Vitamins Blog

I’m (not) The Only One

Bookmark
Please login to bookmark Close

Part 2

Rasa-rasanya kepalaku pening, berat untuk membuka mata, dan pedih dia mataku. Mencoba membuka mata secara perlahan dan ku lihat Mama di samping ku yang sedang tertidur dengan menggenggam tanganku, Ayah yang duduk di tepi kasur posisiku tidur, bahkan Agas yang berdiri di ambang pintu kamar dengan kemeja yang sudah digulung sampai siku.

Aku tersenyum pada mereka. Terutama pada Ayah yang menunjukkan keprihatinan. Sedangkan Agas, entahlah. Bocah itu mukanya seperti orang marah tapi juga ingin menangis.

Ayah mengusap dahiku yang berlanjut ke rambut. Terus seperti itu berulang-ulang. Tidak perlu ditanyakan kenapa orang kesayangku bisa berkumpul seperti ini.

“Ayah, kepalaku pusing sekali” gerutuku. Ayah hanya bergumam ‘hmm’ tapi tangannya memijit kepalaku perlahan. Aku ternyata merindukan bermanja-manja dengan Ayahku.

“Manjanya mode on itu, Yah. Alasan saja minta di pijit-pijit” Adikku yang satu ini memang mulutnya selalu minta di cubit.

“Iri aja sih Kamu Dek, mau Kakak pijitin” Dia mendengus seolah menampiknya. Tapi Aku bisa melihat senyuman jenakanya meski tidak terlalu lebar. Agas mendekat ke arah ku. Memposisikan berdiri di belakang Ayah.

“Ayah istirahat saja, biar Agas yang jaga Kakak. Sama anak Mama istirahat di kamar saja, Yah. Kasian kalau ketendang Kakak” bocah ini dasar. Tapi aku menyipit. Memangnya sekarang jam berapa.

Ayah mengangguk, dia berdiri lalu mencium pipiku lalu keningku. Membisikkan kata-kata yang hampir membuatku menangis. ‘Ayah sayang sama Kakak. Jangan sedih berlarut. Ada Ayah yang selalu mencoba membuat Kamu bahagia, Sayang’.

Aku tersenyum kepada beliau dan menahan tangis. Beliau adalah orang yang berjasa dihidupku. Yang selalu membuatku bahagia dan selalu membela jika Mama mulai mengomeli ku. Ayah adalah Pria pertama yang membuatku tau kalau, ‘sediam-diamnya seorang ayah, dia selalu memikirkan kebahagiaan anaknya. Dan mengetahui bahwa cinta tidak perlu alasan’.

Ayah akhirnya mengajak Mama ke kamar setelah Mama menciumi pipiku dan menangis. Entah menangis karena apa. Entah nasibku atau yang lain. Aku tidak tau. Aku hanya mencoba tersenyum. Supaya mereka tidak khawatir. Tapi setelah hanya tinggal Aku dan Agas. Dengan Agas yang tiba-tiba merentangkan tangan yang langsung ku sambut dengan senang hati. Akhirnya tangisku pecah. Tangis yang bahkan membuat dadaku sesak, tangis piluku setelah memasang topeng baik-baik saja akhirnya luruh. Isakan bahkan tidak bisa teredam.

Agas masih memelukku dengan sama eratnya. Dia naik ke kasurku dan bersandar pada dinding kasur. Sesekali mengelus punggung yang malah semakin membuatku terisak.

Agas sesekali mencium puncak kepalaku. Dia hanya diam sambil memelukku. Berlangsung lama, sampai akhirnya tangisku mereda.

“Sudah” itu kata pertama yang Dia ucapkan. Aku hanya mengangguk dan mempererat pelukanku padanya. “Kalau begitu Kakak perlu tidur sekarang”.

Dia mencoba melepas pelukan dariku tapi pelukanku semakin menguat. Wajahku tenggelam di dadanya. Dia adalah Pria kedua setelah ayah yang begitu aku sayangi sepenuh hatiku, yang selalu mengalah jika aku menginginkan sesuatu yang harus salah satu dari kami yang boleh beli atau meminta sesuatu dan menjadi tumbal kalau aku berbuat ulah. Agas adalah adik, kakak, ayah kedua, bahkan dia bisa jadi Mama kalau sudah mengomel. Bahkan tidak jarang menyisihkan uang saku bulanannya untuk menambahiku menabung hanya untuk menonton konser Maroon 5 dulu.

“Punggungku bakalan sakit kalau Kakak mau tidur sambil duduk gini. Besok aku harus presentasi nih” keluhannya membuatku tak enak hati dan melapaskan pelukanku. Lalu memposisikan bantal dan berbaring.

“Ya udah sana ke kamar kamu. Pelajarin presentasinya jangan lupa makan, mandi sama sholatnya” aku tersenyum kearahnya yang dibalas dengan dengusan geli.

Dia mencium keningku lalu beranjak. “Kakak juga belum sholat kan. Jangan lupa mandi juga. Mau dibawain es batu nggak?” Katanya sambil berlari. Belum sempat aku meneriakinya sudah kabur saja dia.

Akhirnya aku bangkit dan menjalankan ritual mandi. Saat keluar sudah ku dapati Adik laki-laki itu sudah selonjoran di kasur sambil memangku laptop.

“Loh, kok kesini lagi”

“Pengen tidur sama cewek. Tapi belum ada yang halal” katanya asal yang ku hadiahi lemparan tasbih Mama yang diletakkan di meja riasku. Katanya biar aku gak lupa istighfar sama bertasbih.

Setelah sholat ku susul Agas di kasur yang sudah berbaring. Dia melihatku yang membuatku tak kuasa untuk tidak memukul wajahnya dengan guling.
Saat dia akan membuka mulutnya dan mengatakan sesuatu, aku langsung memotongnya.

“Gas, Kakak gak mau bahas Dia dulu”

Agas memutar bola matanya sekilas, “siapa juga yang mau bahas si brengsek. Aku cuman mau nanya, Kakak pengen liburan ke Bali gak. Aku ada kerjaan disana kalau Kakak mau ikut”

Yang terpikir oleh ku setelah mendengar kata Bali adalah pantai, bule, dan suasananya yang asri. Begitu menggoda untuk tempat menenangkan diri dan menata hati kembali. Memang tidak mudah tapi aku yakin pasti bisa.

“Mau dong Gas, tapi ijinin ke Ayah ya”

“Gampanglah kalau itu, sekarang aku mau tidur. Minggir, jangan mepet-mepet. Kasurnya lebar juga” tapi peduli apa. Aku pura-pura tuli dan tetap tidur dengan memeluk tangannya.

Badai memang tidak akan berlalu begitu saja. Pasti akan meninggalkan bekas, apapun itu. Kita hanya perlu menata apa yang telah ditinggalkan badai itu. Di Bangun jika masih bisa diperbaiki, tinggalkan dan buang dengan mengganti dengan yang baru tanpa melupakan kenapa bisa sampai adanya hal yang baru ini. Untuk pelajaran yang mendatang. Kamu perlu tembok yang kokoh supaya tidak terkoyak badai. Seperti itulah hidup, kekokohan diri untuk melindungi diri dari kejamnya dunia.

4 Komentar

  1. hermaliaputri menulis:

    :kisskiss

    1. Bali=beautifull