Vitamins Blog

Avenger – 2. Tragedi Menegangkan

Bookmark
Please login to bookmark Close

15 votes, average: 1.00 out of 1 (15 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

BAGIAN 2

TRAGEDI MENEGANGKAN

Hari ini perayaan hari keberkahan negeri Inka, setiap orang diseluruh penjuru negeri Inka akan berbondong-bondong memasuki Salama untuk berdoa bersama ditempat itu. Salama merupakan  salah satu tempat ibadah yang terletak dipusat kota, masyarakat dari berbagai penjuru Inka akan datang ke Salama setiap hari, perayaan hari besar terjadi selama satu kali setahun.  Rakyat yang hidup di pinggiran kota harus menempuh perjalanan beberapa hari untuk sampai di pusat kota.

Eila dan keluarganya tinggal di salah satu kampung yang jauh dari kota. Kampung ini terletak hampir berdekatan dengan Benteng pemisah negeri Inka dengan negeri Syanth. Benteng berupa perairan luas yang membentang jauh dan menyambung mengelilingi tiap-tiap negeri. Bumi kecil negeri Inka berdekatan dengan negeri Syanth yang satu-satunya negeri beraliran netral, tidak memihak kepada negeri manapun.

Bahkan sejak peperangan besar dahulu ketika bumi ini masih berupa daratan, hanya negeri Syanth yang senantiasa memberikan bantuan kepada negeri Inka yang dahulu pernah mengalami masa-masa suram. Ya, negeri Inka yang kini memegang kokoh sebagai negeri paling kuat di jagad raya ini pernah mengalami masa suram dan kekejaman manusia tamak. Ketika Yang Maha Esa belum memecah belah daratan di dunya, negeri Inka pernah dikepung habis-habisan oleh kerajaan dari berbagai belahan dunya.

Keadaan ini membuat seisi dunya bergolak akibat peperangan yang dahsyat, alam pun perlahan mengalami kerusakan yang parah. Bahkan kerusakannya itu hampir membuat daratan yang dahulu hijau mulai mati dan berubah menjadi tanah hitam. Binatang pun ikut menjadi korban peperangan dahsyat itu, sekitar ribuan jenis binatang sebagian nya mulai punah karena terlalap habis oleh si jago merah, bangkainya bahkan sempat menimbulkan penyakit yang tertular mengenai udara dan kontak fisik.

Akibatnya hampir setengah dari penghuni alam dunya terjangkit wabah, anak-anak yang paling rentan terjangkit wabah dan menimbulkan kematian massal yang begitu banyak.  Begitu ulah kerajaan tamak yang melancarkan aksinya dengan membakar hutan dan menebang banyak pohon untuk digunakan sebagai senjata.

Yang Maha Esa turun tangan demi menyelamatkan alam dunya yang hampir tidak dapat diselamatkan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Tentu saja Ia murka dengan perbuatan merusak dan kejinya kaum-kaum manusia. Bahkan Yang Maha Esa sampai memusnahkan hampir seluruh manusia yang memiliki campur tangan dalam peperangan yang menghancurkan tempat tinggal mereka sendiri. Kisah kelam dunya ini menjadi kisah yang harus diambil hikmahnya oleh seluruh negeri jika tidak ingin kembali pada masa suram itu.

Eila bertekad di dalam hati akan melakukan berbagai permohonan. Saat ini tubuh mungilnya dalam balutan pakaian putih yang menutup seluruh tubuhnya dengan gaya sederhana, aksen renda dibagian perut dengan tali pada kedua sisinya untuk mengencangkan bagian longgar pakainnya. Ia tak memakai hiasan apapun, namun menambahkan selendang tipis untuk melindungi rambutnya yang dibiarkan terurai panjang tanpa di ikat.

Di hari perayaan kemerdekaan ini, umumnya orang-orang menggunakan pakaian berwarna putih sebagai pertanda bahwa negeri Inka yang kecil ini bisa bangkit dari keterpurukan dan kini menjadi satu-satunya negeri yang kuat pertahanannya. Orang-orang akan memakai pakaian terbaik yang mereka miliki demi perayaan ini, karena konon katanya raja-raja terdahulu memakai pakaian putih ketika berjuang melawan pasukan penjajah sampai titik darah penghabisan. Untuk membalas jasa, rakyat diwajibkan memiliki minimal satu pakaian terbaik berwarna putih untuk perayaan kemerdekaan negeri Inka.

Rubhya mengenakan pakaian yang sama dengan Eila, namun rambutnya yang panjang di kepang rapi, sedangkan Parvati tidak dapat mengantar kedua anaknya untuk mengikuti perayaan kemerdekaan negeri Inka. Sebelum pergi Parvati menatap kedua anaknya dengan lembut, merasa bahagia ketika melihat raut kelelahan karena terlalu sering membantunya bekerja berganti dengan binar bahagia.

Rubhya mungkin telah menginjak usia yang menunjukkan kedewasaannya, berbeda dengan Eila yang masih anak-anak. Rubhya telah mengerti dengan segala permasalahan pun dengan masa lalu kehidupan keluarga mereka, gadis itu meskipun suka mengusili adiknya tapi selama ini Rubhya berperan baik membantunya menjaga Eila. Parvati merasa sedih sekaligus bahagia ketika menyadari usia mereka yang masih muda harus berjuang keras, membanting tulang hanya untuk bertahan hidup dari kesengsaraan.

Orang-orang mulai memasuki Salama yang sangat besar, namun tetap saja tidak dapat menampung seluruh rakyat negeri Inka yang berdatangan dari penjuru negeri. Bahkan ada imigran yang turut ikut melaksanakan doa bersama demi merayakan kemerdekaan negeri Inka.

Eila dan Rubhya harus menempati teras luar dengan beralaskan tikar jerami yang telah mereka persiapkan, mereka melawan sengatan matahari bersama ratusan orang lainnya. Pelaksanaan doa bersama di pimpin oleh seorang pria berpakaian sama dari yang lain, semua orang termasuk Eila memanjatkan doa dengan bersungguh-sungguh. Setelah perayaan doa bersama selesai, setiap orang akan mengantre panjang demi mendapatkan berkat berupa makanan khas Inka.

Masing-masing akan mendapatkan sekantung kecil buah Inka, namun buah ini berbeda dari jenis buah Inka yang didapatkan Eila ketika dihutan. Buah Inka ini adalah buah Inka yang di budidayakan di dalam istana, langsung di panen oleh petani handal dan tabib yang mampu meracik ramuan agar khasiat buah Inka ini terjaga. Buah Inka yang di budidayakan di istana ini mempunyai perbedaan warna dan ukuran dibandingkan buah Inka yang tumbuh di alam liar, buah Inka yang satu ini berwarna lebih terang dominan keemasan, khasiat buah Inka ini tidak diukur dengan seberapa kecil buahnya namun seberapa matang warna kulit buah Inka.

Buah Inka ini juga tidak memiliki batang berduri, buah Inka di jadikan sebagai salah satu berkat yang akan diterima oleh semua rakyat negeri Inka yang mengikuti perayaan hari kemerdekaan negeri Inka. Khasiatnya hampir dapat mengobati berbagai macam penyakit, bahkan batang dan daun Inka yang satu ini dapat mengobati penyakit luar.

Semua orang mengantri dengan sikap tidak sabar, para pasukan prajurit mengatur setiap orang untuk berbaris dengan rapih. Pembagian buah Inka ini tidak akan selesai jika semua rakyat berebutan dengan rakus dan sikap tak sabaran, namun untungnya rakyat negeri Inka sudah terbiasa dengan budaya mengantri. Eila dan Rubhya berada di shaf terakhir, menunggu beberapa jam sampai halaman Salama mulai lengang dengan beberapa puluh orang yang masih mengantre.

Dengan perut keroncongan seperti ini, Eila tentu saja tidak sabar menunggu beberapa orang lagi di depan mereka untuk menerima buah Inka. Para penjaga  yang bertugas memberikan buah Inka bahkan terlihat menampakkan gurat wajah yang lelah.

Eila menjerit senang ketika menerima sekantung kecil buah Inka favoritnya, wajahnya yang tertekuk lama tadi berubah dengan binar bahagia. Penjaga  itu ikut tersenyum melihat anak kecil yang berada diantrean terakhirnya itu kegirangan. Gurat wajah lelahnya bahkan terlihat memudar seiring dengan senyumnya yang makin melebar.

“Kau pasti lelah seharian menunggu dibawah sengatan matahari, seharusnya tadi kau ikut mengantre dibarisan pertama.” Ucap sang penjaga  memakai jubah hitam dengan penutup kepala yang dibiarkan terlepas tak menutupi kepalanya. Eila mendongak dan menatap penjaga Salama itu dengan senyum lebar kekanakan.

“Tuan, bolehkah aku memasuki teras terdepan? Aku berjanji tidak akan nakal dan memasuki  Salama tanpa seijin tuan.” Penjaga  itu tampak terdiam sesaat mendengar permintaan Eila. Namun beberapa menit kemudian laki-laki itu tersenyum tipis sambil mengangguk, lantas Eila pun bergerak cepat ke arah teras depan, mengabaikan langkah kaki mungilnya yang sedikit terbatas karena gaun yang ia pakai saat ini.

Eila menyimpan buah Inka miliknya ke dalam keranjang yang ia simpan di samping kakinya. Tangannya yang mungil menengadah, matanya terpejam dengan mulut terkatup rapat.

Gadis kecil itu memohonkan permintaannya dalam hati. Mengabaikan angin yang mengibarkan selendangnya, dan suara bising lainnya yang sebenarnya mengganggu. Eila terhanyut dalam buaian kedamaian ketika permohonannya itu terucap dalam hati.

Seorang laki-laki mengamati dari kejauhan Salama itu, menatap lapar namun tak kentara sama sekali dari balik jubah merahnya yang benar-benar mencolok dari pakaian yang lain. Laki-laki itu berdiri dalam bayang-bayang bangunan tinggi yang saling berhimpitan, menjauhi keramaian karena penampilannya yang mencolok. Ia berdiri cukup lama sebelum acara doa bersama di  Salama dilaksanakan, sudah cukup waktu sebelum aksinya dilancarkan saat itu juga.

Tiba-tiba cuaca yang semula begitu bagus mendadak kelam ketika sebuah suara cukup keras memekakkan telinga terdengar tak kejauhan dari Salama. Manusia-manusia yang berlalu lalang mulai panik ketika hujaman dari benda kecil tak kasat mata menghujam tubuh orang-orang di antara mereka satu-persatu, lalu tumbang di tempat dengan tubuh terbujur kaku tak sadarkan diri. Semua berteriak histeris dan ketakutan ketika serangan misterius tadi semakin membuat banyak orang tumbang.

Rubhya tadinya ingin segera membawa pergi Eila ketika sepasukan manusia berpakaian serba merah dengan jubah mulai bermunculan mengitari Salama, jumlahnya mungkin sekitar dua puluh orang namun berhasil menumbangkan penduduk Inka dengan jumlah yang banyak. Rubhya berlari mendekati Eila sebelum sengatan benda kecil tak kasat mata itu mengenai pinggangnya, gadis itu tersentak menatap adiknya sedetik sebelum kesadaran merenggut dirinya.

Para penjaga  langsung dipukuli dengan kejam, orang-orang berjubah merah itu menghancurkan benda-benda disekitar Salama tanpa rasa segan. Pasukan istana tidak mengawal acara hari kemerdekaan seperti biasanya, bahkan sang Kaisar tak turut mengikuti upacara kemerdekaan, dan tujuan para pasukan berjubah hitam itu harus melesat karena dugaan mereka ternyata salah.

Eila masih setia berdiri ditempatnya tanpa merasa terganggu dengan keributan disekitar Salama. Gadis itu bahkan tidak sadar dengan apa yang terjadi, matanya masih terpejam dengan kedua tangan yang masih menengadah. Setelah itu ia merasakan keheningan disekitarnya, gadis itu memutuskan untuk membuka matanya dan menatap ke dalam Salama yang tampak sepi.

Eila meraih keranjang di dekat kakinya, lalu berbalik badan dan menemukan banyak tubuh manusia terbujur kaku diatas tanah. Gadis itu terperangah, keranjangnya jatuh dengan buah Inka yang ikut keluar dari keranjangnya.

Lalu tiba-tiba ia merasakan hidungnya menghirup bau dupa yang menyesakakan, dan sebelum kesadarannya terenggut samar-samar ia melihat seorang laki-laki berjubah hitam berdiri diatas tubuhnya dengan wajah yang begitu bengis dan mengerikan.

“Apa kau bilang?”

Laki-laki berpakaian militer kelas atas itu tertunduk dalam, tidak berani menatap mata sang Jenderal secara langsung. Kemarahan terasa menguar kuat sesaat setelah ia memberikan berita yang terjadi di Salama. Berita bahwa hampir seluruh rakyatnya yang berada disekitar Salama tak sadarkan diri karena obat bius yang ditembakkan melalui pipa kecil.

Akibatnya tabib yang ada di istana harus dikerahkan hampir semuanya untuk menangani seluruh rakyat yang terkena obat bius, belum lagi para penjaga yang mengalami luka parah akibat pukulan-pukulan yang cukup brutal. Kabar buruknya, ternyata para penyerang mencuri berbagai benda penting dari  Salama.

Jenderal Bhoopat mengepalkan tangannya, tubuhnya bergetar karena terlalu antisipasi. Lalu setelah itu wajahnya menampakkan raut tenang dan berjalan menuju singgasananya dengan santai. Laki-laki pembawa berita itu mengerutkan alisnya ketika melihat perubahan ekspresi jenderalnya. Menyadari keanehan yang tiba-tiba saja membuatnya curiga.

“Bagus, kembalilah kepada pasukanmu. Aku ingin berita disebarkan ke seluruh penjuru negeri, hembuskan desas-desus pemberontakan pada negeri tetangga. Laporkan kembali padaku jika tugasmu selesai.” Sang Jenderal berucap dengan tenang dan emosi yang terdengar sedikit kejam. Meskipun bingung dengan titah atasannya namun laki-laki itu segera melaksanakan perintah itu tanpa berkomentar.

“Baik, jenderal. Saya akan melakukannya dengan baik.”

Jenderal Bhoopat mengisyaratkan tangannya, dan laki-laki itu segera meninggalkan ruangan. Ia terdiam cukup lama dalam keheningan kediamannya yang sepi karena hanya ada dirinya di tempat itu.

“Yang mulia, ada lagi yang harus saya laksanakan?”

Dari balik bayang-bayang sudut ruangan, seorang pria menunggu titah sang jenderal yang masih bergeming ditempatnya.

“Kau awasi saja laki-laki tadi, dan habisi jika ia jika berani melawan di belakangku.”

Pria itu mengangguk patuh lalu membungkuk hormat dan meninggalkan sang jenderal dari balik kegelapan. Kali ini Jenderal Bhoopat benar-benar sendiri diruangan besar itu, ia terlalu senang hingga suara tawanya membahana mengisi aula kediamannya. Membiarkan emosinya membuncah tanpa ditahan-tahan lagi.

*

 

Eila mengerjapkan matanya perlahan, tubuhnya terasa sangat ngilu dan sakit dibagian punggungnya membuatnya meringis ketika bergerak secara tiba-tiba. Ia masih belum dapat menyesuaikan matanya dengan kondisi sekitar yang terasa mencekam, bahkan untuk sekedar bernafas pun Eila harus menahan hirupannya agar tidak sesak. Ketika itu Eila merasa tubuhnya ditindih dengan benda berat yang terasa aneh.

Ruangan itu remang-remang, hanya bercahayakan sinar dari teralis kecil yang sengaja dibuat dengan ukuran mini dan letaknya yang berada diketinggian orang dewasa. Eila berusaha bangun ketika mendapati dirinya dalam ruangan pengap itu, namun benda yang menindihnya ini begitu berat dan lebih besar dari tubuhnya. Rasa hangat menjalar dari kulit tangannya, membuat Eila sejenak membeku dalam diam.

Kepanikan langsung muncul dalam raut mukanya yang tersamarkan kegelapan, Eila ingin berteriak namun terasa perih dengan kekeringan yang terasa membakar di tenggorokannya, suaranya berdecit pelan. Gadis itu tak mampu melakukan usaha apapun selain berusaha menyingkirkan benda asing dari atas tubuhnya itu, pergerakannya yang tiba-tiba membuat rasa sakit di punggungnya semakin menyengat dan ngilu. Ia tidak dapat melihat apapun selain cahaya samar dari jendela kecil diatas sana.

Mulutnya menganga ketika menyadari benda yang menindihnya yaitu seorang manusia, tubuh besar itu menindih sebagian dirinya dengan posisi telungkup. Ia sedikit meronta, berharap terbebas dari kungkungan laki-laki yang tidak diketahui olehnya itu.

Tiba-tiba suara berat itu menyela rontaan Eila dengan tajam, “diam.”

Eila mencoba untuk menurut meskipun getaran ketakutan itu semakin jelas, ia tidak dapat melihat wajah siapapun selain siluet hitam orang itu. Jelas-jelas itu adalah suara laki-laki. Eila semakin tercekat ketika laki-laki itu bergeser sedikit menjauh dari tubuhnya namun tetap mendaratkan tangannya untuk menutup mulut Eila.

Beberapa saat ruangan itu hening dengan nuansa mencekam, laki-laki itu memutuskan untuk membebaskan Eila dari cekalannya. Eila yang teramat ketakutan langsung beringsut lebih jauh dan dirinya menemukan tembok kasar yang menekan punggungnya dengan tajam. Eila meringis.

“Jangan coba-coba untuk berteriak, atau kau akan celaka.” Suara laki-laki itu terdengar dingin, dengan nada angkuh yang tidak disukai Eila. Meskipun begitu, dengan sisi anak-anaknya yang melekat, Eila menuruti perkataan laki-laki itu untuk menghindar dari aura intimidasi yang menakutkan.

Beberapa saat Eila terdiam dengan pikiran kacau, ia ingin segera beranjak pergi dari tempat mengerikan itu. Namun ia bahkan tidak tahu dimanakah ia berada.

“Kita akan mencari jalan keluar.” Laki-laki itu berbicara pelan, lebih mirip gumaman. Ia sama sekali tidak mau repot untuk melirik Eila.

Eila memejamkan matanya ketika rasa takut mengalahkan tekadnya untuk kabur. Laki-laki asing itu ternyata orang yang sama-sama diculik dan dikurung di tempat serupa penjara ini. Nasib keduanya sama-sama naas, diam-diam Eila bersyukur laki-laki itu bukanlah orang yang berbahaya meskipun di sisi lain ia bersikap sangat dingin dan tak terbaca.

Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya di tembok, posisi tubuhnya terduduk seperti patung yang tidak bergerak sama sekali. Keduanya duduk berhadapan dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Eila mengetahui pakaian yang dipakai laki-laki itu mahal karena terbuat dari kain yang terlihat sangat mewah, menandakan status bangsawan yang melekat dalam dirinya.

“Apa yang kau lihat?” Pipi Eila merona karena ketahuan tengah memperhatikan laki-laki itu. Rasa malu membuatnya memilih untuk menunduk dan mengabaikan pertanyaan ketus laki-laki itu.

“Kau ingin pulang?” Laki-laki itu kembali bertanya namun dengan suara yang terdengar biasa saja. Eila memberanikan diri untuk kembali menatap laki-laki itu dan mengangguk pelan sebagai jawaban. Tidak berniat membalasnya dengan ucapan karena ia takut salah berbicara.

Laki-laki itu tiba-tiba berdiri, membuat Eila memekik kecil dengan gerakan tiba-tibanya yang menyeramkan dimata Eila. Laki-laki itu berjalan menuju pintu kecil dengan lubang kecil ditengahnya. Tanpa aba-aba seolah terbiasa melakukan hal tersebut, ia menendang pintu itu dengan keras. Menimbulkan suara bedebum yang memekakkan telinga, Eila menutup telinganya karena terkejut.

Suara itu kembali terdengar dengan tendangan yang cukup keras, Eila menatap panik ke arah pintu. Usaha laki-laki itu untuk keluar dari pintu tersebut hanya akan memancing orang yang menculik mereka kemari. Eila langsung berniat menghentikan laki-laki itu dengan menyentuh tangannya.

“Eh-eh, bukankah menendang pintu itu hanya akan membuat mereka  kemari? Tolong hentikan tindakanmu.” Eila memohon dengan suara putus asa, laki-laki itu malah menatap Eila dengan rahang mengeras kearah tangannya.

“Singkirkan tangan kotormu dariku.” Desisnya, Eila langsung melepaskan tangannya dan menatap takut wajah laki-laki itu.

Suara bedebum kembali terdengar, laki-laki itu menendangnya lebih kuat menimbulkan suara bedebum paling keras diantara yang lainnya. Lalu suara gaduh lainnya terdengar dari balik pintu, laki-laki itu langsung bersembunyi dibalik pintu dengan gerakan yang siap. Eila yang tidak tahu apa-apa hanya mengikuti apa yang dilakukan laki-laki itu, dan tidak lupa memberi jarak agar tidak menyentuhnya sedikitpun.

Suara kunci terbuka membuat laki-laki itu menyeringai. Lalu sebelum orang yang masuk ke dalam ruangan itu siap, laki-laki itu langsung menyerangnya tanpa ampun. Ia memukul tubuh laki-laki pembuka pintu itu dengan kuat dan bertubi-tubi. Menciptakan suara mengerikan ditelinga Eila yang saat ini tengah terpejam karena tak kuasa menatap adegan brutal dihadapannya.

“Hey kau, cepat ikuti aku atau kau akan terkurung disini selamanya!” Laki-laki itu setengah berbisik pada Eila yang masih gemetaran karena tak kuasa menahan rasa ngeri. Gadis itu mengangguk lalu berjalan mengikuti laki-laki itu dari belakang.

Ketika mereka keluar tidak ada satupun orang yang menjaga selain laki-laki yang masih tak sadarkan diri itu. Eila berlari mengikuti laki-laki dihadapannya. Penjara itu hanya berupa kamar kecil di sudut lorong, mereka mengikuti lentera yang terpasang di sisi tembok.

Mereka melihat pintu kayu yang terlihat bobrok dan tak memiliki knop pintu. Laki-laki itu menendang pintu tersebut dengan kuat, dan beruntungnya pintu tersebut langsung terlepas dan jatuh dengan suara keras.

Eila kesusahan bergerak karena selendangnya yang tersampir di bahu merosot tiap kali ia bergerak cepat. Hampir saja ia terjatuh karena menginjak pakaiannya sendiri, namun tertahan tubuh laki-laki dihadapannya yang jauh lebih besar darinya. Gadis itu mundur beberapa langkah menyadari bahwa laki-laki itu berhenti karena ujung dari lorong itu tak memiliki pintu.

Cahaya bulan dimalam itu terlihat jelas di sana, Eila belum merasa lega karena jalan keluar dari tempat itu ternyata berupa jurang yang dibawahnya merupakan lautan lepas. Eila mundur perlahan merasakan kengerian ketika ia membayangkan harus melompat dari tempat itu dengan ketinggian yang tak bisa diukurnya.

Dari belakang suara gaduh penjaga lain mulai mendekat ke arah mereka. Keadaan yang mendesak itu tak dapat dihindari selain jalan keluar di hadapan mereka. Sebelum Eila sempat membuka mulut, laki-laki itu langsung menarik tangannya dan membawanya melompat dari tempat tersebut sebelum Eila siap.

*

 

Menulis fantasi itu susah banget yak 😅

syniaraikai

Dunia kedua yang menjadi pelipur lara adalah ketika pikiran melayang meninggal raga sekejap rasa.

5 Komentar

  1. Dhian Sarahwati menulis:

    Semangatt terus author

  2. rosefinratn menulis:

    Tapi keren lho,sumpeh :kisskiss :kisskiss :kisskiss

  3. Bekti Listianti menulis:

    Lanjut dong

  4. Sily ayu ningtias menulis:

    Semangat author….. ditunggu kelanjutan nya :kisskiss

  5. Ini bagus loh…lanjut ka