Malam meleburkan Anna bersama jubah gelapnya yang menyaru dalam kegelapan. Langkahnya cepat dan tegas, dan sesekali kepalanya menunduk menyembunyikan wajahnya—walaupun sebetulnya tidak perlu, mengingat tidak ada penduduk desa yang keluar di tengah malam hari. Ia sedikit bersyukur hari ini tidak hujan, suhu malam ini jadi tidak terlalu menusuk tulang, dan sepatunya pun terhindar dari lumpur.
“Greshwalt!” Pekik Anna dalam bisiknya. Senyumnya melebar ketika menemukan seseorang yang dicarinya.
Seseorang yang dipanggil Greshwalt itu menoleh, memberikan atensi yang sebelumnya mengikat kereta barangnya ke kuda kini beralih ke arah gadis berkenakan jubah gelap yang ukurannya hampir menenggelamkan gadis itu.
Anna berlari kecil dan menghampiri orang tua itu. “Syukurlah aku datang tepat waktu,” Ujarnya riang.
Greshwalt terkekeh. “Lama tak berjumpa, Lady.”
Gadis itu merengut sebagai aksi yang menunjukkan ketidaksukannya dengan panggilan itu.
Greshwalt adalah salah satu penduduk Empuma yang mengetahui identitas Anna. Orang tua itu seorang pemasok pasar induk di ibu kota, dalam seminggu ia akan pulang-pergi dari desa ke ibu kota selama dua kali. Ia salah satu orang yang Anna sewa jasanya. Jasa mengantar untuk ke ibu kota jika Anna sedang malas berkuda.
“Siap kembali ke ibu kota?” Goda Greshwalt. Tangan yang hampir dipenuhi keriput itu terlihat sangat cekatan mengikatkan kereta barangnya ke kuda.
“Yah, aku pikir mendapat hukuman lebih baik dari pada hidup miskin di jalanan.” Anna menghela napas panjang.
Greshwalt tertawa pelan sambil menggelengkan kepala. “Kau tahu bahwa kau tetap tidak akan hidup miskin di jalanan sekalipun kau terus kabur, bukan?” Ia menoleh dan berbisik pada Anna. “Kau terlalu pintar untuk itu.”
“Sok tahu, aku tidak sepintar itu, Old Man. Aku penasaran dari mana kau dan Valos mendapatkan sifat itu? Kalian jelas tidak ada kaitan keluarga.”
“Ya, tapi kami jelas berkaitan dengan dirimu. Sudah terjawabkah rasa penasaranmu itu?”
Anna mengedikkan bahu santai. “Lumayan,”
“Aku akan memanggil Dervo keluar, kau yakin tidak butuh pakaian yang lebih hangat?”
“Tidak, aku baik-baik saja.” Anna mengerutkan hidung sambil merapatkan jubahnya.
Gadis itu berbalik dan menatap kuda jantan kesayangan Greshwalt. Ketika menatap mata kuda itu, entah mengapa kenangan tentang tatap-menatap tidak mengenakan sore hari tadi kembali menghantamnya.
Anna dapat merasakan sinar matahari menyorot ke wajahnya lewat kaca jendela. Bukan tanpa alasan ia mengatur dengan posisi tertentu barang-barang di pondoknya. Salah satu contohnya ranjang yang letaknya berhadapan langasung dengan jendela, mau bagaimana pun posisi tidurnya, ketika sore tiba cahaya matahari akan menyorot lewat kaca jendela yang tirai penutupnya dibiarkan terbuka.
Bulu matanya mengerjap dan matanya membuka perlahan sembari menyesuaikan cahaya sore yang tertangkap retinanya. Ia benar-benar tidur seharian tanpa terganggu—atau mungkin Anna memang benar-benar kelelahan hingga tidak merasakan apa-apa saat tidur. Ia mengerang saat meregangkan tubuhnya, merasakan nikmat pada tubuhnya yang sudah teristirahatkan dengan baik dan—
“Sial!” Pekik Anna. “Apa yang kau lakukan?”
Anna sangat berharap yang kini beradu tatap dengannya adalah Rei Solas. Tetapi justru tuan bangsawan tampan setengah bisu yang tiba-tiba berubah menjadi cerewet dan menyebalkan—Anna yakin sekali selamat dari kematian bisa merubah seseorang, yang duduk di tepi ranjang sambil menatap Anna. Tidak ada ekspresi yang berarti selain datar, ia bahkan terlihat tidak ada niatan menjawab Anna.
“Berhentilah melakukan itu!” Desis Anna.
“Melakukan apa?”
Anna melotot. “Menatapku seakan-akan aku adalah seseorang yang bisa menyembuhkan tanganmu dan mengirimmu pulang secara ajaib.”
“Kau memang menyembuhkan tanganku.” Ujar Eric tanpa melepaskan tatapannya pada Anna.
Sial, pemuda itu benar-benar ingin menenggelamkan Anna ke dalam lautan biru di matanya.
Helaan napas kasar keluar dari mulut Anna. “Sejak kapan kau ada di situ?” Anna boleh saja mencerca Eric, tetapi ia sama sekali belum bangkit dari posisi berbaringnya. Sebab ia takut. Takut tidak mampu mengontrol emosinya yang meluap-luap karena bangun tidur dan membuat luka Eric makin parah yang pada akhirnya menjadikan laki-laki itu tinggal lebih lama. Itu sama saja menciptakan neraka baru namanya.
“Beberapa jam mungkin,”
Anna memberikan ekspresi seakan-seakan ia mendengar hal tergila yang belum pernah terjadi di dunia ini.
Eric masih menatapnya lurus dan tanpa perasaan bersalah berkata, “Kenapa? Mereka bilang itu romantis,”
“Itu menyeramkan!” Anna menyerah. Ingin sekali rasanya mendorong Eric hingga terjungkal. Tapi sepertinya ada hal lain yang perlu dilakukan.
Ditatap berjam-jam ketika tidur? Anna bahkan tidak pernah membayangkannya. Dan apa pula maksudnya itu? Tingkah menatapnya disebut romantis?
Demi ribuan ladang gandum Dienvidos, lempar saja Anna ke tebing.
“Kau tahu? Aku berubah pikiran. Apakah kasar jika aku mengusirmu pergi—”
“Itu sangat kasar.” Sela Eric.
“Terserah!” Geram Anna. Ia turun dengan cepat dari ranjang dan menggulung rambut panjangnya sambil menyumpah serapah. “Dasar lintah darat utara!”
Anna ingat ia sedikit memberi ancaman pada pemuda itu kalau-kalau ia mengikuti Anna ke sungai. Dalam hati ia bertanya apakah sebaiknya ia berlama-lama di ibu kota dan membiarkan laki-laki itu membusuk di pondoknya?
Ingatan itu buyar ketika Anna menyadari kedatangan Greshwalt bersama satu orang lainnya. Pemuda tampan bernama Dervo Greshwalt, alias si bungsu keluarga Greshwalt. Tidak hanya sekali Anna membandingkan wajah si tua Greshwalt dan si bungsu. Jelas ketampanan itu bukan berasal dari si tua Greshwalt.
“Berhentilah memelototi putraku,” Tegur Greshwalt pelan.
“Maaf, sudah kebiasaan.” Anna meringis.
“Kukira kau kabur untuk memperbaiki kebiasaan itu, Anne.” Sahut Dervo.
Alis Anna sontak terangkat. “Oh, halo, D. Aku baik-baik saja, terima kasih sudah tidak bertanya.”
Kedua Greshwalt itu tertawa. “Tajam seperti biasa. Kuperhatikan kau masih terlihat seperti… kau,” Ujar Dervo dengan tatapan mengejek ke arah Anna.
Anna mendengus. “Kau harus melihatku di siang hari, kawan.”
Kini alis Dervo yang terangkat. “Aku tebak itu hal yang bagus, bukan?”
“Kurasa kini aku bisa menjadi penduduk resmi Entshona.”
“Ya, kurasa kau cocok di sana.” Sahut Greshwalt.
Anna memutar kedua matanya. “Sudah cukup basa-basinya. Ayo berangkat, aku mempunyai ajal yang harus segera dijemput di ibu kota.”
•••
Tidak ada warna yang berbeda baik di kota ataupun di desa kerajaan Dienvidos. Ya, hanya saja, ibu kota lebih mewah dengan pernak-pernik yang menyilaukan. Walau begitu, Dienvidos tetap menjunjung kesederhanaan, warna utama mereka menyesuaikan julukan kerajaan. Negeri Agraris. Hijau, cokelat, dan warna padi yang menguning. Cerah sekaligus menyejukkan mata.
Untuk ukuran seseorang yang sudah hampir menjelajahi separuh Halstead—anggap saja begitu, karena Anna selalu berkelana baik bersama Rei atau sendiri, Anna bisa mengatakan bahwa terdapat perbedaan mencolok di tiap wilayah, dan Dienvidos menjadi kerajaan paling sederhana baik dari penampilan ataupun kebiasaan.
Tempat yang menjunjung tinggi perdamaian. Semua berusaha untuk menganggap setara, semua berusaha untuk saling mendengarkan. Sebuah demokrasi yang anehnya berjalan di tengah hukum monarki.
Anna dengan bangga menyatakan bahwa tidak ada perbudakan di Dienvidos. Rakyat rendahan dipekerjakan dengan upah yang sesuai dengan pengabdiannya. Kesetiaan menjadi penegak dan penggerak kerajaan kecil ini.
Sangat jauh untuk dapat dipengaruhi utara, dan cukup jauh untuk dapat dipengaruhi timur dan barat. Anna tidak ingin mengakui bahwa mereka cukup terisolasi akibat geografi, karena geografi kerajaan Arevell di timur jauh lebih menyedihkan. Tidak mengherankan perjalanan dari utara ke selatan dan begitu sebaliknya lebih mudah dilalui lewat barat. Karena kerajaan yang demografinya tidak lebih besar dari Dienvidos itu terisolasi oleh pegunungan. Hanya Tuhan dan para pendiri Halstead yang mengetahui mengapa kerajaan itu bisa berdiri.
Anna tidak tahu mana yang lebih baik, terisolasi hutan atau pegunungan yang puncaknya bahkan dilapisi es.
Anna tiba di istana ketika pergantian jadwal penjagaan istana. Satu kesialan kecil yang mengawali harinya di ibu kota. Mereka menatap Anna dengan raut terkejut dan penuh penasaran. Penjaga yang bertugas di gerbang istana pun sempat melongo sebelum sadar dan segera membukakan gerbang untuknya.
Hari masih pagi, ia bersama para Greshwalt sampai ke pasar induk ibu kota ketika matahari mulai muncul di langit. Dan seperti biasa ketika diantar oleh mereka, Anna turun di dekat Plaza Debubi yang jaraknya satu atau dua jam dari istana jika berjalan kaki.
Jubahnya ia lepas dan tergenggam erat di tangan kiri sementara tangannya yang lain berlabuh di sabuk yang terpasang di luar pakaian resminya sebagai prajurit, sebuah setelan berbahan kulit tebal berwarna gelap yang mengikuti lekuk tubuhnya. Anna sengaja tidak menggulung rambutnya, membiarkan mereka melihat sepanjang apa rambut hitamnya telah tumbuh. Suatu pengingat berapa lama ia meninggalkan tempat ini. Rambut di kedua sisi wajahnya ditarik ke belakang dan dijepit sederhana. Sebuah penampilan indah yang penuh kontradiktif.
Anna beberapa kali menampilkan senyum simpul kepada mereka yang mengangguk penuh penghormatan. Langkahnya dengan gesit melewati lorong-lorong istana seakan ia telah hidup di sana sepanjang hidupnya. Beberapa langkah lagi ia sampai ke tempat tujuannya jika saja netranya tidak bersinggungan dengan sosok tegap yang berdiri di ujung lorong yang akan dilaluinya.
Sial, ini bukan rencananya.
Rencananya adalah menemui sang Putri, kemudian Jenderal, dan yang terakhir adalah Paduka Raja. Orang ini bahkan tidak termasuk ke dalam rencannya, tetapi Anna bertaruh sosok itu akan menjadi penyebab utama rencananya hancur berantakan. Harusnya Anna berhenti merutuk dan mulai berdoa.
“Yang Mulia.” Anna menyapa sambil membungkuk sopan.
Javias Enzatsy, Putra Mahkota Dienvidos. Bolehkah Anna menyebutnya sebagai mantan tunangan? Bagaimana bisa laki-laki itu masih berada di area peristirahatan? Bukanlah saat ini seharusnya ia sudah berada di ruang kerjanya? Anna tidak yakin kebiasaan telat bangun boleh dimiliki oleh seorang calon raja.
“Saya ingin melapor—”
“Simpan laporanmu untuk Jenderalmu.”
Setelah menyela kata-kata Anna, ia pergi melewati Anna begitu saja. Gadis itu menelan ludah sebelum mengangkat kepalanya dan kembali mengambil langkah untuk ke ruangan yang ditujunya.
“Masuk!” Perintah seorang gadis dari dalam kamar setelah Anna mengetuk pintu.
Sebenarnya Anna tidak tahu harus mengucapkan kata-kata apa, yang ia pikirkan hanyalah sederet permintaan maaf tetapi entah mengapa yang terucap justru, “Percayalah tidak akan ada yang mau menikahimu jika kau masih di tempat tidur saat matahari sedang berjuang memunculkan diri.”
“Kau benar-benar gadis jahat, dasar penyihir!” Pekik seorang gadis dari ranjangnya sedangkan Anna kini bersandar pada pintu yang telah ia tutup.
“Aku tahu aku sedikit jahat, tapi aku masih tidak paham dengan ungkapanmu yang bilang bahwa aku seorang penyihir. Lagi pula seorang Putri tidak seharusnya mengutuk.” Ujar Anna santai.
“Apa kau sadar dengan apa yang kau katakan? Lebih baik kau keluar.”
Anna mendesah lelah. “Zee, ayolah. Aku bisa menerima tatapan benci dari semua orang—termasuk kakakmu, tetapi tidak dengan kau.”
“Tidak denganku? Apa aku tidak boleh marah? Apa aku harus menerimanya lapang dada?” Seru Zietha. “Aku tahu kau tidak akan pernah menerima pernikahan konyol itu, aku paham bahwa kau pasti akan kabur karena melarikan diri memanglah salah satu sifatmu yang sangat menjengkelkan! Yang tidak aku pahami adalah apa kau benar-benar perlu pergi selama itu? Kau meninggalkanku tanpa berkata apa-apa! Tidak ada surat, tidak tanda sedikit pun. Rei mungkin tidak akan mengatakannya jadi biarkan aku yang bicara! Lupakan kesempurnaan yang telah kau bangun, kau hanyalah gadis jahat berpikiran sempit yang sangat egois!”
Anna bersumpah melihat air mata menetes ke pipi Zietha yang mulus. Ya, benar. Lupakan kesempurnaan, ia memang hanya bedebah kecil yang gemar melarikan diri dari suatu masalah. Lalu apa yang harus ia lakukan? Ikut menangis dan meratapi kesalahannya? Tidak, itu sama sekali bukan dirinya.
“Maafkan aku, setelah kau tenang aku akan membawa Rei kemari dan kita bisa bicarakan semuanya bersama. Sekarang tolong pergilah sarapan dan lakukan aktivitasmu.”
“Kau tidak berada dalam kuasa yang mampu memberiku perintah.”
Anna membatu. Tubuhnya yang bersandar kini ia tegakkan dan setelah itu ia membungkuk sopan. “Kalau begitu saya pamit undur diri, Putri Zietha.”
Ya, yang bisa Anna lakukan hanya melarikan diri, lagi dan lagi.
•••
Jika tebakan Anna tidak salah, saat ini harusnya sang Raja dan para petinggi kerajaan sudah berada di ruang rapat untuk membahas undangan Purvation yang telah sampai.
Mengabaikan tatapan terperangah dari penjaga yang bertugas di depan ruang rapat, Anna melangkah dengan penuh percaya diri masuk ke sana setelah pintu dibukakan.
Ternyata tidak seramai yang Anna kira. Hanya ada Raja, Javias, Jenderal, dan penasihat kerajaan. Dan mereka semua kini menatap Anna. Semua terpaku kecuali Javias.
“Sudah selesai bersenang-senang di pantai bersama Askar?” Suara Javias memecah keheningan.
Harav Enzatsy menatap putranya penuh peringatan. Benar, itu bukan kata-kata yang pantas untuk dilemparkan kepada seorang gadis. Untungnya Anna setengah barbar, ucapan itu tidak akan mempengaruhinya. Tetapi kalau bisa Anna ingin sekali mencongkel mata zamrud Javias yang tak berhenti menatapnya tajam.
Anna tersenyum manis dan berkata, “Putra Mahkota Entshona terlalu sibuk untuk dapat ditemui, aku mencoba untuk tidak kecewa karena harus bersenang-senang sendiri.” Persetan dengan kesopanan, yang berbicara itu bukan pangerannya, tetapi teman sekaligus mantan tunangannya.
Kali ini sang Jenderal yang menatap Anna penuh peringatan. Sebelum terjadi perang adu mulut yang tidak diinginkan, Harav menginterupsi. “Senang melihatmu kembali, Anna.”
“Terima kasih, Yang Mulia.” Ucap Anna setelah mengalihkan tatapannya dari Javias dan membungkuk sopan pada rajanya.
“Kurasa ada hal yang lebih penting untuk kita diskusikan saat ini,” Tegas Harav.
Benar, bertengkar dengan Javias bisa dilakukan nanti.
“Aku tebak kau kembali karena undangan Purvation, Anna?”
Anna terdiam sejenak. “Benar, Yang Mulia.”
“Jadi, apa yang kau sarankan?”
“Saya akan menggantikan Putri Zietha, Yang Mulia.”
Hening.
Kemudian terdengar suara dengusan. “Kau menolak untuk menikah denganku, tapi kini kau mengajukan diri untuk ikut dan menggantikan Zee dalam kompetisi pemilihan Putri Mahkota Voreia?”
Ya, Anna memang sudah gila rupanya.
Purvation adalah sebuah ajang pemilihan calon ratu kekaisaran Voreia. Diikuti oleh perwakilan masing-masing kerajaan yang ada di Halstead baik itu seorang Putri atau pun gadis bangsawan yang direkomendasikan oleh kerajaan. Ratu Voreia yang sekarang berasal dari Voreia, ia adalah putri bangsawan yang paling berpengaruh di sana.
Tidak mengirimkan perwakilan adalah sebuah penghinaan untuk Voreia. Dan demi menghindari kemurkaan yang bisa saja meluluhlantakkan sebuah kerajaan—seperti kerajaan Arathra di utara, mau tak mau mereka harus mengikuti perintahnya.
Dienvidos boleh saja damai, tetapi bayangan akan dikuasi oleh Voreia suatu saat nanti adalah ketakutan yang tak bisa dihindari, dan Voreia dengan senang hati melahap ketakutan itu.
“Itu akan membawa citra buruk bagi keluargamu.” Ujar Harav setelah memikirikan saran Anna.
Tentu saja, siapa yang tidak? Anna menolak menjadi calon ratu Dienvidos agar bisa mengikuti kompetisi pemilihan calon ratu Voreia yang kekuatannya tak mengundang keraguan bagi mereka yang mengetahui. Mana mungkin itu jadi citra yang bagus untuk keluarganya?
“Kalau Yang Mulia bersedia dan memberikan perintah untuk itu, saya pikir mereka tidak akan bisa menolak.” Kata Anna.
“Apa kau membuang otakmu ke laut?”
“Javias!” Tegur Harav.
Anna mengabaikan sindiran Javias dan menatap lurus pada sang raja agar menyetujui sarannya. Ia harus pergi ke utara, dan Purvation adalah cara paling aman untuk bisa melewati perbatasan utara dengan menjadi dirinya sendiri tanpa perlu penyamaran yang mungkin akan menyulitkan dirinya.
Voreia dan paranoidnya. Mereka memblokade wilayah utara dengan membangun dinding serta gerbang di beberapa titik perbatasan setelah kerajaan Arathra resmi jatuh ke tangan mereka hampir satu dekade yang lalu. Mereka tahu bahwa kerajaan semacam Arevell dan Dienvidos sangat tidak menyukasi sistem pemerintahan Voreia yang dijalankan dengan penuh tirani.
Bahkan Rei dan anggota kelompoknya terjebak di sana selama setahun penuh sebelum kembali kemari. Padahal Anna yakin apa pun pekerjaan yang dilakukan Rei dan kelompoknya di sana sangat-sangat tidak mungkin menghabiskan waktu sebanyak itu. Apa Rei disiksa? Diberi doktrin utara? Tidak ada yang tahu.
“Kami akan memikirkan saranmu, tetapi ada baiknya kau juga memikirkan saran kami.” Ujar sang Jenderal yang sejak tadi tak bersuara.
Mereka semua mengernyit menatap Jenderal.
“Kami akan mencabut posisimu dari pasukan dan sebagai Cuvari. Kau jelas harus mengikuti Purvation sebagai seorang Lady bukan prajurit.” Ucap Jenderal dengan tegas yang membuat Anna membatu.
Bukan, bukan begini niatnya. Tidak, mereka tidak boleh mengambil hal yang sangat Anna inginkan dan sudah susah payah ia dapatkan. Demi apa pun, Anna bahkan harus melewati neraka terlebih dahulu sebelum berhasil mendapatkan itu.
“Tidak, kalian tidak bisa. Aku sudah ditandai, itu artinya selamanya aku akan menjadi seorang Cuvari. Dan aku memang seorang Lady, jadi tidak ada yang perlu dicabut di sini.”
Anna berusaha menahan amarahnya. Ia bersumpah bisa merasakan panas pada punggung sebelah kirinya, tempat di mana tanda pengabdian seorang Cuvari miliknya dicap dengan besi panas setahun yang lalu.
“Kami bisa lakukan apa pun untuk menghilangkannya, baik berkas atau pun tandanya.”
“Tidak ada saran lain?” Sergah Anna.
“Atau… kau bisa menemani Zee dengan menjadi pelayan atau pun pengawal pribadinya.” Balas Javias.
“Aku tidak bisa membiarkan Zee melakukannya, ini tugasku. Kalian menjadikanku Cuvari untuk ini, bukan?” Desis Anna.
Ya, ada gerakan terselubung dibalik mengirimkan perwakilan kerajaan untuk mengikuti Purvation. Mereka akan memata-matai Voreia, mencari kelemahannya untuk bisa menghentikan kejahatan apa pun yang direncanakan atau dilakukan oleh Voreia. Jatuhnya kerajaan Arathralah yang membuat mereka memiliki keberanian ini. Sudah cukup Voreia mencoreng hukum untuk membiarkan tujuh kerajaan di Halstead berdiri dengan kekuasaan yang setara, mereka melanggarnya dengan menaklukan kerajaan lain dan mendirikan kekaisaran. Kemudian satu dekade yang lalu mereka berani membumi hanguskan Arathra dan membuatnya menghilang dari catatan sejarah yang tengah mereka tulis ulang.
Arathra adalah kerajaan di wilayah utara yang berisi para cendekiawan. Tanah mereka menyimpan ilmu pengetahuan dan sejarah Halstead. Hukum menuliskan bahwa para Pendiri dengan tegas berikrar bahwa tidak ada satu kerajaan pun yang boleh mengusik Arathra, apalagi menghancurkannya. Dan Voreia dengan senang hati meludahi hukum itu. Arathra dihancurkan dengan tuduhan pengkhianatan dan niat menghancurkan Voreia, nama kerajaannya dihapuskan, takhtanya terkubur bersama reruntuhan istana. Kini hanya tersisa kota Alnord yang diklaim menjadi milik Voreia—kota cendekiawan yang mengajarkan cara-cara Voreia. Tidak ada lagi yang namanya kerajaan Arathra.
Sejarah ditulis oleh mereka yang memiliki kekuasaan.
Voreia berambisi memiliki dunia, dan Anna meyakini dalam hatinya bahwa para cendekiawan Alnord kini menjadi penulis buku harian Voreia yang suatu saat nanti akan diagungkan menjadi sejarah sekaligus hukum di Halstead.
“Tidak ada pilihan lain, kau boleh kembali menemuiku setelah menentukan pilihanmu.” Ucap Jenderal final.
Anna menatap sebuah kertas dengan cap kerajaan Voreia di permukaannya. Andai saja amarahnya bisa membakar undangan itu, Anna juga berharap amarahnya bisa membakar Voreia hinga rata dengan tanah.
“Rambut yang bagus,” Sahut Javias.
Anna medengus. “Aku sengaja memanjangkannya agar bisa kugunakan untuk mengikat Caesar Delano ke tiang gantungan.” Ia mendelik ke setiap orang di dalam ruangan sebelum berbalik dan pergi tanpa memberikan penghormatan kepada siapa pun.
–
©️MERITOCRACY, 2020
Wow,keren :iloveyou
suka ceritanya kak
Sebegitu bencinya annalise kepada voreia
Penasaran akutuh