****
Perlahan, kedua kelopak mata milik Tiara terbuka sempurna setelah ia mengerjapkannya beberapa kali hingga kilat dari bola mata hazel miliknya nampak membulat indah lantas menatap dengan sorot pandang nanar pada langit-langit kamar yang ditempatinya melewati malam panjang untuk kesekian kalinya.
Biasa saja, kosong dan hampa.
Pagi itu terasa sangat hening dan lelah yang menyeruak dalam diri Tiara bermuara pada hela nafasnya yang panjang berulang dan perlahan. Tiara kembali memejamkan matanya, tubuhnya seakan hanya mampu berpasrah diri pada keadaan yang sedang dialaminya. Semalam ketika Wilona menawarkan kepadanya untuk beristirahat karena hari sudah larut malam, Tiara menuju kamar singgahnya dengan langkah yang melemah karena sungguh tak ingin dan berat hati namun pada akhirnya ia tetap memilih patuh karena tak ingin mengecewakan Wilona yang selalu berbaik hati dan begitu peduli kepadanya.
Selama ia melangkah dengan lunglai menuju kamar, di balik punggungnya, sebenarnya Tiara bisa merasakan sorot pandang sepasang mata yang menatapnya dengan tajam dan menusuk dari Wildan yang tanpa jeda tengah mengulitinya bahkan Tiara seakan bisa mendengar suara hati Wildan yang seakan meneriakinya, “Dasar, perempuan merepotkan!”.
Sepanjang hari sejak kejadian munculnya Norman di halaman belakang rumah, Wildan memang terlihat dipenuhi amarah yang tak kunjung mereda, ia uring-uringan seperti perempuan yang mengalami kram perut menyambut siklus menstruasi bulanan. Jelas sekali nampak dari caranya bahwa suasana hatinya sedang sangat buruk dan Wilona berusaha sepanjang waktu meredakan Wildan seperti seorang Peri Bijaksana yang menangani Manusia Serigala. Tiara sendiri memilih bersikap acuh tak acuh, namun di dalam hatinya, Tiara ingin hari yang panjang dan menyebalkan itu segera berakhir. Ia ingin segera bertemu malam atau akan lebih baik jika tiba-tiba saja saat dirinya berbaring, maka ia terbangun dan kembali ke dunia yang lebih ia kenal.
“Kalau kau tidak mau makan, sebaiknya kau katakan saja, tidak ada yang diuntungkan di sini jika kau menjaga diri dari kelaparan. Katakan saja kau tidak mau makan daripada kau mengaduk-aduk makanan tanpa alasan seperti itu! Menyebalkan!” hardik Wildan tanpa menatap Tiara yang tertegun dan bergidik ngeri dengan sikap dinginnya.
“Tiara, apa makanannya tidak sesuai dengan seleramu?” tanya Wilona dengan lebih lembut dan menatap mata Tiara dengan penuh harap menunggu jawaban.
Tiara menggeleng cepat lantas segera bergegas memakan hidangan makan malamnya dengan lahap, “Maafkan aku, aku hanya sedikit melamun.”
Wilona terlihat lega, sedangkan Wildan nampak tak senang hati dengan sikap Tiara.
Tiara berdecak kesal mengingat kejadian semalam ketika mereha bertiga tengah menikmati makan malam bersama.
“Haaah, sepertinya aku masih harus terima kenyataan bahwa pagi ini pun aku masih terjebak di dunia asing ini.” ucap Tiara lirih sembari menghela nafas berkali-kali.
Tiara yang terlalu tenggelam dalam ruang pikirannya yang kalut dan terlalu mengingat-mengingat kejadian hari kemarin, membuatnya tak sadar akan sekitarnya. Sosok seorang manusia sejak beberapa waktu berlalu tengah duduk diam di kursi kayu kecil yang tersedia di sudut kamar yang agak remang karena tirai jendela di dalam kamar tersebut masih tertutup rapat dan cahaya pagi di luar sana belum sepenuhnya merangsek masuk di celah-celah tirai. Manusia yang duduk manis dengan senyum tersungging di wajahnya, memilih diam tanpa ada niatan sedikitpun mengganggu kependiaman Tiara yang berlangsung beberapa saat. Ia memilih mengamati saja setiap gerak-gerik Tiara.
Setelah merasa bosan menghela nafas berulang kali dan menyadari langit-langit kamar takkan berubah meski dirinya terus menatap ke atas dengan penuh selidik, Tiara memilih bangkit dari pembaringan, duduk di tempat tidur lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya beberapa kali lantas mulai menepuk-nepuk ringan pada kedua pipinya.
“Kalau kau terus menepuk pipimu seperti itu, aku jadi khawatir itu akan menimbulkan bekas merah yang tak wajar. Seingatku, sudah kuingatkan kemarin, tapi sepertinya tak kau hiraukan.”
Mendengar suara yang tak asing namun tak percaya berasal dari dalam kamar yang ditempatinya, tubuh Tiara segera terbujur kaku dan sepasang matanya terbelalak karena terkejut. Perlahan ia menoleh ke arah sumber suara dan sesuai dugaan di dalam kepalanya maka ia tak salah tebak bahwa yang bicara tadi adalah Norman.
Tapi, bagaimana bisa Norman sekarang berada di kamar?
Apakah saat ini Tiara harus marah karena seorang pria asing dengan lancang memasuki kamarnya?
Atau, haruskah Tiara menyambut dan mengucapkan selamat pagi?
Norman kembali tersenyum ramah ketika mendapati Tiara telah menyadari keberadaannya dan sekarang sedang menatap kepadanya dengan penuh tanda tanya yang sangat jelas terpancar dari sorot matanya. Kemudian sebagai seseorang yang terlahir sebagai pribadi yang sangat peka, Norman segera meminta maaf karena telah lancang masuk di dalam kamar tanpa izin.
“Oh, maafkan aku karena tiba-tiba berada di sini. Aku hanya khawatir padamu setelah kejadian kemarin.” ucap Norman penuh senyum bersahabat lalu membuka tirai dengan sekali jentik dengan jari tangannya.
Pada saat itulah Tiara yang tadinya hanya melihat sosok Norman dalam suasana remang hingga seperti siluet, kini bisa melihat sosok Norman dengan jelas dan sinar matahari pagi yang merangsek masuk setelah tirai terbuka begitu mendukung pancaran indah dari sosok Norman yang harus Tiara akui bagai pangeran tampan dari negeri dongeng.
Tanpa sadar, wajah Tiara merona karena tersipu malu lantaran mengagumi keindahan di depan matanya, sosok pria tampan yang memanjakan kedua matanya.
“Kurasa karena kau tak mengindahkan peringatan dariku mengenai menepuk pipi, sekarang wajahmu jadi memerah.” ucap Norman sembari cekikikan kecil.
Tiara terkesiap, ia tak siap dengan celetukan Norman yang terkesan polos hingga dirinya menjadi malu karena Tiara sangat tahu wajahnya memerah sebab terpesona bukan akibat ia menepuk-nepuk halus pada kedua pipi di wajahnya. Tiara bahkan lupa untuk waspada dengan kehadiran Norman yang secara tak masuk akal tiba-tiba berada di dalam kamarnya tanpa izin.
“Ini karena aku terkejut! Juga karena sinar matahari!” Tiara berdalih dengan cepat dan memalingkan wajahnya agar Norman tak bisa memperhatikan wajahnya yang masih merona malu dengan teliti.
Tanpa aba-aba, Norman menjentikkan kembali jemarinya dan kali ini membawa tubuhnya dalam sekejap menghilang dari kursi dan berpindah tempat duduk di tepi tempat tidur milik Tiara, tepat disampingnya.
Tak hanya itu, Norman bahkan mendekatkan wajahnya di depan wajah Tiara seakan memastikan sesuatu.
“Benarkah wajahmu memerah karena terkejut dan paparan sinar matahari?”
Tiara tak siap dengan wajah Norman yang begitu dekat padanya, ia kembali memalingkan wajahnya ke arah lain namun Norman kembali mengejar wajahnya.
“Hentikan!” pekik Tiara lantas sedikit mendorong ringan tubuh Norman untuk menciptakan jarak di antara wajahnya dan wajah Norman.
“Maafkan aku, apa aku membuatmu tak nyaman?” tanya Norman lirih dengan memasang raut wajah yang lugu.
Pada saat itulah Tiara memperhatikan lebih saksama sosok Norman yang terlihat berbeda dari hari kemarin. Norman mengikat rambut cokelat bergelombang miliknya seperti ekor kuda dan itu terlihat lebih menegaskan garis-garis wajahnya yang maskulin dan meskipun Norman seorang pria yang tubuhnya tak lebih kekar dari Wildan disertai rambut panjang bergelombang sebahu yang terkesan feminim didukung oleh bibirnya yang tipis berwarna cerah, tapi ia tetap menguarkan aura pria yang mendebarkan untuk dipandang.
Tiara menelan ludahnya dan mengosongkan pikirannya secepat kilat yang terlalu banyak membuat penilaian terhadap Norman secara fisik. Ia merasa telah menjadi perempuan rendahan ketika dirinya malah sibuk mengagumi sosok pria di depan matanya yang sejak tadi bahkan menatap wajahnya dengan lugu tanpa kilat berbahaya sedikitpun.
Pria yang tampan dan baik hati.
“Apa kau baik-baik saja? Apa kau keberatan aku berada di sini?” tanya Norman menyadarkan Tiara dari renungannya.
Tak ada jawaban, Tiara bahkan tak tahu apa ia harus berkata iya atau tidak atas pertanyaan yang dilontarkan Norman. Saat ini Tiara hanya merasa senang Norman mendatanginya yang sebelumnya merasa kosong dan hampa. Namun, Tiara juga merasa tak pantas untuk menyatakan bahwa dirinya tak keberatan atas kehadiran Norman.
Bagaimanapun juga Norman masih terhitung pria asing, kan?
“Sebenarnya kehadiranku kemari karena aku ingin membawamu melihat-lihat Kota Thames, itupun kalau kau tidak keberatan.” ucap Norman dengan nada lembut.
“Membawaku?” Tiara melayangkan pertanyaan retorika sembari tanpa sadar menggenggam bandul Ratnaraj yang dikalunginya.
Norman yang teliti menangkap setiap gerak-gerik Tiara tersadar bahwa Tiara sedikit menunjukkan kewaspadaan terhadap dirinya.
“Maafkan aku, tapi aku sungguh tidak punya niat jahat sama sekali seperti menculik ataupun mengelabuimu dan aku minta maaf jika caraku terkejut saat menyadari bandul Ratnaraj ada pada kalungmu kemarin membuatmu khawatir akan diriku.” terang Norman perlahan dan masih dengan nada yang lembut sehingga terasa nyaman menelusup di telinga Tiara.
Tiara segera melepaskan genggamannya pada bandul kalungnya dan meskipun ia ingin mengucapkan sepatah kata apapun, lidahnya terasa kelu dan bibirnya terasa kaku serta ia merasa tak tahu harus berkata apa.
“Kuakui aku memang terkejut, namun aku tak bermaksud buruk padamu. Kau boleh tidak percaya padaku, kau punya hak untuk itu.” terang Norman lagi, namun kali ini ia mengambil jeda yang sedikit panjang sebelum melanjutkan kata-katanya seperti memberi waktu untuk Tiara berpikir ulang mengenai dirinya.
“Tapi aku akan tetap keras kepala menawarkan diri untuk mengajakmu berkeliling Kota Thames. Apa kau tidak bosan hanya berada di rumah tua ini dan hanya bersama dengan si kembar Wildan dan Wilona?”
Norman melemparkan pertanyaan kepada Tiara dengan nada yang sedikit menggoda disertai raut wajah jenaka yang membuat Tiara menurunkan kewaspadaan. Norman yang merupakan pria asing seakan tahu dengan baik cara mengambil hati Tiara. Kali ini Norman memilih bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di tepi ranjang dengan tegap serta mengulurkan salah satu telapak tangannya dihadapan Tiara.
“Bagaimana nona cantik, maukah kau berjalan-jalan denganku? Akan kutunjukkan indahnya Kota Thames dan kau akan suka berbagai menu makanan yang tersedia di perjalanan, tentu saja aku yang membayar semuanya untukmu.”
“Aku bahkan baru bangun tidur dan belum sedikitpun bangkit dari tempat tidurku, aku belum membersihkan diri, merapikan diri, aku tidak dalam keadaan siap sedikitpun untuk kemana-mana dan kau begitu percaya diri menawarkan padaku untuk ikut berkeliling kota?” celetuk Tiara yang terdengar bersungut-sungut manja.
Norman tersenyum tipis, ia meletakkan kedua telapak tangannya di atas tempat tidur untuk menumpu tubuhnya yang sedikit membungkuk condong ke depan agar wajahnya dapat berada di posisi yang sejajar dengan wajah Tiara.
“Nona cantik, apa kau meragukan kemampuanku? Jangan khawatir, ada aku di sini, kau akan siap dalam sekejap.”
Setelah mengucapkan kata-katanya yang sangat mendominasi, Norman menegakkan tubuhnya dan kembali menjentikkan jemarinya hingga Tiara yang masih terkesima dengan sikap Norman yang memangkas jarak di antara mereka, tak sadar bahwa penampilannya telah berubah dari menggunakan pakaian kemarin yang lusuh, kini menggunakan pakaian yang lebih indah dipandang serta tubuhnya terasa segar seolah-olah Tiara baru saja selesai menikmati kolam air hangat yang menyegarkan.
Tiara bangkit dari tempat tidurnya dengan cepat dan berjalan terburu-buru menuju cermin di sudut kamar seukuran tubuh manusia sehingga ia bisa melihat keseluruhan penampilannya yang telah berubah.
Tiara tak bisa menyembunyikan perasaan takjub ketika mendapati dirinya telah berpenampilan lebih cantik dari biasanya. Ia menggunakan gaun rumbai selutut berwarna putih dengan garis tepi berwarna emas dan rambutnya yang tergerai kini telah diikat seperti ekor kuda dengan pita berwarna kuning emas senada dengan garis tepi pada gaunnya. Kalung berbandul Ratnaraj miliknya pun tetap menghiasi lehernya yang jenjang dan ia begitu menyukai sepatu bot berwarna cokelat kulit yang menghiasi tungkai kakinya. Tiara lagi-lagi menepuk ringan pada kedua pipinya sebagai wujud rasa tak percaya atas apa yang terjadi padanya.
“Sudah kubilang jangan lalukan itu pada pipimu, nanti akan memerah dan terlihat buruk di wajahmu yang cantik.” tegur Norman lirih yang telah berdiri dekat di belakang punggungnya, seakan tengah berbisik di telinganya.
Tiara terkesiap karena merasakan sensasi yang tak biasa pada tengkuknya sehingga ia segera beranjak menjauh dari tubuh Norman dan mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Baiklah, aku akan ikut denganmu. Tapi buktikan janjimu bahwa akan banyak hal menarik yang kutemukan di sana.” celetuk Tiara.
“Percayalah padaku, nona manis.” ucap Norman lirih dan kembali memangkas jarak yang telah diciptakan Tiara, kali ini Norman menghela tubuh Tiara agar mendekat padanya. Satu tangannya melingkar di pinggang Tiara, mengetatkannya hingga Tiara semakin dekat berada dalam dekapannya tanpa mempedulikan wajah Tiara yang semakin merona hingga Tiara dapat merasakan kedua telinganya terasa panas seakan terbakar oleh percikan api tak kasat mata. Kemudian satu tangannya lagi mulai terangkat di udara dan dengan sekali jentik pada jemarinya, Norman membawa Tiara pergi, sosok mereka berdua telah menghilang dari ruang kamar menyisakan keheningan di dalam kamar yang kosong tak berpenghuni.
****
Dari pintu kamar yang beberapa saat lalu sedikit terbuka tanpa disadari oleh Tiara, tampak sepasang bola mata yang tak sedikitpun melepaskan pandangannya untuk mengawasi setiap hal yang terjadi diantara Tiara dan Norman meski tak sedikitpun ingin merangsek masuk ke ruangan kamar untuk merusak suasana, hanya cukup mengamati.
“Sedang apa kau?” tanya Wildan dengan nada dingin dan tiba-tiba yang mengejutkan Wilona hingga kedua pundaknya sedikit berjingkat. Wilona telah menjadi pengintip handal di celah pintu kamar saat Tiara sedang bersama Norman dari awal Tiara terbangun dari tidurnya sampai Tiara san Norman menghilang dari pandangan.
“Kau mengejutkanku, aku hanya memastikan keadaan Tiara.” ucap Wilona dengan keraguan yang terlihat jelas dari bahasa tubuhnya.
Wildan yang merasa ada yang aneh, dengan gusar mendorong tubuh Wilona agar menepi dan langsung membuka lebar pintu kamar yang ditempati Tiara lantas menyadari bahwa Tiara tidak ada di dalam kamar.
“Di mana perempuan itu?!” tanya Wildan tegas kepada Wilona yang hanya bersandar dengan santai di daun pintu. Wilona memutar kedua bola matanya dengan malas, terkadang ia lelah untuk menanggapi kelakuan saudara kembarnya yang selalu tergesa, gusar dan dipenuhi amarah.
“Wilona?!” tuntutnya lagi menghampiri Wilona dan merapatkan tubuhnya untuk menghimpit Wilona hingga Wilona merasa terdesak oleh sikap Wildan.
“Bisa tidak kau sebentar saja tidak arogan? Aku hanya membiarkannya pergi bersama Norman.” terang Wilona yang membuat Wildan tersentak.
“Apa katamu?!” Wildan meremas kedua bahu Wilona dengan kesal.
“Wildan, mengertilah, aku membiarkannya bersama Norman karena aku melihat Tiara merasa nyaman dengannya. Apa kau tidak kasihan pada Tiara? Ia bahkan sedang dalam situasi sulit, tentu saja Tiara harus berpikir jernih dengan takdir yang harus dijalaninya. Ia harus membunuh, dan tentu itu tidak mudah. Andai saja kau memliki sedikit empati, maka kau akan mengerti.” terang Wilona dengan lemah lembut dan tak gentar sedikitpun meski Wildan menghadapinya dengan gusar.
Kata-kata Wilona membuat Wildan merasa terintimidasi. Sudah sejak lama ia selalu mendengar kata-kata semacam itu, seolah dirinya adalah makhluk tak berperasaan, tak punya empati, simpati, dan sejenisnya.
Wildan bahkan meragukan dirinya, apakah dirinya bukan manusia sampai harus mendapati julukan sebagai pribadi yang arogan terus menerus?
“Cih! Aku lupa kau lebih peduli dengan Norman.” ucap Wildan dengan sinis dan dingin lalu berlalu dari hadapan Wilona yang hanya bergeming tak ingin membantah.
****
Bersambung~
Ayo lanjutkan
Terima kasih karena selalu memberi apresiasi yaa kak ryanadya.
Tks ya kak udh update.
Penasaran
Dunia ini penuh misteri yang tidak terpecahkan, eaakk~