Vitamins Blog

Tanpa Judul || Bagian 5

Bookmark
Please login to bookmark Close

Satu tahun kemudian.

“Nanti saya jadwalkan di hari Rabu, ya Kak…”

“Oke mba, Terimakasih…”

“Sama-sama.”

“Dapet berapa orang, Dis?” Tanya Sabrina pada Gadis selepas custemernya selesai sesi tanya jawabnya.

Gadis menyerahkan map data pengunjung pada Sabrina, wanita kepala hampir empat puluh tahun itu meneliti kemudian mengangguk puas dengan daftar pengunjung yang datang. Saat ini mereka sedang mengadakan bazar di salah satu Mall besar di kota F. pengunjung yang datang hari ini lebih banyak dari dua hari sebelumnya. Mungkin karena sekarang adalah akhir pekan juga jadi lebih banyak yang datang.

“Lumayan,” komentarnya mengembalikan map pada Gadis. Sabrina celingkukan, lantas bertanya, “Mba Al mana, Dis?”

Gadis ikutan celingukan namun langsung menemukan sosok Al masih berada di sekitar pintu gate acara sambil membagikan brosur mereka.

“Itu masih di depan, Mba Sab.”

“Walaah, daritadi suruh istirahat dulu. Ditinggal dulu ya, Dis…”

“Oke, Mba…”

Sabrina menghampiri sosok Alrina yang sekarang berdiri mematung di dekat gate. Hal ini sudah biasa dilihat oleh Sabrina. Saat awal-awal ia khawatir dan bingung dengan kondisi Al yang sering termangu tiba-tiba. Namun lama-lama ia menjadi terbiasa. Bahkan disaat-saat tertentu Sabrina mendapati gadis itu menangis sendirian, atau mendapati cekung di matanya semakin gelap. Entah apa yang terjadi pada atasannya itu namun Sabrina berharap Al baik-baik saja.

“Mba Al…?”

“Eh, mba Sab. Gimana?”

“Mba Al makan dulu.”

Al tersenyum lalu menggeleng. “Enggak apa-apa, nanti kalo udah abis brosurnya saya baru makan.”

Sabrina menghela napas. “Ya sudah, sini gentian saja. mba Al makan, saya yang bagiin brosurnya. Aku takut banger mba Al jadi makin kurus, jujur dah…”

Al tertawa renyah. “Oke oke, abis ini ya….”

Mereka membagikan brosur bersama, setelah lima menit Al mulai celingukan lagi. Sabrina yang menyadari tidak tanduknya ikut celingukan meski ia tidak tahu apa yang Al cari. “Nyari apa, mba?” Tanya Sabrina kemudian.

“Apa? Oh, emm, enggak. Cuman keinget aja dulu juga aku bagiian brosusr kayak gini di sini.”

“Hmm, kirain ketemu mas-mas ganteng,” goda Sabrina sambil cengengesan.

Al tertawa. “Ya kali… kalo saya dapet cowo ganteng udah saya mintain nomornya sebelum keduluan yang lain.”

Sabrina memicingkan mata. “Yakin?”

“Enggak sih,” tawa Al meledak seketika.

Tapi Al memang sedang mencari, kalau-kalau ia bertemu dengan kawan lamanya dari tempat kerjanya yang dulu. Pasalnya Al merasa sedang diperhatikan oleh seseorang. Namun tempat ini memang selalu ramai, Al jadi lupa dengan perasangkanya dan melanjutkan aktifitasnya. Perasaan gue aja kali ya…

“Kak, Minta brosurnya.”

“Oh, bole….”

Tangan Al berhenti di udara begitu matanya bertemu pandang dengan si pemilik suara. Jantung Al terasa jatuh hingga ke dasar bumi, pijakannya seketika runtuh di bawah kakinya. Al hampir-hampir terjatuh. Pemuda di hadapannya saat ini seperti Nampak sama seperti terakhir ia melihatnya di rumah sakit setahun yang lalu. Al kehilangan suaranya, namun seketika sadar begitu seseorang menerjang dan memeluknya erat.

“Alrina… Lo kemana aja sih??! Lo enggak kangen sama gue?!”

Al baru bisa mengenali sosok itu setelah memborbardirnya dengan pertanyaan. “Gabby?”

Gabby melepas pelukannya dan mengerut alisnya heran. “Lo kok kayak abis liat setan sih!”

“Lo seruduk sih, ya dia kaget lah,” sahut suara pria lain di belakang Gabby.

“Jerry?”

“Hai, Al. lama enggak ketemu, Gabby nangis mulu ditinggal sama elo,” adu Jerry tiba-tiba.

Langsung saja Jerry mendapat cubitan kuat di pinggangnya dari Gabby. “Abisnya, enggak ada omong-omong ini orang ngilang terus tau-taunya resign. Kan gue syok ya,” sewot Gabby.

Al tersenyum masam. “Sori, Gab.”

“It’s okay. Tapi lo kok sampe ganti nomor gitu sih? Takut banget lo gue tanya-tanya?”

Al menggeleng. “Enggak gitu … cuman … ya banyak hal waktu itu. Gue mau sendiri dulu.”

Gabby tidak ingin memperpanjang lagi, ia langsung menggandeng lengan Al. “Oke, sebagai perminaan maaf lo ke gue, hari ini lo musti traktir gue. Jerry sama Radif biar bayar sendiri aja.”

“Giliran enaknya aja enggak bagi-bagi, giliran drama dan tangis bagi-bagi,” celetuk Jerry.

Gabbya mendelik sambil mencibir, “Gaji lo lada udah cukup buat makan bayar sendiri-sendiri.”

“Cih…”

“Hmm…” Al melirik Sabrina yang masih sibuk membagikan brosur, berharap wanita itu menyelamatkannya. Namun pandangannya seketika terhalang oleh pria lain yang sedari tadi diam diantara mereka bertiga. Al langsung membuang muka. “Lain kali ya.”

“Ayolaah.. Elo enggak kangen sama gue?”

“Enggak apa-apa mba Al,” sahut suara lain, Sabrina sudah berada di sampingnya. Brosur di tangannya habis. “Ini udah selesai kok bagi-baginya. Tadikan mba Al janji abis brosurnya selesai mau makan dulu. Bawa aja mba suruh makan dia.”

Bersamaan dengan itu seseorang mengambil brosur terakhir di tangan Al. gadis itu menoleh terkejut namun menyesal kemudian. Radif lah yang seenak jidat mengambil brosur di tangannya, ia mengatakan, “Nah sekarang habis.”

Al tidak menanggapi. Masih membuang muka ke arah lain. Ketegangan terasa dibantara mereka. Bahkan Gabby sekalipun menggigit bibirnya khawatir akan ada yang meledak di sana. Ini memang bukan ide yang bagus. Memcoba menyatukan dua orang yang saling bermusuhan.

“Yukk…” bujuk Gabby sekali lagi.

Al mengembuskan napas pasrah, ini tidak akan selesai hanya dia mengatakan tidak. “Oke,” sahutnya singkat.

Gabby bersorak kegirangan, Al mencuri pandang lagi pada Radif hanya untuk mendapati ekspresinya yang malah membuatnya semakin tidak karuan. Radif menatapnya dengan senyum menggantung di bibirnya. Ini sangat mengherankan, apakah senyuman itu bermasuk mengejeknya, atau sebuah senyum kelegaan karena Al bisa ikut bersama mereka. Tapi Al tidak ingin larut begitu saja, ia masih menebak kalau-kalau pria itu akan memberikan kejutan lain di akhir. Seperti dulu.

Radifta tidak pernah akan memaafkannya sampai kapanpun. Tidak mungkin…

***

De javu.

Itu yang dirasakan Al sekarang, mereka duduk di bangku restoran dengan formasi yang sama seperti dulu. Gabby Jerry dan Radif Al. Gabby seperti biasanya banyak bicara prihal pekerjaannya dan gosip-gosip yang baru dari tempat kerja. Al sesekali memberikan pendapat atau melempar godaan begitu juga dengan Jerry. Yang tidak di sangka lagi oleh Al adalah Radif yang ikut menimpali cerita Gabby.

Ternyata satu tahun banyak cerita yang tidak Al sangka. Ya, Al memang sudah bertekad untuk mengisolasi diri selama itu. Wajar jika banyak yang tidak ia tahu. Ia sendiri sibuk untuk kembali membangun dunianya lagi yang sempat hancur.

Gabby sedang bercerita saat Al merasa lengannya disentuh, Al terlonjak dan langsung mendelik pada orang di sampingnya. Lebih kaget lagi tahu-tahu Radif sudah mencondongkan wajahnya sambil menutupi sebelah bibirnya seperti ingin berbisik.

“Mereka udah pacaran hampir setahun.” Al masih tidak dapat mencerna situasi saat ini namun ia menoleh pada Gabby dan kembali menoleh pada Radif, pria itu meneruskan. “lo sih ngilang, jadi enggak tau serunya pas Jerry nembak Gabby yang masih nangis-nangis.” Tidak lupa Radif menambahkan senyum di akhir kalimatnya. Senyum yang mengingatkan Al pada anak laki-laki yang ia temui saat ia masih duduk di bangku sekolah dulu. Radif kecil yang ia lihat dulu.

Al tidak merespon apapun, ia malah semakin mengerutkan alis. Sekak kapan? Sejak kapan Radif bicara seakrab ini dengan orang yang sangat dibencinya? Sejak kapan Radif bicara dengan nada berbisik lembut pada orang yang SANGAT dibencinya?

Merasa tidak mendapatkan respon giliran Radif yang menoleh pada Al dan mendapati wajah gadis itu yang bingung. Pria itu sudah memprediksinya, tentu saja gadis itu akan heran setelah kejadian dulu belum ada terucap kata maaf dari mulutnya. Ditatap seperti itu Radif seperti kembali terlempar ke masa-masa sekolahnya dulu saat memergoki Al di belakang kelas dengan kucing liarnya.

Radif menelan ludah yang terasa pahit di tenggorokannya. Mungkin ini adalah saatnya.

Sorry,” bisik Radif lirih namun cukup bisa didengar oleh Al. “I’m so sorry, Al.” Takut-takut Radif meraih tangan Al yang mengepal di atas pangkuan, merasakan keterkejutan dari gadis itu yangg hendak menarik tangnnya namun ditahan oleh Radif. Pria itu melanjutkan. “I’m sorry for what happened to you before. I’m sorry for all my stupidity before. I was wrong and I feel so bad.”

Al menatap genggaman tangan Radif yang dingin di permukaan kulitnya, pria ini sama gugupnya. Gadis itu beralih menatap mata Radif, ada getar takut di balik matanya dan memohon ketulusan.

Can we start over again?

BRAAAK!!

Alrina bangkit terlalu cepat sampai-sampai sikunya membentur lengan meja dan menimbulkan suara keras, dua orang lainnya menoleh terkejut. Al menatap Radif dengan wajah seram dan takut bercampur marah. Napasnya terasa tercekik membuat dadanya naik turun.

“Kenapa Al?” Al menoleh pada Gabby yang ikut cemas. Gadis itu sudah bangkit baru saja akan menghampiri Al.

“Sori, Gab. Gue harus balik sekarang.”

“Ha? Tapi…”

Al mengeluarkan uang dua lembar seratus ribuan sertamerta menaruhnya di meja. Kemudian bicara cepat, “Bye Gab, kapan-kapan kita ngobrol lagi. Bye Jer…”

Tanpa menoleh dan menunggu rajukan Gabby, Al telangkah cepat-cepat keluar dari restoran. Sementara itu Radif masih terduduk syok di tempatnya. Ia sudah tahu dengan reaksi Al yang akan kabur lagi. Namun Radif lupa untuk menyiapkan hatinya untuk tidak merasakan penolakan seperti ini.

Dua orang lainnya kembali terduduk lemas, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.

“De javu…” gumam Gabby di setujui oleh Jerry.

 

 

TBC

 

Makasih yang udah mau mampu. Boleh keripik dan sarangnya. Boleh juga kasih masukan buat judulnya. See yeah…