Hari ini Edanland tengah mengadakan upacara kedewasaan, semua anak-anak yang menginjak usia dewasa tahun ini akan dikumpulkan di kuil Fazmadurre. Acara tersebut diadakan sangat meriah, setiap keluarga akan membuatkan persembahan-persembahan berupa hasil bumi mereka. Sesembahan-sesembahan itu akan diletakan di dalam kuil, yang mana sesembahan tersebut kemudian akan diolah sebagai sajian bagi dewa Urrzha, yakni dewa pelindung di tanah Edanland.
Dikisahkan bahwa, ketika Edanland tengah dilanda kemalangan dan dikuasai oleh Tartaur–iblis dari dunia bawah–Urrzha datang dari langit menbawa cahaya dan mengusir para Tartaur dari tanah Edanland. Sejak saat itu, nenek moyang mereka–suku tertua yang ada di Edanland–menyebut Urrzha sebagai dewa pelindung. Dari sanalah upacara persembahan dewa Urrzha diadakan bertepatan dengan hari kedewasaan, ini dimaksudkan sebagai terlahurnya generasi baru yang akan membawa kecerahan dan perdamaian seperti halnya dewa Urrzha.
Sepanjang jalan akan penuh dengan penjual makanan dan minuman, bunga-bunga di sebar di sepanjang jalan menuju kuil, panji-panji akan didirikan di setiap rumah-rumah keluarga yang anaknya menginjak usia dewasa. Simbol dewa Urrzha, bunga lili putih. Sementara anak-anak akan didandani dengan pakaian yang telah ditentukan sebelum diarak menuju kuil bersama persembahan mereka.
Semua euforia tersebut turut dirasakan oleh semua orang, termasuk Lily. Gadis kecil itu bangun lebih awal demi melihat setiap proses upacara kedewasaan berlangsung, lily telah mengenakan paian terbaiknya, ia sudah tidak sabar. Matanya yang bulat berkilat-kilat penuh minat, dari rumahnya ia bisa mendengar suara-suara keramaian yang ada di pusat desa. Ia tidak sabar menunggu Kaiya untuk menemaninya.
“Aku sudah tidak sabar,” ucap Lily penuh semangat.
Kaniya gadis yang seumuran dengannya dan satu-satunya teman Lily menjawab dengan terkikik. “Kau memang selalu tidak sabar.”
“Kau tahu? Aku tidak sabar untuk mencicipi gula-gula Mandya. Tahun lalu aku hanya mendapat sedikit saja, itupun diberikan oleh kakek Sashi yang kasihan padaku karena aku gagal menangkap gula Mandya.”
Gula-gula Mandya merupakan makanan khas yang hanya muncul setahun sekali, yakni pada saat upacara kedewasaan. Gula Mandya merupakan manisan dari buah-buahan yang sudah diolah oleh para pendeta yang akan disebar ketika upacara selesai, tujuannya adalah bentuk syukur pada semua orang yang mengikuti acara tersebut.
“Aku tidak sabar melihat arak-arakan kak Ghania.”
Tahun ini, kakak Kaniya, Ghania, menginjak usia dewasa. Untuk itu panji-panji dikibarkan di depan rumah Kaniya, keluarga Kaniya bahkan sudah berangkat sedari pagi dan menitipkan Kaniya di rumah Lily.
Bahkan Kaniya mengenakan pakaian yang sama dengan Ghania, berupa pakaian yang terbuat dari sutra halus.
“Kak Ghania sangat cantik ketika didandani, aku yakin dewa Urrzha pun akan terpesona padanya,” komentar Kaniya.
“Kau benar! Aku juga akan mencoba mengajak Saka.”
Kaniya mengerut bingung. “Saka? Siapa itu?”
Dengan senyum bangga, Lily menjawab, “Dia temanku.”
“Dari mana asalnya, kenapa kau tidak pernah mengenalkanku pada teman barumu itu?” Kaniya mencemberut bibir kesal.
“Aku tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Dia tidak mau bertemu dengan orang lain, lagi pula … aku bertemu dengannya … di hutan Selatan.”
Mata sipit Kaniya mendadak melebar begitu Lily mengatakan hutan Selatan. “Hutan-Selatan? Bukankah itu tempat para iblis dikurung? Sedang apa dia di sana?”
“Ukh, aku tidak tau, tapi … ini rahasia….” Kaniya mengangguk paham, Lily menengok ke sana kemari memastikan bahwa hanya ada mereka berdua di jalan tersebut. “Saka….”
***
Upacara utama tengah dimulai, semua anak yang menginjak usia balig berbaria mulai dari pusat desa, yakni rumah kepala adat, kemudian mereka diarak menuju kuil. Setiap anak membawa sesembahan mereka, parade tersebut dipimpin oleh pendeta dengan membawa dupa dan lonceng. Diikuti di belakangnya kepala adat juga perwakilan anak untuk membawa benda pusaka kuil berupa busur dan panah. Konon, benda itulah yang digunakan dewa Urrzha untuk mengusir para iblis dari Edanland.
Sesampainya di kuil, semua sesembahan akan diterima oleh para pendeta, mereka menyimpan hasil banen ke lumbung dan hasil karya ke tempat yang lain, sementara anak-anak akan dibawa masuk satupersatu sambil mengenakan jubah hitam dan emas.
Di dalam kuil, semua akan bersujud pada satu-satunya patung di sana. Patung tersebut adalah patung dewa Urrzha yang gagah dengan baju zirah, serta panah, dan sepasang sayap terbentang di belakang punggungnya, membawa kesan bahwa patung tersebut dibuat sedemikian rupa dengan dewa Urrzha yang sesungguhnya. Sementara anak-anak bersujud, pendeta tertua akan memercikkan air suci untuk mengusir roh jahat yang akan mempengaruhi masa depan anak-anak tersebut, kemudian memberikan masing-masing dari mereka secawan arak buah, gula Mandya, juga setangkai bunga lili putih.
Ghania bersujud dengan lima anak lainnya, dua diantaranya adalah anak lelaki. Mereka bersujud dengan pendeta tertua yang membacakan doa-doa dengan khitmat, Ghania merasakan air suci membasahi mantelnya, kemudian dalam sekejap suasana menjadi sunyi. Lonceng-lonceng yang ditabuh oleh seorang asisten pendeta kian memudar, ia masih bisa melihat pendera mondar-mandir memercikkan air suci, namun semuanya seperti gerakan lambat. Kemudian Ghania benar-benar berada dalam kesendirian, gadis tersebut ingin mengangkat kepala namun ia takut kalau-kalau ini adalah bagian dari ritual kedewasaannya. Tidak lama cahaya keemasan turun dari langit, jatuh di hadapannya seperti sebuah tirai halus. Seketika kekosongan di sana sedikit terisi. Namun Ghania masih tidak berani mengangkat wajah, ada sesuatu yang membuatnya untuk tetap bersujud di hadapan cahaya nan menghangatkan itu. Ghania tidak bisa melihat sekelilingnya, tapi dia benar-benar sendirian, kemana keempat kawannya itu? Dimana para pendeta? Kenapa hanya dia sendiri di sana?
Berbagai pertanyaan bermunculan di dalam kepala Ghania, sampai-sampai ia tidak sadar bahwa telah berdiri di hadapannya sosok lain selain dirinya. Sosok tersebut teramat magis, kedamaian menguar dari tubuhnya, tubuhnya yang kokoh berbalut baju sutra kualitas terbaik yang bahkan tidak akan ditemukan di negeri manapun, surai panjangnya nampak sehalus sutra yang ia kenakan. Sosok itu berlutut di hadapan Ghania seraya menyentuh kepala gadis tersebut.
“Ghania….”
***
Ketika Lily masuk ke mulut hutan, hari telah menjelang siang. Riuh rendah suara di pusat kota mulai menghilang begitu memasuki hutan lebih dalam. Gadis kecil tersebut seolah tidak takut dengan kegelapan hutan atau makhluk-makhluk penghuni hutan yang misterius.
Konon banyak makhluk aneh di dalam hutan, terutama di hutan Selatan ini. Makhluk-makhluk penghuni hutan ini memiliki kekuatan magis tersendiri, ada yang katanya dapat membuat orang tersesat, ada yang dapat merupa jadi makhluk lain atau benda lain, ada yang suka mencuri barang-barang dari orang yang masuk ke hutan, bahkan konon ada juga yang suka menculik anak-anak untuk dijadikan santap makan malam mereka.
Namun Lily tahu, semua cerita tersebut hanya dibuat oleh para orang dewasa agar anak-anak tidak terlalu jauh masuk ke dalam hutan.
Lalu apa yang dia lakukan sekarang ini?
Lily berumur sebelas setengah tahun, tapi ia masuk ke dalam hutan dengan suka hati. Lily kecil dengan lincahnya menyelinap di antara pohon-pohon, meerangkak di bawah pohon tumbang alih-alih memanjatnya dari atas, melompati akar pohon yang mencuat dari tanah, tidak lupa ia memetik buah-buah manis yang tumbuh liar di hutan. Wajahnya semakin cerah begitu mendengar suara gemuruh air dari kejauhan, tempat pertemuannya dengan kawan barunya tersebut sudah semakin dekat.
Saka, begitu Lily memanggilnya. Mereka bertemu beberapa bulan laku, ketika itu Lily tengah mencari bahan ramuan obat untuk ayahnya, Lily kecil mencabut bebungaan yang tumbuh liar di dalam hutan tanpa perlu takut akan dimarahi oleh si pemilik bunga. Toh itu bunga liar, pikir Lily. Saat Lily hendak mencari semacam jamur liar yang hanya tumbuh di batang pohon Ark, di sanalah ia bertemu dengan Saka.
Lily menuruni beberapa pijakan dari batu alam sebelum akhirnya sampai di tempat tujuan. Di sana terhampar kolam sungai dengan air terjun yang tinggi, airnya yang jatuh deras terbawa oleh angin, menimbulkan percikan-percikan halus seperti hujan, meski begitu airnya sangat segar sampai-sampai Lily berpikir untuk mandi di sana. Ditambah lagi tempat tersebut dikelilingi oleh tebing dan pepohonan, menciptakan lubang dari atas sehingga matahari bisa bebas masuk sesuka hati, cahayanya yang jatuh menimpa embun air mencipta refleksi pelangi yang indah di udara.
Andai saja Kaniya melihat ini, pikir Lily.
Sebenarnya, Lily sudah mengajah Kaniay untuk ikut dengannya, hanya saja gadis itu tidak ingin melewatkan hari besar kakanya. Karena kalau ia di posisi kakannya, ia juga akan kecewa kalau kakak kesayangannya itu tidak hadir di hari besarnya seperti ini. Jadi Lily memilih menemui Saka sendiri.
“Kau terlambat, Lily.”
Terdengar suara jengkel dari seseorang, Lily menoleh dan matanya langsung bertemu dengan seorang anak lelali, diperkirakan umurnya sekitar enam atau tujuh belas tahun. Tubuhnya tinggi dan tegap, otot-otot tubuhnya sudah terbentuk–atau memang sengaja dilatih–tatapannya yang tajam menyiratkan kesan jijik dan jengkel–itu sudah biasa, menurut Lily, sudah sejak pertama mereka bertemu–bibirnya setengah mencibir ketika berbicara, menyiratkan bahwa sekaki anak lelaki ini bicara makan yang keluar adalah sebuah hinaan atau makian. Meski begitu wajah anak lelaki setengah matang ini memiliki wajah yang luar biasa tampan, jenis ketampanan yang tidak bisa dicari dari seorang pangeran sekalipun, atau mungkin dia lah pangeran di antara pangeran, begitu pikir Lily yang naif. Meski bekas luka mengerikan menghiasi wajah sebelah kirinya, namun tidak menutup ketampanan di wajah remaja lelaki itu.
Namun, di antara semua kekacauan yang ada pada anak tersebut, ada yang lebih menarik. Yakni, sepasang sayap gelap yang menempel di punggung remaja tersebut. Sepasang sayap itu sekarang terlipat rapih, bulu-bulu halusnya nampak berkilauan begitu tertimpa cahaya matahari.
“Saka!!”
Saka yang sekarang berdiri di tepian kolam meregangkan sayap-sayapnya, bersiap untuk terbang mungkin. Benar saja, dalan sekali hentakan kecil remaja lelaki tersebut melayang, ia melayang seolah tidak berbobot, seolah-olah ia seringan bulu.
Lily yang menyaksikan aksi yang sengaja dilakukan Saka tersebut selalu berhasil membuatnya terkagum-kagum, Lily kecil menengadah mencoba melihat aksi pamer lainnya dari Saka. Hanya saja cahaya matahari menghalangi pandangannya, membuat Lily harus memicingkan mata atau menggunakan tangan mungilnya utuk menghalau cahaya matahari. Setelahnya–entah berapa putaran–Saka turun dengan anggun, cahaya yang jatuh di belakang punggung Saka membuatnya nampak seperti malaikat yang turun ke bumi, kesan magis semakin terasa begitu Saka mendarat di sebuah batu di hadapan Lily kemudian berjongkok agar tingginya menyamai tinggi anak perempuan tersebut.
Lily tidak mengerti apa yang membuat Saka tampak berbeda hari ini, mungkin karena pedang yang tergantung di pinggangnya, atau karena Saka yang mengenakan pakaian khas berperang hari ini, atau apapun itu, Lily merasa ada yang berbeda dari Saka.
“Harusnya kau mendapat hukuman, makhluk kecil.”
Suara Saka yang berat menyadarkan Lily, gadis kecil itu mencemberutkan wajah.
“Masih untung aku datang.”
Saka berdecak, ia mengubah duduknya menjadi bersila, sekarang ia lebih pendek beberapa centi dari Lily. Gadis itu jadi tidak harus menengadah terlalu sering.
“Jadi … ada apa dengan hari perayaan dewa Urrurrumu? Apa patungnya tiba-tiba hancur terkena sambaran petir? Atau seorang dari anak puber itu melempar tomat ke wajah dewa Urrurrru? Atau….”
“Tidak seperti itu!”
“Atau jangan-jangan patung dewa abal-abal itu bergerak dan berteriak ‘Mari kita hentikan pemujaan ini!’ pada semua orang?”
Lily yang tidak paham dengan arah pembicaraan Saka hanya meneleng kelapa dan seolah tidak pedulia–atau memang tidak peduli–dengan leluco aneh Saka, Lily malah membelot ke arah pembicaraan lain.
“Aku menbawa sesuatu!”
“Biar aku tebak, buah liar?”
Lily tercengang. “Bagaimana kau tahu?!”
“Mudah, aku hanya perlu mengikutimu.”
Mata bulat Lily semakin membulat terkejut. “Jadi kau sudah membuntutiku sedari tadi?!”
Saka bergumam tidak menjawab tapi pura-pura berpikir. Lily segera mengajukan pertanyaan lain. “Apa kau juga melihat perayaan itu? Ramai sekali bukan? Beberapa tahun lagi aku juga akan mengikuti upacara itu! Aku tidak sabar!”
“Kau tidak sabar bertemu dengan patung dewa bodohmu itu?” tanya Saka tajam.
“Tidak juga,” sahut Lily polos. Sebuah senyum terukir di bibir Saka, namun segera hilang begitu Lily melanjutkan, “Tapi, jika aku beruntung aku ingin bertemu langsung dengannya.”
Senyum sumringah di bibir Lily membuat Saka sedikit jengkel. Apa sih bagusnya menyembah dewa bodoh semacam Urrzha tua? Mereka hanya dibutakan oleh cerita-cerita nenek moyang mereka yang bodoh dan naif!
Saka berubah serius. “Lalu, apa yang akan kau lakukan jika bertemu dengan dewamu itu?”
Dengan amat polos sambil tidak memedulikan tatapan tajam Saka yang bisa melubangi kepala itu, Lily menjawab, “Aku ingin meminta obat penyembuhan untuk ayah.”
Seketika segala kaku di wajah Saka memudar, terganti oleh kelembutan dari seorang remaja lelaki. Ia menarik ujung dagu Lily agar gadis cilik itu menatapnya, dipandanginya wajah ayu Lily. Sejak pertama Saka memang sudah tertarik pada gadis cilik yang bahkan tetap mendekat walau dirinya berada di bawah ancaman pedang. Gadis yang menatapnya dengan penuh penasaran alih-alih lari dan menangis dalam pelukan ibunya. Sejak tangan mungil Lily menyentuhnya sejak saat itu Saka merasakan getaran lain pada gadis mungil tersebut, sesuatu yang ada dalam diri gadis itu yang membuat Saka tertarik, sejak saat itu Saka mengklaim bahwa gadis itu adalah mainan barunya. Namun, lama kelamaan, Saka mulai memahami perasaannya sendiri, Saka menginginkan gadis itu. Menginginkannga sebagai seorang lelaki, mungkin karena sikap polos Lily, atau keberanian Lily, atau paras ayu gadis cilik itu yang membuat Saka semakin terjebak dalam penyiksaan untuk tidak membawa kabur anak orang hanya untuk memenuhi kepuasannya sendiri.
Akan tetapi, melihat Lily yang menjawab polos seperti ini, rasanya bukan tidak mungkin kalau Urrzha tua yang asli muncul di hadapannya juga akan ikut-ikutan jatuh hati pada Lily. Membayangkannya saja Saka sudah enggan, apa lagi kalau hal itu benar-benar terjadi. Entah apa yang akan ia lakukan pada dewa bodoh itu. Melihat Lily dengan jarak sedekat ini membuat sesuatu dalam jiwa Saka bergejolak kuat, mungkin ini juga efek dari masa pubertasnya. Namun, Saka berusaha menahan semua itu agar kelinci kecil tersebut tidak kabur thnggang langgang.
“Kalau kau ingin obat penyembuhan untuk ayahmu, kau tidak perlu menunggu sampai kau dewasa dan bertemu dengan dewa bodohmu itu. Aku bisa memberikannya kalau kau meminta itu padaku.”
Lily menimpali. “Tapi kau meminta imbalan yang aneh, aku tidak mengerti.”
Wajah Saka seketika mengeras. Ya, memang Saka pernah menawarkan obat pada Lily, ramuan tersebut dibuat oleh tangan seorang tabib yang ahli. Obat yang hanya ada di dunianya, obat yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Di dunianya, ramuan tersebut diminum oleh para prajurit setelah berperang, cukup sekali teguk maka segala luka akan sembuh, namun memang tidak berefek pada luka sihir atau racun yanh mematikan.
Sedangkan jika itu diminum oleh manusia, maka cukup satu tetes, satu tetes saja tidak lebih. Maka segala penyakit yang diderita manusia tersebut akan sembuh, baik itu luka dalam atau luka luar. Tapi jangan menggunakannya berlebihan, karena efeknya bisa berbahaya bagi tubuh manuisa itu sendiri.
Begitu Saka menjelaskan itu semua dengan bersemangat membara Lily meminta satu tetes ramuan itu untuk ayahnya. Saat itu Saka yang masih baru-baru itu menyadari perasaannya pada Lily menjawab dengan angkuh. “Boleh saja. Asal kau mau memberikan sebagian jiwamu padaku.”
Padahal jiwa yang Saka maksud adalah jiwa yang lain, namun Lily yang polos mengira Saka meminta setengah dari kehidupannya. Tanpa berpikir panjang Lily kecil menyetujui permintaan Saka. “Baiklah, tapi kalau ayah sudah sembuh total … kau baru boleh mengambil sebagian nyawaku.”
Mendengar hal itu Saka marah besar, gadia ini benar-benar tidak mengerti maksud dari perkataannya itu. Alhasil, kesepakatan itu batal. Saka hilang minat dan Lily yang tidak lagi merengek meminta ramuan itu darinya.
Saka berdecak sebal karena mengingat hal itu, ia melepaskan Lily yang kemudian sibuk membuka kantung di tangannya.
Begitu tangan gadis itu dikeluarkan dari kantung dengan segenggam buah segar indra penciuman Saka berkedut. Aroma asam bercampur manis dari berbagaimacam buah liar membuat Saka menoleh, Lily menyodorkan buah-buahan itu pada Saka dengan senyun sumringah.
“Aku mendapatkan buah Ruan. Rasanya asam tapi sangat segar kalau dimakan, mau mencobanya?”
Saka menatap buah di depannya dengan senyum sumringah Lily, kemudian remaja lelaki tersebut menghela napas menyerah.
“Baiklah, aku akan mencobanya.”
“Benarkah?!”
“Ya. Berikan padaku.”
Dengan senang hati Lily menyodorkan buah bulat berarna biru itu pada Saka, si penerima bukannya menengadah tangan tapi malah membuka mulutnya. Lily yang sempat kebingungan hanya menggantung tangannya di udara, sementara Saka yang menunggu malah sebal karena mulutnya tidak kunjung mendapat kesegara dari buah di tangan Lily.
“Kenapa kau diam saja? Cepat suapkan padaku!”
Suara Saka yang keras dan dalam membuat Lily terlonjak, gadis kecil tersebut buru-buru memasukkan sebutir demi sebutir buah Ruan ke dalam mulut Saka. Sampai buah terakhir masuk ke dalam mulut Saka dan remaja lelaki itu mendesah kekenyangan.
“Buahnya enak bukan? Memang sedikit asam, tapi ini enak.” kata Lily sumringah.
Saka yang tidak memedulikan pertanyaan Lily malah lebih tertarik pada hal lain. Ia malah lebih tertarik pada jemari Lily yang sedari tadi menyuapinya, jemari mungil tersebut berwarna biru, mungkin karena sari buah yang merembas. Ketika gadis cilik tersebut hendak mengelap sisa sari madu dari tangannya tanpa diduga Saka menghentikannya. Remaja lelaki tersebut serta merta menarik tangan Lily ke arah mulutnya, dan tanpa bicara Saka menjilat sisa sari buah yang ada di tangan Lily sampai hanya menyisakan warna biru pudar di permukaan kulit putih Lily.
Sementara itu si pemilik tangan malah tercengang tidak bergerak, sensasi baru yang ia rasakan membuat napasnya tertahan dan jantungnya berdebar terlalu kencang. Otaknya yang masih suci mendadak harus berpikir keras prihal apa yang baru saja Saka lakukan pada jarinya.
“Yang ini lebih manis.”
Bak sihir sejurus kemudian wajah Lily menjadi merah padam. Buru-buru Lily menarik tangannya kembali kemudian memberikan sekantung buah yang tersisa pada Saka dengan melemparnya sebelum akhirnya gadis itu melarikan diri.
Apa yang tadi itu?? Apa yang dilakukan Saka?
Lily berhenri di sebuah pohon rimbun, napasnya terengah. Ia meninggalkan Saka begitu saja, anak itu pasti marah.
“Hei, kebapa kau kabur begitu?”
“Uaaaah!”
Saka bergelantung terbalik di dahan pohon membuat Lily jatuh terduduk di tanah.
“Ya ampun, kau ini kenapa….”
“Jangan mendekat!”
Lily berteriak sampai-sampai ia sendiri terkejut dengan suaranya yang keras, tangan Saka yang hendak meraih Lily menggantung di udara. Ekspresinya terkejut.
“Kenapa kau berteriak padaku?”
“So, soalnya ka, kau aneh….”
Saka mengerut kening tidak paham. Remaja lelaki itu lantas berjongkok di hadapan Lily sampai benar-benar bisa melihat wajah semerah tomat gadis kecil itu.
Saka yang menyadari perubahan sikap Lily malah menyungging senyum senang. Terlintas sebuah ide di kepala Saka setelahnya.
“Lalu kenapa mukamu merah seperti tomat?” Saka menyentuh wajah Lily yang membuatnya beringsuk mundur, menjauhi Saka. Ketika dilihat-lihat wajah Lily semakin menjadi-jadi sampai-sampai hampir menangis. Melihat hal tersebut membuat Saka gagal menahan diri untuk tertawa.
Remaja lelaki itu tertawa kesenangan samapi terguling ke tanah, mendengar tawa Saka yang menjengkelkan membuat Lily sadar bahwa ia sedang dikerjai. Gadis kecil itu lantas mencemberutkan wajah sambil melempar apa saja di sekitarnya, meski yang didapatnya hanya daun dan rumput.
“Wajahmu lucu sekali.”
“Berisik! Kau selalu mengerjaiku!”
Saka masih tetap tertawa.
“Sudahlah, aku ingin pulang! Lebih baik aku pergi bersama Kaniya daripada bersamamu di sini.”
Namun sebelum Lily beranjak pergi, Saka serta merta menangkap lengan mungil Lily untuk kemudian kembali membuatnya duduk di hadapannya.
“Baiklah, baiklah. Maafkan aku.”
Lily masih mencemberutkan wajah. “Kau bercanda kan?”
“Aku serius, maafkan aku. Aku tidak sedang mengerjaimu. Aku benar-benar minta maaf.”
“….”
“Apa kau mau memaafkanku?”
Dengan anggukan kecil khas anak-anak, Lily memaafkan Saka dengan begitu mudahnya.
“Astaga, kau benar-benar…. Apa kau mau berjanji padaku, Lily?”
“Janji seperti apa?”
Saka mengeluarkan jari kelingkingnya. “Kelak ketika kau dewasa nanti dan sudah cukup mengerti dengan perasaanmu sekarang, mau kah kau berjanji untuk tidak menikah dengan siapapun? Dan mau kah kau berjanji untuk ikut denganku ke dunia yang belum pernah kau lihat sebelumnya? Dunia yang jauh berbeda dengan duniamu. Mau kah kau berjanji padaku?”
Lily mengedip-ngedip matanya kebingungan, ditodong dengan serentetan janji dan kalimat yang tidak ia mengerti membuatnya bingung.
Kenapa Saka meminta hal-hal yang aneh lagi padanya?
“Lily…mau kah kau berjanji?”
Masih dengan kebingungan, Lily pada akhirnya menyambut kelingking Saka. Mengaitkan jemari mungilnya ke kemari Saka yang besar. “Baiklah, aku berjanji.”
Saka tersenyum puas. “Bagus. Sekarang….”
Sebuah bayangan melintas di atas kepala mereka. Saka yang merasakan sesuatu yang aneh serta merta mendongkok ke langit. Dari atas sana, makhluk-makhluk bersayap besar terbang menyeberangi hutan menuju pusat kota. Satu, dua, tiga, empat … dan semakin banyak. Lily yang penasaran dengan perubahan ekspresi Saka yang menegang ikut-ikutan menengadah. Alih-alih takut, gadia itu malah takjub dengan sekawanan besar makhluk bersayap yang rupanya hampir mirip dengan Saka.
“Saka, apa mereka kawan-kawanmu?” Lily menujuk-nunjuk mereka. “Wah merreka banyak sekaki, kemana mereka akan pergi?”
Mengacuhkan pertanyaan Lily yang berruntutan, Saka melihat sekelebat sosok yang ia kenal ikut bergabung bersama kawanan besar makhluk tersebut.
“Saka….”
“Dengar! Sebaiknya kau cepat-cepat kembali….”
Karena kakut, Saka sampai mencengkram bahu Lily. “Masuk kedalam rumahmu. Kunci semua pintu dan jendela, bersembunyilah ke tempat yang tidak akan bisa di lihat oleh mereka! Jangan sampai para makhluk itu menemukan kalian.”
Lily yang kembaki dibanjiri perintah tersebut hanya mengangguk bingung. Ia masih melongo begitu Saka melepas cengkramannya. Karena jengkel akhirnya Saka membentaknya. “CEPATLAH!”
Seketika itu juga Lily melesat berlari untuk kembali ke rumah. “Lily!”
Gadis kecil itu menoleh pada Saka yamg berdiri di sana, ia memperhatikan lagi Saka yang tumbuh sebagai remaja, dengan sagap dan bekas luka di wajah. Lily merasakan persaan yang aneh sesaat sebelum Saka berucap. “Jaga dirimu,” diakhiri dengan senyum yang tidak terbaca.
Dan itu adalah akhir dari sebuah kisah di atas tanah Edanland. Sebelum akhirnya darah dan kehancuran melumuri tanah itu.
Tangisan, jeritan, kesedihan, dan kehilangan….
Apa semua itu bebar-benar akhir?
Tidak.
Ini adalah awal dari sebuah akhir.
Jedeeeerrrrree….
Apakah ini? 🤔🤔🤔
Apakah ini cerita baru?seru…. bagaimana dengan cerita sebelumnya?
Maaf…
Selagi nunggu cerita berikutnya, mari kita dengarkan alkisah yang satu ini 😅
Kenapa aq deg2 an ya
Wkwkwk ada apakah ini?? 🤔🤔🤣🤣 :nyengirlebar
Cerita barukah??ada lanjutannya ga?
Saya enggak yakin sih bakal ada terusannya 🤔
Liat mood aja yah :huhuhu
Thanks udh baca
saya selalu suka apa aja cerita yang dibuat chocovado..jadi selalu setia nunggu lanjutannya…semoga semua ceritanya terus berlanjut sampai ending..jangan berhenti sebelum selesai yaaaa,…semangattt😊😊
Saya terharuuuu
mau liat lanjutannya gmna ya .soalnya bngung mau cari part selanjutnya
Wkwkwk ini cuma 1, nyambung sma prolog kemarin 😅 jadi angep aja prolog atau part 1 :nyengirlebar :nyengirlebar :nyengirlebar
Ini beneran gak da cerita lanjutannya ???
Belum ada mungkin 😅🙏
Ini ad kah lgi lnjutanya😍😍
Lanjut ka ini seru banget