Vitamins Blog

Tanpa Judul || Bagian 2

Bookmark
Please login to bookmark Close

Radif membolak-balik lembar brosur kusut di tangannya namun pikirannya tidak pada tempatnya. Ingatannya melayang kembali ke dua hari yang lalu. Saat Radif duduk diam mendengarkan sepasang kucing yang ngebet kawin memadu kasih di depannya. Radif pikir penderitaanya hanya akan berakhir saat jam kerjanya selesai. Namun Jery si sialan ini tetap menyeretnya hingga berakhir dengan menjadi nyamuk.

Jangan ditanya bagaimana wajah Radif saat itu, ekspresi kesal sangat tergambar di wajahnya. Namun satu orang lagi nampak tidak merasa terganggu dengan nasibnya, ia sesekali menimpali gombalan Jery atau ikut menggoda Gabby. Namun satu yang tidak pernah ia lakukan adalah menoleh atau mengajak Radif bicara.

Al tampak tenang. Namun itu membuat Radif merasa curiga. Ia sangat kesal, kenapa gadis ini muncul dengan sikap yang sangat polos. Seakan-akan ia tidak pernah melakukan sesuatu yang jahat. Sesuatu yang menjijikan. Kenapa hanya Radif yang ingat dengan sikap menyebalkan Alrina dulu.

Dua belas tahun, bukan waktu yang sangat lama, tapi bukan waktu yang singkat. Namun gadis itu selolah-olah mengubah dirinya atau ‘berusaha mengubah dirinya’ menjadi orang lain. Itu sangat memuakan bagi Radif. Alrina masih bisa tertawa, Alrina masih bisa berbicara lancar tanpa bergetar pada orang lain, Alrina tidak lagi melihatnya.

Radif melihat lagi brosur di tangannya, membaca alamatnya dan menimbang. Kemudian ia menggeleng. Tidak, tidak ada gunanya ia membalas dendam, mungkin saat itu Alrina hanya gadis cilik yang sedang kasmaran, ia hanya sial karena menjadi sasarannya.

Radif menggeleng lagi. “Enggak mungkin, lo mikirin apa sih, Radif….”

Radif sudah mengulurkan tangan di atas tong sampah samping mejanya namun gerakannya terhenti begitu pintu ruangannya mendadak terbuka dan Hardi masuk. Radif buru-buru menarik tangannya kembali dan memasukkan brosur tersebut masuk sembarang ke dalam tas.

“Lo enggak tau aturan apa gimana, Di? Kalo mau masuk minimal ketok pintu dulu!” sewot Radif.

Hardi yang tiba-tiba disemprot seperti itu terkejut. “Maaf pak Radif, tadi saya sudah ketuk pintu tapi bapak tidak jawab, terus kata pak Jery suruh masuk saja,” jelas Hardi takut-takut.

“Terus elo nurut aja?”

“Maaf pak, saya salah.”

Radif tersadar, ini hanya gerakan impulsifnya kenapa ia sampai semarah itu. Lagi pula tidak ada yang tahu prihal apa yang sedang Radif pikirkan dan lakukan. Ia menghela napas.

“Udah, udah. Ada apa lo nyariin gue?”

“Nganu pak, tadi bu Siska dari PT. C mau bicara sama pak Radif.”

Radifta berdecak sebal. “Ngapain lagi sih tuh nenek-nenek.”

Hardi tidak berkomentar, ia masih menunggu konfirmasi Radif. Walau sempat ia ingin tertawa saat Radif melontarkan makian pada cliennya. Hardi baru magang di perusahan ini sekitar sebulan yang lalu, namun ia merasa sudah menjadi karyawan tetap dari sepuluh tahun yang lalu.

Ia tahu Radif memiliki mulut yang tajam, berprangai gunung merapi, namun berhati Efferes. Meski begitu Radif yang menjadi andalan dalam bernegosiasi dengan clien serta tutor yang baik untuk junior dan pemagang sepertinya.

“Ya udah nanti gue yang nemuin dia. Ada lagi?”

“Tidak pak,” Jawab Hardi cepat.

“Oke, elo boleh keluar.”

“Permisi.” Buru-buru Hardi keluar dari ruangan Radif dengan wajah penuh kelegaan.

Radif menghela napas, ia kembali menyandarkan kepalanya, memejamkan mata dan bayang-bayang masa lalu menghantuinya lagi. Tidak, Radif harus  menyingkirkan pikirannya. Namun sebelum itu, Radif harus memastikannya sendiri, apakah Alrina hanya bepura-pura dan menunggu waktu untuk kembali mengikutinya atau gadis itu benar-benar melupakannya.

Radif hendak merogoh tasnya, mengurungkan naitnya sebagai gantinya ia menggeram sebal.

Damn!”

 

***

 

Alrina mengusap wajahnya, ia berkaca pinggang sambil menatap serpihan keramik yang berserakan di lantai. Siang tadi saat ia mengisi untuk kelas keramik, salah tau peserta tak sengaja menjatuhkan mug di rak display. Apesnya itu adalah mug kesayangannya. Al terkejut sampai tidak ada kata yang keluar dari mulutnya sementara anak yang menjatuhkan mugnya menatapnya setengah merengek.

Al baru tersadar setelah Julia-admin fron office-masuk dan mengambil alih keadaan. Al mengela napas panjang sambil berjongkok di sisa-sisa mug yang tidak bisa lagi ia selamatkan. Ia ingat bahwa mug ini adalah mug yang ia buat pertama kali saat ia masih menjadi peserta di tempat ini, enam tahun lalu. Al kembali mengembuskan napas panjang sambil memunguti sisa prasejarah mugnya.

“Jangan tangan kosong dong, Al.” Juli mengulurkan pengki dan sapu kecil dari loker.

Thanks, Jul.”

“Lo nggak apa-apakan?”

“Hmn?”

“Itu kan mug kesyangan lo.”

Al mengela napas. “Ya mau gimana lagi Jul, lagian anaknya juga enggak sengaja.”

“Yaah, hilang lagi deh saksi sejarah Alrina di sini.”

Al tertawa ringan sambil mengelap tangan usai mencuci tangan. Al memang merasa sedih karena sudah tidak ada lagi bekas peninggalan dia saat ia masih awal menjadi member di sana. Dulu Al hanya iseng ikut salah satu workshop yang diadakan di salah satu kafe. Di sana ia mulai tertarik dan ikut menekuni sampai akhirnya ia lulus dan memilih bekerja di sana sebagai tutor.

Setelah tiga tahun bekerja sebagai tutor berbagai macam workshop, baru dua minggu yang lalu Alrina dialihkan sebagai tim marketing besama Gabby dikarenakan masuknya Zefie sebagai tutor baru menggantikan Al. Padahal Al sudah mengabdi selama 3 tahun dan sudah cukup berpengalaman sebagai tutor namun digeser begitu saja oleh mahasiswi yang baru lulus, hanya karena Zefie keponakan bu Cecil-bosnya. Tau kan artinya, lulusan luar negeri, uang dan orang dalam. Jadilah dua hari yang lalu Al perdana bertugas di pameran.

By the way, gimana kemarin?” kata Julia tiba-tiba.

“Lancar sih, aman aja.”

Julia berdecak kesil. “Maksud gue gebetan Gabby.” Julia melanjutkan, “Denger-denger ya, doi anak perusahaan Arsitek. Emang bener?”

Alrina mengerut kening, merasa heran tapi tidak terkejut. Gosip menyebar dengancepat seperti kentut. Al tidak heran, ini pasti mulut besar si bersangkutan sendiri.

“Tau aja lo. Ngulik lo ya?” tebakan Al tepat karena Julia hanya cengengesan.

“Katanya juga temennya si geberannya itu cakep juga, emang bener, Al?”

Kali ini Al tidak langsung menjawab, ia memilih membereskan meja; mengembalikan kuas-kuas, merapikan alas, mengelap meja dan mengembalikan sisa bahan.

“Al jawab iiih….”

Al mengembuskan napas. “Lo kan udah tau katanya dari Gabby, ya berarti bener. Enggak perlu minta klarifikasi lagi, gue bukan artis.”

“Bukan gitu, gue mau lengkapnya, kan kalian kemarin makan bareng.” Julia semakin mendesak.

“Kepo amat lo kek Dora,” celetuk Al. “Nanti deh gue mintain nomornya ke Gabby, nanti langsung suruh kasih ke elo aja.”

“Iiih bukan gitu….”

“Iya tapi tujuannya itu kan?” sanggah Al.

Julia nyengir sambil bergelayut di lengan Al dengan gaya manja. Al sudah hapal betul dengan Julia yang tidak mau kalah dengan Gabby. Jika Gabby bisa mendapatkan yang pintar memasak, Julia harus mendapatkan level master chef. Jika Gabby bisa mendapatkan yang mapan, maka Julia harus mendapatkan level managernya. Dan jika Gabby mendapatkan yang tampan, maka Julia harus mendapat yang lebih tampan. Tah apa tujuannya? Tapi Gabby tidak pernah menanggapi persaingan sepihak ini.

Al baru terlepas dari Julia setelah ada tamu datang dan whatsapp Gabby masuk.

Gabby : Makan siang. Blok M. Parkiran. Sekarang.

Me : Ok

Tapi Al menyesali keputusannya kemudian.

 

 

TBC

 

Agak lama update, maap keun 😂🙏

1 Komentar

  1. Mau lagi lagi lagi :ohyeaaaaaaaaah!