Vitamins Blog

The Billionaire’s Strongest Prey – 1

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

Sean bertemu Julie pertama kali di acara pertunangan adiknya, Dean.

Rambut pirang jagungnya dikuncir satu, helai-helai rambutnya menjuntai menggoda menyapu lehernya yang jenjang dan putih. Sean menatapnya tanpa berkedip. Postur tubuh Julie terbungkus ketat dengan seragam pelayan yang mereka kenakan hari itu, kemeja putih, vest merah darah, dan rok sebatas di atas lutut hitam, serta sepatu flat senada rok.

Ketika wanita itu berbalik, nafas Sean tertarik keluar dengan kasar. Sepasang mata biru bersinar pada wajah berbentuk hati yang sempurna. Sementara bibir tipisnya yang berlapis lipgloss tipis tak henti-hentinya mengembangkan senyum.

Wanita itu memiliki semua bakat sang dewi penggoda, namun tampaknya dia tak menyadarinya. Kepolosan murni jelas-jelas terpapar jelas memancar dari dirinya. Terserlah, seperti kilau sampanye yang dihidangkannya. Dan hal itu menjadi afrodisiak bagi Sean. Tak ada hal yang membangkitkan gairahnya dengan begitu cepat, selain wanita polos nan murni untuk menjadi mainan barunya.

Terlebih, hanya dengan sekali pandang, Sean tahu wanita itu hidup dikelilingi dengan kehangatan, cinta, kasih dan tetek bengek sentimentil lainnya. Sean bisa merasakan kepuasan yang akan hadir saat membayangkan tetesan air mata serta wajah penuh kehancuran saat dia menghadirkan hal-hal “baru” yang tentunya tak pernah dirasakan wanita muda nan murni itu di dalam zona amannya.

Pusat perhatian Sean sepenuhnya terpaku pada Julie yang berdiri hanya beberapa meter darinya. Dengan tekun dia mencatat pesanan kustomer yang jelas menaruh perhatian lebih padanya. Berharap jika dia juga bisa memesan Julie untuk menemani malam mereka.

Sean duduk beberapa meja dari tempat Julie berada. Hari ini lelaki itu tampak sederhana, dengan memakai sweater rajut berwarna cokelat muda dan celana jins pudar. Namun itu semua tetap tak bisa menghindarkan Sean dari tatapan lapar wanita-wanita yang berada di sana. Dia tidak mengacuhkan mereka, dia sudah memiliki mangsa. Sean tak membutuhkan mereka untuk melepaskan hasrat yang begitu menggebu-gebu pada dirinya. Terkecuali wanita pirang berkuncir itu.

“Ada yang bisa kubantu, sir?”

Suara itu terdengar bersemangat, Sean mendongak lambat. Dia menatap pelayan wanita itu dengan senyum khasnya, membuat wanita di hadapannya berdiri gelisah karena gugup.

Sean sangat tampan, dan pria itu memanfaatkan setiap keuntungan yang dimilikinya.

“Yah… yah… Tentu saja kau bisa membantuku, dear…” Sean mengulur-ulur suara seksinya dan menatap pelayan itu.

“Apapun, sir!!”

Sean menyilangkan tangan dan menyandarkan punggungnya di kursi kayu, agak tak nyaman.

“Aku ada urusan dengan Julie, bisa kau beri tahu dia?”

Wanita itu menatap bergantian pada Sean lalu Julie yang masih berbicara dengan kustomernya.

“Dan anda adalah?”

“Teman… Aku temannya…” Sean nyengir dan mengedipkan mata.

“Ah… Aku mengerti.” Ada nada kecewa di balik suara wanita itu.

“Dan tentu saja kau bisa membawakanku air mineral, serta mengambil alih kustomer Julie agar dia cepat menemuiku, kan? Please, hun?” Sean tersenyum nakal. Menelusupkan tangannya di balik telapak tangan wanita itu, memberikan tip sebanyak yang wanita itu hasilkan selama bekerja seminggu.

Meskipun wanita itu kecewa tak mendapatkan apa yang menjadi tujuan utamanya -Sean, tentu saja- menerima uang sebanyak itu membuat moodnya membaik. Dia terkikik menjijikkan dan mengedipkan mata pada Sean.

Wanita itu mendekati Julie dan berbisik padanya, menunjuk pada Sean. Lalu Julie menoleh dan jelas sekali rasa tidak suka muncul di wajahnya. Pria tampan itu memberikan salute yang dibalas Julie dengan cibiran.

Sebuah kemajuan, pikir Sean. Setidaknya dia memberikan reaksi, tak seperti dulu, berkedippun Julie enggan.

Langkah Julie dihentak-hentakkan saat menghampiri Sean. Kuncir kudanya bergoyang hebat, membuat Sean bertanya-tanya bagaimana rasanya menarik kuncir itu saat dia memasuki tubuh Julie yang indah dan padat.

“Aku tak tahu jika kau juga seorang stalker!” bentak Julie, wajahnya memerah karena marah, dia membenci pria di hadapannya. Sangat!

Pria arogan, sok tampan, walaupun dia memang tampan. Mungkin lebih tepatnya dia sangat tahu dia sangat tampan dan jelas-jelas mengeksploitasinya. Dengan gaya sombong menyebalkan, dia mencoba merayu Julie pada acara pertunangan adiknya hampir sebulan lalu. Saat Julie disewa menjadi salah satu pelayan di acara itu.

Sean bisa dikatakan melakukan pelecehan seksual kepadanya. Meraba-raba bokong Julie seakan dia berhak. Mengajaknya untuk pergi bahkan sebelum acara selesai untuk bersenang-senang. Pria brengsek.

“Bagaimana kau tahu aku bekerja disini?”

Sean mengangkat bahu. “Aku memiliki koneksi.”

“UGH!!”

“Jam berapa kau free?” Tanya Sean mengabaikan geraman Julie. Dia semakin menikmati hal ini. Mangsa yang susah diraih lebih memacu semangat Sean untuk menghancurkan mereka lebih parah. Hasil akhirnya biasanya lebih memuaskannya.

Julie menarik nafas kesal dan tersenyum sopan dipaksakan.

“Tuan, jika anda hanya ingin duduk-duduk di sini dan tak memesan apapun, lebih baik anda pergi karena banyak pelanggan lain yang menunggu untuk mendapatkan meja.” Ujar Julie dengan nada sopan dan resmi, namun sarat dengan sarkasme. Wanita itu hendak berbalik pergi meninggalkannya, tetapi kalah cepat dengan Sean yang menarik tangannya.

“Ayolah, Julie! Kencanlah sekali saja denganku. Kau tak akan menyesal! Aku bisa memberi apapun untukmu. Termasuk kepuasan yang tak bisa kau dapatkan dimana-mana selain di ranjangku. Impian terliarmu akan terwujud denganku.” Janji Sean dengan senyum serta maskulinitas yang mempesona. Tak ada yang tak meleleh dengan senyuman itu. Janji kenikmatan terpancar, sanggup memenuhi pembuluh darah kaum hawa hingga bergairah padanya.

Tapi bagi Julie, senyum itu benar-benar tak bermakna. Mata pemilik senyum itu tak menampakkan adanya kehangatan. Mata itu begitu dingin hingga yang Julie rasakan hanyalah kehampaan. Dia menepis tangan Sean dan mengamati sosok sempurnanya. Dia menghela nafas, menyampaikan isyarat bahwa dia benar-benar terganggu.

“Kau lihat temanku itu,” Julie menunjuk wanita yang melayani Sean tadi. “Dia sangat amat tertarik padamu. Kenapa kau tidak mengajaknya saja? Aku tidak berminat. Jadi, berhenti membuntutiku seperti psikopat gila dan cari wanita lain. Semoga hari anda menyenangkan, sir.”

Dan Julie berlari menjauh dari Sean.

Dia mendengar kekehan ringan dibalik bahunya. Kurang ajar!

*****

“Dimana kau bertemu kekasih tampanmu itu?”

Julie membanting loker usang di depannya. Dia menjumput ujung kaos abu-abu seragam kafe yang dikenakannya, menarik lolos keluar dari kepalanya. Wajah bosannya menghadap pada Mia, teman sesama pelayan.

Mata Mia berbinar, “bisa kau kenalkan satu untukku? Aku yakin teman-temannya tak akan kalah tampan darinya! Aku sudah lama tak berkencan! Satu malam pun aku tak masalah.”

Ya Tuhan! Julie ingin sekali merendam kepala Mia. Apa wanita itu tidak punya harga diri? Julie tak pernah mengerti dengan wanita bebas seperti Mia. Dia menganut sistem yang kolot karena neneknya. Berhubungan seks dilakukan setelah menikah. Pada usianya yang ke 24 tahun, dia masih sang perawan suci. Ciuman? Dia pernah melakukannya. Setidaknya dua kali, lumayan. Lebih dari itu Julie tak pernah memikirkannya.

Sean jelas penjahat kelamin. Di keningnya sudah tertulis kata SEKS dengan lampu berpijar-pijar terang benderang. Tentu saja Julie tak ingin dekat-dekat dengan pria yang jelas-jelas memperlakukan wanita seperti tisu sekali pakai.

“Jika kau mau, kau boleh mengambilnya. Dia bukan kekasihku! Aku bahkan tak mengenalnya.”

Julie memakai tanktop dan jaket denimnya. Dia melepas kuncirnya, rambutnya bergumpal dan terasa kasar di tangannya. Dia harus keramas hari ini.

“Kau yakin?” tanya Mia, kesan mendamba terdengar di dalam suaranya.

Yang benar saja! Apa berhubungan seks dengan pria sebrengsek Sean begitu indahnya?

“Dengan senang hati, darling! Aku bahkan sudah memberitahunya jika kau tertarik padanya. Aku akan mengenalkanmu langsung padanya jika dia datang lagi!”

Yang dia harap tidak akan pernah terjadi.

Jika Sean datang lagi, Julie akan bersembunyi di toilet.

*****

Kemana dia harus bersembunyi?

Pria sialan itu menunggunya di parkiran depan kafenya. Menyandarkan bokongnya yang padat dan berisi di atas kap mobil sport sejenis Ferrari, mungkin. Julie tak tahu jelas jenis mobil, dia hanya menebak.

Dia tersenyum seakan dia adalah kekasih Julie dan sedang menunggu wanita itu untuk mengantarnya pulang.

“Hai, babe…

Julie tak menanggapi. Dia melewati Sean begitu saja.

“Apa kau butuh tumpangan?” Tanya Sean menjajari Julie dan mengikuti ritme langkah wanita itu.

“Tidak, terima kasih.” Katanya ketus.

Julie berjalan cepat. Berlari agar tak ketinggalan lampu hijau, dia butuh menyeberang. Dia tak heran saat langkah berat Sean membuntutinya di belakang. Otaknya memerintahkan kakinya untuk berjalan lebih cepat, dia harus melepaskan diri dari lelaki ini.

“Aku akan mengantarmu.”

“Tidak perlu. Aku wanita dewasa. Aku bisa menjaga diriku sendiri.” ucapnya. Dia berbelok memasuki gang sempit yang diapit dua bangunan bata bertingkat dua.

“Aku tahu kau wanita dewasa. Aku bisa melihatnya,” Julie merinding, suara Sean sangat mesum. Kenapa pria itu tak pergi-pergi? Pinggiran kota seperti ini tak menerima pria sekaya dia.

Julie menghentikan langkahnya. Dia mengetuk-ngetuk ujung kakinya ke aspal becek yang disebabkan oleh air kotor mengalir dari kontainer sampah di dekat mereka. Bau menyengat dan udara lembab, seakan tak disadari Sean atau dia sengaja pura-pura agar Julie terkesan.

“Sudah cukup! Kau tak pantas berada di sini!”

“Kenapa?”

“Lihat dirimu dan lihat sekelilingmu. Habitatmu bukan di sini, sir!”

“Lalu dimanakah habitatku itu, sayang?”

Neraka, mungkin? Pikir Julie kesal. Dia menahan diri untuk tidak muntah. Wajah Sean begitu angkuh! Dia pikir dia bisa merayu Julie?

“Kau seharusnya berada di penthouse atau kondominium mewah milikmu. Mengendarai mobilmu itu dan menghambur-hamburkan uang dengan wanita cantik. Bukannya berperilaku seperti kriminal yang membuntuti wanita sampai-sampai berjalan kaki ke gang kumuh seperti ini,” papar Julie.

Kesabaran Julie sudah menipis dan pria mesum itu bukannya merasa tak enak, dia malah tertawa. Tepat di depan wajah Julie tanpa malu.

“Benar-benar ada yang salah dengan isi otakmu, Tuan!” sentaknya galak, berlari lagi.

Pria itu sudah membuatnya berlari tiga kali. Di malam pesta dia melecehkan Julie. Di kafe tempat kerjanya, lalu sekarang di gang menuju rumahnya. Pria itu mau membuat Julie berlari berapa kali?

“Jangan ganggu aku lagi!!” teriak Julie.

*****

“Oh, Julie! Dia datang lagi!”

Julie mendengar teriakan Mia ketika pintu kafe menutup.

Keinginan membunuhnya jadi meningkat berkali lipat, karena dia tahu siapa yang dimaksudkan oleh Mia. “Kau boleh melayaninya.” Sahutnya galak. Dia mengambil teko dan berkeliling menawarkan tambahan kopi kepada beberapa kustomer. Berusaha mengambil jarak terjauh dari radar mata mesum lelaki itu.

Sean mengedipkan mata kepada Mia dan duduk di tempat kemarin dia datang. Hari ini dia mengenakan kaos putih dan celana jeans hitam, membungkus pas pada tubuhnya. Otot lengan, kaki dan otot perutnya tersajikan seperti makanan penutup mewah. Beberapa wanita meliriknya penuh harap, cekikikan dan mendesah. Semua mata mengagumi dirinya.

Sean mengaitkan jemarinya dan menyandarkan dagu di atas tangannya. Sejurus kemudian Mia datang seperti semut menemukan gula. Pantatnya bergoyang dengan goyangan yang berlebihan. Dari sudut matanya, Julie bisa melihat semua adegan menggelikan itu, yang membuatnya hendak tertawa geli.

“Hai dear…” Sapa Sean.

Mia menarik nafas, hampir terlonjak kesetanan. Sean sangat tampan hari ini. Rambut gelap kecoklatannya ditata naik ke atas. Mia memberikan nilai sempurna untuk penampilannya.

“Selamat siang, sir. Anda ingin pesan apa? Kami punya menu spesial hari ini. Dan khusus untuk anda, saya termasuk di dalam menu tersebut.” Celoteh Mia dengan wajah genit. Dia benar-benar berusaha keras menarik perhatian Sean, bahkan dua kancing teratas kemejanya terlepas. Mia sebisa mungkin memperlihatkan asset menggiurkan miliknya.

Sean menyamarkan dengusannya dengan tawa kecil. Dia membuka menu dan memilih seadanya. “Kurasa aku ingin tuna asap, mocktail spesial hari ini dan senyum manismu.”

Mia berbinar, dia memekik kepalang kegirangan.

“Anda akan mendapatkannya, sir! Ada lagi?”

Please tanyakan nomor handphoneku, doa Mia.

“Tidak, cukup itu saja, hun. Oh, dan tentu saja tolong sampaikan salamku untuk Julie.” Kata Sean manis dan Mia tak jadi marah karena menerima senyum dari pria setampan itu. Dia mengangguk seperti puppet yang lepas kendali.

Mia masih tersenyum memamerkan giginya ketika dia bergegas menyampaikan pesanan Sean pada dapur. Dia lalu mendekati Julie yang sedang merapikan serbet di konter sembari duduk bersandar.

“Sang pangeran tampan memintaku menyampaikan salamnya untukmu. Tuhan, dia benar-benar menginginkanmu.” Ucap Mia iri. Dia menyandarkan punggungnya ke dinding seperti Julie dan melirik Sean.

“Dia bisa terus bermimpi.” Rutuk Julie menyilangkan tangan.

Wajahnya mengeras karena kesal.

“Kenapa tidak kau terima saja dia? Dia sempurna! Dan jelas dia hanya menginginkan dirimu. Dia bahkan tak sedikitpun melirik dadaku!” Mia membusungkan dada suburnya yang nampaknya hendak melarikan diri dari kemejanya yang dua ukuran lebih kecil.

“Aku tak suka pria mesum.”

Mia terkekeh.

“Semua pria itu mesum!”

“Mesum itu memiliki tingkatan, asal kau tahu saja Mia. Dan yang satu ini levelnya sudah mencapai level teratas. Dia seorang monster mesum.”

Mia tertawa keras, menarik perhatian Sean. Pria itu menoleh, alis kirinya naik penuh tanya.

“Kenapa kau bilang begitu?”

Julie mengusap keringat di keningnya.

“Kau ingat acara pertunangan sebulan lalu?”

“Yang di mansion megah seperti kastil itu?”

Julie mengangguk. “Dia kakak dari pihak prianya, Sean Leighton. Dia merayuku di sana, meraba-raba bokongku dan mengajakku pergi bersenang-senang. Aku bukan pelacur, demi Tuhan!! Dasar pria brengsek! Dia sangat arogan, merasa dunia ada di bawah kakinya. Ugh!” cecar Julie muak.

Mulut Mia membulat. “Wow. Tampan dan kaya! Dan sekarang dia membuntutimu?”

“Sepertinya begitu.”

Mia mendesah keras. “Kau beruntung!”

Julie tersentak. Dia menatap garang ke Mia. “Kau gila? Apanya yang beruntung? Pria itu kutukan.”

“Bagiku itu keberuntungan! Ck, memang sulit berhadapan dengan seorang perawan suci sepertimu.” Geleng Mia putus asa.

Bibir Julie mengerucut.

“Apa salahnya menjadi perawan?”

Mia terkekeh. “Kau tak bisa menyicipi banyak pria di luar sana!”

“Aku tak peduli. Aku ingin berhubungan seks dengan satu pria saja seumur hidupku.”

Mia menggeleng takjub. “Kau spesies langka.”

“Terima kasih, kurasa?” ujar Julie sarkastik.

“Jadi kau akan menolaknya?”

“Tentu saja! Dia lebih baik segera sadar jika pengejarannya tak akan membuahkan hasil.”

“Kau yakin?”

“10.000 persen yakin atau namaku bukan Julie McKenna.”

*****

Sean memandang dari balik kaca jendela lounge area VIP-nya di klub. Dia menyapu manusia dengan tatapannya, mencari-cari sesuatu untuk mengurangi penat. Kelelahan bekerja dan semangatnya untuk mendapatkan Julie harus disalurkannya keluar, agar dia bisa beristirahat tenang hari ini. Lalu dalam proses pencariannya, matanya tanpa sengaja bertemu dengan mata coklat yang mirip dengannya. Dia mengangguk, melambai pelan pada adik bungsunya, Ben yang tengah duduk di meja bar. Adiknya itu bergerak, menepuk pundak pria yang duduk di sebelahnya dan meninggalkannya.

Sean menutup tirai. Dia menyilangkan kaki dan menuang anggur merah, menunggu sang adik masuk ke sarangnya. Kemudian dia membuat gerak tos ke udara ketika melihat Ben membuka pintu dan perlahan memasuki ruangan temaram, berdinding beludru merah yang di sewanya.

“Aku tak menyangka akan bertemu denganmu di sini,” kata Sean menegak anggurnya. “Apa wanitamu sudah membuatmu bosan?” hinanya.

Ben mengabaikannya dan duduk di seberang Sean. Dia membalik gelas, menuangkan anggur untuk dirinya sendiri.

“Aku menemani rekan bisnisku.” Kata Ben singkat. Tak merasa tersinggung karena hinaan kakaknya. Sean memang seperti itu.

“Aku kira kau ingin mencari wanita baru.” Pancing Sean. “Setidaknya aku sedang mencari. Aku membutuhkannya.”

Ben mengangkat bahu.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Sean, menyerah memancing adiknya.

“Tak pernah sebaik ini.”

Sean mendengus.

Adik-adiknya semua menjadi banci payah.

Untunglah dia tidak tertular.

“Aku senang mendengarnya.” Suara Sean datar. Mata dinginnya mengamati Ben.

Adiknya berubah. Dan itu meresahkannya.

Dulu mereka memiliki jarak, bukan karena mereka tak dekat. Tapi jarak yang memisahkan kehidupan pribadi, saling menghormati, tak memasuki wilayah masing-masing. Saling mengerti. Hidup damai tak mempermasalahkan kelakuan mereka yang semena-mena terhadap wanita. Dan ini pertama kalinya dia bertatap muka lagi dengan Ben setelah tahu adiknya berhubungan serius dengan wanita rakyat jelata yang dikencaninya.

Sean menghindari Ben seperti pembawa wabah.

Ben seakan-akan ingin masuk ke dalam hatinya. Ingin mencampuri kehidupan pribadinya. Sean tak membutuhkannya. Dan datang dari Ben itu rasanya aneh. Jika itu Dean dia masih bisa mengerti. Adiknya yang itu memang baik, peduli, serta tulus, bahkan terkadang polos. Tapi Ben? Itu janggal.

Sean tak menyukainya.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Ben.

Sean mengedikkan bahu, “sama, seperti biasa.”

Tatapan Ben membuat Sean marah. Begitu penuh rasa iba. Bukan Sean yang seharusnya mendapatkan tatapan seperti itu, tapi kedua adiknya! Dia bebas! Tak ada yang mengikat dirinya.

Mata Ben yang dulu semulanya dingin sama seperti matanya, kini menjadi hangat. Berhadapan dengan Ben, dia tak pernah merasa ditelanjangi seperti ini. Sean tak nyaman.

Mereka biasa bertemu di tempat seperti ini. Saling menyapa beberapa menit dan meninggalkan satu sama lain dengan urusannya masing-masing.

Tapi pertemuan kali ini sepertinya akan berbeda.

“Aku ing-”

Stop! Don’t speak!” Sean menyela kasar, mengangkat tangan mengisyaratkan adiknya untuk tak melanjutkan kalimatnya. “Aku tahu apa yang kau pikirkan! Jangan membuang-buang waktu dan tenagamu, adikku sayang. Kembalilah pada kekasihmu.”

Ben menjalin tangannya.

Dia memang tak sedekat itu hingga berani mencampuri urusan pribadi kakaknya. Mereka memiliki toleransi tinggi terhadap kehidupan masing-masing. Tapi setelah dia dan Dean menemukan kebahagiaan dan cinta, dia merasa memiliki kewajiban untuk menarik kakaknya dari kotak yang memenjarakannya.

“Aku hanya ingin kau tahu, jika kaupun bisa bahagia! Kita jarang bertemu. Jarang memiliki waktu. Aku ingin menyampaikan beberapa hal.”

Sean memutar bola matanya dan mencibir.

“Apa kau sekarang ingin mengajariku?”

“Tidak! Aku hanya ingin-“

“Aku tahu… Yah, yah aku tahu!”

“Sean…”

“Cukup Ben, kau tahu aturannya!”

“Setidaknya cobalah meraih tangan yang terulur padamu! Kau tak akan menyangka betapa itu akan merubah segalanya. Ke arah yang lebih baik.”

Sean tertawa mengejek.

“Oh-oh my beloved brother. Why are you change so badly? Aku sampai tidak bisa mengenalimu. Kemana adik misteriusku? Yang Dean beri julukan Pangeran Kejam. Heh? Kemana dia? Kau menyembunyikannya dimana?”

Ben menggeleng lemah, dia menghela nafas.

Setidaknya dia sudah mencoba, hanya saja Sean memanglah keras kepala.

“Aku mengerti.” Sahut Ben

Sean mengangguk-angguk. “Bagus, aku sedang malas memberikanmu kuliah.”

Ben menghabiskan anggurnya, “aku akan pergi. Kita bertemu di mansion dua minggu lagi?”

“Entahlah. Aku belum melihat jadwalku.”

Ben berdiri. Dia mengangguk sekilas, dan meninggalkan ruangan.

Sean menghempaskan gelasnya. Tak ada yang lebih menjengkelkan dari orang-orang yang merasa lebih tahu dari dirinya. Orang-orang yang merasa butuh mengajarinya. Fuck that people!

Bersambung…

10 Komentar

  1. Mariani Xu menulis:

    Semangat kak. Ditunggu kelanjutannya

  2. Saadiah Ismalia menulis:

    Penasaran ama jalan ceritanya …

  3. rosefinratn menulis:

    :kisskiss :kisskiss :kisskiss r

  4. :lovely…

  5. Biyah LanShang menulis:

    :terlalutampan :please :gabut :gerah

  6. susantauria menulis:

    Ini bru bab 1 ya? Ditunggu kelajutan nya ya

  7. Octavianti menulis:

    Next please

  8. Siti Fatimah Az Zahra menulis:

    :kisskiss

  9. Apakah ini akan berlanjut?

  10. Penasaran aku jadinya