“Semanis-manisnya pujian si bos kalah manis sama dusta mantan yang ngajak balikan #preeeet” @Ryyhaju
P.s Sorry kalo kebanyakan typo, males ngedit ? thanks yang udah mau baca n happy reading
Meeting pertama acara gathering dilakukan pada Jumat pagi, semua jajaran yang terkait telah masuk dalam ruang meeting. Semua, tidak terkecuali aku. Asal kalian tahu, aku mengundurkan diri dari tim sukses gathering kali ini. Jabatan tersebut kuberikan pada mba Sri yang memang lebih senior dan lebih sabar menghadapi kelakuan abnormal bin ajaib Dimas.
Sudah cukup aku menanggung derita di kerjaan, menanggung kelakuan minus Dimas di luar kantor, tidak lagi harus meladeni kemauan doi untuk menjadi pion Dimas.
Udah cukup, makasih!
Selagi bos sableng sedang meeting, para kacung yang tersisa mulai hilang kendali. Jeje bahkan sudah bertransformasi setelah bergabung dengan Hanin dan kawan-kawan, Rayhan yang awalnya kupanggil untuk membantuku memperbaiki system error di PCku, malah ikut nimbrung bersama Kayla. Sementara aku? Aku sibuk dengan grup WhatsAppku.
Don’tOverCook:
Zar’i: Gue balik minggu ini geish. Anybody miss me????
Deswi: Zzzzzz ?
Senja: Zzzzzz ? (2)
Zar’i: Kok kalian jahaaat sih???
Zar’i: @Senja lo jangan pura2 tidur, tar lo malah ketinggalan pesawat, mampus lo!
Senja: Enggak bakal, gue suruh pangeran William bopong gue kalo gue molor di airport ?
Zar’i: Sinting!!!
Anda: Kerja woy kerja!!!
Senja: Iya deh yang mau jadi bu bos mah mottonya udah ganti sekarang ‘Kerja lembur bagai kuda lumping.’
Zar’i: Si Deswi ngilang geish
Zar’i: beneran tidur kali ya tu anak
Anda: Deswi sibuk ngurus nikahan orang
Anda: sampe lupa ngurus nikahan sendiri
Zar’i: tidak seperti Anda
Zar’i: ngurusin jodoh orang mulu tapi gak pernah jadi jodoh sehidup semati ?
Senja: ??
Anda: ?
Senja: jadi pengen sundays guys ?
Anda: tuh kan matanya mines
Anda: tai aja dibilang es krim coklat
Zar’i: lo mau makan tainya si @A_Inay, Jah?
Senja: *picture
Senja: sore-sore ditemenin es krim lebih nikmat daripada ditemenin es batu dari atlantik, iiih syerem
Aku tersenyum mendapati foto Senja yang berlatarbelakangkan jendela-jendela airport yang luas dengan objek fotonya sebuah es krim sundays bertoping susu coklar. Tampaknya ia sedang menunggu boarding.
Azaria, Senja, dan Deswi adalah sahabatku sejak duduk di bangku kuliah. Aku dan Azaria teman satu SMA, kami bertemu Senja dan Deswi saat ospek universitas. Senja mengambil jurisan manajemen, sedangkan Deswi mengambil bisnis.
Sejak lulus tiga tahun lalu, kami langsung terpisah-pisah. Jalan yang kami pilihpun berbeda-beda, Azaria pergi ke Belanda dan mengambil S2 di sana, Senja memilih jadi tukang roti–well, dia bakat sih di situ–jadi, si bontot yang satu ini pergi ke Inggris. Hanya aku dan Deswi yang masih tetap di negara tertjinta +62 ini. Meski begitu, kami jarang sekali bertemu, selain Deswi yang tidak lagi tinggal di Jakarta–alias kembali ke kambung halamannya di Bogor–si Deswi ini orang sibuk. Sebagai WO milenial yang sedang naik daun saat ini, hampir seluruh waktu Deswi dihabiskan untuk mengurus para clien.
Saking sibuknya jangan-jangan dia lupa tanggal nikah dia sama tanggal nikahan cliennya lagi.
Zar’i: jadi, kapan nih kumpulnya geish?
Anda: nyimak aja deh, ngikut aja.
Senja: udah biasanya lo mah nitip absen!
“Vah, kenapa sih lo enggak mau terima aja jadi tim sukses gathering?” tanya Kayla.
Aku mengedik acuh. “Enggak ada. Cuman males aja.”
Rayhan ikut menimpali. “Sayang ya, padahal kalo lo yang jadi tim suksesnya dan kalo ternyata yang berangkat gathering cuma divisi marketing sama BO, lo kan bisa selundupin gue buat ikut.”
“Gimana cara, Ray?” tanya Kayla.
“Gampang lah, Ivah tinggal tunjuk gue jadi seksi apa gitu. Kan secara otomatin gue ikut andil dan enggak mungkin ditinggal.”
Licik juga otak ini bocah.
“Ivah tuh bukannya enggak mau, cuman dia enggak tahan aja sama kelakuan abnormalnya si bos,” celetuk Jeje yang sekarang sudah duduk manis di kubikelnya. “Iya enggak, Vah?”
Aku bersenandung. “Ingin kusentil ginjalmuuuu.” Kutambahkan senyum termanisku. “Love youuuuuh.”
Kayla mencondong di sela-sela layar komputerku. “Vah, gue jadi penasaran deh.”
“Penasaran kenapa?”
“Soal lo sama pak Dimas. Kalo diliat-liat nih ya, lo kok sentimen gitu sama doi. Perasaan pak Dimasnya mah lempeng-lempeng aja tuh. Lo punya dendam apa sih sama doi?”
Aku mengerut kening. “Kok lo….”
“Fix!! Lo jadi murid gue, La!” seru Jeje cepat.
“Gilak! Lo persis banget sih sama si Jenglot kantor ini, La.”
Rayhan bersedekap. “Racun si Jenglot mulai merajalela nih, besok-besok gue jualan jimat aja kali ya buat penangkal si Jenglot ini.”
Jeje mencibir bibir tapi tidak menanggapi.
“Seriusan deh, lo sama bos ada masalah apa sih? Apa jangan-jangan pak Dimas ini dulunya mantan lo, Vah?”
Aku melotot.
Jeje terbahak.
Dan Rayhan ngorong di pojikan kubikel kosong.
“Lo ada-ada aja sih, La! Mana mungkin lah makhluk setengah-setengah ini mantannya si bos!”
Kayla mengedik bahu. “Mana tau kan si bos matanya lagi picek, jadi gak bisa bedain Angelina Joli sama Arivah Inayati?”
Jeje semakin terbahak hebos sampai-sampai kursi yang di dudukinya berdecit-decit. “Halu lo!”
“Seneng ya lo, seneng. Ketawain gue sampe enggak inget tempat gitu. Elo lagi, La. Pertanyaan lo aneh-aneh aja!”
“Ya, kan gue tanya bener. Lo sama pak Dimas punga masa lalu apa sampe lo sentimen mulu sama doi?”
“Duuuh, kalo lo mau tau masalah gue sama doi, udah panjang ceritanya. Udah kayak lo bikin skripsi gitu dah.” tentu saja aku tidak akan membocorkan cerita kelam itu pada sembarang orang!
Aku mengembus napas panjang. “Gini ya, gue mau kelarifikasi nih ya,” segera Kayla dan Jeje pasang telinga. Persis wartawan infotiment. “Pertama, gue bukan mantan si bos, amiiit amiiit gue punya mantan kucing bar-bar. Dua, enggak ada side story antara gue sama pak bos, cuma gue ya males aja sama orang itu. Tiga, asal lo tau ya, pak Dimas itu bukan kucing anggora yang kalian liat, dia itu kucing garong gondrong!”
Jeje berkomentar. “Bukannya kebalik ya, Vah? Elo lebih mirip kucing garong deh ketimbang doi yang jadi kucing garong. Secara ya, lo lebih garang gitu.”
“Kampret! Ya enggak lah! Justru kebanyakan kucing garong itu ya kaum cowok! Lo enggak pernah dengerin lagu ‘Kucing Garong’? Siapa yang dimaksud? Cowok kan?!”
“Terus, kalo cowok itu kucing garong, ceweknya jadi apa, Vah?” Kayla membenarkan duduknya namun tetap mencondong tubuh.
Aku tersenyum jemawah sambil bersedekap. “Udah pasti ikan salmon yang harus dibeli dengan mahar!”
“Kok mahar?”
“Iya lah mahar! Mahar itu udah harga mahal bagi wanita! Jadi kalo ada pria berani kasih mahar, nah itu baru pria yang menghormati martabat wanita.” Aku menambahkan, “Nah, ikan salmon itu gue. Gue mau dibeli dengan mahar, bukan Prada, Hermes, atau Dior. Itu mah bonus!”
Jeje manggut-manggut ala burung platuk. “Tumben omongan lo bener, Vah.”
“Fix, dia abis diruqiah kayaknya.”
“Nah, terus apa hubungannya antara pak Dimas kucing garong dan elo yang ikan salmon?”
Aku berdecak dramatis. “Duuuh, masa masih enggak ngerti juga?” keduanya menggeleng. “Gini ya, lo kalo liat kucing garong biasanya di mana?”
Jeje mengerut kening namun tetap menjawab. “Pasar?”
“Jalan?” timpal Kayla.
“Warteg?”
“Selokan?”
“Nah, sekarang gue tanya, dimana lo bisa dapetin steak salmon paling enak?”
“Restoran Eropa?”
“Hotel?”
Kayla mencenting jari. “Mall Kelapa Gading!”
“See? Dari segi tempat aja beda, warteg dan restoran. Ibaratnya nih ya, kita ini salmon paling mahal dan langka, masa iya yang makan kucing garong, menurut kalian sayang gak?”
“Sayang lah!” sahut Jeje dan Kayla bersamaan.
“Nah, sayang kan! Harusnya salmon mahal ya dinikmati sama yang mahal juga! Enggak sama kucing pasaran. Kita sebagai cewek itu musti mahal! Jangan kayak ikan asin menyemenye di warteg! Diobral murah.”
“Jadi, menurut kamu, saya ini kucing garong dan kamu itu ikan mahalan, begitu?”
Nah loh, jelangkung kantor dateng.
Aku tidak berani mendongak, karena tanpa mendongak atau menolehpun aku sudah hapal betul siapa yang ada di belakangku ini. Apes bener dah! Selain itu, aku baru sadar kalau kedua temanku sudah kembali sok sibuk di depan komputer masing-masing,
Dan gue sedari tadi ngebacot sendiri solah-olah dongengin mereka? Gua bahkan enggak sadar kalo semua keributan di ruangan ini seketika henyak gara-gara kehadiran satu makhluk ini.
“Arivah,” panggil Dimas setengah menggeram.
Aku mengigit bagian dalam bibirku sebelum menguatkan tekad untuk berbalik dan menghadapi kenyataan pahit ini.
“E, eh, ada bapak, siang pak? Udah makan siang pak?” tidak lupa aku tambahkan senyum semanis gula bibit.
Biar gumoh sekalian.
Namun, nampaknya itu tidak berpengaruh apapun, wajah Dimas malah semakin kelabu, dan aku tahu jurus cewek cantik ini tidak ampuh pada pengguna yang jelek. Setelah itu Dimas mengeluarkan kata-kata mutiaranya,
“Arivah Inayati, ke ruangan saya! Sekarang!”
Mampus lo!
***
Aku menunggu sambil memainkan game di ponsel, selagi Dimas menyelesaikan panggilan di ponselnya sendiri. Setelah itu barulah Dimas memusatkan perhatian padaku dan aku menyimpan ponsel tapi tidak berani sedikitpun melihatnya.
Sebenarnya, aku tidak takut-takut amat dengan si Dimdim ini. Toh, kita tetangga dari kecil dan aku tahu dia tidak berani melawan, hanya saja sejak kejadian itu, aku menjadi harus waspada terhadap srigala yang satu ini. Sudah kubilamg kan? Dia bisa diam-diam bak anjing baik tapi begitu kau berbalik, dia bisa saja menerkammu hingga ke tulang.
“Jadi, kalian ngomongin apa aja tadi?” mulai Dimas.
Aku mengangkat alis, berpura-pura bego. “Oh, itu. Kita lagi debatin ikan salpon pantes enggak dikasihin ke kucing garong. Tapi menurut saya, sayang salmonnya, Pak. Kan mahal kan yak. Masa iya buat kucing garong?”
“Kenapa sayang? Salmon yang busuk juga ujung-ujungnya dibuang, terus dimakan kucing garong. Kamu enggak tau?”
Aku mengigit bagian dalam bibirku lalu mengedik acuh.
Membuat Dimas kembali meneruskan. “Steak semahal apapun kalo enggak abis dimakan ya dibuang ke tong sampah, ujung-ujungnya apa? Dimakan juga sama kucing garong kan. Terus apa bedanya ikan salmon sama ikan asin?”
Dimas menopang dagu, matanya lurus menatapku dengan sorot mengejek, namun ekspresinya masih seluruh tol Jagorawi.
Kampreeeet! Secara enggak langsung lo ngatain gue ikan asin!
“Sudah lupakan masalah tidak penting ini.”
Elo duluan yang mulai ngajak ribut!
“Sabtu nanti kamu ikut saya,” titah si bos.
Aku mengerut alis. “Ngapain pak? Kan libur, masa iya tetep masuk?”
“Dilarang nolak!” tegas Dimas. “Lagi pula, ini bukan masalah pekerjaan, Naya.”
“Tetep aja pak, saya udah ada rencana sama teman-teman saya!” Enak aja lo main sabotase!
“Baru rencanakan? Belum tentu jadi.”
Aku melongo. Sepertinya ini sudah tidak bisa dibiarkan lagi. “Ya enggak bisa gitu dong, Dim! Gue udah lama enggak ketemu mereka, mumpung temen-temen gue pulang ke Indonesia!”
“Saya juga temen kamu, Naya.” Dimas memijit pangkal hidungnya, namun masih tidak acuh terhadapku.
“Elo enggak masuk hitungan temen gue!” sanggahku. “Lagian kenapa mesti gue sih? Kan ada tuh si Hanin, Kathrin, Siska, dan Gisya! Mereka bakal mau kalo lo ajak ngelembur!” aku menyebutkan semua jajaran fans garis keras Dimas.
“Enggak bisa, pokoknya harus kamu yang ikut sama saya.”
Nih orang nyolot amat sih!
“Kenapa sih lo? Ganggu libur gue aja! Lagian mau apa coba? Mending kalo lo ngajakin gue kencan, lah ini kencan sama kerja….”
“Iya.”
Aku mengerut kening tidak paham. “Iya, apa?”
Dimas menatap lurus-lurus ke arahku, ekspresinya masih sama lurusnya. Namun ada hal lain yang membuatnya nampak serius kali ini. Dengan tega, Dimas melengkapi kalimat sepotongnya. “Iya, saya mau ngajak kamu kencan, Arivah Inayati.”
Seketika itu seluruh alam dedemit gonjang ganjing mendengarnya.
Sinting!
TBC? ?
Ngakak ???
hahahah???
Ahhh… love this story! Ringan dan kocak…
Uhuyy
:ayojadian. Seru baru baca
Emang bener2 mereka ber 2