Vitamins Blog

MERITOCRACY 8 : Inquire

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

 

46 votes, average: 1.00 out of 1 (46 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

“Kau ingin menukar itu dengan apa?” Tanya Lozard pada Rei yang duduk di konter berseberangan dengannya.

Sosok yang ditanya sedang melakukan peregangan pada lengannya yang hampir mati rasa karena menyeret hasil buruannya. Anna memang bedebah tidak punya hati, perempuan itu bahkan tidak sedikit pun menawarkan bantuan. 

“Rum,” Rei tersenyum pada Lozard. “Tambahkan dengan bir juga boleh. Jadikan 5 botol, aku berniat meracuni seseorang.” Ujarnya dengan berapi-api.

“5? Apakah itu cukup untuk berpesta? Kau bisa dapat lebih banyak dari itu.” Pungkas Lozard penuh tanya.

“Ah, berikan juga beberapa daging itu untukku. Jangan lupa katakan pada Tyvan untuk membumbuinya.” Rei meletakkan tangannya ke atas konter dan memandang Lozard dengan penuh keyakinan. “Aku akan membunuh seseorang jika memberikannya lebih dari 5 botol rum.” 

Lozard terkekeh dan mengangguk paham. “Baik, baiklah.” 

“Ke mana si tua Valos?” Rei bertanya setelah menenggak air yang diberikan Lozard, rasanya cukup menyegarkan. 

“Dia pergi untuk beberapa hari,” Lozard mengedikkan bahu karena ia pun tidak tahu ke mana perginya Valos. Lelaki paruh baya itu hanya menitipkan pesan apabila Anna mencarinya, Lozard hanya perlu mengatakan itu.

Rei mengangguk, malas melanjutkan basa-basi itu. Pemuda itu memandang sang pemilik kedai dengan menimbang-nimbang sebelum akhirnya berkata, “apakah Anna pernah kemari bersama seorang laki-laki?” 

Atensi Lozard yang sebelumnya fokus mengelap gelas segera beralih pada Rei. “Ya,” 

“Bisakah kau beri tahu aku bagaimana ciri-cirinya?” Rei bertanya penuh semangat. Ia harus tahu hal ini.

Lozard mengerutkan dahi, seakan mencoba mengingat sesuatu. “Ya, dia tinggi dan ramping,” 

“Dan?” Sahut Rei tak sabar.

“Dia cukup menarik untuk dilihat,” lanjut Lozard. 

Rei memejamkan mata mencoba sabar. Baiklah, Rei. Ini demi keselamatan Anna, ia harus benar-benar mencari tahu siapa sosok yang bersama Anna itu. 

“Cukup ciri-ciri fisiknya saja, Lozard. Bisa kau lanjutkan?” 

“Ya, dia cukup menarik. Itu juga termasuk ciri-ciri, bukan?” Elak Lozard tanpa ingin disalahkan. 

“Baiklah, selanjutnya?” Rei menghela napas dan membiarkan dirinya untuk mengalah pada orang tua.

“Dia punya mata yang runcing, kulit putih tapi tidak pucat, dan rambutnya coklat terang.” 

Baiklah, ini dia. Mari cocokkan dengan kejadian beberapa jam sebelumnya. Sosok itu tinggi, ramping, kulit putih tetapi tidak pucat? Seingat Rei pemuda itu sepucat porselen. Baiklah, selanjutnya mata yang runcing? Kemudian rambut coklat terang?

“Tunggu, kenapa aku merasa bahwa kau sedang menjabarkan diriku?” Tanya Rei penuh kebingungan.

“Itu memang kau.” Jawab Lozard dengan santai. 

Rei sontak memukulkan kepalan tangannya ke atas konter hingga gelas bekas ia minum pun bergetar. Tidak terlalu keras, hanya mencoba menyalurkan kekesalan. 

“Yang kumaksud adalah laki-laki selain diriku, Lozard.” Rei berucap dengan rahang terkatup. 

“Kau tidak menyebutkan itu dari awal.” Sahut Lozard.

Baiklah, memang salahnya. Ia yang salah karena tidak bertanya dengan rinci. Rei Solas, kesabaranmu memang tidak ada duanya. 

“Jadi?” 

Lozard menggelengkan kepala. “Anna tidak pernah kemari bersama laki-laki selain kau dan Valos.” Ungkapnya.

Rei mengangguk, “terimakasih, Lozard. Kau benar-benar membantu.” Ujarnya penuh penekanan dan sindiran yang kental.

“Bukan masalah.”

Entah berapa lama waktu berlalu saat Rei sedang berdialog dengan pikirannya hingga Lozard menyenggolnya dan memberikan kantung besar yang Rei yakini adalah pesanannya. Ia menghela napas, mencoba menghalau pertanyaan-pertanyaan tentang siapa sosok itu karena ia yakin Anna pasti akan segera memberitahunya. Ia mengambil kantung itu dan pamit pada Lozard untuk pergi. Saat ini ada seseorang yang butuh diberi kesenangan sebelum neraka menjemputnya lusa. 

***

Hutan tidak begitu gelap karena malam ini bulan bersinar terang. Rei baru saja menyeberangi sungai lewat perairan yang dangkal ketika dirinya dikejutkan dengan kemunculan sosok berambut panjang yang menatapnya datar. Ia terlonjak dan sontak mengusap dada. Sial, Rei mengira ia baru saja bertemu dengan salah satu roh penunggu hutan. 

“Kupikir kita punya janji untuk bertemu di pondok sebelum gelap.” Anna berucap kesal pada Rei yang baru saja tiba di hadapannya. 

“Tidak, kau bilang saat gelap, bukan sebelum gelap.” Elak Rei sambil menunjuk wajah Anna. “Dan aku baru saja melakukan percakapan yang luar biasa menyenangkan dengan Lozard.” 

“Hanya dengan Lozard? Valos tidak ada di sana?” Anna bertanya dan ikut menyusuri langkah Rei yang mendahuluinya.

“Ya, Lozard bilang Valos pergi untuk beberapa hari.” 

“Apakah ia mengatakan ke mana perginya?” 

“Tidak,” 

Dahi Anna berkerut heran. Tidak biasanya Valos pergi tanpa kabar. Entahlah, mungkin ia merahasiakan kepergiannya agar Anna tidak bersikap bodoh dan pergi menyusulnya. “Baiklah, apa yang kau bawa?” 

“Ada daging dengan bumbu lezat—”

Sebelum Rei mampu menyelesaikan kalimatnya, Anna memotong dengan cepat. “—tolong katakan padaku Tyvan yang membumbuinya,” ungkapnya penuh antipati.

“Ya, Tyvan yang membumbuinya.” Rei menjawab malas.

“Syukurlah. Terakhir kali aku makan sesuatu yang dibumbui oleh pekerja Lozard selain Tyvan, aku muntah seharian.” Benar-benar pengalaman yang buruk. Kejadiannya tepat di saat Anna berencana melarikan diri dari pernikahan bodohnya dengan Javias. Entah apakah pekerja itu tahu bahwa ia adalah calon pengantin yang berniat kabur atau bagaimana, pekerja itu memberinya makanan yang meracuni pencernaannya. Ia muntah seharian hingga kekurangan cairan. Anna terpaksa berbaring 2 hari dengan perawatan Valos. 

“Ugh, aku sangat menyesal mendengar itu.” Sahut Rei dengan nada prihatin yang sangat dibuat-buat.

“Cecunguk bodoh itu sepertinya sengaja memasukan rempah yang salah pada makananku.” Pada saat itu Anna berniat sekali menuntut pekerja itu dengan tuduhan yang jelas. Hanya saja Lozard segera menengahi dan berkata bahwa pekerja itu memang terkadang ceroboh dan Anna dipinta untuk sebisa mungkin memahaminya. Anna sangat berharap Lozard sudah memecat cecunguk bodoh itu, sayangnya ia belum sempat bertanya di pertemuan mereka sebelumnya.

“Yah, dia mungkin salah satu dari sekian banyak orang yang tidak menyukaimu, Musang Kecil.” 

Berusaha menghilangkan pengalaman buruk akan keracunan makanan, Anna beralih menanyakan hal lain. “Kupikir kau akan meracuniku dengan minuman keras,” 

“Oh, sudah pasti. Aku bawa rum.” 

“Kau pasti bercanda,”

Rei tersenyum menenangkan, seolah membuat sahabatnya mabuk parah adalah hal yang wajar. “Ada bir juga. Tenang, aku tidak berniat membunuhmu.”

Gadis bersurai legam itu mengangguk pelan sebelum tersenyum tipis. “Bagus, aku butuh rum itu untuk si lintah utara.” 

“Bicara tentang lintah utara, omong-omong kau belum menjelaskan apa pun.” Rei memulai. Padahal ini bukan topik sensitif. Tapi Anna adalah Anna. Ia mungkin tidak akan berbohong pada Rei, hanya saja gadis itu pasti akan memutar-mutar pernyataannya hingga hanya memberikan penjelasan umum yang terkesan tidak mencurigakan. Musang kecil manipulatif.

“Aku menemukannya di dekat titik pemantauan, kupikir usahaku untuk menolongnya akan berakhir sia-sia karena dia tidak akan bertahan dan mati, ternyata tidak. Kau bisa tebak sendiri bagaimana kelanjutannya.” Ungkap Anna lugas. 

Lihat? Rei memang sangat mengenal sahabatnya ini.

“Kapan kau menemukannya?” 

“Tepat di hari yang sama kita bertemu saat kau baru kembali,” 

“Demi Halstead yang Agung! Kau menyimpan seorang laki-laki di pondokmu selama hampir sepekan?!” 

“Jangan berlebihan. Menyimpan? apa maksudnya itu?” 

“Kau tahu maksudku.” Rei menggeram pelan. “Anna, dia dari utara. Dan kalau kutebak dia terlihat seperti seorang bangsawan.” 

“Dia memang seorang bangsawan.” 

“Kenapa kau melakukannya?” Rei menyerah. Memang sulit sekali mengonfrontasi Anna. 

“Melakukan apa? Membuatmu kesal atau menolongnya?” 

Kalau ada orang yang paling menyebalkan di dunia, Rei akan menjawab Annalah orangnya. Meskipun Rei sedikit penasaran dengan jawaban dari pertanyaan yang pertama, tapi itu bisa lain kali. “Aku lebih memilih jawaban untuk yang kedua.”

“Aku ingin bicara dengan Randal.” 

“Apa? Kau bercanda. Dia tidak akan mau bertemu denganmu apalagi bicara denganmu. Lagipula, apa urusannya Randal dengan lintah utara itu?” Rei mengernyit heran. Alih-alih menjawab pertanyaannya dengan jelas, mengapa Anna membawa Randal ke dalam percakapan mereka?

“Lihat, kan? Itulah alasan kenapa aku menolong Eric.” Ucap Anna santai seolah mengetahui jawaban apa yang akan diberikan Rei.

Keduanya terdiam, sama-sama berpikir. Rei memikirkan pertanyaan apa yang selanjutnya ia lontarkan, sedangkan Anna memikirkan jawaban yang aman untuk ia berikan pada Rei.

Anna mendesah sebelum berucap pelan, seolah takut pepohonan dan bebatuan di sekitar mereka dapat mendengar dan membocorkan pengakuannya ke seluruh penjuru Halstead. “Sebenarnya ini bukan rencanaku. Rencanaku adalah menunggumu dan Randal kembali dari pekerjaan kalian di utara. Aku memang berniat menolong Eric, tapi kupikir setelah ia sadar aku bisa membawanya ke desa atau kota terdekat agar ia bisa kembali—atau setidaknya pergi dariku. Aku tidak tahu ternyata kau kembali di hari yang sama denganku—di hari yang sama di mana aku menemukan Eric. Pada saat itu aku sempat berpikir aku harus segera bertemu dengan Randal, hingga kemudian aku sadar bahwa itu sedikit mustahil, maka dari itu aku membiarkan Eric untuk tinggal lebih lama.” 

Rei mengangguk sembari memproses kalimat Anna. “Yah, selain karena Randal membencimu, ia akan tetap merahasiakan apa pun yang ia dapatkan dan hanya melaporkannya pada Jenderal.” 

“Setidaknya aku harus mencoba. Kau tahu, mungkin dia akan bicara karena kita rekan sesama Cuvari.” Sahut Anna jemawa. 

“Randal tetap membencimu,” Rei berucap ketus. Sepertinya kerajaan melakukan kesalahan dengan menjadikan Anna Cuvari. 

Anna mengangkat kedua tangan seakan tidak merasa memiliki kesalahan di pundaknya. “Aku tidak mengerti apa masalahnya.” 

“Yah, kurasa aku mengerti apa masalahnya.” Wajah Rei meringis masam. Hal itu biasa dilakukannya ketika melihat atau mengingat suatu hal yang sedikit mengkhawatirkan. Kenangan itu seketika menghampirinya. Di hari perayaan panen tiga tahun lalu, Pertarungan Sunyi, Anna menghajar Randal dengan telak di arena kerajaan. 

Dienvidos memiliki satu hari raya di mana semua kegiatan diberhentikan untuk berdoa dan mengucap syukur atas panen yang berlimpah pada tahun tersebut. Hari Menyepi yang dilakukan setiap tahun. Setiap orang akan berdiam di rumah untuk berdoa dan membuat persiapan untuk pesta perayaan di malam hari. Pertarungan Sunyi adalah salah satu kegiatan dalam perayaan Hari Menyepi yang dilakukan ketika menjelang senja. Seluruh rakyat baik bangsawan atau rakyat biasa selalu bersemangat berbondong-bondong melihat pertarungan tersebut. Kala itu Anna baru berusia tujuh belas tahun ketika menjadi lawan Randal dalam pertarungan tersebut. Randal adalah kandidat terbaik calon Cuvari di tahun itu, dan Anna satu peringkat di bawahnya. Pertarungan Sunyi memang bukan penentu siapa yang tahun itu akan dikukuhkan menjadi Cuvari, namun pertarungan tersebut adalah pertarungan sakral di mana seluruh keluarga kerajaan hadir untuk melihat dan memberikan kehormatan untuk mengakui pemenang sebagai salah satu prajurit terbaik di Dienvidos. Benar-benar pertarungan bergengsi, dan Anna berhasil menjatuhkan Randal di arena.

Dalam Pertarungan Sunyi, petarung akan ditutup matanya dan penonton di arena tidak diperkenankan untuk mengeluarkan suara. Para petarung akan menggunakan seluruh indra mereka kecuali penglihatan dan senjata. Pertarungan tangan kosong. Dan karena kondisi yang sunyi tersebut, jadi sekecil apa pun pergerakan yang dilakukan oleh petarung pasti akan terdengar di tanah arena yang penuh akan pasir kasar dan bebatuan. Ketika pertarungan berhasil dimenangkan, semua penonton bersorak pada sosok ramping yang berdiri tegas di tengah arena. Penampilan Anna pada saat itu… Rei bahkan tidak bisa membayangkannya pada sosok Anna yang sekarang. Rambutnya dulu masih sangat pendek untuk ukuran seorang perempuan dan hampir menyerupai potongan laki-laki hanya saja sedikit panjang dan mencuat ke mana-mana. Karena semenjak bergabung ke dalam pasukan dan berani menantang kawan-kawan prajuritnya, Anna sering kali mengikuti pertarungan kecil sesama rekan prajurit di mana rambut menjadi taruhannya. Para prajurit itu senang-senang saja dengan Anna karena melihat ada banyak rambut yang bisa mereka potong. Mereka tidak melakukannya secara berlebihan sebab hal itu hanya mereka anggap sebagai lelucon sekaligus latihan, jadi ketika seseorang kalah, mereka hanya harus kehilangan beberapa senti rambutnya. Karena alasan itulah, tidak ada yang tahu bahwa Randal berhasil dijatuhkan oleh seorang gadis pada Pertarungan Sunyi. Anna terlalu terlihat serampangan untuk dianggap sebagai seorang gadis. 

“Ia benar-benar bodoh kalau masih menyimpan dendam karena hal itu.” Ucap Anna seolah mengerti apa maksud perkataan Rei. “Lagi pula sekalipun aku yang menang, pada akhirnya ia yang diangkat menjadi Cuvari pada tahun itu.”

Benar, seperti yang dikatakan. Pertarungan Sunyi tidak akan mempengaruhi penilaian peringkat Cuvari. Walaupun sebenarnya Rei sedikit curiga, sekalipun Anna menjadi yang terbaik dalam peringkatnya, Jenderal seperti terkesan tidak mau memberikan jabatan itu untuk Anna. Padahal tidak ada ketentuan hanya seorang laki-laki yang boleh menjadi Cuvari. Rei pernah membagi pemikiran itu dengan Anna dan keesokan harinya gadis itu mendapat hukuman untuk membersihkan istal sendirian karena ketahuan menyumpahi Jenderal. 

Menyudahi percakapan mereka terkait Randal karena Rei sudah lelah mendengar Anna merutuki betapa bodohnya Randal, ia bertanya, “Jadi kau akan membuat si lintah utara mabuk kemudian menginterogasinya?”

“Yap, memang itu rencananya.” Sahut Anna riang. 

Rei sedikit merenung, kalau begitu ia tidak bisa mencekoki Anna dengan minuman keras seperti yang sudah ia rencanakan sebelumnya karena gadis itu sepertinya sudah memiliki agenda tersendiri. Mungkin sedikit meracuni orang asing dan ikut mencari jawaban yang diinginkan Anna juga bukan hal buruk. “Kalau begitu aku akan bantu,” 

“Tidak, kau kembali ke tempat Lozard.” Anna menggeleng tegas. 

Rei sontak berhenti melangkah dan menatap Anna tak habis pikir. Dalam hati ia berteriak kesal, memangnya ia seorang kurir?! Saat ini Rei ingin sekali melempar kantung di tangannya ke wajah Anna dan membenturkan wajah cantik itu ke batang pohon. 

“Wah, aku tahu ekspresi itu,” sahut Anna cepat setelah melihat perubahan ekspresi di wajah sahabatnya. “Tahan, aku punya alasannya.”

“Sebaiknya kau berikan alasan yang paling bagus untuk itu.” Geram Rei. 

Anna menepuk bahu Rei beberapa kali sambil menatap pemuda itu tepat di mata, seakan tengah memberikan pemahaman pada bocah yang merajuk. “Eric tidak menyukaimu, dan kalau kau ingin semua ini berhasil, aku harus melakukannya sendiri.” 

“Mengapa harus seperti itu?” Rei mengernyit tidak suka. Terlepas dari fakta bahwa ia langsung tidak disukai oleh seseorang pada pertemuan pertama mereka, Rei benar-benar mengingatkan diri bahwa Anna meminta untuk ditinggal sendirian bersama seorang pemuda yang mabuk. “Anna, dia seorang laki-laki!” Rei gemas sekali ingin menjambak rambut panjang Anna. 

“Dia seorang bocah,” Anna bersahut datar. 

“Kau tidak tahu itu!” Sengit Rei.

“Aku cukup tahu.” 

Rei berkeras. “Kalau begitu kau bersalah karena meracuni bocah dengan minuman keras!” 

“Apa masalahnya? Dia orang utara, kita semua benci orang utara.” Sahut Anna seolah itu bukan hal besar kemudian melanjutkan langkahnya. 

“Ya, baiklah terserah kau saja. Tapi aku tidak akan langsung pergi setelah sampai pondok. Aku bukan jasa pengantar.” Ucap Rei bersungut-sungut.

“Cukup adil.” Anna tersenyum pada Rei yang merengut di sampingnya. “Lagi pula, aku butuh kau untuk membakar daging.” 

Anna tidak terlalu ingat apa yang Rei lakukan sebab ia baru saja hampir terjungkal jika saja refleksnya tidak bagus. Ah, selalu menyenangkan berurusan dengan Rei Solas yang kekanakan. 

***

Eric tidak tahu harus merasa senang atau tidak karena alih-alih dikurung di dalam pondok kini ia justru duduk di rumput bersama sepasang sahabat dan ditemani api unggun yang menghangatkan tubuh. Mereka duduk setengah melingkar dan Anna condong mendekatkan diri dengan sahabatnya yang dipanggil Rei itu. Benar, mereka lebih terlihat seperti saudara ketimbang pasangan kekasih. Mereka tidak bertukar pandangan penuh cinta dan lebih banyak membentak, melakukan perilaku kasar seperti mencubit, menoyor, dan sebagainya. Tiba-tiba Eric seperti diingatkan dengan kejadian serupa. Ia mengerjap menolak kenangan tersebut mengendalikan emosinya dan fokus menatap tawa satu-satunya gadis di antara mereka. 

Gadis itu tertawa terbahak-bahak, entah lelucon apa yang dilemparkan Rei hingga ia tertawa sekeras itu. Apa pun yang menghuni hutan ini seolah tidak keberatan dengan tawa yang terkesan mengganggu itu dan justru menikmatinya. Seperti yang dilakukan Eric saat ini. Satu pekan mengenal Annalise, ia bisa mengatakan betapa angkuhnya gadis itu. Seperti perempuan yang seumur hidup tinggal di istana menurutnya. Tetapi penampilan, tempat tinggal, dan kemandiriannya justru berkata lain. Gadis penatu yang dijumpainya tadi siang memanggil Anna dengan sebutan Nona. Sepanjang perjalanan menuju desa, ia memperhatikan langkah gadis itu. Santai namun tegas, dagunya selalu terangkat seolah menunjukkan bahwa dunia sekalipun tidak akan mampu menundukkannya. Sembari tersenyum tipis, kepalanya terkadang mengangguk sopan pada mereka yang menyapanya, dan tutur katanya selalu menyesuaikan kapan ia harus berucap sopan nan ramah pada yang lebih tua dan berucap santai seolah teman lama pada para pemudi-pemuda. 

Gadis itu seorang bangsawan. 

Kecantikannya paripurna, gerak tubuhnya menguarkan aura, dan tutur bahasanya mengesankan bahkan ketika ia bersumpah serapah. Ia bangsawan yang bebas. Terlepas dari aturan keluarga dan penghakiman masyarakat. Setidaknya begitu menurut Eric. 

Anna bukannya tidak sadar akan tatapan Eric yang ditujukan padanya. Pemuda itu kembali menjadi tuan bangsawan setengah bisu semenjak kehadiran Rei. Ia hanya sesekali menanggapi obrolan mereka dan karena itu Anna lebih banyak menawarkan daging dan minuman, dan Eric sama sekali tidak menolaknya. 

Perut dan rahangnya terasa kram karena mentertawakan lelucon Rei. Sebenarnya lelucon itu sangat buruk, tetapi karena Rei yang mengucapkannya, apa pun jadi terasa lucu. Rei sedikit melirik pada pemuda selain dirinya yang tengah menatap Anna. 

“Berapa usiamu?” Rei bertanya pada Eric. Hal itu terus mengganjal dalam pikirannya karena ia masih tidak ingin meninggalkan Anna sendirian dengan pemuda asing ini.

“Berapa usiamu?” Eric justru menanyakan hal yang sama pada Anna. 

Anna melirik malas pada Eric. Ah, dasar Rei dengan segala paranoidnya. “Tidak setua yang kau pikirkan dan tidak semuda yang kita inginkan.” 

“Itu bukan jawaban. Berapa usiamu?” Eric mengalihkan pertanyaannya pada Rei. 

Rei memejamkan mata sejenak, berusaha mengenyahkan rasa kesal hanya karena pertanyaan singkat terkait usia yang justru berputar-putar. Baiklah, mungkin Eric tipikal yang akan menjawab jika sudah diberikan jawaban serupa. “Sembilan belas.” 

“Nah, itu baru jawaban.” 

Anna mengedikkan dagu pada Eric yang berusaha mengonfrontasinya. “Jadi, berapa usiamu?” 

Eric mendesah pelan. “Delapan belas,”

Dan begitulah pertanyaan terkait usia yang berakhir tanpa berhasil mengungkap usia Anna. Rei bisa saja melakukannya, tapi ia enggan ketika melihat betapa penasarannya Eric dengan usia Anna. Tak terasa sudah lewat tengah malam dan mungkin beberapa jam lagi matahari akan segera memunculkan diri. Seperti yang sudah mereka rencanakan, Rei bangkit dari duduknya dan sedikit malakukan peregangan karena terlalu lama duduk. 

“Kau akan pergi?” Dengan penuh kebohongan Anna bertanya. 

“Tentu saja, aku tidak mau menemani kebiasaan anehmu yang tidak tidur di malam hari,” Rei menjawab pongah. 

Eric sedikit melirik Rei sebelum kembali menatap Anna. “Jadi, benar kalau kau tidak tidur di malam hari?” 

“Seperti yang kubilang, tidak ada untungnya berbohong padamu.” Anna berucap sinis mengarah pada percakapan mereka tempo hari. 

“Ya, ya, ya, bertengkarlah saat aku sudah pergi.” Rei sedikit merapikan bajunya sebelum menunjuk Eric. “Kau juga sebaiknya pergi jika tidak ingin menyesal.” 

“Bukan masalah. Aku akan tinggal menemani Annalise,” sahut Eric datar. 

Dalam sepersekian detik Anna dan Rei saling melemparkan pandangan ini-tidak-akan-sulit. “Baiklah, kalau begitu. Berhati-hatilah.” Ucap Rei dengan nada misterius yang dibuat-buat. 

Anna memutar mata merasa malas dengan Rei yang sangat drama sedangkan Eric merasakan panas di telinganya ketika mendengar penuturan Rei. Mereka jelas mendengar kalimat tersebut dengan arti yang berbeda. 

Kertak kayu yang dilahap api menemani kesunyian di antara mereka selepas perginya Rei. Anna sedikit menenggak minuman keras di tangannya dan Eric pun melakukan hal serupa hingga akhirnya sadar tidak ada setetes pun yang keluar dari botol miliknya. 

“Ini,” Anna menyodorkan botol di tangannya pada Eric yang serta-merta ditolak pemuda itu. 

“Tidak usah, itu milikmu.” 

“Kalau begitu kita bisa berbagi.” Ucapnya final sambil menuangkan minumannya ke botol yang lain sebelum memberikannya pada Eric. 

Pemuda itu terlihat sedikit mabuk, matanya memerah dan sering kali berkedip seakan butuh usaha yang banyak untuk memfokuskan pandangan. Tetapi merasa segan untuk menolak minuman dari Anna karena tawaran Anna pun tegas seperti enggan untuk ditolak. Di antara mereka memang Eric yang lebih banyak minum, entah pemuda itu merasa kuat atau memang bodoh. 

“Itu tadi pribahasa, kan?” Eric berucap pelan. 

Anna menoleh menatap pemuda yang matanya terpaku pada api kecil di hadapan mereka. “Yang mana?” 

“Yang kau ucapkan saat kita pergi ke desa.” Jawab Eric tanpa mengalihkan pandangannya. 

Anna mengerjap beberapa kali untuk menemukan jawabannya. Kepalanya sedikit berat, ia memang tidak begitu terpengaruh dengan alkohol, ia hanya sedikit lelah dengan semua hal yang ada di dalam pikirannya. “Ah, yang kukatakan tentang Voreia?” 

Eric mengangguk. “Apa artinya?” 

Kekehan pelan keluar dari bibir Anna. “Sebaiknya kau cari tahu ketika kau sudah pulang ke tempat asalmu. Nilai pelajaran kebahasaanmu pasti buruk sekali.” 

“Pulang?” Gumam Eric, lebih seperti bertanya pada diri sendiri.

Ia benar-benar melantur. Rei memang berbakat membuat seseorang mabuk. Pikir Anna.

“Hm, pulang. Kau akan pulang, bukan?” Anna bertanya ringan seolah-seolah bukan hal kejam ia terkesan mengusirnya.

“Ya, aku akan pulang.” Eric berucap pelan, matanya menerawang. “Kau akan mengantarku pulang?” 

Wah, dari mana asalnya sikap percaya diri itu? Ah, benar, lintah utara itu mabuk. Ia tidak akan berani bertanya seperti itu bila dalam keadaan sadar. Anna mengangkat bahu dan mendengus pelan. “Mungkin aku akan mencarikanmu kendaraan jika kau mau menungguku kembali.” 

Pemuda itu akhirnya menoleh menatap Anna. “Kau akan pergi lagi?” 

Anna mengangguk. “Aku ada urusan di ibu kota. Jadi, kalau kau mau menunggu, aku bisa mencarikanmu kendaraan. Tetapi untuk itu kau harus memberitahuku di mana daerah tempat tinggalmu.” 

Setelah Anna mengucapkan itu, keduanya kembali terdiam. Sejujurnya Anna sedikit gelisah kalau ternyata Eric tidak semabuk itu untuk mau membeberkan apa yang Anna ingin ketahui darinya. Walaupun Anna sudah bersikap sebiasa mungkin tanpa memberi kesan tertarik, ia tetap merasa ada sedikit kegelisahan dalam hatinya. 

“Atau kau bisa pergi sendiri tanpa perlu menunggu—”

“Aku,” Eric menyela hingga Anna tidak jadi memberikan alasan. Mereka bertatapan dan seperti pertama kali, tidak ada yang sanggup berpaling karena sibuk mengagumi. Anna menganalisis dalam kepalanya. Pahatan wajah itu, usia, dan penampilan. Apakah Eric salah satu cendekiawan Alnord? Atau murid dari Imam Besar di Noarden? Anna harus— “Voreia… aku berasal dari sana.”

Anna harusnya tahu kalau iris biru sedingin lautan dalam itu lahir dari kekejaman Voreia. 

—————

MERITOCRACY©️2021

Author’s Note:

Hai! untuk update MERITOCRACY mending dijadwalin atau tetap random? Btw, makasih yaa untuk semua supportnya, and happy reading!

14 Komentar

  1. Yg diucapkan Anna ttg Voreia itu yg “Angkuh terbawa, tampan tin

    1. Yg diucapkan Anna ttg Voreia yg “Angkuh terbawa, tampan tinggal” itu yaa ?? Dan jrenggggg Eric emang berasal dari sana :akucumapenonton

  2. oviana safitri menulis:

    makin penasaran sama kelanjutannya kak, semangat terus up nya yaa :ayojadian

  3. Dinda Amalia Ranti menulis:

    Please rajin rajin upload
    Suka banget cerita ini
    Fighting author

  4. nurul ismillayli menulis:

    Menarik