Vitamins Blog

Pangeran Tanpa Mahkota – Halaman 12

Bookmark
Please login to bookmark Close
16 votes, average: 1.00 out of 1 (16 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Sudah hampir dua jam mereka berjalan. Aspire dan rombongannya terpaksa menjadi sandra untuk sementara waktu. Semestinya mudah bagi mereka untuk melawan balik para penyerang mereka tadi. Namun saat Camy disandera oleh ketua penyerang itu, Aspire menyadari sesuatu dan memutuskan untuk mengikuti keinginan penyerang mereka. Setidaknya sampai Aspire yakin dengan apa yang sedang di pikirkannya.

Aspire mengamati dalam diam rombongan yang mengawalnya. Rata-rata prajurit yang berada di sekitarnya adalah prajurit usia matang dengan keahlian yang cukup, sayangnya pengalaman mereka di medan kurang. Itu terlihat sekali dari beberapa prajurit yang sesekali menatap ke arah Aspire dan rombongan dengan perasaan takut yang disembunyikan. Yah, mungkin Camy pengecualian karena gadis itu tidak terlihat mengancam dibandingkan Aspire, Gize serta Ren.

Berbicara tentang Camy, gadis itu masih terdiam berjalan dibelakangnya. Aspire mengenakan jubahnya kepada Camy agar wajah Camy tidak diketahui oleh prajurit-prajurit di sekitarnya, cukup pemimpinnya saja yang tau wajah Camy. Selain itu, Aspire bersyukur karena Camy mau mendengarkan perintahnya untuk diam sampai Aspire memintanya untuk berbicara lagi. Dia tidak bisa membayangkan jika sepanjang jalan Camy akan mencercanya dengan semua pertanyaan yang ada di kepalanya. Hal terakhir yang diinginkannya adalah mendengar pertanya-pertanyaan yang ada di kepala Camy.

“Aspire, menurutmu mereka akan membawa kita kemana?” bisik Gize yang berjalan mendekat ke arah Aspire. Pria itu meninggalkan Ren yang mensejajarkan jalannya dengan Camy.

“Markas mereka. Dan aku rasa aku tau kita akan berhadapan dengan siapa,” jawab Aspire dengan suara pelannya.

Gize menatap sekitar, meyakinkan pemikirannya tentang apa yang sedang mereka hadapi. “Maksudmu, kita akan kembali bertemu dengan rekan-rekan kita yang dulu?”

Aspire mengangguk, “Ya, dan pemimpin mereka yang baru. Dan aku berharap pemimpin mereka masih sekutu untuk kita.” Keduanya terdiam mengikuti arahan prajurit yang mengawal mereka.

Hanya dibutuhkan setengah jam perjalanan dari lokasi mereka berkemah untuk sampai pada tujuan para prajurit itu. sebuah tenda besar di tengah hutan di kelilingi oleh tenda-tenda kecil yang kemungkinan milik para prajurit itu. Di sekitar wilayah itu terdapat banyak sekali prajurit yang melakukan kegiatannya, baik itu mengasah senjata maupun mempersiapkan perbekalan. Beberapa diantara prajurit itu menatap ke arah Aspire dengan pandangan tercengang, sisanya mereka menatap sedikit ngeri maupun meremehkan.

Aspire dan gerombolannya diarak menuju tenda paling besar berwarna putih tersebut. Di dalamnya, tak di duga oleh Camy, berisikan perabotan yang cukup mewah dengan segerombol orang yang mengenakan pakaian mewah juga. Salah satu di antara lima orang tersebut langsung menyambt gerombolan mereka dengan hangat, “Astaga! Ini benar-benar anda, Pangeran Aspire!” ucap salah satu sosok laki-laki tinggi kurus dengan janggut dan rambut putih panjangnya.

“Rascal,” gumam Aspire menyambut pelukan hangat dari pria yang terlihat senang dengan kedatangannya. Mereka berpeluka cukup singkat untuk mengungkapkan rasa senangnya karena sudah lama tidak bertemu.

“Aku sangat senang dengan keeadaanmu, Pangeran. Aku selalu berdoa agar kau selamat setelah kejadian itu.” Aspire mengangguk. Tatapannya yang sedikit menghangat pada Rascal membuat Camy merasa lebih tenang dibanding sebelumnya. Pandangan laki-laki bernama Rascla itu kini mengarah ke arah belakang Aspire, tepat kepada tiga orang yang sekarang menjadi ekor Aspire selama perjalanannya. “Aku lihat kau masih setia bersama pengawalmu, ya. Dan sepertinya bertambah satu. Siapa dia?” Tanya Rascal pada Aspire dengan tatapan menujur Camy dengan seksama.  Seakan laki-laki itu mencoba melihat wajah Camy yang masih terlindung di bawah tudung yang dipakainya.

Melihat hal itu, Aspire segera melangkah menghalangi pandangan Rascal. “Seseorang yang ku temui di tengah jalan. Jangan khawatir, dia tidak berbahaya.”

“Anda yakin dengan hal itu?” tanya sosok lain yang tadi sempat bergerombol bersama Rascal. Aspire tidak menjawab, pandangannya yang beralih kepada sosok yang baru saja berbicara tersebut menyiratkan pertanyaan tentang identitas pria tersebut tanpa harus mengatakannya secara langsung. “Maaf karena kelancangan saya, Pangeran. Nama saya adalah Barrack O’heill. Saya merupakan komandan pasukan disini.”

Aspire menggangguk samar. “Kau anak dari Panglima Perang Stein O’heill?”

Pria bernama Barrack itu mengangguk. “Benar, Pangeran. Suatu kehormatan bertemu dan bergabung dengan anda.”

Aspire untuk kesekian kalinya mengangguk. Tatapannya kembali tertuju pada Rascal yang mendengarkan percakapan keduanya tanpa ingin menginterupsi. “Jika tidak keberatan, aku ingin meminjam salah satu tenda untuk beristirahat.”

Rascal tersenyum dengan hangat. “Tentu saja, Pangeran. Kami sudah menyiapkan satu tenda untuk rombongan anda. Tolong beristirahat setelah perjalanan panjang anda beserta rombongan.”

“Baiklah. Aku juga akan ikut diskusi kalian setelah beriistirahat. Kapan kalian akan berdikusi lagi?”

“Tentu saja setelah anda beristiarahat, Pangeran.” Aspire mengangguk. Salah satu penjaga pun akhirnya mengawal Aspire berserta rombongannya menuju salah satu tenda yang tidak kalah besar dengan tenda yang mereka masuki tadi. Dan nyatanya, keadaan di dalam tenda tersebut tidak lebih buruk dibandingkan tenda tadi. Hanya saja, tenda ini lebih banyak memuat perlengkapan seperti yang ada di dalam sebuah kamar, lengkap dengan dua set tempat tidur dan beberapa kursi untuk bersantai.

Setelah penjaga tadi keluar, tangan Camy yang hendak menurunkan tudung kepalanya langsung dicekal oleh Aspire. Saat mata Camy menatap Aspire penuh tanda tanya, laki-laki itu tidak bersuara dan hanya menggelengkan kepala. Aspire pun secara mendadak mendekatkan kapalanya dengan Camy membuat gadis tersebut tersentak kaget dengan jantung yang secara langsung berpacu lebih cepat dibanding biasanya. “Apapun yang terjadi, jangan melepaskan tudung kepalamu dan bersuara. Dimanapun dan dengan siapapun itu, mengerti?” bisik Aspire membuat Camy merona kemerahan karena sudah berpikir yang tidka-tidak. Otak cerdas Camy pun yang menyadari ucapan Aspire hendak protes namun diurungkan saat melihat tatapan Aspire yang tidak mau dibantah.

Ren dan Gize yang telah selesai menata barang-barang mereka segera bergabung dengan Camy dan Aspire. Anehnya, saat keempatnya sudah duduk di tempat masing-masing dan hendak berdiskusi, Gize sudah meletakkan sebuah kertas dan pena, lalu mendorongnya mendekat ke arah Aspire. “Untuk saat ini, kalian istirahat terbelih dulu. Dan mulai besok kita akan mengikuti rombongan ini.” Selama berbicara, Aspire menulis di atas pahanya. Laki-laki itu menegakkan posisinya sehingga dari manapun dia tidak terlihat sedang menulis. Pandangannya pun tidak tertuju pada pada kertas yang ditulisnya melainkan kepada Gize, Camy, dan Ren secara bergantian. Setelah selesai menulis, bersamaan dengan selesainya Aspire berbicara, laki-laki itu segera menyerahkan kertas beserta pena tersebut kepada Camy. Lirikan matanya mengisyaratkan agar Camy memberikannya kepada Ren kemudian tersalur terus ke Gize. Dengan gerakan samar, Camy meraih kertas tersebut, membacanya sekilas lalu memberikannya kepada Ren dengan gerakan samar pula.

‘bagaimana menurutmu?’ adalah tulisan yang ada di kertas tersebut. Camy tau jika tulisan itu ditunjukkan kepada Gize, jadi gadis itu hanya melihat sekilas tulisan tadi dan langsung memberikannya kepada Ren.

“Jika memang itu keputusan anda, saya akan mengikuti anda,” jawab Gize dengan gestur yang sama dengan Aspire, tangannya masih sibuk menulis di atas kertas yang baru saja dia terima.

“Saya pun juga begitu, selama itu memang keputusan akhir anda, saya akan terus mengikuti anda.” Kertas itu bergulir lagi. Camy membaca sekilas. ‘kita tidak bisa percaya begitu saja. akan lebih baik kita tetap terus waspada’.

Tangan Aspire kembali bergerak untuk menulis sedangkan pandangannya terarah kepada Gize. “Baiklah, jika memang kalian akan terus mengikutiku. Gize, setelah beristirahat, kau ikut aku untuk berdiskusi dengan orang-orang tadi. Ren, kau tetap di tenda bersama gadis ini.” Camy hampir saja menyalak saat Aspire menyebutnya sebagai ‘gadis ini’ tapi dia segera membungkam mulutnya saat melihat tatapan tajam milik Aspire. Camy diam dan hanya mengoper kerta itu. ‘Baiklah, kita akan berkomunikasi seperti ini sampai kita tau kondisi yang sebenarnya. Segera lenyapkan kertas ini setelah mendapat kode dariku.’ Aspire menatap Gize, menunggu laki-laki itu membaca tulisan tersebut sekilas sebelum kembali berbicara, “Setelah kita akan langsung istirahat. Gize, tolong cek ambilkan air hangat untuk gadis ini di luar tenda.” Gize mengangguk. Di lain sisi Camy mulai mengerti bawah itu sebuah kode bahwa Gize harus segera melenyapkan bukti pembicaraan mereka, dan awal dari keseharian yang akan menyiksanya.

2 Komentar

  1. apa gak suli mau bicara aja harus di tulis dulu.. :LARIDEMIHIDUP

  2. Waduhhh :kaget