anna dari kepalanya. Ia tidak percaya yang membuatnya dalam kesulitan untuk menemui sosok yang dirindukannya adalah sahabatnya sendiri. 

Kepada semesta Rei memanjatkan doa semoga sahabatnya yang kurang ajar itu segera bertemu cintanya dan mengalami kesulitan yang sama seperti dirinya. 

•••

Suara ricuh terdengar ke penjuru pondok dan Anna tidak peduli tentang itu. Ia sedang berada di tengah-tengah kegiatan membersihkan pondoknya yang terbengkalai selama setengah tahun dan tidak akan ada yang dirugikan. Kecuali para binatang—mungkin ia hanya akan menakuti seekor kelinci yang lewat di sekitar pondoknya.

Ringisan seseorang di atas tempat tidurnya pun tak ia hiraukan. Ranjang berderit dan terdengar suara benturan logam dan kayu. 

“Aku sarankan untuk berpikir kembali sebelum kau melemparkan sendok itu padaku.” Cetus Anna tanpa membalikkan tubuh. Atensinya terpaku pada rangkaian bunga yang baru saja ia buat dan hendak ia tempelkan ke dinding. 

“Siapa kau? Mengapa aku ada disini?” 

“Setidaknya bisakah kau minum air? Suaramu menggangguku.” Sahut Anna.

Anna berbalik setelah menyelesaikan pekerjaannya dan menatap pemuda yang duduk bersandar di atas ranjangnya.

Demi Halstead dan seluruh kekayaannya, ada seorang laki-laki di ranjangnya!

Baiklah, bukan masalah besar. 

Dengan langkah santai Anna berjalan menghampiri ranjangnya dan duduk di pinggirnya. Mata dengan iris madunya yang tajam membalas mata sebiru safir—namun lebih gelap dan lebih terkesan seperti lautan dalam—yang kini menunjukkan kesan menuntut.

Sial, dia tampan. Anna baru sadar akan hal itu.

Pandangan Anna turun pada bibir si pemuda yang terlihat basah, sepertinya ia menuruti perintah Anna untuk minum air yang sudah Anna sediakan. Bibir bawahnya terluka di sudut kanan. Anna sedikit menahan diri untuk tidak menyentuhnya untuk memeriksa apakah masih terasa sakit.

Ayolah Anna berpikir yang benar!

Anna kembali menatap mata biru itu sambil bergerak untuk mengambil sendok yang tergenggam di tangannya dan mengacungkannya tepat di antara wajah mereka.

“Kau tidak akan bisa membunuhku dengan benda ini.” Desis Anna. Namun entah mengapa kalimat selanjutnya terdengar sangat lembut. Astaga, Anna benci mendengar suaranya sendiri. “Tapi benda ini akan membunuhmu apabila kau tidak menggunakannya dengan benar.” 

Ia meletakkan sendok itu ke dalam mangkuk sup yang berada di atas meja kecil di sebelah ranjang. 

Anna berdiri di sisi ranjang dan bersedekap. “Aku tidak akan membantumu, aku rasa kau bisa melakukannya sendiri.” 

“Kenapa kau menolongku?” Suara pemuda itu masih terdengar tajam. 

Kedua bola mata Anna berputar malas. Ia sungguh berbuat sia-sia dengan membuang tenaganya untuk menyeret pemuda yang bobotnya bisa jadi dua kali lebih berat dari berat badan Anna sendiri. Harusnya ia tenggelamkan saja tubuh pemuda itu ketika mereka melewati danau.

“Makan saja makananmu, aku tidak mau kau mati kehabisan tenaga dan membuatku kesulitan membuang mayatmu.” Geram Anna.

“Bagimana aku tahu kau tidak meletakkan sesuatu di dalamnya?” 

Anna masih berharap hatinya tidak akan berkata menyesal menolong pemuda tersebut. 

Anna mendengus dan berkata, “Ya, kau benar. Kau tidak perlu memakannya, ada air liurku di dalamnya.”

Mata pemuda itu beralih memindai penjuru pondok. Anna sedikit bersyukur sempat membereskannya. Tunggu, mengapa ia harus peduli dengan penilaian makhluk kurang ajar yang meragukan kebaikan hatinya? 

“Aku akan pergi, kalau kau masih berpikir ada racun di makanan itu aku justru menyarankan kepadamu untuk memakannya. Itu akan membunuhmu lebih cepat daripada harus menderita dan mati perlahan.” Cerca Anna tajam. 

Gadis itu berbalik dan melangkah menuju pintu mewujudkan niatnya untuk pergi.

“Kau tinggal disini?” Tanya pemuda itu. 

Kini Anna merasa bahwa nada suara laki-laki itu memang selalu terkesan mengancam, sama seperti dirinya yang tak bisa menahan kesinisannya sekalipun ia berusaha ramah dan selalu mengumbar senyum. 

“Ya.” Ujar Anna malas.

“Kau seorang bandit?” 

Anna mengernyit dan mulai memindai pondok serta penampilannya. Berdasarkan semua itu ia memang pantas disebut bandit. Anna berhenti memakai gaun sejak memutuskan masuk ke istana dan berlatih untuk menjadi seorang prajurit. 

“Untuk ukuran seseorang yang hampir mati aku pikir kau terlalu banyak bicara. Simpan saja tenagamu andai kata kau berpikir untuk melarikan diri.” Ujar Anna sinis.

“Siapa kau?” 

“Baiklah, karena kau sekarat dan dalam beberapa jam atau beberapa menit kedepan kau akan berjumpa dengan maut, aku pikir aku bisa memberitahumu” Anna menghela napas jengah. Ia sedikit benci jadi orang baik.

Anna menatap intens pemuda itu sebelum berbalik melangkah keluar pintu.

“Mereka memanggilku Annalise.” 

••• 

Saat melihat Valos memasuki kedai milik Lozard, Anna melancarkan rencananya. Ia membawa gelas besar berisi bir di tangannya dan berjalan pelan ke arah lelaki paruh baya yang sibuk menyapa para pelanggan lain. 

“Oh! Maaf, Nona.” Ucap Valos penuh penyesalan. Ia tak menyadari ada seseorang lewat di hadapannya.

Anna hanya mengangguk, sambil menunduk membersihkan jubah tipisnya yang terkena tumpahan bir dan berjalan ke meja yang berhadapan langsung dengan si pembuat minuman. Valos menyusul dan duduk di sampingnya. Ini sungguh menyenangkan. 

Anna sengaja menggerai rambutnya yang panjangnya kini menyentuh pinggangnya. Rambut hitam lebatnya membantu menutupi wajahnya. Hingga akhirnya di tengah-tengah percakapan Valos dan Lozard ia menyela dengan tenang. 

“Semua orang benar-benar melupakanku, Lozard.” Ucap Anna lesu.

Valos terkejut dan langsung menatap Anna dengan mata membelalak. “Anna?!” 

Anna tertawa dan menyibak rambut yang menutupi wajahnya. “Aku pikir aku pergi terlalu lama. Bukan begitu, Lozard?” Goda Anna pada Lozard di balik meja.

Anna semakin terbahak ketika Valos menariknya ke dalam dekapan hangat. Ia akan mencoret Rei dari daftar orang yang ia rindukan dan menggantinya dengan Valos. 

“Aku merindukanmu, Little Sun.” Keluh Valos. Tangannya tak berhenti mengusap kepala Anna gemas. 

“Aku juga merindukanmu, Valos.” Anna menghela napas panjang. Rasanya seperti berada di rumah. Sangat nyaman.

Valos melepas dekapannya dan menatap Anna dengan berbinar-binar. “Lihat dirimu, kau begitu—”

“Terbakar?” Tanya Anna tanpa melepas senyum lebarnya.

Valos terkekeh. “Keemasan. Kau benar-benar terlihat seperti matahari, Yang Mulia.” 

Anna seketika merengut. “Jangan menggodaku seperti itu.”

Mereka berbincang dengan Lozard sebelum akhirnya ditinggal berdua. Seperti biasa. 

“Bocah Solas menghampiriku tadi malam.” Ucap Valos.

“Rei? Kenapa?” Anna mengernyit.

“Awalnya ia hanya menanyakan tentang… kau tahu—penyebab kau melarikan diri,” 

Pernikahan. Ya, Anna sudah menebaknya.

“Lalu?” 

“Kemudian ia mabuk dan mulai mengeluh tentang betapa jahatnya dirimu yang tak mau membantunya bertemu dengan sang Putri,” Valos terkekeh geli seakan-akan itu hal terlucu yang pernah ia dengar. 

“Aku hanya berusaha jujur.” Balas Anna.

“Dan kemudian ia mulai berbicara hal yang mungkin harusnya ia ceritakan padamu. Aku sedikit bersyukur ia tidak mengatakan itu keras-keras.” 

“Sesuatu yang penting?” Tanya Anna.

Valos mengangguk. “Sedikit. Aku sudah mendapat beritanya sekitar empat hari yang lalu, dan bocah Solas itu membuatku yakin bahwa berita itu konkret.”

“Apa itu?” 

Valos melirik ke sekeliling sebelum berucap pelan dengan berusaha membuat ekspresi yang tidak akan mengundang perhatian. “Voreia semakin berlaku kejam kepada para budak, bahkan masyarakat mereka yang miskin dan yang mereka pikir sudah tidak mampu menghidupi keluarga akan dipaksa untuk bekerja seperti budak. Mereka yang diperlakukan seperti budak ketakutan dan merasa terpenjara, sementara perbatasan semakin dijaga ketat, penduduk utara yang bukan bangsawan atau kelas menengah tidak diperbolehkan keluar wilayah.”

“Apa yang mereka lakukan? Bagaimana nasib anak-anak?” Anna berusaha sekuat mungkin menjaga amarahnya. 

“Sejauh yang aku tahu mereka akan diuji. Yang memiliki pontensi akan dididik menjadi prajurit untuk yang laki-laki, dan yang perempuan akan dijadikan pelayan atau entah apa. Sedangkan yang tidak memiliki potensi—aku rasa kau tidak ingin mengetahuinya.” 

“Itu masalah besar, bukan?” Tanya Anna.

“Itu bisa jadi masalah besar nantinya. Bila terus seperti itu mereka akan kehilangan budak dan prajurit akan semakin terhimpun. Kau tahu apa artinya?”

“Invasi.” Lirih Anna.

“Mereka akan memperbudak kerajaan lain hingga pada akhirnya tidak ada yang tersisa.”

Anna menelan murka. “Ada lagi?”

“Undangan Purvation telah dibagikan.” 

“Aku tahu yang itu.”

“Kau tahu?” 

Anna mengangguk. “Itulah alasan kepulanganku. Aku perkirakan mereka akan sampai ke istana dalam tiga hari—atau lebih. Tergantung bagaimana mereka melakukan perjalanan.”

“Bagaimana kau bisa tahu?” Valos mengernyit.

Anna mendesah. “Aku ada di Plaza Sprevest pada waktu itu, lalu secara kebetulan bertemu Askar dan kami berakhir makan malam bersama keluarganya.” 

“Kau bedebah cilik yang selalu dikelilingi Putra Mahkota, sebenarnya apa yang telah kau lakukan di masa lampau?” Valos terkekeh.

“Percayalah, aku juga masih bertanya-tanya,” Anna mendengus. “Kemudian ia menceritakan pengalamannya di Noarden, kau tahu—Kerajaan di utara yang berisi Pendeta-Pendeta Agung.”

“Para bajingan fanatik.” Desis Valos.

“Begitulah, ia mendengar bahwa undangan Purvation akan dibagikan, dan di malam itu pula aku langsung kembali ke sini. Aku harap prediksiku tidak salah.” Ucap Anna mengedikkan bahu. 

Valos mengangguk. “Kau sudah punya rencana untuk itu?” 

“Aku selalu punya rencana, Old Man.” Balas Anna menyeringai.

Good luck, Little Sun.” 

“Ya, aku memang benar-benar butuh keburuntungan itu.” 

•••

Anna membuka pintu pondoknya dengan perlahan. Dalam hati berharap pemuda—tampan yang sedikit membuatnya goyah—yang ia selamatkan kemarin sudah pergi melarikan diri, atau mati. Meskipun Anna lebih suka pilihan pertama. 

“Annalise?” 

Astaga, orang itu masih disini.

Anna sedikit menelan ludah gugup. Harusnya ia tetap di kedai Lozard sampai pagi dan membiarkan pemuda itu mati membusuk di pondok ini alih-alih pergi menemui seorang tabib dan mencari obat kemudian kembali kemari.

“Kenapa sangat gelap?” Anna mengernyit melihat pondoknya yang remang-remang. Sumber penerangan hanya berasal dari satu lilin yang terletak di atas meja samping ranjang. 

“Hanya ini yang kutemukan.” Jarinya menunjuk lilin yang ia maksud.

Anna bergerak tenang namun cekatan mengambil lilin tanpa terganggu kegelapan. Tinggal di dalam hutan membantunya memiliki kemampuan tersebut. Tanpa menunggu waktu lama, pondok menjadi terang benderang. Pemuda itu masih tetap di posisi seperti yang terakhir Anna lihat. Ia mendekat ke ranjang kemudian pandangannya menubruk pada mangkuk dan gelas kosong. 

“Melihat kau masih bernapas aku bisa menebak sepertinya kau membuang makanan ini.” Cibir Anna sembari merapikan alat makan dan membawanya ke tempat pencucian. Anna jadi teringat untuk mengambil kayu bakar.

“Kau menolongku.” 

Baiklah, itu sebuah pernyataan. Anna masih bersimpuh dan berkutat di depan perapian untuk menghidupkannya. Apakah seharusnya ia memberi respon? 

“Percayalah, sebenarnya aku akan melemparmu dari tebing kalau kau tidak menarikku. Sebelum itu aku bahkan tak ingin repot-repot memperhatikan apakah kau masih bernapas atau tidak.” Ujar Anna.

Keheningan menyapa sebelum akhirnya suara berat itu kembali terdengar.

“Kau tidak tahu siapa diriku,” pemuda itu melirih pelan. Kalau saja Anna bukanlah Anna, mungkin ia tidak akan bisa mendengarnya.

Gadis itu berbalik kembali mendekat ke ranjang dan berdiri di sisinya. 

“Aku tahu siapa kau,” 

Pemuda itu mengerjap dan mendongak menatap Anna tepat di mata. 

Anna bersumpah melihat mata pemuda itu sedikit melebar ketika Anna mengambil langkah dan memberanikan duduk di tepi ranjang. Situasi ini memang cukup berbahaya dalam beberapa hal.

“Jadi, katakan padaku. Kusarankan untuk jujur, karena aku akan tahu jika ada kebohongan—bahkan secuil,” 

Bohong. Anna ragu bisa menebak kebohongan pemuda itu, tapi ancaman adalah hal yang cukup benar untuk dilakukan saat ini.

Gadis itu membungkuk, menatap sejajar wajah tampan di hadapannya dengan begitu dekat. Kehangatan dari perapian sedikit kalah dengan hangat napas yang saling menerpa wajah mereka. Anna tersenyum, menatap tajam mata biru yang berkelip karena api.

“Apa yang menyebabkan seorang bangsawan utara sekarat di wilayah selatan?”

©️MERITOCRACY, 2020

5 Komentar

  1. oviana safitri menulis:

    :kisskiss

  2. Jadi annalise ini bangsawan yang tinggal di sebuah pondok di hutan dan di tengah peradaban? Hmnhmn menarik :ayojadian

  3. HerdiniIsnaeni menulis:

    :sebarbenihcinta

  4. ArinaRisaDewi menulis:

    Ternyata laki laki asing itu seorang bangsawan toh

  5. Menarik :awaskubalasnanti