Vitamins Blog

Pangeran Tanpa Mahkota – Halaman 11

Bookmark
ClosePlease login

No account yet? Register

11 votes, average: 1.00 out of 1 (11 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

Aspire terpaku sejenak, bukan pada sosok yang mengacungkan pedangnya pada leher Camy melainkan pada kilauan yang ada di balik rerimbunan tanaman. Tentu itu bukan pohon yang bisa memantulkan cahaya, itu malah terlihat seperti sebuah logam tajam yang bisa melukai seseorang. Pedang? Bukan, kilauan tersebut tidak panjang. Atau mungkin panah.

Pertanyaan Aspire segera terjawab saat sosok di belakang Camy ambruk begitu saja degan panah yang tertancap di dadanya. Kemudian, diikuti puluhan panah yang berterbangan yang seolah diarahkan pada orang-orang yaang ada di sekitar Aspire saja. Aspire sendiri segera menarik Camy untuk masuk ke dalam rerimbunan pohon, mendekap erat Camy dan bersembunyi di balik pohon besar yang berfungsi sebagai tameng. Suara jeritan kesakitan orang serta suara panah menembus daging terdengar jelas dari balik pohon yang Aspire jadikan pohon.

Kemudian henung sejenak.

Aspire mencoba mengintip dari balik pohon. Semua orang yang tadi bermaksud menyerangnya sudah terkapar dengan panah yang menancap tubuh mereka. Tidak perlu di cek pun Aspire yakin jika mereka sudah tidak bernyawa. Namun itu tidak membuat pria berambut merah itu lega karena musuh yang sebenarnya masih belum diketahui oleh Aspire. Apakah orang yang menembakkan panah itu teman atau musuh mereka yang lain.

Aspire memincingkan matanya kembali. Bola mata keemasannya itu menangkap siluet anak panah yang mash terarah ke arah mereka, seakan menunggu Aspire keluar dari persembunyiannya. Ini gawat, pikir Aspire menerawang. Setidaknya ada delapan anak panah yang sudah bersiaga, itu berarti ada delapan orang yang siap menyerang mereka, belum terhitung jika ada orang yang masih bersembunyi dan bersiap untuk serangan langsung menggunakan pedangnya. apalagi, Aspire tidak membawa pedangnya, yang membuat keadaan mereka semakin terdesak. secara tidak sadar Aspire mengetatkan dekapan tangannya terhadap tubuh Camy, tentu saja dia mengkhawatirkan sosok di dalam pelukannya itu.

Tidak ada cara lain selain lari dari mereka untuk sementara ini dan segera berkumpul dengan Ren serta Gize.

Aspire segera melepaskan jubahnya, memakaikan jubahnya kepada Camy yang memandangnya tidak mengerti. Tangannya dengan cekatan segera menutup kepala gadis berambut coklat itu dengan penutup kepala jubahnya, berusaha sebaik mungkin agar wajah Camy tidak terlihat oleh musuh. Ini hanya untuk berjaga-jaga jika musuh mereka memang mengincar Aspire dan kelompoknya, maka Camy masih bisa kabur karena Camy masih belum masuk dalam daftar buronan.

“Dengarkan aku, setelah aba-abaku kita akan berpencar. Aku akan mengalihkan perhatian mereka, sedangkan kau berlari ke arah tempat yang sudah kita tentukan kemarin saat situasi seperti ini terjadi. Kau mengerti?” Camy paham apa yang dimaksud Aspire. Tempat yang dikatakan olehnya adalah tempat persembunyian khusus dirinya jika ada situasi mendesak sehingga ketiganya harus bertarung dan Camy harus bersembunyi agar dia tidak menjadi beban. “Apapun yang terjadi, jangan perlihatkan wajahmu kepada siapapun itu. jika sampai selama dua hari kami tidak ke tempatmu, kau harus langsung ke kota terdekat dan membaur disana. paham?” Sekali lagi Camy mengangguk menimbulkan rasa puas di wajah Aspire.

“Bagus, aku akan berlari terlebih dahulu kemudian pada hitungan ke sepuluh baru kau berlari ke tempat itu. jelas?” Camy mengangguk paham meski kini kakinya agak gemetar karena takut rencana ini tidak berhasil. Aspire yang mengetahui rasa takut Camy segera menepuk ujung kepala Camy dengan kelembutan sebisa mungkin. “Tenanglah. Apapun yang terjadi, aku akan selalu melindungimu.” Camy tau itu. Aspire pun sudah berjanji di depan makam ibunya jadi Camy tidak akan meragukan perkataan Aspire.

Aspire sekali lagi mengintip ke arah semak-semak belukar yang dipenuhi siluet anak panahh tersebut, mencoba meyakinkan dirinya jika semua musuhnya akan mengikutinya. Dengan keyakinannya, akhirnya Aspire segera berlari sekencang yang dia bisa, diikuti beberapa anak panah yang melesat mengejarnya, hingga akhirnya suara gesekan semak terdengar. Itu berarti musuhnya ikut mengejarnya. Di hati kecilnya kini berharap jika rencananya akan berhasil, itupun jika Camy berhasil menghitung dengan lancar sampai sepuluh.

Aspire berlari secepat kakinya bisa lakukan. Arah tujuannya sudah jelas, tempat dimana dia beristirahat sejak kemarin. Namun saat jaraknya dengan tempat peritirahatannya itu semakin memendek, Aspire bisa mendengar dentingan logam dan gesekan kaki yang terdengar nyaring. Dan saat Aspire sampai, Ren dan Gize ternyata sudah sibuk dengan semua musuh yang jumlahnya belasan. Keduanya nampak kewalahan menyerang balik semua musuh yang ada. Sepertinya musuh mereka kali ini lebih hebat dna  berpengalaman di banding prajurit yang menjadi musuh mereka saat di kota kelahiran Camy.

Tanpa membuang waktu lagi, Aspire dengan lincah menghindar dari setiap serangan yang diluncurkan kepadanya. Tidak membutuhkan waktu yang lama hingga pria berambut merah itu berhasil meraih pedangnya dan bersiap untuk serangan balik. Saat Aspire berbalik hendak melancarkan serangan kepada pengejarnya, Aspire tersentak saat dia menyadari bahwa tidak semua pengejarnya mengejar dirinya. Ada delapan orang yang berada di depannya, lima diantaranya membawa anak panah dan sisanya membawa pedang yang siap terayun ke arahnya. Itu berarti setidaknya ada tiga orang pemanah yang tidak ikut mengejarnya. Lalu bagaimana dengan Camy, gadis itu pasti ketakutan saat ini.

Tidak ada waktu lagi.

Aspire segera berlari menerjang ke arah pengejarnya. Satu diatara mereka mengayunkan pedangnya ke arah pinggang Aspire yang segera dihalau dengan mudahnya yang kemudian dibalas tebasan melintang dari sisi pinggan kiri ke pundah kanannya. Belum selesai memantapkan pijakannya, dua pedang lagi teryaun ke arah Aspire. Secepat kilat Aspire menarik musuh yang tadi di teasnya menjadi tamengnya lalu mendorongnya kuat menabrak dua penyerangnya tadi. Setelah itu Aspire langsung berlari ke arah belakang kedua penyerangnya tadi dan menebas punggung mereka dengan arah horisontal memanjang dari satu orang ke orang lain, menibulkan teriakan keduanya yang memekikan telinga.

Masih tersisa lima lagi, dan mereka hanya pemanah.

Aspire berlari menuju kerumunan pemanah yang telah melepaskan anak panahnya, kakinya dengan lincah meloncat kesana-kemari untuk menghindari semua anak panah yang terarah ke padanya. Saat sudah dekat dengan pemanah yang berada di posisi paling depan, Aspire langsung melopat ke arah pemanah tersebut, mengarahkan lututnya hingga menghantam dagu pemanah tersebut yang menimbulkan suara retak yang menyakitkan. Disaat itu pula Aspire melempar pedangnya ke arah pemanah yang berada di posisi paling jauh. Pedang itu melesat melukai pipi kiri pemanah tersebut sebelum menancap di pohon di belakangnya yang sebelumnya menibulkan suara retakan pohon.

Seketika itu juga para pemanah itu terpaku pada pedang yang melesat dan menancap di pohon tersebut.

Aspire mengambil kesempatan itu untuk mengambil panah dan beberapa anak panah dari pemanah di bawahnya. Sebelum para pemanah tersebut tersadar, Aspire sudah melesatkan anak panahnya ke para pemanah tersebut. Masing-masing anak panah tersebut melesat dan menancap ke pundak mereka. Luka tersebut memang tidak terlalu parah tapi cukup membuat mereka tidak bisa memanah selama beberapa hari.

“Ren! Gize! Aku akan menyusul Camy!”  Aspire tanpa menunggu sahutan dari dua orang pengawalnya, dia segera menuju ke arah pedangnya yang menancap untuk segera  mencabutnya. Namun sebelum tubuhnya sempat bergerak lagi menuju ke dalam hutan untuk menyusul Camy, suara bariton menggema di tengah-tengah pertarungan tersebut. Membuat semua orang berhenti di tempatnya.

“Maksudmu, gadis kecil ini.” Dan disana dia mendapati pria dengan otot yang berlebih tengah merangkul pundak Camy yang tengah gemetar ketakutan akibat pedang yang lagi-lagi terarah ke lehernya.

SIAL!

2 Komentar

  1. greged deh ah…

  2. Sudah mulai