Vitamins Blog

Cerpen | October’s Nightmare

Bookmark
Please login to bookmark Close

Ini kisah nyata, tapi bukan kisahku. Hanya kisah seorang sahabat lama yang sedang berusaha untuk melupa, dan ingin mengabadikan kisahnya dalam cerita.

Selamat membaca…

 

Angin malam berembus meniupkan hawa dinginnya ke segala penjuru. Waktu hampir menunjuk tengah malam. Namun, wanita itu masih belum bisa terpejam. Dan ia sama sekali tak ingin terpejam. Tubuhnya seolah sudah memberi alarm peringatan tentang apa yang akan terjadi jika dirinya sampai terlelap, dan hal itu terus saja terapal dalam hati hingga memunculkan keringat dingin di sekitar pelipis.

Pergantian tanggal sebentar lagi akan datang.

Tanggal terkutuk yang membuatnya hampir gila karena terus menerus menghantuinya tanpa rasa bersalah. Memaksanya seolah hidup pada dua alam yang berbeda dengan separuh jiwanya yang terbelah.

Mimpi itu … akankah datang kembali malam ini?

Dengan gugup ia seret gelas kopi hitamnya yang masih panas lalu menyesapnya perlahan, berharap kafeina mau bekerja sama dengannya untuk menahan kantuk. Otaknya sudah cukup lelah apalagi dengan hatinya yang mulai hilang kendali, tetapi sekali lagi, jiwanya seolah terbangun dengan segenap kesadarannya agar ia tak tertidur dan kembali ke alam mimpi yang sama.

Mata dan pikiran ia sibukkan dengan berbagai aktivitas di layar laptop untuk menyibukkan diri sepanjang malam ini. Pekerjaan bisa saja ia selesaikan esok hari ketika sudah berada kembali pada jam kantor. Namun sepertinya, waktu-waktu ajaib seperti ini selalu berbaik hati menyediakan banyak waktu di malam hari untuknya bekerja lembur atas perintah dirinya sendiri.

Ditengoknya ke belakang sambil menopang dagu di atas meja, Harsa, suaminya telah terlelap dalam deep sleep-nya. Membuat suara-suara berisik dari player musik laptopnya tak lagi mengusik. Ia terpaksa berbohong lagi malam itu, mengatakan bahwa ada begitu banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan untuk esok hari, sehingga ia mungkin saja tak akan tidur. Harsa sempat menawarkan bantuan kepadanya agar ia bisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat, tetapi, tentu saja ia menolak.
Rasa bersalah sempat terlintas. Namun demi apapun, ia lebih memilih untuk seperti ini saja. Semoga Harsa tak menyadari bahwa hanya dua kali dalam setahun, dirinya akan berbuat seperti ini. Pada malam tanggal keramat di mana dirinya akan bertemu dengan mimpi yang tak ia harap bisa kembali berkunjung.

Pukul setengah empat dini hari menjelang subuh. Ia sudah hampir menyerah dan tetap dengan sesapan kopinya pada gelas ke sekian.

“Inggrid.” Suara serak pelan dari arah ranjang di belakangnya membuyarkan lamunan. Wanita itu segera menoleh dan mendapati Harsa telah setengah terpejam menyipit ke arahnya.

“Ada apa?” Inggrid bertanya dengan polosnya mengangkat kedua alis mata. Sklera matanya yang memerah sudah tak bisa berbohong bahwa saat ini dirinya tengah dilanda kantuk yang luar biasa.

“Kau mau membuatku marah? Sudah jam berapa sekarang? Ayo tidur.” Harsa berkata dengan ketus sambil melambaikan tangan sejenak untuk menghela wanita itu agar mau mendekat.

Inggrid mendesah, lalu menekan tombol shutdown pada layar cerah yang tertampil di depannya, menutup layarnya dan segera menghambur ke atas ranjang.

Harsa menyeret tangannya lalu dengan sekali gerakan, Inggrid sudah berada dalam pelukan lelaki itu. Perlahan, tangan lelaki itu mengelus pucuk rambut istrinya.
Inggrid terbuai. Sungguh pelukan ini selalu terasa nyaman. Tubuh Harsa yang sedikit panas karena telah berpeluk selimut menularkan panas pada tubuhnya yang hampir semalaman terkena angin malam.

Rasa hangat, elusan di kepalanya serta matanya yang telah lelah adalah perpaduan yang pas untuknya segera masuk ke dalam buaian gelap.

Inggrid pun tertidur nyaman kemudian. Menyerah pada lelah yang menyeretnya ke alam tidur.

***

Mereka berdua tengah berdiri berhadapan di depan sebuah rumah. Keadaan remang dan berkabut di matanya tak menghalangi pandangan dan kesadarannya, bahwa Inggrid saat ini sedang berada di bawah tatapan tajam Axel. Tubuh gagah itu memakai kemeja terang berwarna ungu pastel dengan celana kain berwarna hitam. Tatapan mereka terpaku sejenak, seakan saling meyakinkan satu sama lain.

“Inggrid, aku berangkat,” ucap Axel lembut, mengagetkan Inggrid dari kekalutan pikirannya sendiri.

Wanita itu lantas melirik ke arah mobil sedan silver yang terparkir di depan rumah, seakan sedang menunggu lelaki itu untuk segera berangkat bekerja.

Oh, hari sudah pagi dan Axel harus segera pergi, mengapa wanita itu malah memperlambat langkahnya dengan terus melamun seperti ini?

Ada sesuatu yang mengganjal setiap ia bertemu dengan pagi dalam keadaan demikian. Seolah ada hal asing yang masih perlu ia telaah.

Axel menyentuhkan tangan dinginnya ke pipi Inggrid, hingga membuat wanita itu kembali menatap ke arah suami di depannya. Wajah lelaki itu cerah dengan seulas senyum hangat yang tak lepas dari bibirnya. “Aku berangkat,” ulangnya.

Inggrid melebarkan mata dan berkata dengan tergugu. “Iya … Iya Ax, selamat bekerja. Berhati-hatilah.” Sebelah tangannya menyentuh tangan Axel yang masih berada di pipinya, lalu menggenggamnya sejenak, dan ditempelkannya punggung tangan lelaki itu ke bibirnya. Mencium dengan sayang tangan suaminya.

Masih dengan senyum yang terkembang, Axel segera beranjak dari teras rumah mereka dan berjalan menuju pintu mobilnya, serta segera duduk dengan tenang di kursi kemudi. Menjalankan mobil itu dengan gerakan perlahan sebelum melaju cepat ketika telah sampai di tengah jalan raya. Menyaru dengan berbagai jenis kendaraan yang turut memacu kecepatan agar tiba dengan tepat waktu menuju tujuan masing-masing.

Inggrid kembali fokus pada dirinya setelah melepas kepergian Axel. Dilihatnya celemek berwarna hijau tua yang menempel pada tubuh bagian depannya. Oh, ia telah selesai memasak dan belum juga sempat untuk melepaskan celemek itu. Yang lebih memalukan lagi, wanita itu masihlah lekat dengan aroma dapur dan belum sempat membersihkan diri.

“Ah, aku harus apa sekarang?” tanyanya pada diri sendiri sesaat setelah menyangkutkan kembali celemek pada cantelan kecil di dapur kesayangannya.

Suara ledakan yang begitu keras mendadak terdengar memekakkan telinga. Inggrid menjerit dan sekujur tubuhnya kaku sambil ia dengan spontan menutup telinga dengan kedua telapak tangan dan mata mengatup rapat, berharap apapun yang terjadi, ia masih bisa selamat. Suara keras yang membahana itu bagaikan suara bom yang menggelegar. Hampir-hampir membuatnya tuli karena dengingan di telinganya tak kunjung mereda.

Masih dengan napas terengah-engah dan pompaan jantung yang tak beraturan, wanita itu mulai merasakan hawa panas yang semakin menyengat di tubuhnya.

Merasa ada yang ganjil, wanita itu segera membuka mata dan menemukan kobaran api yang begitu besar muncul di depannya.
Sebuah mobil. Sebuah mobil terbakar di tepi jalan raya. Mengeluarkan api yang begitu besar hingga asapnya pun membubung tinggi bermeter-meter ke angkasa.

Tunggu dulu. Itu mobil Axel?

Bentuk mobil dan pelat nomor yang masih memperlihatkan sedikit angka di sana tidak asing baginya.

“Axel!” Inggrid menjerit sekuat tenaga. Namun sepertinya, suaranya tak terdengar. Axel telah terbakar di dalam sana.

Terbakar!

Dalam perasaannya yang campur aduk itu, ada pergerakan yang muncul dari dalam mobil. Sosok itu dengan tenangnya keluar dari sana dengan tubuh yang masih membara penuh api yang menyala, wajahnya hancur dengan beberapa bagian mukanya yang telah menghitam, tak bisa dikenali. Sosok bak mayat hidup dengan tampilan seram itu berlari mendekati Inggrid, mengirimkan sinyal ketakutan yang membuat tubuhnya menggigil.

“Inggrid … peluk aku.” Tatapannya yang mengerikan itu ternyata menyuarakan kegetiran yang dalam penuh keputusasaan.

Inggrid terpaku dalam sembari merasa aneh dengan perkataan Axel yang demikian. Meminta pelukan dalam kondisi api yang melilit tubuhnya? Wanita itu semakin bergidik ngeri. Tak disangkanya ia kembali bertemu dengan Axel.

Langkahnya perlahan berjalan mundur, ingin segera berlari dari tempat itu karena lagi-lagi Axel dengan paksa berhasil menemuinya di alam tidur.

“Kemari Inggrid. Tak apa-apa. Peluklah aku sebagai tanda perpisahan dariku. Akan kusudahi sekarang. Tak usah lagi kau doakan aku, karena akan percuma,” tuturnya lemah. “Seperti inilah keadaanku sekarang Ing.” Bahu dan tangan lelaki itu terangkat seolah menunjukkan betapa buruknya keadaan ia saat ini. “Aku pamit.” Axel menggamit tangan Inggrid lalu bayangan tubuhnya yang remang di matanya itu memudar .…

Inggrid merasakan kelegaan yang amat sangat ketika perlahan alam sadar kembali mengambil tempatnya. Rasa lega yang datang dalam alam mimpinya itu terasa sama dengan kelegaan yang dirasakannya saat ini. Axel berpamitan? Oh, syukurlah. Semoga pada bulan ke sebelas nanti, ia sudah tak menghantui dirinya lagi.

Wanita itu menghembuskan napas panjang karena tak dinyana, dirinya akhirnya tertidur pada malam itu lalu Axel kembali ke dalam mimpinya. Ya. Axel, mantan kekasihnya, yang telah tiada.

***

Cerita Masa Lalu

Inggrid duduk dengan gelisah di teras rumah kosnya. Berkali-kali ia menghidupkan layar ponsel untuk menghitung waktu. Sudah sekian lama ia menunggu. Namun, tidak ada tanda-tanda Axel akan datang. Oh, apakah ia sedang terlalu berharap? Sudah beberapa hari ini ia tidak bertemu dengan kekasihnya. Dan ini sudah sekian hari setelah pertemuan terakhirnya beberapa hari lalu. Inggrid rindu, dan rasa itu membuat tubuhnya lelah sebelum waktunya. Apalagi ini? Axel sama sekali tak memberinya kabar? Ah, mungkin saja ia masih sibuk dengan tugas kuliah untuk menghabiskan waktu di hari-hari aktifnya belajar di kampus, sehingga pada akhir pekan, ia bisa meluangkan waktu sejenak untuknya. Semoga.

Pukul 17.30.

Warna kuning yang bersemburat di langit menjadi tanda bahwa petang akan segera memeluk bumi. Sudah sesore ini dan janji temu dengan kekasihnya itu sepertinya batal. Axel berkata bahwa ia akan datang dua jam yang lalu, tetapi saat ini, ia sepertinya sudah tak boleh menunggu lagi, agar rasa rindunya itu tak bertepuk sebelah tangan.

Suara dering ponsel yang baru saja akan dimasukkannya ke dalam saku mendadak berbunyi. Debaran jantungnya memompa dengan cepat seiring rasa bahagia yang menyeruak di dalam dada. Akhirnya, yang ia nantikan datang juga. Dengan segera ia balik layar ponsel itu untuk mengangkat panggilan. Namun tiba-tiba saja, debaran jantungnya itu berubah menjadi detakan penuh rasa cemas.

Ibunya.

Wanita itu memejamkan mata sejenak sebelum menekan tombol hijau, seakan mempersiapkan diri atas perkataan apapun yang akan ia dengar. Inggrid menghela napas panjang. Siap untuk bersitegang dengan sang ibu.

“Bu .…” Inggrid menyapa terlebih dahulu.

“Sedang apa kau?” Suara datar di seberang telepon terdengar jelas. “Sedang menunggu kekasihmu itu, hah?” tanyanya lagi dengan suara menukik.

Spontan Inggrid menolehkan kepala ke kiri dan kanan serta berdiri dari tempat duduknya untuk memastikan bahwa saat ini ibunya hanya menggertak dan tak benar-benar berada di sekelilingnya. Setelah memastikan ketidakmungkinan tersebut, perempuan itu kembali duduk di kursi.

“Ah, tidak, Bu, ini sedang mengemas barang,” ucapnya asal. Dadanya sudah bergemuruh berharap sambungan ini lekas berakhir.

“Oh, kau sudah memperhatikan nasihat ibumu rupanya. Syukurlah. Segera enyah dari tempat kosmu sekarang dan pindah ke lokasi yang jauh. Jauh. Sampai Axel tak bisa lagi menemukanmu di mana,” perintahnya dengan angkuh.

“Iya, Bu. Segera,” jawabnya lirih dengan tangan kiri mencengkeram bagian depan jaket yang dipakainya. Menahan sakit yang tak nampak di sana. Tanpa kata lagi, perempuan itu memutus sambungan telepon. Menyisakan dirinya yang menunduk dalam.

Kedua orang tua Inggrid sama sekali tak menyetujui hubungan cintanya dengan Axel. Bukan tanpa alasan. Hal pokok yang menjadi pertimbangan adalah karena mereka berdua berbeda keyakinan. Inggrid sebagai seorang muslim dan Axel pemegang kepercayaan Hindu. Sudah hal mutlak yang tak dapat lagi dibantah jika menyangkut satu prinsip pokok ini bagi keluarga Inggrid. Berbagai cara sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya untuk memisahkan mereka berdua. Mulai dari segala macam doa-doa dan amalan khusus yang dikerjakan agar Inggrid dan Axel segera berpaling, tetapi, ikatan mereka terlalu kuat dan kedua orang tua Inggrid terlambat untuk mengetahui bahwa Axel dan anak perempuannya ternyata telah menjalin hubungan selama lebih dari tiga tahun.

Inggrid sudah memutuskan, meski dengan sangat berat hati ia menentukan. Esok hari, ia akan berpindah tempat tinggal ke kota seberang, berharap agar hubungannya dengan Axel yang mustahil dipersatukan itu merenggang sejenak, sebelum ia memutuskan untuk benar-benar berpisah. Kedatangan Axel sore ini sungguh ia nantikan. Berharap ia bisa bertemu dengan laki-laki itu untuk terakhir kalinya sebagai salam perpisahan. Namun sepertinya, ia memang harus menguatkan hati lebih lama, karena lagi-lagi Axel tak bisa datang.

Gadis itu berdiri dari tempat duduk, mengisi penuh jiwanya yang kosong dengan semangat yang terus ia pacu agar kembali mendorong dirinya untuk segera bergegas.

Inggrid kembali masuk ke dalam kamar kosnya dan menatap seisi ruang yang berantakan. Ia tidak berbohong pada ibunya tadi bukan? Nyatanya, sedari tadi, dirinya memang telah mempersiapkan segala hal dan barang-barang yang akan ia bawa untuk berpindah tempat tinggal, setelah tadi, ia melewati drama perpisahan dengan ibu kos dan beberapa teman kamar yang lain. Kini, wanita itu siap untuk beranjak kapan saja. Meninggalkan jejak kenangan yang juga berserak dengan langkah kakinya di tempat itu.
Selamat tinggal Axel ….

***

Inggrid tiba di depan sebuah gerbang bangunan Belanda yang khas dengan cat warna putihnya. Setelah mengembuskan napas panjang, Inggrid melangkah pasti memasuki kawasan rumah itu dengan dua tas besar di kedua tangan serta backpack berukuran sedang di punggung. Pintu dan jendela dengan ukuran kaca yang teramat lebar menjadi perhatian pertamanya. Keduanya memiliki warna putih yang sama dengan cat tembok, dilengkapi trali berbentuk kotak-kotak di seluruh sisi kaca. Sepertinya rumah kos ini hanya mengalami beberapa perubahan saja semenjak dahulu pertama kali dibangun. Sangat nampak dari ciri khas yang tak diperlihatkan oleh pemiliknya. Membuat rumah itu benar-benar menunjukkan rumah zaman peninggalan kaum koloni.

Dua langkah sebelum memasuki pintu, ia telah disambut oleh sang pemilik rumah kos dengan ramahnya. Pemilik kos ini ternyata tinggal satu atap dengan para anak kosnya. Mereka tinggal di bagian depan, sementara kamar-kamar yang disewakan berada di bagian belakang.

Inggrid melangkah melewati lorong dan kamar-kamar dengan pintu tertutup di sana. Setelah memutuskan untuk memilih lokasi mana yang akan ia tempati, pemilik kos meninggalkannya seorang diri untuk masuk ke dalam kamar.

Wanita itu meletakkan begitu saja dua tas besarnya di ambang pintu, sementara kedua bola matanya memindai secara keseluruhan seisi ruangan yang akan menjadi tempat tinggalnya. Satu buah kasur yang terletak di lantai, satu lemari pakaian serta satu set meja kursi kerja yang nantinya bisa ia manfaatkan sebagai tempat kerja lemburnya pada malam hari.

Tersenyum. Wanita itu dengan mantap mengangkat kembali tas-tas yang dibawanya, lalu menyeretnya masuk dan menutup pintu. Membongkar barang bawaannya untuk ditata ke dalam lemari dan beberapa ia tata di atas meja. Semuanya harus terlihat rapi, sebelum tenaganya habis hari ini dan ia memutuskan untuk beristirahat, atau ia akan bertambah kesal saat esok pagi harus bekerja dan kelimpungan mencari barang-barang yang harus ditemukan.

Inggrid benar-benar telah memboyong hidupnya kemari. Ia berpindah tempat tinggal ke kota ini, dan berpindah tempat bekerja pula. Ini semua ia lakukan demi ibunya, dan ia berharap suatu saat ia benar-benar mensyukuri kepindahannya ke tempat ini, karena benarlah, hubungannya dengan Axel yang rumit ini memang sepatutnya tak dipertahankan. Hubungan kompleks yang dibentengi dengan tembok besar nan tinggi, sulit untuk dilewati.

Selesai.

Wanita itu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Memejamkan matanya sejenak untuk melepaskan kembali penat yang sedari tadi sudah menyeretnya untuk bergerak ke atas tempat tidur.

Hari menjelang malam. Inggrid telah bersiap untuk tertidur dengan nyaman di peraduan setelah selesai membersihkan diri. Tubuh ia hamburkan kembali ke kasur untuk segera terlelap dalam mimpi.

Beberapa menit kemudian .…

Terdengar suara ketukan di pintu kamar. Pelan, lalu lama-lama terdengar keras sekali seperti suara orang yang hendak mendobrak pintu. Inggrid yang baru saja terlelap, akhirnya kembali memicingkan mata demi memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Kedua bola matanya langsung membelalak begitu melihat pintu kamarnya bergerak-gerak seolah akan lepas dari tempatnya, jantungnya pun berdetak kencang seketika melihat gagang pintu yang bergerak sebagai tanda pintu akan terbuka.
Ia pun teringat bahwa kunci yang masih tergantung pada bagian selot menunjukkan bahwa ia telah mengunci pintu itu tadi. Instingnya langsung membuat tubuhnya bergerak untuk bangkit dari atas kasur dan mengintip melalui celah sempit pada bagian bawah pintu. Melihat siapa sebenarnya sosok di baliknya. Pikirannya yang masih berkabut pun waswas karena menduga ada pencuri yang mengetahui bahwa ada penghuni baru di tempat kos itu dan hendak memalak barang-barangnya.

Nihil.

Tak ada bayang-bayang apapun yang ia lihat melalui matanya dari celah sempit itu. Namun, gedoran di pintu itu masih berlanjut sampai sekian detik lamanya. Inggrid langsung meloncat begitu saja, kembali ke atas peraduannya dan menutup seluruh tubuh dengan selimut tebal. Meringkuk di bawahnya.

Sumpah demi apapun, ia ketakutan luar biasa, dan, di detik berikutnya ketika suara pada pintu itu terhenti, Inggrid yang masih dalam keadaan kantuk yang amat sangat pun tertidur kembali. Tak disangkanya, bahwa malam pertama ia menginap di tempat tinggal barunya, akan tersambut oleh hal mistis seperti itu.

***

Hantu Penunggu Kos

Hari-hari berlalu dengan datar. Setelah kepindahannya ke tempat kos yang baru ini, Inggrid sama sekali belum bertemu dengan Axel. Laki-laki itu masih mencari ke sana dan kemari untuk menemukan di mana kekasihnya itu tinggal. Ada sebersit rasa senang yang muncul di hatinya. Namun ia juga bersedih, bahwa mungkin saja hubungannya dengan Axel yang penuh dengan drama setelah sekian lama, akan berakhir seperti ini.

Sepulang bekerja, wanita itu kembali lagi pulang dengan perasaan aneh. Sempat terbayang ketakutan yang sama ketika ia memasuki pintu kamar, teringat bagaimana makhluk tak kasatmata mencoba menggoda dan menyambut kedatangannya dengan suasana seram. Terlintas dalam pikirannya untuk kembali berpindah tempat tinggal saja dari rumah kos ini. Namun, uang pembayaran yang sudah telanjur dibayar dimuka membuatnya putus asa. Sepertinya ia harus bertahan lebih lama lagi dan memaksakan dirinya untuk bisa nyaman berada di tempat itu demi berlembar-lembar rupiahnya yang sudah melayang. Pergi dari tempat ini, berarti ia harus kembali menguras dompetnya yang hanya tersisa untuk biaya makannya bulan ini.

Mungkin saja ini karena Inggrid tak mau mendengarkan nasihat ibunya dan tetap memandang patut hubungannya dengan Axel di belakang orang nomor satu di rumahnya itu. Walaupun sampai dengan detik ini, hubungan percintaan mereka mengambang untuk sementara waktu.

Oh, akankah ia bisa bertahan tanpa Axel?

Kembali Inggrid menerawang ke langit-langit kamar dengan tubuhnya yang sudah berbaring sempurna di atas kasur. Kepalanya tepat menempel pada dinding di bawah jendela. Semilir angin yang meniup dari celah kecil jendela itu membuat kepalanya sejuk, sebelum sesaat kemudian, ia kembali dikejutkan dengan suara ketukan.

Ketukan khas pada kaca jendela di kamarnya itu terdengar nyaring. Pikirannya langsung menuju pada ingatan di mana ia berada seorang diri di antara deretan kamar di kanan dan kiri ruangan itu. Inggrid terduduk dengan tegang, mencoba mengucap doa-doa yang ia bisa sembari berharap bahwa ia sekarang tengah bermimpi.

Suara ketukan itu kembali terdengar bahkan lebih keras dari sebelumnya. Seperti malam sebelumnya ketika pintunya mendapati ketukan entah dari siapa, Inggrid pun meyakinkan dirinya bahwa kaca jendela telah ia tutup rapat dan mengancingkan pengaitnya dengan benar.

Wanita itu menggeser duduknya dengan gusar ke arah yang berlawanan dari jendela kamarnya, menyalakan ponsel dan ia menyesal karena tak bisa mengubungi Axel saat itu juga.

Tubuh ia tekuk sembari meringkuk dengan menutup telinga dan kedua mata memejam erat. Namun, semakin dalam ia mencoba untuk menjauhkan suara itu dari gendang telinganya, suara gedoran itu semakin lama semakin keras. Semoga saja kaca yang terpasang di sana tidak sampai pecah berhamburan.

Senyap.

Mendadak suara ketukan itu berhenti. Masih dengan dada yang berdebaran dan bulu kuduk yang meremang, dengan gemetar, Inggrid memberanikan diri untuk sedikit membuka kedua telapak tangan dari telinganya.

Meyakinkan bahwa apapun atau siapapun yang mengganggunya itu telah pergi dari sana.

Berkali-kali Inggrid menarik dan membuang napas dengan irama yang lebih panjang untuk menenangkan detakan jantungnya yang cepat. Ingin sekali ia berlari dari tempat itu, menghambur ke siapa saja yang bisa ia temui di luar kamar. Tetapi, pada siang hari saja, lorong yang tepat berada di depan kamarnya itu terlihat mengerikan dengan suasana mistis yang sangat kental.

Wanita itu melompat ke atas tempat tidur, memunggungi jendela. Mengurung diri sepenuhnya di bawah selimut tebal. Sekilas ia menghidupkan layar ponselnya yang terasa sangat terang di bawah selimut, lalu menekan tombol off dan menyelipkannya begitu saja di bawah bantal. Inggrid mengatupkan matanya erat, berharap nyenyaknya tidur segera menjemput.

***

Alunan suara musik perlahan menggugah alam tidur Inggrid. Serasa baru lima menit ia memejamkan mata, gadis itu kembali harus tersadar karena mendapati gangguan. Hawa dingin masih menguar di luar selimut, seolah menjadi pertanda bahwa hari masihlah gelap. Siapa yang menyalakan musik di malam seperti ini? Ah, mungkinkah bapak pemilik kos?

Inggrid mengerjap-ngerjapkan matanya perlahan dengan malas. Mengusap kedua matanya menahan kantuk. Sejenak, wanita itu menikmati suara musik yang terdengar lirih, tapi sangat jelas di telinganya itu. Benaknya melayang, membayangkan seperti sedang berada di bawah panggung pertunjukan wayang yang pada waktu ia kecil, ayahnya selalu mengajaknya untuk melihat.

Hm … mengapa pertunjukkan itu hanya tinggal sejarah saja? Padahal, pada zaman dahulu, baik pertunjukan wayang maupun dialek-dialek wayang yang diperdengarkan melalui radio menjadi makanan sehari-hari para nenek moyang. Belum sempat menjadi generasi penerus yang bisa memainkan wayang, kesenian itu sudah hampir punah dan tidak lagi diminati oleh kaum milenial. Menganggap pertunjukkan itu kuno, padahal jika menyelidik lebih jauh, kisah-kisah yang sering diceritakan dalam pewayangan itu mengandung banyak nasihat dan cerita yang bisa diambil hikmahnya untuk bekal kehidupan.

Tidak semua anak muda tidak menyukai pertunjukan yang diiringi dengan aneka alat musik khas Jawa tersebut. Namun, seperti kabut asap yang mulai memudar setelah hujan, ketertarikan pada kesenian tersebut mulai memudar seiring berjalannya waktu.

Inggrid mendadak terkejut seolah baru tersadarkan oleh sesuatu. Suara musik Jawa? Gamelan? Jantungnya secara spontan memompa dengan kecepatan tinggi dan bulu kuduknya berdiri tegak atas sinyal keganjilan yang baru saja sampai pada tubuhnya. Telinga kembali ia pasang dengan benar, mencoba mencari tahu dari arah mana suara gamelan itu berasal. Dengan penuh kejerian, Inggrid menempelkan telinga ke dinding kamarnya. Mencari tahu di mana sumber suara itu datang.

Gadis itu mengembuskan napas panjang. Setelah tak mendapat petunjuk apapun atas kengerian yang baru saja menimpanya. Inggrid kembali merebahkan tubuh. Berharap tak ada kejutan lainnya lagi yang membuat ia ketakutan.

Andai saja ia berada di dekat ibunya sekarang, tentu ia akan dengan sangat bersenang hati memeluk erat ibunya untuk mendapatkan ketenangan.

Oh, ibu, tolonglah. Doakan anakmu ini. Inggrid berucap dalam hati.

Dengan posisi tidur miring, Inggrid mencoba untuk meruyupkan matanya, tetapi, betapa terkejutnya ia ketika suara gamelan itu terdengar semakin keras pada sebelah telinganya.

Panik.

Pikirannya yang masih terselimuti kantuk dan rasa cemas itu segera membalik bantal dan wanita itu meloncat kaget saat menemukan ponsel yang seingatnya tadi ia matikan itu ternyata dalam posisi hidup saat ini dan suara gamelan yang mengalun indah itu berasal dari ponselnya.

Bingung, gugup dan segala rasa tak enak semakin meremang seiring gemetar tangannya berusaha mengambil ponsel Blackberry itu. Raut mukanya berkerut diiringi rasa penasaran yang semakin memuncak. Bagaimana bisa ponselnya membunyikan lagu gamelan sementara ia sama sekali tak memiliki playlist lagu tersebut?
Rasa panas di sekujur tubuh dengan gelenyar kengerian yang membuat wajahnya pucat itu tak surut juga meskipun ponselnya kembali gelap dan suara itu berhenti. Inggrid berjanji dalam hati, sesegera mungkin ia akan menjual ponsel jahanam tersebut.

Napas Inggrid masih terengah-engah ketika suara merdu itu lenyap. Tetapi tak sampai di situ, jantungnya kembali terpacu oleh suara tangisan wanita yang tiba-tiba menyuarakan histeria kesedihannya. Kedua mata yang tengah menerawang itupun kembali berputar mengikuti ke mana suara itu berasal. Kedua kaki yang ia selonjorkan begitu saja terasa dingin dan merinding.

Betapa terperangahnya ia, tanpa diduga kapan datangnya, wanita dengan baju putih dan rambut panjang terurai itu duduk dengan santainya di sebelah kakinya. Menikmati tangisannya yang menggaungkan kengerian sembari merapikan rambutnya dengan sisir.

Bibir Inggrid terasa kelu seperti dipaku dengan posisinya. Tubuhnya yang sudah penuh dengan keputusasaan akan ketakutan tak bisa lagi melawan. Namun, dengan sekuat tenaga, akhirnya jeritan kengerian itu melengking bersamaan dengan suara tangisan itu yang menggema.
Wanita itu meringkuk dengan tubuh terlipat sempurna menempel di dinding, menjerit dengan sekeras-keras suaranya.

***

Firasat

Beberapa minggu kemudian, setelah pencariannya yang susah payah, Axel pada akhirnya bisa menemukan di mana Inggrid tinggal. Saat ini, mereka tengah duduk berdua. Melepaskan segala beban.

Inggrid menatap tajam ke arah Axel yang sedikit membuang muka darinya. Pertemuan melepas rindu setelah sekian lama tak bertemu ternyata tak seindah angan-angan.

Saat ini mereka berdua tengah duduk berhadapan dengan sebuah meja sebagai penghalang di gazebo yang terletak pada bagian belakang rumah kos Inggrid. Menikmati hidangan makanan dengan rasa hambar, karena wanita itu kecewa, mendapati kekasih yang baru ditemuinya itu bersikap tak biasa. Acuh tak acuh.

“Kau berubah.” Kata pertama yang muncul dari bibir Inggrid ketika perempuan itu telah menghabiskan makanannya dengan cepat.

“Bagaimana bisa kau menyimpulkan demikian?” Axel menyilangkan kedua tangan di depan dada dan menempelkan punggung pada sandaran kursi.

“Ya karena memang kau berubah. Aku tahu Ax, sudah sekian lama kita bersama dan tak pernah firasatku ini salah.” Inggrid berkata dengan nada datar. Namun, menyiratkan amarahnya yang mulai muncul.

Tak disangka, Axel mengabaikan ucapan wanita itu yang telah siap untuk beradu kata dengannya. Lelaki itu tanpa rasa bersalah malahan bangkit dari kursinya lalu dengan cekatan membereskan piring dan gelas yang mereka gunakan untuk makan malam di bawah lampu temaram itu.

Mengangkatnya dalam dua tangan dan beranjak dari gazebo menuju tempat mencuci.
“Tapi, kali ini firasatmu salah. Dan satu lagi, aku tak percaya pada omong kosongmu tentang hantu-hantu yang mengganggumu di tempat ini. Mana ada makhluk seperti itu. Bullshit!” ketusnya sembari melangkah dan menengok sejenak ke arah Inggrid lalu melangkah di bawah gelap langit sebelum masuk kembali ke dalam bangunan kos untuk membereskan peralatan makan.

Inggrid masih bersikeras pada apa yang dipikirkannya. Ia tak mungkin salah. Sudah satu bulan ini Axel menghindarinya dan selalu menggunakan alasan klasik untuk menolak bertemu. Bahkan sekarang, dengan seenak hidungnya sendiri, Axel mengatakan bahwa kesetiaan tak bisa diukur dari seberapa rutin mereka bertemu. Padahal, Inggrid sama sekali tak bisa melewatkan satu titik perubahan saja ekspresi wajah lelaki itu yang tiba-tiba berubah kaku dan tidak bisa memusatkan hati dan pikiran sepenuhnya pada wanita itu.

Apalagi? Apalagi jika bukan berselingkuh? Ah, Tuhan, sungguhlah kosa kata itu terasa begitu memelintir hati saat diucapkan, dan Inggrid tak bisa membayangkan bagaimana jadinya saat ia benar-benar menemukan Axel telah menduakannya?

Berkali-kali ia menyangkal. Namun, sikap Axel sendirilah yang seolah-olah membuktikan bahwa firasatnya benar. Dan lelaki itu masih mengelak? Sungguh tega ia menyakiti Inggrid di tengah kemelut wanita itu yang tengah berjuang untuk mempertahankan hubungan mereka yang tak direstui oleh orang tuanya.

Inggrid seperti mendapat karma, ia berusaha menjauh dengan berpindah ke tempat ini untuk memberi jeda pada hubungan mereka, ternyata Axel satu langkah mendahuluinya dalam merenggangkan tali cinta mereka dengan cara seperti ini. Meski belum mengetahui secara pasti, tetapi rasa sakit sudah mulai menggerogotinya tanpa permisi. Ingin ia meluapkan rasa amarahnya saat ini, tetapi, tanpa bukti, ia hanya akan ditertawakan saja.

Perempuan itu asyik memainkan ponselnya yang ia letakkan di atas meja dengan gerakan acak. Menopangkan kepala pada satu tumpuan tangan. Merasa jengah atas suasana makan malam yang tak membuatnya nyaman itu.
Di tengah kekalutan pikirannya yang masih berkubang, Inggrid memicingkan mata dan menoleh dengan cepat ketika mendengar suara derapan langkah setengah berlari dari arah bangunan kos. Didapatinya Axel tengah berlari kembali ke arahnya dengan napas tersengal dan wajah bercucuran keringat.

Setelah berada di dekat Inggrid, lelaki itu membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut mengatur napas. Perlahan, Axel mendongak. Inggrid terkejut bukan main melihat wajah pucat lelaki itu yang memandanganya dengan lesu.

“Kau kenapa?” Inggrid mengubah posisi duduk, sehingga menghadap langsung pada Axel yang tengah membungkuk dengan kepala menengadah.

“Di sana … itu di sana ….” Lelaki itu berkata dengan napas tak beraturan hingga membuatnya tergeragap, sesekali tampak sebelah tangannya mengacung ke belakang, menunjuk ke tempat di mana ia tadi meletakkan peralatan makan malam mereka.

“Di sana kenapa?” Inggrid mengejar bertanya dengan penuh rasa ingin tahu dan panik yang mulai melanda.

“Ada wanita berambut panjang dengan pakaian putih panjang yang tiba-tiba duduk di dekat tempat mencuci piring.” Setelah berhasil mengatur napasnya, akhirnya Axel mampu berkata dengan lancar. Membuat Inggrid membelalak.

“Apa?” Inggrid bertanya lirih, nada suara dan mimik wajahnya menunjukkan ekspresi tertegun yang nyata. Alisnya berkerut dengan sebelah tangan mengusap tengkuk, merasakan bulu kuduk yang mulai berdiri sesaat setelah menerima perkataan Axel yang mengejutkannya.

Hantu itu lagi ….

***

Beberapa minggu setelahnya ….

Suara tamparan itu terdengar nyaring. Mengisi penuh seisi ruang yang hanya terisi oleh mereka berdua. Axel menatap tajam Inggrid dengan ekspresi bengis setelah tamparan itu menimpa pipi gadisnya. Murka atas kekasihnya itu yang sedari tadi mengujarkan kalimat menohok dan mencelanya tiada henti. Inggrid mengetahui bahwa dirinya telah dekat dengan seorang wanita di kampusnya. Firasat Inggrid benar dan sampai sekarang pun laki-laki itu tidak mengerti, bagaimana ia bisa memiliki ikatan batin yang kuat dengan perempuan yang tidak seiman dengannya itu. Mereka bagai satu jiwa dalam dua tubuh. Saling mengisi dan saling membutuhkan, tetapi kali ini terasa lain. Seolah ada sesuatu yang menariknya untuk menjauh dari perempuan itu yang bukan dari kehendak hatinya sendiri. Ia tak ingin wanita itu terluka, atas … atas kepergiannya? Entah Axel merasa ada panggilan-panggilan yang mendengung di telinganya yang tak bisa ia ejawantahkan.

Dengan kemarahan yang sama, Inggrid pun menampar balik Axel hingga membuat pipi lelaki itu merona merah dengan rasa perih.
Axel terperangah. Menatap teduh mata Inggrid yang mulai berkaca-kaca. Laki-laki itu sampai tak menyadari bahwa ada sepasang mata dengan ekspresi murka yang sama dan ditujukan pula kepadanya.

“Kau ….” Wanita itu menggeram, menunjuk wajah Axel dengan jari telunjuknya dalam jarak yang cukup dekat. Ekspresinya keras dan penuh ironi, merasakan sesak telah memenuhi rongga dadanya. Kekasihnya itu dengan tanpa hati telah menamparnya. Membuat segala penghargaan dirinya atas lelaki itu musnah. Bukan saja telah menyakitinya dengan menelikungnya, tetapi juga telah menghancurkan harga diri Inggrid sampai ke dasar.

“Kau … tak berhak lagi atas diriku mulai saat ini. Kita selesai. Jangan pernah lagi mencoba untuk mencariku! Ingat itu!” Inggrid berseru dengan suara tertekan, melangkah mundur beberapa jengkal, sebelum kemudian membalikkan badan dan meninggalkan Axel seorang diri.

Lelaki itu menatap kepergian Inggrid dengan nanar. Merasai hatinya yang diremas oleh tatapan penuh kebencian dari orang yang dicintainya. Tangan kiri Axel perlahan menyentuhkan ujung jari pada pipi kirinya yang terasa panas, bekas sentuhan kasar perempuan itu di ujung kepergiannya.

Axel berkaca-kaca, menumpahkan segala kesedihan yang menyeruak di dalam dadanya. Namun pada saat yang bersamaan, rasa lega menyelimuti hatinya. Kelegaan yang ia harapkan. Wanita itu telah membencinya, dan ia senang. Tak perlulah ia kesulitan mencari segala kerumitan agar Inggrid semakin menjauh darinya, sehingga ketika waktunya tiba, meskipun ia belumlah rela, Axel bisa melepas Inggrid dengan bahagia.

Ah, ia tak tahu apa yang sebenarnya telah melandanya. Jiwanya kosong dan meminta untuk diisi. Namun, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Kepergian Inggrid turut menyeret separuh jiwanya melayang, tetapi, seolah ada malaikat yang datang kepadanya, memberi kabar bahwa wanita itu pun meninggalkan separuh jiwanya pada lelaki itu. Chemistry sedemikian kental selalu ia rasakan pada Inggrid, begitupun dengan wanita itu yang bisa ia pastikan merasakan hal yang sama.
Axel terduduk dengan lesu, memandangi sekeliling dengan keputusasaan yang dalam. Firasat ini begitu mengganggunya. Dan entah mengapa ia bisa merasakan hal ini. Suatu firasat yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya, sesuatu yang tak bisa ia rencanakan dan tak pernah ia tahu, sesuatu yang akan memisahkannya dengan apapun yang ada di dunia ini.

Firasat kematian.

***

Hidup dalam Mimpimu

Beberapa bulan setelah pertengkaran sengit itu ….

Inggrid tengah duduk dengan santainya di ruang tamu rumah Hesti, mertuanya. Hari ini ia benar-benar menghabiskan waktunya untuk beristirahat, karena sejak kemarin malam, tubuhnya mendadak demam dengan sakit kepala hebat yang mau tak mau harus membuatnya izin bekerja pada hari itu.

Ya. Inggrid telah menikah. Ia berkeras hati untuk memutus hubungan percintaannya yang kuat dengan Axel dan membuka hatinya begitu saja kepada lelaki lain. Hingga pada suatu ketika tatkala ia bertemu dengan Harsa dan merasa nyaman, Inggrid tak berpikir dua kali dan langsung menerima pinangan lelaki itu.

Inggrid bisa. Wanita itu bisa dengan sesegera mungkin untuk bangkit dari Axel, walaupun harus berkali-kali terjatuh dan bangkit dengan tertatih-tatih, mengingat hubungan selama lima tahun itu bukanlah hubungan semacam kilat yang hanya sebentar saja menampakkan bayangannya dalam ingatan. Lima tahun itu telah terisi dengan begitu banyak ruang kenangan yang memendar dalam setiap langkah perjalanan.

Tapi sejauh ini, Axel tidak bisa move on? Bagaimana ceritanya lelaki itu bisa menjadi lelaki plin plan dengan terus memaksakan dirinya pada Inggrid padahal kandasnya hubungan mereka adalah karena Axel sendiri yang berniat untuk berpisah dengan menduakannya? Apakah ia sedang menyesal?

Berkali-kali Inggrid mendapat kabar bahwa Axel telah bergonta-ganti pasangan. Namun, hubungan mereka pada akhirnya kandas karena Axel yang memutuskan secara sepihak. Alasannya? Apalagi jika bukan karena Inggrid? Lelaki itu seolah tak rela melupakan, hingga mencari sosok kekasih baru dengan kriteria-kriteria seperti Inggrid. Sampai-sampai nama wanita itupun tak pernah luput dari bibir Axel yang membuat pertengkaran demi pertengkaran hubungan percintaan lelaki itu selalu menjadi santapan utama.

Ayah dan ibu Axel pun kewalahan untuk mengatasi anak laki-lakinya itu yang kini seolah kehilangan kewarasan hingga mereka pun membenci Inggrid dengan kebencian yang telah mendarah daging. Inggrid tak habis berpikir, dirinya sudah sepenuhnya melepaskan dan tidak lagi berhubungan dengan lelaki itu, tetapi pihak keluarga Axel masihlah terus saja menganggap Inggrid sebagai kambing hitam yang tak bertanggung jawab atas segala bentuk persoalan yang menimpa putra mereka.

Bunyi dering diiringi getar ponsel yang mendadak bersuara keras sukses memecah lamunan panjang Inggrid yang tak pernah berkesudahan itu. Dengan malas ia melongok ke arah layar ponsel yang menyala terang dengan nama pemanggil tak terdaftar.

Axel lagi?

Berkali-kali wanita itu seperti mendapat teror beruntun dari laki-laki itu yang terus saja melakukan panggilan pada tepat tengah malam. Terakhir kali, akhirnya Inggrid mengangkat panggilan itu dan berbicara, lalu, terdengarlah suara tangis dengan isakan menyakitkan dari Axel seperti orang yang tengah berputus asa.

Hari ini, Axel kembali menghubunginya di siang terik seperti ini?

Inggrid menimbang-nimbang sebentar karena nomor yang terus menerus memanggilnya itu tidak berhenti mendering. Diambilnya dengan malas ponsel tersebut dan ditekannya tombol hijau.

“Halo.” Inggrid menyapa dengan suaranya yang rendah.

“Inggrid?”

Suara khas lelaki di seberang itu membuat Inggrid melebarkan mata. Suara yang telah sangat lama tak didengarnya. Dean. Kakak Axel.

Ada perihal apa Dean menghubunginya? Masihkah ia harus menerima umpatan-umpatan menyakitkan dari keluarga Axel itu?

“Inggrid?” Dean memanggil sekali lagi, memastikan bahwa ia telah menghubungi nomor yang benar.

Wanita itu tergeragap dan kembali memusatkan pikiran pada sapaan yang baru saja didengarnya.

“Iya, Dean. Ini aku. Ada apa?” Inggrid mengerutkan kening demi mendengarkan dengan jelas tujuan lelaki itu menghubunginya.

“Axel .…” Dean mengembuskan napas sejenak, seperti sedang mempersiapkan diri. “Axel mengalami kecelakaan Grid dan … dia meninggal.” Lelaki itu memejamkan mata di seberang sana setelah mengungkapkan kata yang hendak disampaikannya.

Sesuatu yang hangat mendadak mengalir dari hidung Inggrid.
“Bagaimana bisa terjadi?” Inggrid merasakan debaran jantungnya yang memompa cepat serta hawa panas yang mulai menjalar ke seluruh tubuh ketika mendengar kabar mengejutkan tersebut.

“Axel mengendarai sepeda motornya seorang diri dan ia menabrak sebuah mobil truk.” Dean menjeda sejenak dengan berdeham. “Ia sama sekali tak mengalami luka-luka yang nampak pada sekujur tubuhnya, tetapi, seluruh organ dalamnya remuk.” Dean mengakhiri kata-katanya dengan embusan napas panjang karena jantung sama berdebarnya dengan Inggrid yang bahkan sekarang, wanita itu telah membiarkan lelehan darah merah mengucur tiada berhenti dari hidungnya.

“Haruskah aku datang melayat? Melihat Axel untuk terakhir kali?” Inggrid bertanya dengan nada lemah.

“Tak perlu. Kalian sudah selesai bukan? Aku tak mau kedatanganmu justru membuat Ayah dan Ibu kehilangan kendali.” Dean mengucapkan kalimatnya dengan penuh kehati-hatian agar tak menyinggung perasaan wanita itu. Hening beberapa saat.

“Baiklah. Aku hanya bisa berdoa, semoga ia baik dan ditempatkan di sisi yang layak disamping Tuhan.” Inggrid mengakhiri ucapannya dengan gemetar dan membiarkan ponselnya jatuh begitu saja, tak mendengarkan lagi Dean berbicara.

“Inggrid!” Hesti berteriak seketika melihat menantunya itu tengah bersimbah darah.

Spontan Inggrid menatap ke arah Hesti yang berlari ke arahnya, lalu turut terperanjat ketika ia baru menyadari bahwa warna merah itu telah mendominasi bagian depan tubuhnya termasuk pada baju yang ia kenakan.

“Kau baik-baik saja?” Dengan panik, Hesti mengusap hidung Inggrid dengan lap tangan dan menyumpal lubang hidungnya dengan daun sirih yang telah digulung untuk segera menghentikan mimisan yang mengerikan tersebut.

Dengan senyum yang dipaksakan dan wajah yang mulai kehilangan rona merahnya itu, Inggrid mengangguk perlahan sebagai jawaban bahwa ia baik-baik saja, lalu wanita itu turut membersihkan dirinya sendiri.

Sungguh Inggrid sedang tidak baik-baik saja sekarang. Sejujurnya ia panik luar biasa atas keadaan yang ditimpakan kepadanya. Dalam seumur hidupnya, baru kali inilah wanita itu mengalami mimisan tepat setelah mendengar kabar tentang Axel.

Inggrid menarik napas dan mengembuskan napas pendek-pendek seakan saluran pernapasannya menyempit karena diikat oleh tali tak kasatmata yang dikirimkan kepadanya. Axel mengalami kesakitan hingga dijemput ajal, dan Inggrid harus pula turut merasakannya? Chemistry macam apa ini?

***

Axel telah meninggal dunia.
Sejak Dean memberikan warta bahwa adik laki-lakinya itu telah tiada, Inggrid justru merasa bahwa ia semakin dekat saja dengan Axel. Kedekatan mereka bahkan bisa dikatakan tak terbatas ruang dan waktu. Inggrid seringkali merasakan kehadiran laki-laki itu mengisi waktunya melalui semilir angin yang berembus tiap kali ia merasa lelah. Seandainya saja ia bisa melihat, pastilah ia disangka orang dengan gangguan jiwa karena telah bercumbu mesra dengan mantan kekasihnya yang kini tak bisa lagi dipandang dengan mata telanjang.

Sayang … sayang … aku di sini.”

Sayang ….”

Bisikan kata-kata itu hampir setiap hari didengarnya. Pandangan wanita itu yang sedang menerawang pun seolah-olah ditatap oleh mata tajam Axel yang selalu mengintimidasinya, dan ketika Inggrid sedang murung, arwah lelaki itu selalu datang memberinya penghiburan.

Anehnya, Inggrid sama sekali tak merasakan takut dan malah menikmati setiap waktu bersama dalam dua alam yang berbeda tersebut, baik dalam keadaan sadar maupun di dalam mimpi. Inggrid hampir lolos ke dalam kesadaran bahwa Axel telah masuk ke dalam jiwanya dan hidup kembali bersamanya.

***

“Cobalah lihat hasilnya satu minggu lagi,” ucap seorang pemuka agama dengan kopyah dan sorban yang melingkar pada lehernya.
“Kau sudah kuberi benteng, sehingga arwah lelaki itu tak dapat lagi menjangkaumu dalam jarak dekat.”

Inggrid tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Wanita itu akhirnya memutuskan untuk meminta pertolongan kepada salah satu ustaz yang menjadi guru agamanya ketika ia masih menginjak usia sekolah dasar. Gadis itu merasakan sesuatu yang semakin tak wajar mengintainya, dan demi kebaikan hubungan dirinya dengan suaminya, ia harus melakukan ini. Menjauhkan bayangan Axel dari hidupnya.

“Dia selalu tersenyum dan senang karena kau tak merasa takut akan dirinya,” imbuh sang ustaz.

“Anda yakin bahwa itu adalah arwahnya?” Inggrid bertanya dengan ragu-ragu.

“Ya. Aku bahkan bisa berbicara dengannya, dan ia menitipkan suatu pesan padaku.” Ustaz itu kembali berucap membuat Inggrid kembali menatapnya.

“Pesan?”

“Ya. Axel berkata padaku bahwa ia memintamu agar tak mengikhlaskan kepergiannya. Ia ingin kembali padamu dan hidup bersama denganmu.” Laki-laki tua itu berucap dengan senyum masam, menyesali perkataannya sendiri yang ternyata tak masuk akal, meskipun ia sedang menirukan perkataan Axel ketika bertemu dengannya beberapa waktu lalu.

Inggrid menunduk kembali dengan seulas senyum yang sama. Hubungannya dengan Axel ternyata belum selesai begitu saja bahkan walaupun lelaki itu telah tiada. Lebih-lebih Inggrid tak bisa lagi mengontrol keadaan ini melalui dirinya sendiri, ia terus bergantung pada sang ustaz yang dianggapnya lebih mampu untuk memperlebar jarak antara dirinya dengan Axel.

***

Sekian lama menunggu, kini Inggrid tak lagi merasakan kehadiran Axel secara langsung. Namun, wanita itu belum juga bisa berlari dari kenyataan bahwa dirinya selalu bermimpi yang sama pada dua tanggal keramat yang melekat erat pada diri lelaki itu. 6 April dan 7 Oktober, setelah bertahun-tahun lamanya laki-laki itu meninggal.

Masih teringat dengan jelas dalam mata dan pikirannya ketika ia terpaksa harus memejamkan mata pada tanggal 6 April dini hari, pada malam ulang tahun Axel, ketika Harsa menyeretnya ke tempat tidur. Ekspresi wajah Axel yang menyeramkan dan kata-kata perpisahannya tak bisa ia lupa.

Inggrid hanya berharap, semoga bulan Oktober mendatang, tepat pada hari naas meninggalnya lelaki itu, Axel sudah tak lagi menghantui dan berhenti menemuinya dalam drama mimpi buruk yang sama.

Selamat jalan Axel ….

TAMAT

14 Komentar

  1. Wow,,, cerpen yang sangat bagus dan menarik. Sastranya luar biasanya loh
    ratingnya kok gak ada yah

    1. Wuah makasih banyak Dee :kisskiss :kisskiss

  2. Bang bintang…aku ikut merinding bacanya…..
    Semangat :semangatsemangat!!!! :semangatsemangat!!!!

    1. Bintang Timur menulis:

      Merinding merinding syahdu ya, wkwkwk

  3. Lusy Fitriyani menulis:

    Waw indah sekali,tetap semangat kak bintang,votenya mana :terlalutampan :terlalutampan :terlalutampan

    1. Bintang Timur menulis:

      Makasih banyak.. :malumalutapimau :malumalutapimau

      Votenya dalam hati aja, hihi

  4. Bca jam sgni mantabbb kli nih Ka Bin haha
    Tersiksa bngt pasti Inggrid ngalamin itu semua huhu, mga skrng Inggrid sdh bahagia dngn Harsa dan Axel sudah tidak dtng lgi ke mimpinya

    1. Bintang Timur menulis:

      Aamiin… aku suka ikut deg²an juga karena hampir rutin di tanggal² itu, sahabatku always telpon dengan gugup karena ketakutan sepanjang malam :lovely :lovely

  5. Waw serem juga ternyataa :((

    1. Bintang Timur menulis:

      :lovely :lovely :lovely

  6. Tks ya kak udh update.

    1. Bintang Timur menulis:

      Sama² :sebarcinta

  7. Indah Narty menulis:

    Serem

  8. keren sekaliiiiiii………. :lovelove :lovelove :lovelove :lovelove