Vitamins Blog

MERITOCRACY 1: Consciences

Bookmark
Please login to bookmark Close

63 votes, average: 1.00 out of 1 (63 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

 

Anna menghela napas lelah. Manusia memang tak pernah berhenti berbuat ulah. Ia melangkahkan kaki mendekat ke arah tubuh terbujur kaku yang ia yakini sudah tak bernyawa. Tidak ada keraguan dari langkah kakinya, hanya langkah malas dengan ekspresi wajah penuh ironi menatap mayat tersebut.

Untung saja makanan di dalam perutnya tidak meronta-meronta untuk dikeluarkan karena mencium aroma tak sedap yang berasal dari mayat yang kini ditelisiknya. 

Bukan hal asing baginya untuk menemukan mayat. Ini hutan, apa lagi yang bisa ditemukan selain pepohonan, hewan, dan bangkai—hewan atau pun manusia.

Anna sedang tidak ingin berbaik hati pada sekawanan burung gagak karena nuraninya mengambil alih. Ia mengambil berbagai macam benda yang mudah terbakar dan menumpuknya di atas mayat tersebut. Anna menunggu cukup lama—mungkin terlalu lama karena matahari kini berada tepat diatas kepalanya—untuk dapat melihat mayat itu berubah menjadi setumpuk abu. Ketika angin berembus kencang, dalam hati Anna berharap bahwa jiwa yang malang itu bisa mendapat ketenangan dimana pun jiwanya berakhir. 

Ia bukan orang yang begitu beriman. Anna hanya cukup percaya pada hukum alam. Tidak ada yang ingin mati sendirian, tidak seorang pun. Dan Anna berharap kepada siapa pun pemilik dan penggerak semesta ini, agar suatu hari nanti ia tak mati sendirian atau setidaknya akan ada orang yang bersedia memberikan Anna pemakaman yang layak meskipun hanya sekedar dikubur atau dibakar tanpa doa-doa pengiring.

Berbalik meninggalkan tempatnya, Anna melangkah menuju pondok kecil miliknya di seberang danau yang terletak ditengah-tengah hutan belantara ini. Orang waras mungkin tidak akan melakukan tindakan yang dilakukan Anna dengan tinggal di hutan dan terancam mudah terbunuh binatang buas. Tetapi sekali lagi, Anna terlalu pintar dan butuh lebih dari sekadar binatang buas agar dapat mengantarkan ajal padanya.

Semakin mendekat ke pondok seluruh tubuh Anna menegang waspada. Indranya menajam. Ada seseorang yang mengawasinya.

Terdengar suara batang pohon yang berderit tak biasa. Siapa pun yang mengawasinya berada di tengah kerimbaan hutan. Anna sontak mengambil belati di pinggangnya dan bergerak secepat kilat ketika mendengar kerusuhan di pohon sebelah kirinya. Orang itu melompat dan hampir menerjang Anna bila saja gadis itu tidak mengambil langkah menjauh sebelum berbalik dan menodongkan senjatanya kepada siapa pun yang berniat mendekatinya dan merobek kulit—

“Whoa! Tahan! Ini aku, Lady!” Suara berat dengan gelagap penuh kepanikan hadir dari sosok dihadapannya.

Anna mengerutkan kening heran. Ia hampir saja membunuh si bodoh ini karena tingkahnya yang membuat Anna tegang. Sungguh, Anna sedang tidak ingin melukai—apalagi membunuh siapa pun, dan pengalamannya tinggal di pulau kecil di wilayah barat selama enam bulan nyaris menjadikan Anna pendeta yang menekuni kesendirian untuk mendapatkan wahyu. Hatinya sedang cukup bersih untuk kembali ternoda dengan dosa itu—atau setidaknya itulah yang Anna pikirkan.

“Kau tau aku bisa saja membunuhmu, bukan? Apa yang kau lakukan disini?” Ketus Anna sambil mengembalikan belatinya ke tempatnya semula. 

Sosok lelaki tegap itu menengakkan tubuh dan mengambil napas panjang sebelum menjawab. Nyawanya selamat hari ini. “Pertanyaan itu milikku, Lady. Apa yang kau lakukan disini?” 

“Sejauh yang aku ingat pondok ini masih milikku, bukan hal aneh jika aku berada di sini,” Anna mendengus.

Lelaki itu membuka mulutnya hendak membantah, namun ia kembali menelan kalimatnya setelah berpikir bahwa ucapan gadis di hadapannya ini memang benar. 

“Serius, Rei. Apa yang kau lakukan di sini?” Anna kembali bertanya.

Lelaki dihadapannya—Rei hanya menatapnya lama. Kalau saja mereka bukan sahabat sejak kecil Anna bersumpah akan melemparkan belatinya ke wajah tampan menyebalkan itu. Sebelum Anna sempat bertanya lagi, Rei mendekapnya ke dalam pelukan yang bisa saja meremukkan tulangnya apabila Anna hanya gadis rumahan yang selalu dilayani seumur hidup dan tidak punya otot yang membentuk tubuhnya.

“Astaga! Kau tidak tahu betapa aku merindukanmu, Musang Kecil.” Rei melepas dekapannya tetapi kedua tangannya masih mencengkeram pundak Anna dan menatap gadis itu dengan tatapan berbinar. “Kau tidak akan percaya dengan apa yang akan aku ceritakan padamu.”

“Aku memang tidak pernah percaya pada setiap kata yang keluar dari mulutmu,” Balas Anna malas.

Rei meletakkan kembali kedua tangannya di sisi tubuhnya dan merengut. “Sejujurnya, aku yang sedikit tidak percaya akan benar-benar menemukanmu di sini. Aku serius ketika bertanya apa yang kau lakukan di sini, bukankah seharusnya kau berada di istana?” Tuntut Rei dalam sekali tarikan napas. Nyaris satu tahun sejak pertemuan terakhir mereka, Anna hampir lupa betapa menyebalkannya mulut Rei Solas ketika sudah berbicara.

“Apa yang kau bicarakan?” Anna mengernyit.

Rei balas mengernyit. Mereka tampak tengah memerankan lakon si bodoh dan si lebih bodoh.

“Tunggu dulu, jangan katakan bahwa kau tidak—” Rei enggan melanjutkan kalimat yang telah disimpulkannya.

Anna mendesah ketika memahami ke mana arah pembicaraan mereka. “Kau belum tahu, ya?” Tanya Anna sedikit heran.

“Tentu saja aku belum tahu, aku segera kemari bahkan sebelum tiba di rumah.” Rei mengernyit sebal. Entah Anna harus tersanjung mendengarnya. 

“Kau serius tidak tahu? Bukankah rumor lebih cepat merambat daripada api yang membakar hutan?” 

“Kau serius tidak jadi menikahinya?” 

“Kau tahu aku tidak bisa,” Anna mendengus. 

“Aku tahu, tetapi tetap tidak menyangka.” Rei mendesah pelan. “Namun aku sedikit bersyukur,” 

Anna mendelik. “Apa maksudnya kau sedikit bersyukur? Jangan katakan bahwa selama ini kau menyimpan rasa padaku.” Gadis itu berucap sangsi.

Rei menatap Anna tak percaya. “Dienvidos bersyukur tidak jadi memiliki Putri Mahkota seperti dirimu.” 

“Aku setuju dengan yang satu itu,” Kekeh Anna.

“Aku bersyukur karena setidaknya aku tidak akan memanggilmu setiap hari dengan sebutan ‘Yang Mulia’, dan tetap bisa melakukan hal gila bersamamu.”

Anna sedikit tersanjung. “Lihat dirimu, kini pandai sekali memuji. Kutebak ini hasil pelatihanmu memuja dewa-dewi—atau siapa pun yang diTuhankan—orang-orang utara?”

Rei merengut. “Aku berlatih menjadi Cendekiawan, bukan Pendeta. Tolong bedakan itu.”

Anna terbahak. Ah, dia benar-benar merindukan temannya yang satu ini.

“Jadi, waktu itu kau melarikan diri?” Tanya Rei.

“Kata yang cocok untuk mendeskripsikannya adalah melakukan perjalanan untuk mendapatkan ketenangan hati sebelum mengikat janji pernikahan.” Jelas Anna panjang lebar. Satu hal lagi yang membuatnya sama dengan Rei. Mereka sama-sama pandai bersilat lidah.

“Kau pergi ke Entshona?”

“Hanya lewat untuk sampai ke pulau kecil di seberang laut.” 

“Klasik.”

“Kau mengenalku, kawan.” 

Mereka terkekeh pelan menyetujui pernyataan itu. Bersembunyi ke barat memang lebih aman daripada ke timur, selain karena Dienvidos lebih dekat ke arah barat, wilayah Entshona lebih padat karena wilayah itu adalah jalur utama untuk perjalanan antar utara-selatan. Otomatis akan sulit mencari seseorang secara spesifik karena sebagian orang-orang di sana tidak menetap secara permanen.

“Lalu apa yang mereka lakukan padamu ketika kau kembali?” Untuk ukuran orang yang ingin berbagi cerita, Rei justru terkesan lebih penasaran dengan kisah Anna. Sahabatnya itu memang gemar membuat orang di sekelilingnya menggelengkan kepala.

Anna memandang ke segala arah. Keraguan terlihat di wajah cantiknya. “Aku… tidak tahu.” 

“Apa maksudmu kau tidak tahu?”

Jujur, Anna pun tidak tahu apa yang akan dilakukan keluarga kerajaan untuk menyikapi kelakuannya.

“Aku tidak tahu hukuman apa yang akan aku dapatkan karena secara teknis aku belum kembali ke sana,” 

“Apa?” Rei sedikit meragukan pendengarannya.

Anna mengangguk ragu. “Ya, sama seperti dirimu. Aku juga baru kembali dan tiba di sini tadi pagi.” 

“Kau—apa?! Maksudmu kau melarikan diri ke pulau terpencil selama enam bulan?” Rei benar-benar terkejut. Anna memang gemar keluyuran, entah bagaimana Tuhan menciptakannya tetapi gadis itu sungguh tidak betah berdiam di satu tempat, jiwanya seakan ditakdirkan untuk berkelana.

“Pada dasarnya hanya lima bulan tiga belas hari, tapi kurasa itu rincian yang tidak penting.”

“Kurasa tinggal di pulau terpencil selama enam bulan adalah hal yang tidak penting, Nona Annalise.” Sindir Rei. “Itu benar-benar menjelaskan perubahan warna kulitmu.”

Anna sontak menunduk dan meringis menatap punggung tangannya yang sebelumnya putih kini menjadi kecoklatan. Anna yakin sebagian besar tubuhnya pun bernasib sama seperti punggung tangannya. 

Anna tidak pernah benar-benar peduli soal penampilan, di saat anak perempuan bangsawan lain berlomba-lomba untuk mempercantik diri, membuat kulit mereka sepucat rembulan dan sebagainya. Anna justru membiarkan kulitnya terbakar karena menantang matahari. 

Rei sangat tahu bahwa Anna tak pernah sadar secantik dan semenarik apa dirinya. Dengan tubuh ramping tinggi semampai, ia terkadang bisa membuat gadis lain iri. Rambut hitam jelaganya yang panjang dan bergelombang, iris coklat terang sewarna madu menghias di matanya yang tajam, dan kini Anna bahkan terlihat berpendar dengan kulit keemasan di tubuhnya yang keras sarat akan kekuatan yang dimilikinya. 

Dibesarkan sebagai putri bangsawan membuatnya anggun dalam bergerak maupun bertutur kata. Ia bersinar pada segala hal, dan nyaris sempurna. Keluarga kerajaan dan para bangsawan yang mengenalnya menyebut Anna sebagai Gadis Mentari. 

Gadis yang lahir dikecup keagungan matahari.

Gadis itu merobek kepercayaan akan matahari yang melambangkan pria dan rembulan yang melambangkan wanita. 

Sikapnya hangat, mudah tersenyum, dan hatinya luar biasa dermawan. Tetapi tingkah Anna yang terkadang sangat misterius dan tidak mudah ditebaklah yang menjadikannya sangat menarik. Ia gelap sekaligus indah. Rei jarang melihat ada sosok lain seperti Anna. Sosoknya yang bak gerhana. Ada namun tak sering muncul. 

Kalau saja tidak ada gadis lain yang mencuri hati Rei lebih dulu, mungkin ia akan dengan mudah jatuh hati pada Anna. 

“Aku bisa ikut ke rumahmu kalau kau mau,” Usul Rei.

“Untuk apa?”

“Aku akan bilang bahwa kau lari dari pernikahan itu untuk menyusulku ke Alnord.”

“Kau pikir mereka akan percaya?”

“Yah, mereka tahu kau selalu ingin pergi ke utara,” Rei mengedikkan bahu. 

Anna menatap Rei dengan tidak yakin. Sebenarnya itu bukan ide yang buruk. Tetapi Anna sudah punya jalan keluarnya sendiri. 

“Kurasa lebih baik kau memikirkan rencana pertemuanmu dengan sang Putri daripada memikirkan masalahku, aku dengar penjagaannya semakin diperketat.” Ucap Anna.

Rei mengumpat. Anna selalu tahu bagaimana membuat hati Rei sakit meski tanpa ditusuk belati kesayangan gadis itu.

“Kau dengar dari mana? Bukankah kau terjebak selama enam bulan di pulau terpencil?”

Anna mengedikkan bahu dan menyeringai. “Kau mengenalku, kawan.” 

Rei mendesis melihat tingkah Anna yang penuh rahasia. “Bicara soal penjagaan sang Putri, kau sendiri bagaimana? Aku yakin kau pasti lulus ujian untuk bergabung ke pasukan kerajaan, di mana mereka menempatkanmu?” Ujian yang dimaksudnya padahal hanya beberapa minggu setelah jadwal kepergiannya, sayangnya ia tak mampu menahan atasannya untuk mengulur waktu.

Ya, benar. Anna adalah gadis bodoh yang menolak menikah dengan Putra Mahkota Dienvidos tetapi berambisi untuk bergabung menjadi salah satu prajurit kerajaan. 

“Pertama, ujian itu dilakukan bukan untuk bergabung ke dalam pasukan, tetapi untuk mengetahui kualitas seorang prajurit agar bisa diletakkan di tempat yang sesuai dengan kemampuannya. Kedua, kau mungkin tidak akan percaya dengan apa yang akan aku katakan.”

Rei menyipitkan mata. “Benar, aku memang tidak pernah percaya pada setiap kata yang keluar dari mulutmu.” Ia mengucapkan kembali perkataan Anna yang sebelumnya ditujukan untuknya.

Anna mendengus sebelum menyeringai menatap Rei. “Sekarang aku seorang Cuvari.”

Rei merasa rahangnya jatuh. Walaupun sebelumnya ia sudah mengira Anna akan mendapat tempat yang bagus di kelompok prajurit kerajaan, ia tidak menyangka bahwa Anna akan menjadi salah satu Cuvari. 

Cuvari adalah sekelompok prajurit khusus. Tidak seperti posisi Jenderal yang memang diwariskan, posisi Cuvari terbuka untuk semua bangsawan dan tidak untuk diwariskan. Mereka tidak berkewajiban untuk selalu berada di istana. Setiap orang yang menjadi Cuvari memiliki tugas masing-masing yang sudah ditetapkan oleh Jenderal, seperti menjadi mata-mata dan sebagainya. Mereka komando kedua setelah Jenderal. 

“Kau melakukannya dengan baik, Gadis Mentari.” Ucap Rei dengan seringai bangga. 

Dienvidos bukanlah kerajaan dengan pasukan terbaik berdasarkan jumlah. Karena sebagian bangsanya memilih untuk bergelut dengan bidang yang sudah menjadi hak lahir mereka. Bercocok tanam untuk menghasilkan bahan pangan terbaik di Halstead. Penjuru Halstead cukup bergantung pada mereka. Menjadi kerajaan terdamai di Halstead bukan hanya karena pekerjaan mereka yang terkadang dipandang rendah, tetapi juga karena kualitas segala hal di Dienvidos dijunjung tinggi beriringan dengan etika dan moral. 

Rei bersyukur sekaligus khawatir Anna kini menjadi salah satu tombak untuk mejaga perdamaian Dienvidos. Bersyukur karena Dienvidos memilih orang yang benar, dan khawatir karena memikirkan beban berat yang ditanggung sahabatnya tersebut.

Anna sedikit menelengkan kepala melihat reaksi sahabatnya. Ia tahu maksud Rei. Ia melihat apa yang Rei lihat. Mungkin yang pria lihat selama hampir setahun keberadaannya di utara lebih banyak ketimbang dirinya. Tetapi satu hal yang sudah pasti sama-sama mereka ketahui.

Dunia tengah berkecamuk. Seseorang sedang bermain menjadi Tuhan di luar sana. Dan mereka ragu apakah keberuntungan akan datang menyelamatkan mereka.

•••

Setelah mengucapkan perpisahan dengan Rei yang menurut Anna sangat-sangat berlebihan, akhirnya ia melangkah menuju pondoknya dengan sedikit lesu. Ia senang sahabatnya kembali dengan selamat, yang tak ia sukai adalah aura yang dibawa laki-laki itu, entah mengapa sedikit membuatnya gusar. Rei mungkin masih terlihat seperti terakhir kali mereka bertemu satu tahun yang lalu. Selalu mengumbar senyum jenaka yang bodoh dan gurauan yang selalu membuat sakit kepala. Tetapi dari semua itu Anna bisa melihatnya—menebak bahwa ada sesuatu yang membuat laki-laki itu terguncang. Sesuatu yang juga membuat Anna gusar sejak dulu. 

Anna membuka rantai khusus yang dibelinya di pasar gelap perbatasan Entshona dan wilayah utara. Ia benar-benar enggan mengingat tempat itu. Namun tidak dapat dipungkiri tempat itu selalu menyediakan barang bagus yang bahkan tak pernah Anna sangka sebelumnya. Rantai itu sebesar pergelangan tangannya, dan tidak diragukan lagi pasti sangat berat. Anna selalu mengeluh ketika memasang dan membukanya, terkadang terbesit dipikirannya untuk membuang rantai itu ke dasar danau, tetapi hanya berakhir menjadi angan-angan karena rantai itu memang tidak pernah mengecewakannya.

Tidak ada yang lebih melegakan selain mendegar rantai itu terbuka. Anna menarik rantai itu dan membuka pintu seraya masuk ke dalam pondok. Bau kayu menyambutnya. Selain Rei, pondok ini juga menjadi salah satu hal yang paling ia rindukan. Anna membatu tepat setelah pintu tertutup rapat. Ada benda dingin yang menempel di leher sebelah kirinya, dan napas terengah menyusul menyapu tengkuknya yang terpampang karena Anna menggulung tinggi rambutnya.

Orang itu telah sadar.

Dan kini berdiri begitu dekat di belakang Anna. Gadis itu benar-benar lupa keberadaan sosok yang kini menempelkan bilah pisau tepat di dekat urat nadinya. Kegusarannya pada Rei membuatnya lupa. Seharusnya ia ingat mengapa ia memasang rantai itu di luar. 

“Siapa kau?” Desis sosok itu. Suaranya benar-benar parau. 

Anna tidak takut sekalipun nyawanya terancam karena pisau yang menempel di lehernya. Ia hanya takut dalam usahanya membela diri ia justru membunuh sosok lemah di belakangnya dan harus repot-repot membawa jauh mayatnya dari pondoknya. Dan hatinya yang sedang bersih akan kembali ternoda. Menjebak diri sendiri di pulau terpencil memang membawa efek aneh ke dalam dirinya. Anna jadi merasa lebih bodoh dari Rei.

Ingatannya melayang pada kejadian tadi pagi sebelum ia membakar mayat yang ia temukan di seberang danau. 

Anna meringis melihat mayat di hadapannya. Ia memutuskan untuk membakarnya, karena menggali lubang akan terlalu merepotkan. Gadis itu bangkit dan bergerak mengambil ranting pohon yang berjatuhan di tanah. Ia menarik ranting cukup besar yang menyembul dari semak-semak. Ranting itu tersangkut.

Sesuatu menahannya. 

Desahan napas lelah keluar dari mulutnya. Niatnya hanya untuk ke tempat pemantauan dan langsung kembali ke pondok malah berubah total menjadi mengurus mayat yang seharusnya tak perlu Anna pedulikan. Terlalu lama merefleksikan diri di pulau terpencil entah mengapa membuat nuraninya mudah tersentil. Anna berpikir apakah sebaiknya ia pergi Noarden dan mengabdikan diri menjadi Pendeta. Konyol sekali.

Ia bergerak menuju sisi lain semak-semak untuk melihat sesuatu yang menahan ranting pohon yang hendak diambilnya. Semoga saja bukan beruang.

Dan ternyata memang bukan beruang. Anna menatap malas pada mayat laki-laki di dekat kakinya. Ia akan mengurus yang satu ini nanti. Mungkin Anna akan melemparnya dari tebing agar tubuhnya hancur dan bisa lebih mudah dimakan burung gagak. Sekadar informasi, Anna adalah pecinta binatang. 

Anna menggerakkan tubuh laki-laki itu dengan kakinya supaya ia bergeser dan menyingkir dari ranting pohon—demi para aristokrat padahal itu hanya ranting pohon! Anna sepertinya memang harus tidur untuk bisa menjernihkan kepalanya. Kini ia sedikit mengantuk akibat melakukan perjalanan dua hari dua malam tanpa istirahat.

Dengan kasar ia menarik ranting pohon itu dan menatap nyalang mayat di bawahnya, ingatkan Anna untuk melemparnya dari tebing. Anna berbalik dan bersumpah akan menancapkan ranting-ranting pohon ini ke mayat yang satu apabila tidak ada yang mencengkeram kakinya hingga gadis itu hampir tersandung. Ia menoleh dan menatap kaget pada pergelangan kakinya yang diselimuti tangan yang berlumuran darah kering. Matanya beranjak ke wajah si empunya tangan. Mata laki-laki itu masih terpejam, dan mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu jika saja ia dapat mengatur napasnya sedikit lebih baik. Dan pada titik ia tak dapat lagi menahan kesadarannya, cengkeraman itu mengendur dan kepalanya kembali terkulai ke tanah. 

Sial, dia masih hidup. Ini jauh lebih lebih merepotkan.

Dan akhirnya di sinilah Anna. Meregang nyawa karena tindakan sok pahlawannya yang memilih untuk menyeret makhluk sekarat di balik semak-semak ke pondok tercintanya. Anna mengambil napas dan mengembuskannya pelan. Ia berharap semoga yang dilakukannya ini tidak akan membunuh sosok di balik tubuhnya.

Anna melepaskan rantai besar di tangannya ke lantai kayu. Ia bersyukur tidak menjatuhkannya pada kaki lelaki di belakangnya. Tindakan tersebut mengejutkan laki-laki itu, ia terluka dan masih kurang fokus, suara benturan sekeras itu membuatnya hilang waspada. Dan dengan sigap Anna menyambar tangan yang memegang pisau dan memutarnya dengan tenaga yang sudah ia perkirakan. Laki-laki itu menjerit. Tangannya yang penuh lebam dipelintir. 

Dengan tangan yang berhasil Anna kunci, kini ia berhadapan sepenuhnya dengan laki-laki itu. Sebelum laki-laki itu mampu menyerang balik, Anna memukul ulu hati laki-laki itu dengan kepalan tangannya yang terbebas. Ringis kesakitan keluar dari mulut laki-laki itu hingga tubuhnya membungkuk. Dengan sigap Anna mendorong laki-laki itu hingga berbaring di bawahnya. Dalam hati mengucap maaf sebelum memberi pukulan yang membuat laki-laki tersebut kehilangan kesadarannya. Anna bangkit dari posisinya, mengumpat pelan dan mengembuskan napas kasar. 

Persetan dengan hatinya yang sedang bersih.

©️MERITOCRACY, 2020

8 Komentar

  1. oviana safitri menulis:

    :bergoyang

  2. Waahhhh! Seru seruuuu!!!
    lanjoood bacaa :ayojadian :ayojadian :ayojadian

  3. Oalahhh Anna nolak putra mahkota toh, mari ke ep selanjutnya

  4. indana lazulfa menulis:

    Yuhuuu

  5. indana lazulfa menulis:

    :DUKDUKDUK

  6. ArinaRisaDewi menulis:

    Astaga…ceritanya keren bgt, seperti produksi para author projectsairaakira saking bagusnya….salam kenal ya mbak author nabillaruwahastuti

  7. Okelah