“Semoga akhir pekanmu menyenangkan,”
Anna tersentak dan langsung berbalik ketika mendengar suara berat di dekatnya. Diturunkan kembali tudung jubah yang sudah ia kenakan sebelum menatap sang lawan bicara.
“Apa yang kau inginkan, Javias?” Ujar Anna malas. Ia benar-benar ingin pergi dari tempat ini secepatnya.
Javias menatap intens tepat di iris madu Anna, walaupun ia tahu itu sama sekali tidak mempengaruhi Anna. Gadis itu terlalu kuat untuk dapat dihancurkan dengan tatapan.
“Sebuah jawaban.” Lugas si laki-laki.
Lirih tawa terlepas dari mulut Anna saat menyadari maksud dari perkataan Javias. “Kau sungguh jatuh cinta padaku, ya?”
Tak ayal Javias mendengus dan dengan menohok berkata, “kau harus berhenti menyanjung dirimu sendiri, Anna.”
“Ouch,” Anna mengaduh, seakan kalimat dari Javias membuatnya tersinggung.
“Baiklah, tidak ada yang memaksamu untuk menjawabnya.” Javias berujar seraya membalikkan tubuh untuk keluar dari barak. “Ah, omong-omong, aku masih tidak menyukai si bocah Solas. Kau bisa katakan pada sahabatmu itu agar berhenti menguntit Zee sebelum kuperintahkan penjaga untuk menangkapnya.” Lanjutnya.
Anna mendecih. “Kau tidak punya hak untuk ikut campur dalam kisah cinta adikmu, Javias. Ayahmu bahkan tidak mengusiknya.”
“Hanya berusaha menjadi seorang kakak yang baik.” Sahut Javias cepat dan melangkah keluar.
“Javias,”
Laki-laki itu berhenti dan melirik Anna lewat bahunya. Anna menghela napas sebelum mengutarakan apa yang sejak dulu ada di pikirannya.
“Kau kakak yang baik,” ujar Anna. “Aku menyayangimu karena itu. Dan sebagai adik selayaknya Zee, aku berharap kau mendapatkan teman hidup yang benar-benar kau inginkan. Bukan aku.” Lanjutnya pelan.
Keduanya terdiam setelah Anna berhenti bicara. Tubuh Javias terlihat kaku, kemudian ia berkata sambil lalu, “kau akan terkejut jika tahu siapa yang aku inginkan.”
•••
Kabut belum sepenuhnya menghilang ketika Anna tiba di pondoknya. Tempat tinggalnya itu terlihat gelap, dan Anna mengernyit merasakan kejanggalan. Langit masih terhitung gelap, dan seharusnya lilin-lilin itu masih menyala.
Anna berderap dengan langkah cepat dan berusaha untuk tidak mengeluarkan bunyi, tangannya sudah berada di atas belatinya yang masih tersembunyi di dalam tempatnya.
Sesampainya di beranda, Anna melangkah dengan perlahan agar ketukan sepatu dan lantai kayu di bawahnya tidak menciptakan kegaduhan.
Tanpa banyak pertimbangan, Anna menggenggam gagang belatinya kemudian membuka pintu. Terkejut mendengar pergerakan yang sangat dekat dari posisinya, Anna spontan menarik belatinya dan bersiap untuk menyerang siapa pun sosok yang dicurigainya.
Belum sempat belati itu menembus sesuatu, tangannya yang menggenggam belati seketika ditangkap, kemudian tubuhnya berputar mengikuti tangannya yang dipaksa diletakkan di perutnya, bersamaan dengan suara penuh keterkejutan yang menyebut namanya.
“Annalise!”
Anna menghela napas dan kemudian memejamkan mata. Ia belum sembuh total, tubuhnya masih lemah. Dan kini jelas sekali ia sangat mudah untuk dilumpuhkan. Tetapi mendengar pekikan itu, ada sedikit kelegaan. Itu artinya Anna tidak harus menghabisi siapa pun sepagi ini.
Beberapa saat berlalu posisi keduanya masih seperti itu. Tangan besar yang menahan tangan Anna masih setia di depan perut. Secara teknis, Eric seperti tengah memeluknya dari belakang. Hingga kemudian Anna mendengar napas laki-laki itu mulai tenang. Mungkin Eric sudah mulai merasa tenang karena tidak jadi diserang.
Dan hal itu membuat Anna melakukan hal yang mustahil sekali perempuan itu lakukan ketika tubuhnya sehat dan berada dalam pikiran yang jernih. Ia melonggarkan pegangan pada belatinya dan tanpa sadar menyandarkan kepalanya ke dada bidang sosok di belakangnya. Astaga, rasanya nyaman sekali.
Detak jantung yang tak beraturan, napas hangat di pucuk kepalanya, dan genggaman erat disekitar pergelangan tangannya entah menjadi reaksi baik atau buruk dari tindakan Anna tersebut.
“Annalise, apakah kau sakit?” Eric berucap rendah di telinganya.
Seakan baru tersadar, Anna segera melepaskan diri dari dekapan Eric dan bergerak menjauh beberapa langkah. Setelah mengembalikan belatinya, Anna mengarahkan matanya menatap sekeliling pondoknya.
“Kenapa gelap sekali? Apa kau tidak dapat menemukan lilin-lilin itu lagi?” Anna yang sedang tak fokus justru bertanya kembali.
Eric menghela napas sebelum menjawab, “kau lupa mengisi kembali persedian lilinmu sebelum kau pergi. Dan aku tak bisa menemukan jalan keluar dari hutan ini untuk mencarinya.”
Anna hanya mengerutkan alis kemudian mengangguk bodoh tanpa membalas jawaban dari laki-laki di depannya. Keduanya berdiri canggung tanpa mengucapkan sepatah kata. Sedangkan pikiran keduanya berkecamuk atas peristiwa sebelumnya.
“Baiklah, kurasa aku akan pergi ke desa nanti siang untuk mendapatkan lilin-lilin itu.” Ucap Anna pada akhirnya.
“Akan aku temani,” sahut Eric.
Anna memandang Eric penuh pertanyaan meski ia yakin laki-laki itu tidak bisa melihat ekspresinya saat ini. Kemudian ia hanya mengangguk mengiyakan.
Baru saja ia ingin meninggalkan Eric, tiba-tiba saja sebuah telapak tangan menghampiri keningnya yang serta-merta Anna tepis seketika.
“Apa yang kau lakukan?”
“Kau demam.” Lugas Eric. Kali ini ia sepenuhnya yakin tanpa perlu bertanya.
Anna mendelik sebelum menjawab dengan lalu, “aku baik-baik saja,”
“Kau berjanji tidak akan berbohong padaku.”
“Aku tidak ingat pernah berkata seperti itu.” Jawab Anna tanpa minat. “Aku ingin tidur, kau pergilah kemana pun kau mau.”
Anna beranjak ke arah ranjang dan duduk di pinggirnya seraya melepas jubah dan sepatunya. Matanya melirik pada lilin kecil di atas meja ketika ia meletakkan sabuk belatinya di sana.
Beberapa detik setelahnya, ia sedikit tersentak ketika merasakan dingin di telapak tangannya. Dan sontak menoleh, melihat sosok laki-laki yang selama ini cukup menyulitkannya berlutut dengan satu kakinya di hadapan Anna sambil membasuhkan kain basah. Sejak kapan Eric menyiapkan semua itu?
“Sebenarnya kau sedang apa?” Tanya Anna penuh keheranan sambil berusaha menarik tangannya dari genggaman Eric.
“Tenanglah, aku bukan sedang berusaha untuk menyetubuhimu,” Ujar Eric sambil terus mengusap telapak tangan Anna dengan kain basah.
Anna membelalak, kemudian dengan tegas ia menghentakkan tangannya.
“Kenapa? Aku pikir itu salah satu leluconmu.” Api dari lilin kecil di atas meja terlihat membayang di mata biru Eric ketika laki-laki itu mendongak menatap Anna.
Anna mengatupkan rahang mendengar ucapan penuh sindiran tersebut. “Sangat lucu,” desisnya.
Tanpa perdebatan lebih lanjut, Anna membiarkan Eric untuk melanjutkan kegiatannya. Kulitnya yang besentuhan dengan kulit lelaki pucat itu terasa panas, sama seperti sebelum-sebelumnya. Pikir Anna menjawab, mungkin karena demam.
“Bahumu,” gumam Anna.
Eric kembali mendongak. “Jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku tidak tahu obat apa yang kau berikan padaku, tapi itu jelas sangat membantu.”
Anna mendecih dan menarik tangannya dari genggaman Eric. “Jelas sekali kau tidak setengah bisu.”
“Jelas sekali demam tidak mengehentikan mulut kasarmu itu.” Sahut Eric.
Anna melirik sadis. “Maaf?”
“Percayalah, tidak akan ada pria yang mau mencium bibir pedasmu itu jika kau terus mengeluarkan kata-kata yang menyinggung ego mereka.”
“Oh, maafkan aku, apa aku baru saja menyinggungmu?” Tanya Anna meremehkan.
“Aku tidak bisa dijadikan contoh.” Jawab Eric diplomatis.
“Ah, aku baru ingat. Kau bukan pria,” Anna tersenyum manis penuh ejekan. “Kau anak laki-laki.”
Eric menatap tajam Anna. “Tidak. Itu karena aku tetap akan menciummu, bahkan saat kau mengucapkan sumpah serapah sekali pun.”
Ia bersumpah merasakan jantungnya berhenti berdetak sepersekian detik ketika Eric mengucapkan itu. Senyuman penuh ejekan Anna hilang tergantikan dengan wajah datarnya dalam usaha mengatur kekacauan dalam hatinya.
“Bedebah,” sahut Anna spontan.
Eric menyeringai. “Kau benar-benar ingin membuktikannya, ya?”
“Coba saja.” Tantang Anna pada akhirnya. Ia tidak akan kalah dengan lelucon seperti ini.
Penerangan dari lilin kecil itu benar-benar tidak membantu. Iris Eric terlihat lebih gelap dan penuh rahasia. Anna terjebak dalam mata itu hingga napas hangat Eric yang menerpa wajahnya pun tak ia sadari. Anna berkedip ketika hidung mereka hampir bersentuhan.
“Kau tidak lupa aku punya senjata, bukan?” Bisik Anna.
Eric tersenyum lebar saat merasakan sentuhan benda tajam di pinggangnya. Ia memang bermain dengan orang yang salah. Matanya melirik turun pada bibir Anna sebelum kembali menatap manik madu perempuan di hadapannya.
“Kau memang selalu berburuk sangka padaku,” Eric menjawab geli dan kemudian bangkit dari posisinya. Jubah Anna sudah ada dalam genggaman tangannya.
Dan hal itu pun tak lepas dari perhatian Anna. Ia terkekeh dan meletakkan kembali belatinya ke atas meja. Bocah itu sukses menjahilinya.
“Kalau tidak keberatan, aku butuh istirahat. Terima kasih.” Ujar Anna berusaha mengakhiri interaksi mereka.
“Aku akan di luar kalau begitu.” Ucap Eric sambil menggantung jubah Anna di pintu.
“Ya, pergilah ke hutan. Kumohon, tersesatlah.” Sahut Anna malas.
“Kau tau, aku sedikit serius dengan ucapanku sebelumnya.”
Anna bersandar pada kepala ranjang dan meluruskan kakinya. “Bagian yang mana?”
“Kau tahu maksudku.”
Jawaban Eric membuat Anna memandang kesal pada pintu yang sudah tertutup, melenyapkan Eric dan bayangannya yang melangkah keluar. Ia mendekatkan kepalanya pada lilin kecil di atas meja. Sedikit berpikir sebelum akhirnya memadamkannya.
Demi Halstead, apa ia baru saja saling menggoda dengan Eric si lintah utara itu?
•••
Tanpa ragu, langkah itu terus berderap di atas lantai marmer yang berkilap. Sisa-sisa musim panas bahkan tidak cukup menghilangkan dinginnya lantai tersebut. Ia sedikit menunduk, mengungkapkan salam tanpa ucapan kepada penjaga pintu ganda besar di depannya.
Pintu besar itu terbuka, menampilkan ruang singgasana megah dengan jendela-jendela besar. Singgasana Fajar. Tepat 10 tahun yang lalu ia berlutut di depan singgasana tersebut, memohon untuk nyawa seseorang yang ia kasihi.
Dan kini, ia kembali berlutut untuk memohon hal yang sama.
“Valos, sudah lama sekali rasanya.” Ucap sosok yang duduk di singgasana tersebut.
Valos bangkit dari posisi berlututnya dan berdiri dengan sikap sempurna sebelum menghadapkan wajahnya pada sang pemilik kerajaan.
“Yang Mulia,” sapa Valos.
Dwyrain Gundogar terkekeh di singgasananya. “Berhentilah bersikap canggung, Kawan. Itu membuatmu terlihat semakin tua.”
Valos tak tahan untuk tidak tertawa. Ia berjalan mendekat ke arah singgasana bersamaan dengan sang Raja yang berjalan ke arahnya. Mereka berpelukan, saling menepuk penuh kerinduan yang sarat akan persaudaraan.
“Tubuhmu masih bugar sekali, apa kau tidak berniat mati dan menyerahkan takhta untuk putramu?” Ejek Valos.
“Ia masih belum siap untuk takhta, jadi aku harus sehat dan tetap hidup untuk menjaganya.” Balas Dwyrain frustrasi.
Mereka tertawa menanggapi lelucon itu.
“Pilihkan ia wanita yang tepat, dengan itu ia akan siap menerima takhta.” Balas Valos.
Dwyrain menghela napas. “Ia semakin menolak ketika mengetahui Javias membatalkan pernikahannya.”
Valos meringis.
“Bagaimana keadaan gadis itu?” Tanya Dwyrain pada akhirnya.
Valos tersenyum ketika wajah itu melintas dalam pikirannya. “Dia baik-baik saja, Josiah merawatnya dengan baik.”
Dwyrain ikut tersenyum mendengarnya. “Syukurlah, itu artinya Austur tidak perlu menyeretnya kembali dan menyekapnya di istana ini.”
Mereka berdua berjalan ke salah satu jendela besar. Melihat pegunungan-pegunungan tinggi yang puncaknya diselimuti salju jauh di sana. Pemandangan kerajaan Arevell memang tidak ada tandingannya. Namun, perlu usaha yang besar bagi para pendatang luar untuk menghampiri kerajaan timur ini.
“Kau tidak mungkin melakukan perjalanan jauh kemari hanya untuk bertukar sapa denganku, bukan?” Dwyrain yang pertama kali membuka suara setelah lama mereka terdiam menikmati pemandangan.
“Sejujurnya, perjalanan kemari tidak terlalu jauh.” Valos mengedikkan bahu, ada sedikit kesombongan dalam suaranya.
“Kau dan keahlian berpetualangmu itu,” Dwyrain menggeleng dan menyeringai geli.
“Titik balik musim dingin, aku ingin kau menyiapkan semuanya tepat pada hari itu.” Ungkap Valos pada akhirnya.
Dwyrain menyipitkan mata, pandangannya menerawang, memperlihatkan kerutan di sudut-sudut matanya. “Kau sebegitu yakinnya hanya karena undangan Purvation sudah disebarkan?” Gumam Dwyrain.
“Purvation adalah langkah awal, Dwyrain. Dienvidos sudah mempersiapkan untuk ini.” Balas Valos.
“Valos, hal ini bahkan jauh lebih besar dari Arevell atau Dienvidos sendiri. Apakah kau sungguh-sungguh memohon padaku untuk menyelamatkan dirinya?”
Valos menghela napas panjang. Kembali memandang pengunungan yang membentang di depan sana. Melihat matahari menyorot kilauan hamparan salju di puncaknya. Dan itu membuat Valos menyadari ironi yang menamparnya. Sekali lagi, di musim dingin. Halstead akan mengapung di lautan darah.
“Aku memohon padamu, untuk membantunya menyelamatkan Halstead.”
•••
Tidak ada yang lebih menyegarkan selain menenggelamkan kepala ke dalam air. Anna mengeluarkan kepalanya dari air dan menarik napas panjang. Tubuhnya yang sebelumnya sekaku batang pohon kini terasa ringan. Demam sialan. Lintah utara sialan.
Anna sontak menggelengkan kepala, mengenyahkan bayangan Eric dari kepalanya sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari air. Meskipun baru memasuki musim gugur, air sungai mulai terasa dingin. Ia tidak akan membayangkan hawa air sungai itu pada musim dingin.
Hal itu membuat Anna yang sedang mengikat kemejanya menjadi terhenti. Musim dingin tahun ini akan ia lewati di utara. Entah akan bagaimana perbedaannya.
Setibanya di pondok, Anna seperti tercekik rambut panjangnya sendiri ketika melihat pemandangan yang selama ini berusaha ia hindari.
Eric dan Rei berdiri berhadapan di depan pondoknya.
Demi Halstead, apa yang harus Anna katakan?
“Rei?” Entah kenapa hanya itu yang bisa Anna keluarkan dari mulutnya.
Kedua laki-laki itu menoleh padanya dengan ekspresi penuh tuntutan yang sama. Dengan sedikit ragu, Anna menghampiri Rei.
“Aku tak tahu kau datang untuk singgah,” ujar Anna.
Rei menarik tangan Anna untuk ia genggam ketika Anna tiba di sampingnya. Dan hal itu pun tak lepas dari pandangan Eric.
“Aku berpikir untuk berburu dan berpesta denganmu sebelum—kau tahu,” Rei mengedikkan bahu, menggantungkan kalimatnya. Memberikan pesan tersirat yang hanya diketahui oleh keduanya.
Anna yang sebelumnya heran menatap genggaman Rei di tangannya, kini mendelik kesal pada si bocah Solas. Kenapa ia senang sekali mengungkit-ungkit tentang hukuman Anna? Sahabat macam apa dia?
“Kau sudah mendapatkan buruanmu?” Tanya Anna.
“Tentu saja, aku akan menjualnya sebagian pada Lozard. Menukarnya dengan menu pesta kita.” Jawab Rei dengan senyum bodohnya. Sial, Rei berniat mengajaknya untuk mabuk-mabukan.
Dehaman seseorang membuat percakapan keduanya terhenti. Anna sedikit membatu melihat Eric. Laki-laki itu terlihat berbeda di siang hari. Eric di siang hari adalah jelmaan batu intan. Kulit pucatnya berkilauan, dan kemeja tipis yang digunakannya tidak mampu menutupi betapa liatnya tubuhnya. Rambut hitamnya terlihat cocok sekali di kulitnya yang terlampau putih.
Anna benar-benar terlihat seperti kotoran jika berdiri berdampingan di bawah matahari bersamanya.
Genggaman di tangannya mengerat, menyadarkan Anna dan kembali menoleh melihat Rei.
“Ini Rei, dan Rei, ini lintah—maksudku, Eric.” Anna tidak tahu apa yang baru saja ia ucapkan.
“Aku tidak tahu kau punya teman selain diriku,” gumam Rei di telinga Anna.
“Akan kujelaskan nanti.” Bisik Anna.
Melihat Eric yang tidak menunjukkan reaksi yang berarti, Anna mendorong Rei menjauh dan melepaskan genggamannya. “Kau pergilah ke tempat Lozard, aku akan ke desa bersama Eric untuk mengisi persediaan pondok. Kembalilah saat gelap.”
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Rei berbalik pergi setelah melemparkan tatapan tajam pada Eric yang dibalas dengan tatapan yang sama dari pemuda utara tersebut.
Anna menghela napas. Mengapa ia bertingkah seperti perempun yang ketahuan bermain api di belakang kekasihnya? Tampaknya ia memang belum sembuh sepenuhnya. Demam sialan.
“Kau harus memakai pakaian lain sebelum pergi, kupikir aku memiliki beberapa yang cocok untukmu.” Ujar Anna sambil melangkah melewati Eric.
Pemuda itu beranjak mengikuti langkah Anna dan berjalan di sampingnya. “Dia kekasihmu?”
“Siapa? Rei?” Anna menghentikan langkahnya dan menghadap Eric. “Semesta pasti bercanda,” lanjutnya sambil terkekeh geli.
Eric yang ikut berhenti dan menatap Anna hanya mengedikkan bahu mendengar jawaban Anna. “Baguslah kalau begitu,”
Apa?
Anna mengernyit kemudian menatap punggung Eric yang melangkah jauh setelah mengucapkan itu. Sepertinya ada yang salah dari mereka. Anna menyesal memaksakan pulang di saat kondisinya seperti ini. Harusnya ia menuruti perkataan Rei kemarin. Benar-benar demam sialan.
—
©️MERITOCRACY, 2020
Bandung dulu
Baru Jakarta
senyum dulu
baru dibaca
Akhirnya dilanjut juga
Kyaaaa, udah ada benih-benih cinta nih si Erikkk. Lanjut kakkk, saya suka-saya sukaaa :iloveyou :iloveyou :iloveyou
klo si eric ini putra mahkota voreia ..si sweet
Sepertinya Eric cemburu
:iloveyou
Kakkk, ini kapan lanjut???
Kakkk, kangen Annaaa 😭😭😭:berkacakaca
Oke,ini sangat keren
Kangen eric & anna thor, semangat yaa nulis ceritanya ❤
lanjoootttt kakkak
Keren banget ka ceritanya ❤️
I’m still waiting..
Kangennnn
Kangen lagiiiiiiii
Kangen lagiiiiiiiiiiiii
Masih menunggu :(
Uwuuuuu
Kakkk, ini ngga dilanjutin lagi kah ceritanya? 😭😭😭
Aku suka banget lho padahal sama cerita kakak, alurnya ngga gampang ketebak, detailnya juga tergambarkan dengan baik, pokoknya kayak cerita author2 profesional lah, keren banget intinya 😭😭😭
Atau mungkin kakak sering update cerita di media/aplikasi lainnya gitu? Seperti watt*ad, novelt*on, dllnya gitu kak? Kalo iya, aku boleh tau nama akunnya ngga kak? Beneran ngefans aku sama ceritanya kakak 😭😭😭
Kalo ngga ada akun lain, boleh minta tolong updatenya jangan lama2 ngga kak? Aku ngga kuat kalo harus nahan kangen baca ceritanya Kak Billa 👉👈😭🙏
aku sudah nyari di platform lain..gak nemu cerita ini …padahal pengen bgt liat partnya lebih banyak
Apik
Aku suka