Cerpen ini masuk dalam antologi cerpen “Sederetan Kisah Cinta yang Abadi” jilid 1. Selamat membaca 😊
Gadis itu duduk di sana. Di bangku panjang halte bus seperti biasa. Menunggu dengan sabar kendaraan yang akan mengantarnya pulang ke rumah.
Hari itu berbeda, ia merasakan lelah yang teramat sangat. Hatinya patah. Tercabik-cabik oleh perkataan teman-teman kerjanya tadi yang mengatakan bahwa dirinya haruslah tahu diri sebagai pegawai kafe baru. Dia tidak boleh bermalas-malasan dan menunjukkan iktikad baik bahwa dirinya layak untuk dipertahankan sebagai pegawai. Padahal, dirinya tadi hanya duduk sebentar membuang letih dan tetap memaksa diri untuk terus bekerja. Entah apa yang terjadi pada dirinya, suhu tubuhnya terus meninggi dan kepalanya sakit, hingga detik ini.
Bisa saja ia meminta izin untuk tidak bekerja dan mengistirahatkan tubuh di rumah, tetapi, ia urung dan malahan dikatai sebagai pegawai tak tahu diri?
Gadis itu mengembuskan napas panjangnya yang terasa panas. Merasa lelah atas keadaan tak mengenakkan yang menimpanya. Hanya dia seorang yang tidak memiliki teman. Pegawai-pegawai yang lain selalu bergerombol dan melakukan aktivitas bersama ketika santap siang dan waktu pulang tiba. Cuma Pak Bas, petugas keamanan di kafenya, yang tak pernah absen menyunggingkan seutas senyum pada dirinya yang kesepian.
Perempuan berambut lurus setengah lengan itu tersentak tatkala sebelah tangannya ditarik dengan keras hingga membuatnya hampir terjungkal.
“Maaf, kekasih saya ini sedang sakit sehingga sulit berkonsentrasi,” ucap seorang laki-laki yang menggenggam erat tangan si gadis, kepada supir bus ketika langkah kaki keduanya sudah berada di dalam ruang kendaraan tinggi besar itu, membiarkan pintunya tertutup.
Di tengah kebingungan yang melanda dengan ditatap oleh begitu banyak pasang mata, perempuan itu akhirnya menurut saja ketika lelaki ⸺yang bahkan belum ia tahu siapa dan bagaimana raut wajahnya⸺ itu menuntun dengan setengah menyeret dirinya menuju tempat duduk paling belakang.
“Apa yang kau lakukan?” Gadis itu akhirnya berkata dengan penuh kepayahan. Kepalanya berdenyut sakit dan matanya perih, menahan suhu tubuhnya yang memanas.
Lelaki betubuh tinggi dengan rambut hitam legam itu akhirnya menoleh, mendengar si gadis berkata dengan perlahan, tetapi dengan nada penuh penekanan.
“Kau tahu? Sopir bus sudah membunyikan klakson berkali-kali dan kau sama sekali tak menghiraukan. Ini bus terakhir bukan? Kau akan telambat pulang jika melewatkan bus ini,” jelasnya panjang lebar.
Perempuan tadi menyandarkan kepala pada sandaran tempat duduk dan memejamkan mata. Betapa konyolnya. Benarkah dia tadi melamun sebegitu dalamnya hingga tak memperhatikan sekitar?
“Benarkah?” tanyanya lirih.
Laki-laki tadi kini menghadapkan tubuh sepenuhnya kepada perempuan di sampingnya, menyentuhkan punggung tangan ke dahi gadis itu selama sekian detik, memperhatikan dengan saksama. “Tubuhmu panas sekali. Kau sakit dan tetap bekerja? Siapa namamu? Kau tinggal di ma-”
“Hei! Bisakah kau diam? Ocehanmu itu menambah sakit kepalaku,” ketusnya dengan mengernyitkan dahi. Sungguh ia tidak sedang mengejek pria yang telah menolongnya itu. Kepalanya benar-benar sakit dan semakin membuatnya tersiksa.
“Tansy … aku … Tansy. Jalan melati nomor … sembilan,” ucapnya tuntas dengan parau sebelum tubuhnya roboh ke samping, membuat lelaki itu terkesiap dan dengan sigap menggapai tubuh Tansy. Merangkulnya dengan rapat. Ya. Tadi ia mengingat dengan jelas nama dan alamat yang sempat terucap meskipun dengan suara serak. Semoga saja tidak keliru.
***
Tansy. Perempuan berkulit pucat itu mengerjapkan mata. Sakit kepala yang berdentam hebat kemarin sudah sirna dan suhu tubuhnya telah kembali normal. Mata bulatnya itu memindai sekeliling, seolah berusaha mengenali di mana tempatnya berada. Bed cover terpasang rapi di tubuhnya hingga dagu, lalu ada handuk kecil yang menempel di dahinya. Sekeliling ruangan itu berwarna merah muda lembut dengan kosen jendela beserta tirainya bercat putih. Ini ada di rumah kontrakannya. Rumah kontrakannya? Tansy membelalak.
Aroma khas dari ruangan itu menyadarkannya. Perempuan itu buru-buru terduduk dan badannya menegang. Ingatannya memutar kembali ke memori terakhir di mana dirinya sedang duduk di halte bus dan diseret oleh laki-laki yang tidak ia kenal. Astaga. Apakah dirinya sedang bermimpi? Ataukah itu nyata? Tansy kemudian menengok ke tubuhnya di mana ia masih memakai kemeja yang ia kenakan tempo hari. Masih rapi dan menutup rapat, tidak ada sesuatu hal mengerikan apapun yang terjadi. Ia mengembuskan napas lega. Nasib baik, dirinya bertemu dengan orang baik dan benar-benar menolongnya. Tak bisa ia bayangkan bagaimana memalukannya dirinya kemarin saat berada dalam rengkuhan laki-laki yang sama sekali tidak ia tahu. Ah, siapa pemuda itu? Ia belum sempat mengucapkan terima kasih.
***
Lelaki itu mengenakan topi dan duduk di bangku paling pojok, di sudut kafe tempat Tansy bekerja. Mengamati dalam diam sedari tadi, bagaimana cekatannya wanita itu melakukan pekerjaannya. Berjalan ke sana kemari dengan senyum cantiknya kepada pengunjung, membawakan pesanan dalam satu baki besar dan sangat jelas terlihat oleh matanya, bagaimana perempuan itu berkali-kali duduk di ruang pantry berlapis kaca dengan mengibas-ngibaskan tangan dan meletakkan buku catatan kecilnya di atas meja. Dia kelelahan.
Kafe ini berkonsep minimalis dengan gaya elegan. Terdapat dua lantai di gedung kafe tersebut di mana tiap lantainya menyuguhkan suasana ruang yang berbeda, sehingga pengunjung bisa memilih sesuai dengan keinginan mereka. Lantai satu cenderung lebih ramai karena terdapat sudut swafoto di mana pengunjung biasanya memanfaatkan tempat tersebut untuk mengambil gambar.
Nathaniel. Lelaki itu berada di lantai satu, dekat dengan tangga. Sudut paling memungkinkan baginya untuk dapat melihat ke keseluruhan aktivitas dalam ruangan. Mengawasi Tansy. Ia sengaja datang di waktu menjelang kafe itu tutup, agar mendapat kesempatan lagi untuk bertemu dengan si gadis yang ternyata seringkali pulang melewati halte di mana mereka tak sengaja bertemu untuk pertama kali.
Cukup. Lima menit lagi kafe itu tutup. Nathaniel keluar ruang dan melangkahkan kaki santai sembari mengulur waktu.
“Hari ini jatahmu bersih-bersih bukan?” Terdengar gelak tawa perempuan yang terdengar bersamaan, sebelum akhirnya mereka menjangkahkan kaki ke arah berlawanan dengan Nathaniel. Laki-laki itu menegang waspada lalu berusaha bersikap santai dan membiarkan rombongan pegawai kafe itu menjauh. Nathaniel menengok kembali ke arah belakang dan mendapati Tansy tengah menahan kesal dengan lap dan alat pel yang kini ada di tangannya. Lelaki dengan pakaian serba cokelat itu menatap secara sembunyi-sembunyi dengan raut muka masam. Beginikah yang terjadi?
***
Hari-hari berlalu dengan monoton. Pagi berangkat bekerja, menjalani segala keruwetan sebagai pegawai kafe dan pulang pada petang harinya. Namun, ada satu hal berbeda di mana Nathaniel selalu membersamai Tansy di halte bus. Lelaki itu entah sengaja maupun tidak, selalu terduduk di bangku halte ketika Tansy datang. Seolah menunggunya.
Keakraban yang tercipta semakin dalam. Dan Tansy senang sebab merasa mempunyai teman untuk sekadar berbincang dan tertawa melepas penat. Tersenyum lebar seakan tak mempunyai beban. Walau dalam ekspresi cerah gadis itu, Nathaniel tahu, Tansy adalah gadis sederhana, penyendiri dan repih, tetapi selalu ingin terlihat tegar dan kuat.
“Kau terlihat lelah sekali.” Nathaniel berkata dengan tatapan mata tak terbaca.
“Aku tidak lelah, Nathan. Aku hanya terus bersemangat!” ujarnya sembari meringis, mengepalkan tangan penuh antusias. “Aku ingin membuktikan pada bos kafe yang sombong, angkuh, dan tak pernah menampakkan diri itu bahwa aku layak bekerja di kafenya.” Tansy berkata dengan menggebu-gebu. Lelaki itu tersenyum. Senyum penuh kasih yang tak sempat perempuan itu perhatikan.
***
Perempuan itu melangkah pasti menuju pintu rumahnya. Hari ini dirinya pulang dengan bus terakhir lagi. Perilaku semena-mena para pegawai yang selalu memintanya untuk membersihkan seisi kafe seorang diri membuatnya lelah, lunglai dan patah. Lagi dan lagi. Hal itu masih ditambah dengan para penghuni rumah di sekitar tempat tinggalnya yang semakin tak acuh dengan dirinya karena selalu pulang menjelang malam. Seorang perempuan lajang pulang petang. Tuntas sudah menjadi cibiran. Nathaniel hanya ia izinkan mengantar sampai gerbang gang. Tidak mau menambah lagi persoalan.
Perempuan dengan rok selutut dan kaus longgar itu membuka kenop pintu perlahan, lalu tiba-tiba tersentak membukanya keras-keras. Bebauan beraroma khas dari arah dapur membuatnya tekejut. Ketika belum sempat ia menafsirkan dalam satu kalimat saja tentang apa yang sedang terjadi, suara ledakan bersamaan dengan kobaran api yang tiba-tiba menyembur ke arahnya itu membuat Tansy terpental ke belakang. Seluruh tubuhnya perih dan kedua matanya sakit. Dalam kondisi setengah sadar ketika seseorang mencoba mengangkat tubuhnya dan menjauhkannya dari area rumah, Tansy sempat melihat amukan si jago merah melalap habis rumah kontrakannya. Rumahnya terbakar. Gadis itu meronta dan ingin menjerit, tetapi yang keluar dari mulutnya hanyalah erangan kecil yang mengantarnya ke dalam gelap. Gelap yang pekat karena tubuhnya tak mampu lagi menahan rasa sakit.
***
Suasana serba putih tampak dalam sejauh mata memandang. Namun bagi Tansy, yang terlihat dalam matanya hanyalah bayangan kabur yang tak bisa ia jelaskan. Tubuhnya sedikit demi sedikit telah menunjukkan kesembuhan. Tidak ada lagi sensasi panas mengerikan yang seolah membakar tubuh.
“Tansy.” Nathan menggenggam jemari pujaan hatinya itu dengan gemetar.
Tansy yang sudah sangat mengenali nada suara itu hanya menggerakkan kepala pelan, tak berniat untuk menoleh. Hatinya terasa perih, seakan segala kesakitan memanglah diciptakan untuk mendampingi hidupnya. Tanpa bisa menahan, buliran bening mulai muncul ke permukaan, membuat mata indahnya berkaca-kaca. Namun, ia tetap berusaha untuk tersenyum.
“Jangan berpura-pura lagi,” ujar sang lelaki dengan parau membuat senyum hangat yang hampir tertampil di wajah perempuan itu membeku. “Kau tak perlu berpura-pura. Kau bebas menjadi dirimu sendiri selama bersamaku,” sambungnya lagi penuh arti.
“Nathan ….” Hati Tansy mengembang oleh nuansa hangat yang mengguyur jiwanya dengan rasa bahagia. Sebelah tangannya terangkat dan ia bisa merasakan bagaimana bibir laki-laki itu mengecup jemarinya.
“Hiduplah bersamaku Tansy, menikahlah denganku dan kau akan aman,” ucapnya penuh kesungguhan.
Perempuan itu menoleh, tetapi dengan pandangan acak karena netranya yang kabur. Sedetik kemudian Tansy terkekeh kecil dengan penuh kesedihan. “Apa yang kau harapkan dari wanita yatim piatu sepertiku? Yang ada, hidupmu yang bahagia itu akan menjadi sengsara,” lirihnya.
“Apa yang kuharapkan darimu?” Nathaniel membeo, kemudian berdeham. “Aku ingin memiliki dirimu yang luar biasa itu. Aku ingin dicintai juga dengan ketulusanmu yang begitu meluap untuk orang-orang di sekitarmu. Dan aku, aku akan memberikan segala cinta dan apa saja yang kupunya untuk mencukupi kebahagiaanmu. Kau tahu? Aku bisa melakukan apa saja. Termasuk memecat para pegawai kafe yang menjijikkan itu.” Lelaki dengan rambut hitam legam itu memajukan tubuhnya. Memastikan bahwa Tansy sedang terperangah dan pasti mempertanyakan maksud kalimat terakhirnya.
“Ya Tansy. Akulah Nathaniel Wilson. Pemilik kafe yang kau bilang angkuh dan sombong itu,” ucapnya dengan nada pongah sambil mengulum senyum.
Gadis itu semakin membeliak dengan pipi memerah malu. Astaga. Benarkah itu semua?
“Lalu, kenapa kau baru mengatasi mereka sekarang? Apa kau diam-diam tertawa di atas penderitaanku?” tanyanya dengan nada ironi.
“Aku telah memecat mereka satu-persatu. Dan … aku hanya sedang memastikan bahwa aku tidak sedang salah memilih wanita untuk hidupku.” Nathan berkata sembari merogoh saku mantelnya.
Sesuatu yang dingin, kecil, dan terasa pas itu kemudian mengisi jari manis Tansy.
Perempuan itu terkesiap dan tak bisa menghentikan lagi isakan yang meledak dari hatinya. Tansy menangis. Menangis dalam bahagia. Seakan Tuhan sedang mengangkatnya tinggi-tinggi ke arah suka cita tiada tara yang tidak sempat terlintas dalam benaknya.
“Jadi Tansy, maukah kau menikah denganku? tawar Nathaniel sekali lagi.
Tanpa ragu, Tansy menganggukkan kepala dan menjawab yakin. “Ya Nathaniel, aku mau.”
TAMAT
❤❤❤
👍👍next kak bintang
Iyah.. tunggu purnama bersinar kembali, wkwkwk
Nyari wangsit dulu
Woah Akankah Semedi..di dalam Goa dulu kak 😂😂
Uhuk ehem
Sukses selalu Ka bintang 💜💜😊😊
Goanya masih tutup, ada corona
Aamiin..aamiin.. makasih, sukses juga untuk Emie
Tetap semangat kak bintang sukses selalu
Matur thank you
Mauuuuuuu, ehh kenapa aq yg jawab hehe
Sweet kli cerita Ka Bin nih
Suka deh 🥰
Aku pun
Mau juga
souuu sweettttttt