=====================
Parenting is A Journey
=====================
oleh: (Ustadz Mohammad Fauzil Adhim)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Banyak yang ingin menjadi orangtua ideal, tetapi yang dilakukan saat mengasuh mendidik anak justru sering bikin kesal. Orangtua belajar banyak hal, tetapi rasanya jauh sekali dari kenyataan.
Apa yang ditulis orang maupun uraian para pakar seolah tertinggal di awang-awang, tanpa mampu diterapkan. Ingin sekali sabar, tetapi yang kerap keluar justru ekspresi gusar. Ingin sekali lembut, tetapi yang dirasakan oleh anak justru orangtua yang kerap bikin cemberut.
Jika sekiranya kita termasuk yang mengalami kondisi tersebut, mari kita buka buku Parent-Child Relations: A Guide to Raising Children (2013) karya Hisham Attalib dan kawan-kawan. Buku ini menyarankan agar orangtua lebih sering bertemu dan berbagi dengan orangtua lain yang lebih berpengalaman.
Belajar dari orangtua sukses yang berpengalaman sangat bermanfaat untuk memberi gambaran kepada kita bagaimana menerapkan ilmu yang sudah kita miliki di dalam mengasuh anak setiap hari. Pengalaman dan cara pandang kita bukan ada yang berbeda, dan itu sangat wajar, tetapi pengalaman mereka sangat bermanfaat bagi upaya kita untuk berubah.
Jika ada komunitas kecil yang dapat dipercaya, saling terbuka dalam hal mendidik anak terhadap sesame anggota komunitas dan sekaligus saling menjaga rahasia dengan tidak menceritakan kepada orang lain, akan lebih bagus lagi.
Menjadi orangtua ideal memang luar biasa hebat. Tetapi banyak dari kita yang tidak bisa tiba-tiba ideal. Kita melakukan kesalahan, bahkan yang sangat tidak kita harapkan, dalam mengasuh anak-anak. Itu merupakan hal yang lumrah.
Yang paling penting, hati kita harus tetap jernih; berusaha untuk senantiasa berbenah. Ingatlah perkataan yang ditulis oleh Hisham Attalib dan kawan-kawan tersebut, “Keep parenting lighthearted. Tell yourself that although we may commit “stupid” mistakes innocently, you cannot spell “STUPID” without U & I.”
Kerapkali kita mendengar nasehat baik yang kadang bikin orangtua justru serasa berputus asa; menguburkan cita-cita memiliki anak yang bahagia berlimpah kebaikan.
Kita mendengar nasehat bijak yang mengatakan, “Kalau ingin mempunyai anak yang rakus membaca, kita sendiri yang lebih dulu harus rakus membaca. Kalau kita ingin mempunyai anak hafal Al-Qur’an, kita sendiri harus hafal Al-Qur’an. Kalau kita ingin mempunyai anak yang hebat, maka kita harus memantaskan diri dengan menjadi orangtua yang hebat.” Ini maksudnya barangkali untuk memotivasi orangtua. Tetapi adakalanya justru membuat ciut nyali.
Padahal kita melihat betapa banyak anak-anak hebat yang lahir dari keluarga buta huruf. Kita mendengar betapa banyak anak-anak yang sangat tinggi keluhurannya, padahal salah satu atau kedua orangtuanya memiliki masa lalu yang kelam. Lalu mengapa bisa demikian?
Teladan berupa semangat, kecintaan serta dorongan kepada kebaikan itu sama pentingnya dan bahkan bisa lebih penting daripada kebaikan itu sendiri, sebagaimana niat lebih menentukan dibandingkan amal kita.
Keinginan kuat orangtua kepada kebaikan, kemuliaan dan kecemerlangan beserta kerinduan untuk berbenah dapat memberi pengaruh yang lebih besar dibandingkan kebaikan itu sendiri. Inilah pelajaran lain yang dapat kita petik dari Parent-Child Relations karya Hisham Attalib dan kawan-kawan.
Jadi, kalau hari ini kita masih teramat jauh dari kriteria minimal sebagai orangtua yang baik, itu bukanlah pertanda kiamat. Ingatlah mengasuh anak merupakan perjalanan panjang.
Parenting is a journey, not travelling.
Anda sama dengan saya: sama-sama masih jauh dari seharusnya. Boleh jadi Anda jauh lebih baik daripada saya. Dan itu berarti, kita berada pada titik untuk berubah, berbenah dan menunjukkan kepada anak keinginan kita untuk berbenah tersebut. Semoga anak-anak terinspirasi untuk senantiasa berbenah.
Jika ada yang mengatakan, sekali berbuat salah selamanya tidak dapat kita perbaiki, maka ingatlah bahwa dia bukan Tuhan.
Kita bukan ingin memudah-mudahkan diri berbuat salah. Bukan pula meremehkan kesalahan. Tetapi kita perlu ingat bahwa jika Tuhan senantiasa membuka pintu kesempatan untuk berbenah bertaubat, maka apa hak manusia untuk menutup pintu perbaikan? Mengapa kita harus berputus asa?
Barakallahu fiik, Ustadz Faizul Adhimππ»
Ini menambah wawasan.
Terima kasih ππ
Anak mengcopy dari orang tua