Vitamins Blog

Pangeran Tanpa Mahkota – Halaman 13

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

3 votes, average: 1.00 out of 1 (3 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Seperti dugaan Camy, dia benar benar tersiksa dengan keseharian barunya. Setiap saat dia harus memakai jubah bertudung milik Aspire, baik saat makan maupun tidur. Belum lagi dia tidak bisa berbicara sehingga dia tidak mengatakan keinginannya dan kebutuhannya. Bahkan untuk buang air kecil, Camy harus berbisik kepada orang terdekatnya agar mereka bisa mengantarnya. Baiklah, jika orang yang disekitarnya adalah Ren tidak masalah. Tapi dia lebih sering bersama Aspire dibandingkan dengan Ren maupun Gize. Entah kemana lagi Aspire memerintahkan kedua pengawalnya itu, keduanya lebih sering keluar dibandingkan di dalam tenda.

“Ada apa?” Camy menggeleng menjawab pertanyaan Aspire. Tidak mungkin dia mengutuk pangeran tampan satu ini, bisa-bisa dia dilempar ke gerombolan prajurit di luar sana. Tunggu, apa dia baru saja mengatakan jika pria itu tampan? Sepertinya Camy membutuhkan asupan pria lain agar tidak berhalusinasi bahwa pria di depannya ini tampan. “Hentikan, kau aneh.” Camy menghentikan gelengan kepalanya. Dia baru menyadari bahwa dia menggelengkan kepalanya terlalu lama.

“Bicara saja, hari ini yang menjaga tenda Ren dan Gize. Jadi tidak perlu khawatir ada orang yang mendengar suaramu. Lepas juga tudungmu.”

“Eh!” itu fakta baru yang di dengar oleh Camy. Tanpa banyak bicara, Camy langsung melepaskan jubahnya. “Huaaa, akhirnya!” setengah teriak Camy yang mulutnya langsung dibungkam oleh Aspire.

“Aku menyuruhmu bicara, bukan berteriak. Mengerti?” Aspire melepaskan bungkamannya pada mulut Camy setelah gadis itu mengangguk paham.

“Jadi, berapa lama kita akan ada disini?” Camy melipat tudung milik Aspire. Selama Camy menggunakan tudungnya, Aspire tidak pernah menggunakan tudung lainnya. Mungkin pangeran satu ini sudah terlalu miskin sampai tidak bisa membeli tudung lainnya.

“Bertahanlah sebentar lagi, aku akan mengirimmu ke tempat lain setelah ini.”

“Maksudmu?”

“Aku akan mengirimmu ke suatu tempat untuk sementara waktu. Meskipun tempat ini adalah markas pemberontakan terhadap kerajaan, tapi kita tidak bisa yakin bahwa markas ini terlepas dari mata-mata kerajaan. Aku memiliki firasat akan terjadi sesuatu setelah ini.” Aspire dengan tenangnya membuka suatu lembaran. Disana dia menunjuk pada satu titik yang berada di pergunungan di wilayah utara kerajaan. “Kau dan Ren akan berada disini. Disana terdapat tempat persembunyianku yang sudah aku siapkan. Jadi untuk sementara waktu kau akan kesana.” Aspire langsung menutup lembar miliknya, memasukkan kedalam saku jasnya. “Persiapkan dirimu, kau akan berangkat lima hari lagi.”

“Secepat itu! Tapi—,” Camy membungkam mulutnya saat Aspire memberikan pandangan tajamnya.

“Lima hari lagi. Dan jangan pernah sekalipun membuka tudung dan suaramu, mengerti!” Camy mengangguk dengan patuh. Gadis itu kemudian kembali memakai tudungnya dalam diam yang mengundang senyum kecil di mulut Aspire. Gadis itu tetap merengut sampai Aspire keluar dari tendanya.

***

Camy terbangun dari tidurnya. Tidurnya yang lelap diganggu oleh keinginan bawah sadarnya untuk ke toilet. Melihat ke sekitar, dia tidak menemukan keberadaan dua orang penjaganya, Ren maupun Gize, begitu pula sang pangeran menyebalkan itu. Hanya ada bayangan dua orang penjaga di luar, yang kemungkinan tidak dikenal oleh Camy. Menghela napas panjang, Camy memikirkan cara untuk memeuhi hasratnya untuk buang air kecil. Selama ini selalu ada tiga orang itu disekitarnya sehingga dia tidak perlu berinteraksi dengan orang lain jika membutuhkan apa-apa. Lalu bagaimana dengan sekarang?

Camy segera berdiri dan melompat-lompat. Dia benar-benar sudah tidak tahan lagi. Memakai tudungnya dengan cepat, Camy segera keluar dari tendanya. “Anda mau pergi kemana?” salah satu penjaga menghalangi jalan Camy keluar. Camy menundukkan kepalanya semakin kedalam. Bersiap untuk menjawab pertanyaan penjaga di depannya.

“Ahh, ehm, aku ingin buang air kecil,” ucap Camy dengan suara yang dibesarkan dan diserakkan sedikit. Dengan begini, suaranya yag asli tidak akan ketahuan kan.

“Apakah perlu saya antar?” Camy menggelengkan kepalanya dan segera berjalan dengan cepat, menghindari pertanyaan lebih lanjut dari penjaga itu. Entah karena penjaga itu bukanlah penjaga yang terlatih atau memang hanya diperintahkan untuk berdiri disana saja, kedua penjaga itu membiarkan Camy berlalu dari tenda itu sendirian menuju hutan yang menaungi kegelapan.

Meski kegelapan menyelubungi jalan disekitarnya, Camy masih mengingat dengan jelas jalan menuju sungai kecil itu. beberapa kali Camy berpapasan dengan prajurit yang menundukkan kepalanya padanya, sadar bahwa orang yang berpapasan dengan mereka adalah salah satu pengikut Pangeran Aspire, tapi Camy hanya semakin menundukkan kepalanya. Camy terus menundukkan kepalanya sampai dia benar benar sampai di tempat yang dikenalinya, sungai kecil di sebelah barat markas mereka. Ini adalah tempat yag diperuntukkan untuk membersihkan diri maupun buang air kecil, da sudah berkali-kali Camy datang kesini.

Camy segera menuntaskan kebutuhannya untuk buang air kecil, kemudian mencuci mukanya yang terasa kusam. Dia sudah lupa kapan terakhir kali dia mandi. Disini dia tidak bisa melakukannya, ada ketakutan tersendiri jika ada orang yang melihatnya, meskipun Ren sudah memberitau bahwa tidak ada orang disekitar. Memang sepertinya Camy masih terlalu dimanja dengan keadaannya dulu, saat ibunya masih berada disisinya. Ah, kalau begini Camy jadi teringat ibunya. Bagaimana keadaan ibunya diatas sana. Melihat saat ini banyak sekali bintang, sepertinya ibunya cukup bersenang-senang di atas sana bersama teman-teman barunya. Itu pikir Camy, saat melihat langit malam ini.

Srakkk. Suara itu membuat Camy menoleh. Arahnya dari balik dedaunan rimbu di belakangnya. Saat Camy kesini, dia yakin bahwa tidak ada seorang pun disana, tetapi sepertinya sudah ada orang lain yang datang. Camy yang waspada segera menurunkan tudungnya dan bersembunyi di balik semak. Rasa penasaran yang tertanam di dalam dirinya membuat gadis itu mengintip untuk mengetahui siapa yang menibulkan suara itu. sesaat Camy hanya bisa melihat siluet sosok tinggi besar disana. Ditangan kanannya terdapat sesuatu yang menonjol. Itu burung?

Menyipitkan matanya kembali, Camy akhirnya bisa melihat siapa pemilik siluet itu. sosok yang menyeret Camy pada kondisinya saat ini, Barrack O’heill. Lelaki itu mengambil kertas yang berada di buruk elang hitam di tangannya. Wajah nya mengkerut keheranan saat membaca kertas di tangannya. Tidak lama kemudian, ada seoranng prajurit yang datang dan menunduk di hadapannya. Camy dapat mendengar samar percakapan mereka.

“Aku sudah mendapat kabar dari kerajaan. Cepat persiapkan semua tanpa diketahui siapapun,” ucap Barrack pada prajurit di depannya.

“Bahkan Pangeran Aspire sekalipun tuan?”

“Bahkan Pangeran Aspire sekalipun. Semua rencana harus dijalankan sesuai perintah, mengerti!” Prajurit itu mengangguk dan segera pergi. Barrack sendiripun segera menulis surat balasan dan mengikatkannya pada elang di tangannya. Tak membutuhkan waktu lama hingga elang itu terbang ditelan kegelapan malam.

Camy yang melihat kejadian itu langsung berpikir. Apakah sebenarnya rencana yang dikatakan oleh Barrack dan prajurit itu. mungkin saja itu berhubungan dengan yang dibacarakan oleh Aspire, mengenai mata-mata yang ada di markas ini. jika memang benar, maka Camy harus melaporkannya kepada Aspire.

Dengan pemikiran seperti itu, Camy segera diam-diam berjalan menuju Aspire berada. Dan sialnya, suara langkahnya yang terburu terdengar oleh Barrack. “Siapa disana!” Camy menghiraukan teriakan Barrack dan langsung berlari sekuat tenaganya. Awalnya dia berlari menuju markas, melalui jalan awal saat dia menuju ke sungai. Namun sialnya lagi, prajurit mendengar teriakan Barrack dan ikut mengejar Camy. “Cepat kejar orang mencurigakan itu!” Camy berakhir harus berlari berkebalikan dengan arah datangnya.

Gadis itu makin masuk kedalam hutan. Kaki kecilnya melompat saat melewati akar-akar pohon yang mencuat. Beberapa kali tudungnya dihempaskan oleh ranting-ranting pohon yang mencuat, tetapi secepat itu juga Camy kembali menutup tudungnya dengan tangannya. Semakin lama Camy berlari, semakin sempit jalan yang dilaluinya. Entah kemana dia akan berakhir, tapi instingya mengatakan bahwa dia tidak boleh sampai tertangkap. Dia harus mengatakan bahwa mata-mata yang dicurigai oleh Aspire adalah Barrack.

Camy tidak tau sudah berapa lama dia berlari. Napasnya terengah, matanya sudah buram dengan air mata yang siap mengalir kapan saja, da tenggorokannya terasa sangat panas. Camy menyadari bahwa dia sudah berada di ambang batas. Tapi tak ada tanda dari para prajurit itu yang terlihat kelelahan. Bahkan hutan pun memperumit pelariannya dengan jalan yang makin susah untuk dilaluinya. Akar pohon semakin banyak yang mencuat dan banyak dahan pohon maupun sulur-sulur tanaman yang menghalangi penglihatannya. Ini sangat gawat, pikir Camy yang mulai merasakan kesulitan untuk menentukan jalan yang bisa dilaluinya.

Jika kondisi ini diteruskan, bisa-bisa Camy sudah terluka terlebih dahulu akibat tertabrak pohon ataupun terjatuh di tanah. Dan benar saja.

BUGH

Camy jatuh tersandung oleh akar pohon besar. Kakinya terasa berdenyut dengan kencang. Saat dilihat, terdapat bengkak yang mencuat sebesar buah apel di kakinya. Jantungnya berdetak lebih cepat, adrenalinnya terpompa lebih dari biasanya. Sekuat tenaga Camy mencoba berdiri dengan kakinya dna berakhir meringis, hampir menangis, akibat rasa sakit tak tertahankan. Belum lagi suara derap kaki yang semkain dekat. Semakin dekat. Mereka ada di belakangnya.

Salah satu bayangan tak terlihat berderap menujunya. Menerkamnya, membuat Camy dan prajurit itu berguling beberapa meter masuk kedalam semak-semak. Memejamkan mata akibat takut dengan apa yang aka di hadapinya, Camy berpikir bahwa inilah jalannya. Dia tidak bisa lagi bertemu dengan teman-temannya, terutama pangeran menyebalkan itu. dia hanya berharap bahwa jasadnya akan ditempatkan tepat di samping kuburan ibunya.

“Kau tidak apa-apa?” Suara lembut itu menghipnotis Camy untuk membuka matanya. Keduanya langsung disuguhkan oleh siluet dari sosok yang dikenalnya, terutama mata yang terlihat sangat mencolok bahkan di dalam kegelapan hutan. Tanpa sadar, Camy sudah menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainanya.

“Aspire!” Aspire hanya bisa memeklum Camy yang makin tenggelam dalam pelukannya. Genggaman tangan gadis itu kuat, seakan tiak mau terpisahkan jaraknya satu milipun dari Aspire. Dan Aspire hanya bisa mengusap lembut gadis kecil yang hanya bisa bergantung padanya itu.

2 Komentar

  1. Camy dan Aspire. Makin seru kisajnya. :NGAKAKGILAA

  2. Makin seru.. penasaran