Vitamins Blog

My Ghost – Bab 4

Bookmark
Please login to bookmarkClose

No account yet? Register

37 votes, average: 1.00 out of 1 (37 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...


Punya alergi itu gak enak, hiks…

Aku menatap pantulan diriku sendiri dalam cermin di kamar mandi. Lalu perlahan tanganku terangkat, menyentuh bibirku dan mengenang kejadian tadi.

Itu ciuman pertamaku. Siapa yang mengira aku akan mendapatkan ciuman pertamaku dengan hantu yang bahkan namanya pun tak kuketahui.

Lucu, kan? Meski aku penulis novel cinta, aku belum pernah berciuman. Bahkan pacaran pun tidak. Semua yang kutulis tidak ada hubungannya dengan pengalaman pribadiku. Aku mengumpulkannya dari cerita-cerita orang disekelilingku, lalu membayangkan seorang tokoh dalam situasi cinta dan kira-kira seperti apa reaksinya.

Ya, semua yang kutulis berdasarkan imajinasi. Bukan pengalaman pribadi. Dan setelah kurasakan sendiri sekarang, baru kusadari apa yang kutulis tidak bisa menggambarkan rasa nikmat ciuman yang sebenarnya.

Menelan ludah dengan gugup, aku segera menyalakan shower lalu mandi. Setelahnya aku membungkus diriku sendiri dengan bathrobe lalu keluar.

Perasaan gugupku semakin terasa saat melihatnya berbaring nyaman di sofa favoritnya. Saat ini aku berharap kamar mandinya terletak dalam kamar. Dengan begitu aku tidak perlu keluar kamar dengan tubuh yang hanya dibalut bathrobe dan berjalan melewatinya.

“Walau kamar mandinya ada di bawah ranjang, aku tetap bisa mengintipmu mandi dan kau tidak akan pernah tahu. Jadi berhenti berharap yang aneh-aneh. Aku tidak akan melepas pakaianmu tanpa seizinmu.”

Langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar yang tertutup. Wajahku memerah mendengar ucapannya. Lalu perlahan aku menoleh, berusaha tampak segalak mungkin saat menatapnya. Tapi yang kudapati adalah seringai gelinya saat balas menatapku.

“Satu sama. Sekarang keadaan berbalik. Giliranku yang mengganggumu.” Dia nyengir lalu mengedipkan sebelah mata padaku.

Sial, dia pendendam!

“Jangan jadikan mengumpat sebagai kebiasaan,” tegurnya dengan nada bijak. Namun matanya masih berkilat jahil.

Aku mengangkat dagu dengan sikap menantang. “Itu sangat tidak sopan. Berhenti masuk ke pikiranku.”

“Aku tidak masuk ke pikiranmu. Yang kau pikirkan terdengar keras hingga sampai di telingaku. Jadi cobalah untuk mengecilkan volume suaranya.”

Aku melotot. “Bagaimana aku bisa melakukannya?”

“Mana aku tahu,” sahutnya enteng lalu tertawa geli.

Kesal, aku membuka pintu kamar lalu menutupnya dengan suara keras. Ah, untuk yang satu ini berani kuakui. Keadaan memang sudah berbalik. Biasanya dia yang suka menciptakan suara keras dan aku yang suka menggodanya. Sekarang kami seperti bertukar posisi.

Sambil menggerutu dalam hati, aku mengenakan pakaian lalu menyiapkan laptop, ponsel, dan buku-buku catatanku di lantai dekat kaki ranjang. Aku duduk bersandar ke sisi ranjang dengan kaki terjulur. Laptop sudah siap di pangkuan dan jemariku mulai bergerak lincah, menumpahkan apa yang kupikirkan.

Dia datang lagi.

Selalu seperti itu setelah lewat pukul dua belas malam.

Aku tidak tahu dari mana asalnya dan siapa namanya. Dia selalu datang bagai mimpi sejak aku menempati apartemen ini.

Seharusnya aku takut. Seharusnya aku berteriak lalu melarikan diri. Tapi yang kulakukan tetap berbaring telentang di ranjang, membiarkan sosok gelap itu mendekat lalu naik ke atas tubuhku.

Aku masih tetap tidak merasa takut dan diam. Seolah dia telah membuatku membeku. Bahkan tangannya yang menyentuh pahaku lalu menjalar naik ke pinggul, sisi tubuh, dan berhenti di lenganku, terasa familiar dan nikmat. Hingga tanpa bisa dicegah aku melenguh—

“Kau ingin aku melakukan itu?”

Aku tersentak kaget lalu menoleh ke ranjang di belakangku. Mataku melebar saat menyadari wajahnya berada tepat di depan wajahku, hanya berjarak dua inchi. Rupanya entah sejak kapan, dia sudah berbaring telungkup di atas ranjang dengan wajah dekat di belakang kepalaku.

CUP.

Mataku terbuka semakin lebar saat dia memangkas jarak di antara kami lalu mendaratkan kecupan singkat di bibirku. Hanya dua detik sebelum wajahnya menjauh kembali dengan seringai menyebalkan di bibirnya. Seketika wajahku terasa panas, menandakan pipiku merona yang pasti bisa dilihatnya meski suasana remang dan hanya cahaya bulan yang menyinari kamar.

“Kau—lagi-lagi menciumku! Ini sudah kedua kalinya!” seruku dengan mata melotot.

“Ah, kebetulan kau membahasnya jadi biar kujelaskan agar tidak ada kesalahpahaman. Yang tadi itu ciuman ketiga kita. Jadi di sofa depan tv adalah ciuman kedua,” jelasnya tenang.

Aku ternganga, tidak tahu sudah semerah apa wajahku sekarang. “Tidak mungkin! Itu ciuman pertamaku.”

“Hmm, sepertinya kau tidak ingat saat aku menciummu di pertemuan pertama kita. Yah, wajar sih. Kau pingsan setelahnya.”

Kapan? Aku benar-benar tidak ingat.

“Mau kubantu mengingatnya? Kau bisa telentang di sini seperti malam itu lalu aku—”

“Hentikan!” seruku seraya berdiri. Aku berkacak pinggang di depannya. “Keluar sekarang. Aku ingin tidur.”

Dia mengangkat kedua tangannya dengan senyum geli yang masih bertahan di bibir. “Baiklah, aku keluar. Selamat malam.” Dua detik kemudian dia sudah menghilang dari kamar.

Astaga, bagaimana aku bisa tidur malam ini dengan pikiran yang berputar mencoba mengingat momen ciuman pertamaku?

***

Esoknya, aku bangun dengan aroma lezat yang memenuhi indera penciumanku. Senyumku merekah, tahu betul dari mana aroma itu. Buru-buru aku turun dari ranjang lalu bergegas keluar. Tapi sesampainya di dapur, aku menampilkan raut kesalku.

Aku masih kesal karena kejadian semalam, ingat?

“Ya, aku ingat.” Dia mengalihkan perhatian dari kompor lalu mengedipkan sebelah mata padaku dengan seringai geli di bibirnya.

Sial! Aku selalu lupa dia bisa membaca pikiran.

“Hhh, lagi-lagi kau mengumpat.”

“Dan lagi-lagi kau mengintip isi kepalaku.”

“Aku tidak—”

“Oke, terserah.” Aku memotong ucapannya dengan kesal lalu berdiri di sebelahnya, mengintip ke atas wajan.

“Aku hanya bisa membuat sandwich sederhana. Kau harus menambah lagi isi kulkas,” sarannya.

“Aku juga berniat pergi belanja hari ini.”

“Setelah sarapan. Oh, bantu aku mengencangkan tali apron. Sepertinya akan lepas.” Dia menunjuk belakang lehernya.

Keningku berkerut, baru menyadari itu. “Kau bisa mengenakan apron?” tanyaku dengan nada tak percaya.

Dia menyeringai. “Aku tidak ingin pakaianku kotor.”

Aku menggeleng, tak habis pikir bagaimana dia bisa melakukannya. “Berbalik,” perintahku akhirnya.

“Berhadapan saja agar kau lebih mudah menjangkau. Aku akan menunduk.”

Sebelum aku menanggapi, dia menunduk hingga kepalanya sejajar leherku. Terpaksa aku mendekat, melingkarkan lenganku di seputar lehernya, tanpa sadar setengah memeluknya. Aku bahkan bisa mencium aroma tubuhnya yang baru kusadari, sangat segar. Seperti hutan hujan tropis.

“Aku masih tidak menyangka akan mendapat kesempatan langka melihat hantu memasak dan mengenakan apron.” Aku tidak bisa menahan nada geli dalam suaraku. “Nah, sudah selesai.”

Namun saat aku hendak mundur, kurasakan lengannya melingkari pinggangku dan menahannya agar tetap di dekatnya. Sementara kedua tanganku kini—anehnya—bisa memegang pundaknya dengan kepala kami berada di sisi leher satu sama lain. Sekarang kami benar-benar tengah berpelukan.

“Kau mau bersikap kurang ajar lagi, ya?” tanyaku berusaha terdengar galak padahal debar jantungku mendadak meningkat. Kurasa dia juga mendengarnya.

“Sebentar saja. Seperti ini.”

“Kupikir tanganmu kotor hingga kau tidak bisa membetulkan tali apron sendiri. Atau apa kau mengusap tangan kotormu ke bajuku?”

Dia terkekeh pelan sebagai tanggapan namun tidak mengatakan apapun. Pelukannya semakin erat dan kini sisi wajah kami menempel rapat.

“Jangan pergi,” bisiknya kemudian.

Aku mengerutkan kening tidak mengerti. “Memangnya aku mau pergi ke mana?”

“Dua bulan lagi kau akan pergi, kan? Ah, tidak. Sekarang sudah kurang dari dua bulan. Bisakah kau tidak melakukannya? Bisakah kau di sini bersamaku selamanya?”

Kali ini aku mendorong pundaknya dengan lebih tegas. Dia mengalah, melepas pelukan lalu menatapku dengan sorot penuh kesedihan yang nyata.

Aku tidak suka melihatnya. Karena itu membuat dadaku terasa sesak.

“Jangan bilang kau mulai jatuh cinta padaku,” godaku sambil menaikturunkan alis. Aku berharap itu bisa membuat sorot sedih menghilang dari matanya. Tapi ternyata tidak.

“Apa kau akan tetap tinggal jika aku jatuh cinta padamu?”

“Eh, entahlah.” Aku bergerak-gerak gelisah, tak menyukai topik ini.

Sorot sedihnya semakin terlihat jelas saat menatapku. “Maaf karena meminta hal yang mustahil.” Lalu dia berusaha tersenyum seraya membelai puncak kepalaku lembut. “Terbanglah bebas. Kejar mimpimu. Dua tahun memang sebentar. Tapi kau bisa dapat banyak hal jika memanfaatkan waktu dengan baik.”

Aku merengut. “Lagi-lagi kau mengintip isi kepalaku.”

Kali ini dia tidak menanggapi lalu berbalik kembali menghadap kompor. “Sebaiknya kau mandi. Sarapanmu akan siap begitu kau selesai.”

Aku tidak suka ini. Tampak jelas dia membuat jarak di antara kami. “Aku tidak sebau itu,” kataku, berusaha agar bisa lebih lama bersamanya.

Jujur, aku tidak mengerti bagaimana perasaannya terhadapku. Saat aku baru tinggal di apartemen ini, dia seolah bertekad untuk membuatku lari ketakutan dan tidak kembali. Tapi beberapa hari terakhir kami mulai merasa nyaman dengan kehadiran satu sama lain. Hingga ciuman itu terjadi. Ah, apa itu yang membuatnya bersikap seperti ini? Sebuah ciuman membuatnya ingin aku tinggal di sini selamanya? Apa dia ketagihan?

“Ciumanmu payah. Jadi tidak perlu terlalu menyanjung dirimu sendiri terlalu tinggi. Aku hanya agak melankolis pagi ini.”

Aku mengerucutkan bibir. Lagi-lagi dia membaca apa yang kupikirkan. Sambil menghentakkan kaki kesal, aku berjalan menuju kamar mandi.

Di bawah guyuran shower aku mulai bertanya-tanya sebaliknya. Apa arti hantu itu bagiku? Apa aku jatuh cinta padanya? Tidak, aku yakin tidak.

Apa, ya? Dia itu unik. Hantu yang bisa berinteraksi dengan manusia—bahkan secara fisik juga—dan sangat manusiawi. Dia menjadi menarik bagiku tapi lebih karena dia akan menjadi bahan cerita yang bagus. Kalaupun aku menerima ciumannya, lagi-lagi karena itu bisa menjadi sesuatu yang akan kutulis. Biasanya cerita berdasarkan pengalaman pribadi akan jauh lebih bagus hasilnya. Jiwaku akan benar-benar tenggelam dalam tulisanku.

“Di saat seperti ini—aku sangat menyesali kemampuanku bisa membaca pikiran manusia.”

DEG.

Aku tersentak kaget lalu berbalik. Mataku terbelalak melihat bayangan seseorang dibalik tirai penutup bilik shower. Niatku untuk meneriakinya urung saat mendengar nada sedihnya.

“Aku lebih suka tidak pernah tahu, bahwa aku tak lebih seperti hewan eksperimen bagimu. Aku lebih suka berpikir bahwa kau memang nyaman bersamaku di sini. Bahwa kau suka aku di sini menemani waktumu—seperti aku yang merasa senang karena tidak lagi sendirian. Karena ada seseorang yang bisa menembus dinding pertahananku dan mewarnai hari sepiku.”

Aku terpaku. Lidahku kelu. Sesak di dadaku berubah menjadi rasa sakit yang menyebar. Ucapannya sangat jelas menggambarkan perasaannya. Sesuatu yang tadi menjadi pertanyaan di benakku. Dan aku seolah bisa merasakan rasa sakitnya begitu mendengar apa yang kupikirkan.

“Asal kau tahu, aku juga senang karena tidak harus sendirian di sini. Aku senang karena ada seseorang yang bisa kuajak bercanda. Walaupun kau menyebalkan, kau adalah teman sekamar yang sangat sempurna.”

Tidak ada tanggapan. Bayangan hitam dibalik tirai juga sudah menghilang. Sepertinya dia sangat kecewa. Tapi aku bisa apa? Memang itu yang kupikirkan tentangnya.

Buru-buru kuselesaikan mandiku lalu keluar dengan hanya mengenakan bathrobe seperti biasa. Keningku berkerut dengan pandangan mencari-cari sosoknya saat tak menemukan dia di sofa depan tv dan dapur.

“Hei, kau di mana?” tanyaku. Dengar, bahkan aku tidak tahu namamu. Jadi bagaimana aku bisa menganggapmu lebih dari sekedar bahan cerita yang unik?

Aku mengutuki pikiranku yang tidak memiliki filter bagus. Selama ini aku tidak pernah membatasi apa yang kupikirkan. Lagipula aku penulis. Membiarkan pikiranku berkelana bebas adalah caraku mengembangkan imajinasi.

Tapi sekarang terpaksa aku harus menjaga pikiranku karena ada hantu pembaca pikiran yang mudah tersinggung dengan isi otakku.

Shit!

Aku melakukannya lagi. Dia pasti akan lebih tersinggung karena aku berpikir dia ‘hantu yang mudah teringgung’ meski kenyataanya memang iya. Nah, aku jadi kacau sendiri.

“Dengar, aku minta maaf karena telah menyinggungmu.” Tapi aku tidak bisa menjanjikan apapun karena aku butuh pikiran bebas untuk bisa merangkai kisah. “Sama seperti kau yang tidak bisa mencegah dirimu membaca pikiranku, akupun tidak bisa mencegah diriku memikirkan banyak hal. Bahkan sesuatu yang tidak berani kuungkapkan pada siapapun.”

Hening.

Aku menghela nafas. Rasanya kembali ke titik awal. Aku seperti orang gila yang berbicara sendiri. Mungkin dia butuh waktu. Jadi kuputuskan tidak mendesaknya terlalu jauh dan memilih kembali ke kamar untuk berganti pakaian lalu memakan sarapan yang sudah disiapkannya.

———————

♥ Aya Emily ♥

Aya Emily

HIDUP untuk MENULIS dan MENULIS untuk HIDUP

19 Komentar

  1. Lovenya kok gak bisa diklik? :lovely

    1. Yashh, udah bisa :ayojadian

  2. Ceritanya unik… :menor

  3. inenurhidayati menulis:

    Duhhh kata2 bang hantu menyayat bgt hikss,,
    Apa mereka bisa bersatu, ahh sperti nya mustahil, eh tpi hnya author yg tau heehe
    Semangat kk di tunggu update nya🌹

  4. Tks ya kak udh update

  5. Aku senyum2 sendiri lalu sakit hati sendiri di chapter ini…
    Ahh abang hantu, jangan lama2 ya marahnya :lovely

  6. sedih cukkk

  7. Kyuuto Rizna menulis:

    Next

    1. Terharu masih ditungguin :tidaaakksssnooo

  8. 😄😄😄

  9. SERAFINA MOON LIGT🌙❤💡 menulis:

    Lanjut

  10. AyukWulandari2 menulis:

    Duh mas hantu bikin baper :lovely

  11. AyukWulandari2 menulis:

    Apakah di wattpad juga ada kak
    Aku sunggu penasarannnnnnnnnnnnn :ihircihuy :sebarcinta

  12. Indah Narty menulis:

    Penasaran

  13. kok aq jadi mewek yaaa??? :aw..aw :aw..aw :aw..aw :aw..aw :aw..aw :aw..aw