Vitamins Blog

Cerpen | Perempuan-perempuan yang Bukan Ibuku

Bookmark
Please login to bookmark Close

 

1 vote, average: 1.00 out of 1 (1 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

Kupikir, semua perempuan seperti ibuku. Baik hati, tulus, dan tak mengenal dendam. Semenjak jauh dari ibuku, aku tak merasa khawatir sama sekali karena aku menganggap jika perempuan-perempuan yang kutemui, baik yang tua maupun yang muda, akan memperlakukanku dengan baik seperti ibuku memperlakukanku, tetapi ternyata tidak begitu.

Bu Dalimah misalnya. Ia adalah tetangga samping rumah. Usianya sekitar 60 tahun. Fisiknya masih sehat walau menderita skoliosis. Beliau masih aktif mengikuti kegiatan-kegiatan sosial dengan diantar putrinya, Yati, menaiki sepeda motor BeAt. Sepeda motor kebanggan keluarga. Memangnya, berapa harga sepeda motor itu? Sampai-sampai, keluarga itu selalu mengejekku karena aku ke mana-mana berjalan kaki.

Aku bisa mengendarai sepeda motor. Hanya saja, sepeda motor satu-satunya di rumah orang tuaku dipakai kakak laki-lakiku bekerja. Aku tidak tahu harga sepeda motor itu, tapi yang pasti, aku belum pernah sekali pun mendengar kakakku mengejek perempuan lain karena mereka berjalan kaki.

Aku tinggal di rumah suamiku. Suamiku orangnya sabar. Tidak seperti tetangga-tetangga yang suka mengejekku. Ia tak pernah bisa melihatku menangis, maka ketika ia marah, ia lebih suka menghancurkan barang-barang di rumah alih-alih memukulku. Menendang lemari, membanting keranjang baju, atau membanting pintu ketika akan pergi. Namun, pernah juga sekali ia menamparku karena aku mengunci pintu rumah saat ia menongkrong dengan teman-temannya di pos ronda.

Aku dan suamiku hanya punya satu sepeda motor dan itu miliknya, digunakan untuk bekerja. Aku ke mana-mana berjalan kaki, menaiki angkot atau ojek motor. Aku juga belum pernah mendengar suamiku mengejek orang lain karena bepergian dengan berjalan kaki padahal sepeda motor suamiku lebih gagah dari punya Yati. Entah harganya berapa, suamiku tak pernah menjawab jika kutanya.

“Hari ini aku pergi ke pasar ya, Mas,” tuturku sembari mengaduk teh panas.

“Persediaan kulkas sudah habis?” ia memandangiku sambil mengunyah nasi goreng.

“Sudah.” Aku menyodorkan minuman ke hadapan Mas Bayu.

Hari itu suamiku berangkat bekerja agak pagi. Ada rapat katanya.

***

Aku berjalan menenteng keranjang belanja menuju jalan kabupaten. Pukul delapan pagi. Matahari masih belum terik, angin kemarau berembus dingin.

“Nduk Laras, mau ke mana?” Suara dari belakang membuatku menghentikan langkah dan menoleh. Mbok Basirah menyapa, di punggungnya menumpuk kayu bakar yang digendong menggunakan selendang. Ia tampak kepayahan.

“Eh, Mbok Basirah. Saya mau ke pasar. Mbok sendiri, baru pulang dari tegal?” jawabku ramah.

“Iya. Kok jalan kaki Nduk, tidak diantar?”

Mboten. Mas Bayu kerja.”
Si Mbok hanya mengangguk-angguk.

“Nduk Laras ini katanya kan sarjana, kok tidak bekerja saja sama Nang Bayu?” Mbok Basirah berjalan mendahuluiku sambil membungkuk-bungkuk, menahan beban kayu di punggungnya.

“Tidak boleh bekerja sama Mas Bayu, Mbok.” Aku menjawab dengan senyum kecut.

“O … lagi rencana punya anak. Apa namanya, yang pergi ke dokter itu ….”

Aku tak tahu lagi si Mbok berkata apa. Rasa-rasanya, ia bukan manusia. Ia seperti robot. Setiap kali bertemu denganku, hanya kalimat itu yang kudengar dari mulutnya.

Kami berpisah di pertigaan jalan. Mbok Basirah berbelok ke jalan kecil di sisi tegal, jalan pintas menuju belakang rumahnya.

Angkot berwarna biru berhenti di ujung jalan. Tahu jika akan ada penumpang. Aku mempercepat langkah. Sang kernet yang tidak sabaran terus berteriak-teriak.

***

Siangnya di warung Bu Ida, pembeli ramai berdatangan, termasuk aku yang turut mengantri ingin membeli garam. Di pasar tadi, aku lupa membelinya. Yati tampak di sana tengah asyik mengobrol dengan Bu Ida, mengabaikan kedatanganku.

Sejak kedatanganku di rumah Mas Bayu tiga tahun lalu, Yati tak pernah punya niatan untuk bertetangga baik denganku. Dia tak pernah mau kusapa dan kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya yang ditujukan kepadaku adalah kalimat pedas, menyindir, atau diam, menghindari berbicara denganku. Aku melihatnya seperti orang kesurupan. Orang-orang berkata bahwa perilaku aneh itu sudah terjadi sejak anak pertamanya yang masih berumur dua tahun meninggal karena sakit. Orang-orang yang lain lagi berkata jika itu sudah wataknya sejak lahir.

Neneknya adalah seorang carik yang galak, ayahnya pensiunan tentara. Yati selalu bangga akan itu dan menganggap ia adalah orang penting yang harus dihormati. Orang-orang sepertiku yang tak sejalan akan dianggap remeh olehnya. Padahal ia tak tahu saja, jika orang tuaku adalah orang baik-baik, apalagi ibuku. Tidak ada yang sebaik ibuku dalam hal memperlakukan orang lain.

Selesai membeli garam aku pulang menyelesaikan supku yang belum matang. Suamiku paling suka masakan pedas sementara aku tidak suka pedas. Kalau aku memasak yang tidak pedas, dia tidak mau makan. Dia akan sibuk sendiri di dapur, memasak nasi goreng super pedas dengan ulekan cabai rawit enam buah.

Sore itu ibu mertuaku datang membawa pisang. Pisang yang telah menguning itu dibopongnya seperti membopong bayi, memperlihatkan tangannya yang dipenuhi perhiasan-perhiasan tebal dan tubuh gempalnya yang terlihat semakin besar.

Ibu mertuaku adalah seorang pengusaha kecil-kecilan. Ia membuat sendiri makanan ringan dari ketela dan menjualnya ke pasar. Uang dan tabungannya banyak. Ia pernah melempariku uang 50 ribu saat awal menikah. Aku butuh uang dan waktu itu pekerjaan Mas Bayu belumlah selancar sekarang.

Ibu mertuaku sama seperti Mbok Basirah. Agaknya ia juga robot karena hampir setiap bertemu, ia selalu menanyakan cucu dan pekerjaan. Kapan aku bekerja lagi dan kapan aku hamil. Belum lagi ia suka sekali membanding-bandingkanku dengan adik iparku yang bekerja sebagai perangkat desa. Keluarga adik iparku adalah orang terpandang. Ibu mertua sangat menghormati dan menghargainya, memanggilnya dengan sebutan Mbak, sementara memanggilku hanya dengan nama. Padahal aku yang lebih tua. Aku hanya bisa menghela napas. Bagaimana bisa ia sebagai perempuan bersikap begitu. Sepertinya ia belum tahu rasanya bangkrut, tidak punya uang, dan tidak punya teman. Aku tidak pernah mendoakan jelek karena aku meyakini janji-janji Tuhan.

***

Sore hari pukul empat. Aku sedang mengangkat jemuran. Tari, tetanggaku pun sama. Ia tersenyum riang dan menyapa, “Kering semua Mbak Laras jemurannya?”

“Iya. Banyak sekali cucian hari ini, Tar?” tanyaku saat melihatnya kerepotan membawa gulungan selimut dan seprai besar.

“Iya. Danis mengompol,” ucapnya tersenyum kecut. “Mbak Laras, sebentar jangan masuk rumah dulu. Tari mau bicara.” Terburu-buru ia membawa jemurannya memasuki rumah.

Aku tersenyum mengangguk, menyampirkan jemuran di tanganku ke jok sepeda motor.
Tari sedikit berlari menghampiriku. “Mbak Laras, Tari minta maaf. Besok kegiatan PKK Tari tidak bisa menemani Mbak Laras. Ada Mbak Yati.” Tari menampakkan wajah menyesal.

Aku menghela napas. “Iya. Besok jadwalku ke tempat dokter, Tar. Sepertinya aku tidak bisa datang.”

Tari sontak mengelus perutku. “Sabar ya Mbak. Semoga lekas dikasih. Tari pulang dulu. Danis menangis,” tuturnya terburu-buru. Aku tak sempat menanggapi.

Aku tahu maksud omongan Tari tadi. Yati tidak suka denganku, jadi, ia ingin tak seorang pun berteman denganku, termasuk Tari. Tari sering merasa ketakutan ketika ketahuan Yati sedang dekat denganku. Yati sering marah dan itu membuat Tari tidak enak hati dengan Yati sendiri, pun juga denganku. Aku hanya tidak habis pikir. Kenapa kehidupan Perempuan-perempuan itu rumit sekali.

Saat memasuki rumah, Mas Bayu sudah berdiri di sisi pintu kamar, bersedekap, mengamatiku. Aku tahu yang dia inginkan. Kakiku spontan melangkah mendekat. Ia seketika memeluk, menciumiku lantas menyeretku ke dalam kamar dan menelanjangiku seperti bayi.

***

Hujan turun. Jendela kamar memperlihatkan kegelapan malam dengan kerlip air hujan. Tubuhku masih telanjang di bawah selimut dengan Mas Bayu yang memeluk rapat dari belakang. Dia tampak baik jika sedang seperti ini.

Pandanganku tertuju pada salah satu sisi lemari yang menganga setelah ditendang Mas Bayu beberapa waktu lalu. Memperlihatkan baju-bajuku yang sedikit berserak. Aku sudah tak bisa berpikir lagi akan bagaimana memperbaiki lemari itu. Aku tidak punya uang simpanan, cincin kawinku saja sudah terjual dengan harga yang sama, kata Mas Bayu, meski aku dibelikannya tujuh tahun lalu.

Mas Bayu orangnya irit sekali, aku tidak boleh boros. Semua uang dipegang olehnya, aku hanya diberi uang untuk keperluan rumah dan mengisi kulkas. Orang-orang menganggapku istri orang kaya karena pekerjaan Mas Bayu yang mapan. Aku tidak tahu kaya itu seperti apa. Lagi pula, aku tidak tahu uang Mas Bayu ada berapa, aku tidak pernah memegang uang.

“Tidur, Laras.” Suara Mas Bayu di telinga mengejutkanku. Pelukannya tambah erat.

***

Esok paginya aku terbangun dengan tubuh menggigil. Mas Bayu sepertinya sudah pengertian dengan mematikan AC tetapi entah kenapa tubuhku terasa sangat dingin. Aku tak tahu pukul berapa, tetapi sepertinya hari sudah cukup terang. Gorden tebal yang menutup jendela kamar tak kuasa menghalangi sinar pagi yang mencuri-curi masuk lewat tepiannya.

Aku berusaha duduk, tapi tubuhku terasa berat dan kepala nyeri bukan main. Samar-samar aku menyadari jika sekujur tubuhku panas menyengat.

Suasana rumah lengang. Apakah Mas Bayu sudah berangkat bekerja?

“Laras! Laras!” Suara itu nyaring dari depan rumah dibarengi suara ketokan pintu. Sepertinya suara Bu Jum, tetangga belakang rumah.

Aku tidak sanggup bangun dari tempat tidur. Biarlah. Bu Jum paling-paling hanya ingin bertanya apakah air di rumahku menyala. Dia sering ribut jika air di rumahnya mati sementara air di rumahku menyala. Padahal jalur saluran air di rumah kami berbeda.

Hening membuatku terlelap lagi untuk kemudian dibuat terkejut setengah mati oleh suara Bu Jum yang sepertinya tidak sabar dan masuk ke dalam rumah dan hampir masuk ke dalam kamar. Terdengar lagi suara nyaring, tapi kali ini, ada suara Mas Bayu.

“Istrimu masih tidur? Aduh, kasihan kamu, Nang Bayu. Mau berangkat kerja harus siap-siap sendiri.”

“Laras demam, Bu Jum.” Terdengar Mas Bayu menukas cepat.

Aku bisa membayangkan ekspresi Bu Jum seperti apa. Bibirnya yang tebal itu pasti manyun dua senti.

“Ya sudah. Nanti keranku biar dicek sama Satrio. Semoga dia tidak sibuk.” Bu Jum menutup percakapan diiringi suara pintu tertutup. Terdengar Mas Bayu mendengus lalu berjalan ke kamar, membawakanku segelas air dan satu tablet obat, meniru kebiasaan ibuku.

“Hari ini istirahat saja, Ras. Mas sudah menyiapkan sarapan dan makanan untuk nanti siang. Nanti malam Mas bawakan makanan sepulang kerja.” Tangan Mas Bayu mengusap kepalaku sebentar, lalu pergi.

Meski ia sering tak peduli dengan perasaanku seperti perempuan-perempuan yang kutemui selain ibu, tapi ia masih manusiawi dengan merawatku saat sakit, meski aku tahu jika sarapan yang ia maksud adalah sebungkus bubur seharga dua ribu rupiah yang ia beli di tempat Bu Rohmah, lalu makan siang yang ia siapakan adalah semangkuk mi instan yang pada siang nanti kuahnya pasti sudah habis dan minya mengembang.

Entah di mana Mas Bayu meletakkan makanan itu, saat ini, aku tak sanggup bangun. Kepalaku terasa berat dan pandanganku gelap bahkan saat aku berusaha duduk. Aku memilih melanjutkan tidur.

***

Aku bermimpi melihat ibu. Dia tersenyum dengan wajah semringah, mengulurkan tangan. Belum sempat tanganku menyentuhnya, aku tiba-tiba jatuh terjerembab. Kucari di sekeliling, ibu tidak ada. Aku baru ingat jika ibu tak mungkin lagi berdiri di sana. Dia sudah tertidur dalam keabadian di mimpinya yang indah.

Sejenak aku termangu, ingin bertanya kepada ibuku, apakah ia tahu atau tidak jika Tuhan menempatkanku bersama para ibu yang tidak seperti dia. Apakah ibuku tahu jika kadangkala aku ingin menangis dan menyerah dengan keadaan?

Aku terbangun berkat suara ramai kendaraan di depan rumah. Buru-buru aku bangkit dan berjalan terseok menuju dapur seperti orang linglung. Tidak. Aku tidak mencari makanan yang disiapkan Mas bayu. Aku mencari pisau.

Kilau warna putih dari benda itu menyita perhatian. Ternyata pisau itu masih tergeletak di atas talenan. Kugenggam gagang pisau itu lantas menimbang-nimbang. Ah, sebaiknya yang kiri saja.

Dengan perasaan berdebar sekaligus tak sabar, kugores mata pisau itu ke pergelangan tangan kiri. Darah memuncrat ke wajah, ke lengan, ke mana-mana. Aku bahagia, tak lama lagi, aku akan bertemu ibuku dan hidup selamanya dengan perempuan sebaik dia.

TAMAT

 

Tegal (bahasa Jawa) : ladang, kebun

Mboten (bahasa Jawa) : Tidak

3 Komentar

  1. SeraFinaMoonlight menulis:

    Singkat, padat, bundir🔥

  2. SeraFinaMoonlight menulis:

    Baru tau kalau ‘Tegal’ itu bahasa Jawa😳
    Yang ku tau Tegal itu nama kota hihihi