Vitamins Blog

Cut! #2

Bookmark
Please login to bookmark Close

# 2

Maksud Tersembunyi

***

Di antara bangunan-bangunan yang menjulang tinggi di langit. Di antara lantai-lantai di suatu bangunan yang amat tinggi itu, seorang wanita sedang menutupi kepalanya dengan lilitan syal, berjalan mencurigakan memasuki sebuah lantai yang disewakan kepada desainer muda dengan merek dagang ‘Elle est Beau‘ dalam bahasa Prancis, yang berarti ‘wanita cantik’.

Ho Rang menutupi matanya dengan kacamata hitam, dan menyamarkan wajahnya sebisa mungkin. Sambil menegok kiri kanan, dia berhasil masuk ke dalam kantornya.

Wanita yang pertama kali bertemu pandang dengan Ho Rang sontak menjerit, mengetahui ada orang asing telah menyusup ke dalam kantor. Wanita itu mundur dengan cepat dan gugup, hingga berhenti tepat di depan meja terdekat. Tangan-nya meraba-raba permukaan meja, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk membela diri.

Dilihatnya penampilan penyusup itu. Tampaknya ia adalah wanita; berpenampilan modis; dan wujudnya sepertinya tidak asing lagi.

“Siapa kau?! Penyusup!” teriak wanita itu dalam keadaan takut.

“Zzz! Ji Hee, Ini aku!” jawab Ho Rang, kemudian melepas semua benda yang menutupi identitas wajahnya.

“Bos!” seru Ji Hee, tidak menyangka bos-nya pandai menyamar sebagai penyusup. “Kukira tadi penjahat. Hampir saja…”

Ho Rang melihat Ji Hee sudah memegang gunting di tangannya. “Hampir saja kau menikamku dengan gunting, kan?”

“Eh! Dari mana bos tahu?!”

Ho Rang memutar bola matanya, lalu menjawab pertanyaan Ji Hee dengan lirikan mata yang tertuju pada tangan Ji Hee. “Itu di tanganmu apa kalau bukan gunting?”

Ji Hee segera menaruh kembali gunting itu ke atas meja, dan meminta maaf pada bos-nya, karena tidak menyadari kalau penyusup tadi adalah Ho Rang. “Maafkan aku, bos.”

“Tidak masalah. Salahku juga, tadi berpenampilan seperti orang mencurigakan,” aku Ho Rang, lalu berjalan mendekati meja kerjanya yang khusus, diikuti Ji Hee dari belakang.

“Bos, kenapa datang dengan berpenampilan misterius?” tanya Ji Hee penasaran.

Ho Rang membuat jeda beberapa detik, kemudian setelah ia duduk tenang di kursi empuknya, ia-pun menjawab pertanyaan Ji Hee.

“Tidak ada apa-apa. Hanya ingin ganti suasana saja,” jawab Ho Rang mengada-nada, tidak ingin membeberkan masalahnya kepada siapapun. Hanya orang rumah saja yang boleh tahu.

Ho Rang melayangkan pandangannya menjelajahi ruangan kantornya yang luas, dan merasa ada yang kurang. Seharusnya karyawannya berjumlah dua orang, tapi yang terlihat hanya Ji Hee seorang.

“Dimana Mi Jin?” tanya Ho Rang dengan tampangnya yang seperti biasa, serius dan terlihat garang.

“Dia…” Ji Hee agak ragu menjawab pertanyaan bos-nya. Ia sudah tiga tahun bekerja dengan Ho Rang, sekaligus tahu sebab akibat yang akan diterima oleh rekan lain, apabila tidak memenuhi persyaratan yang dibuat Ho Rang.

Ho Rang menajamkan matanya, secara tak kasat mata memaksa Ji Hee untuk mengatakan yang sebenarnya. “Dia… meminta izin cuti untuk seminggu ke depan.”

“Apa?!” Ho Rang spontan berdiri dan memukul permukaan mejanya. Tampangnya terlihat dongkol. Emosinya seketika menanjak, membuatnya ingin menyemprotkan luapan lava dari tengah kepalanya.

“Sampaikan pada wanita cerdas itu, kalau dia telah dipecat pada detik ini!”Tidak bermain-main, Ho Rang bisa memutuskan sesuatu tanpa berpikir panjang.

“Bisa-bisanya dia yang baru bekerja setengah tahun, tapi jumlah cutinya telah hampir mencapai tiga minggu! Sudah baik kuberi dia cuti sebelumnya! Apa dia sakit jiwa?! Ya, Ji Hee-yaa! Suruh dia buat usaha sendiri saja!” tambah Ho Rang yang sedang meledak-ledak.

Sekujur tubuh Ji Hee jadi gemetar. Bos-nya yang dingin itu, jika marah sangatlah galak. Saat marah, Ho Rang mampu membuat siapa saja tidak bisa berkutik melawannya.

“Ba– baik!”Ji Hee memberi respon secepat mungkin, lalu berlari menuju mejanya sendiri, meraih telepon, dan menelepon rekannya yang sedang cuti itu.

Ho Rang tidak masalah, jika di kantornya hanya menyisakan dirinya dan satu karyawan saja. Masa bodoh dengan si Mi Jin yang seenak jidatnya meminta cuti. Tetapi, masalah yang membuat Ho Rang mengusap keningnya yang tidak sakit itu, karena…

Tuntut. Kata itu selalu bergema berkali-kali di dalam pikirannya sejak semalam. Walaupun Ho Rang terlihat dingin dan mengerikan saat marah, akan tetapi ia juga memiliki kekurangan tersendiri. Ia suka memikirkan sesuatu secara berlebihan.

“Tidak, tidak,” gumam Ho Rang tanpa sadar menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran negatifnya agar menjauh.

Walaupun Ho Rang sudah memukul si Lee Joon bejat itu, dan kejadian itu masuk dalam artikel terhangat minggu ini, toh di dalam foto itu hanya memperlihatkan bagian belakang Ho Rang yang backless, sedangkan wajahnya sama sekali tak terekspos. Orang yang tidak melihat langsung kejadian atau tidak mengenal Ho Rang, sudah pasti tidak akan menyadari kalau itu adalah dia.

Tidak ada yang perlu dicemaskan oleh Ho Rang, mengingat tidak ada teman sekolahnya yang tahu dimana ia tinggal dan juga bekerja. Sekarang Ho Rang bisa melupakan, dan melanjutkan pakaiannya yang belum selesai dijahit.

Tok tok! Suara ketukan pintu yang singkat, kemudian sekejap lenyap.

Ji Hee membuka pintu kantor. Ia tidak melihat siapapun di luar sana, selain sebuah kotak berwarna tosca mengkilap ditelantarkan oleh entah siapa itu.

“Bos, ada paket.” Ji Hee membawa paket itu ke meja Ho Rang.

“Paket dari siapa?” tanya Ho Rang, sementara ia sedang sibuk membuat pola pakaian.

Ji Hee memeriksa sekeliling kotak itu, dan tidak menemukan adanya nama yang tercantum. Kotak yang misterius, apa jangan-jangan mereka diteror?

Ji Hee menelan salivanya dengan berat. Tangannya perlahan menjauh, serta pandangannya tidak bisa lepas dari kotak itu. “Bos, aku takut.”

Mendengar ungkapan Ji Hee, Ho Rang-pun menyergitkan dahinya. “Takut, kenapa?”

“Aku takut, dan curiga kalau isinya… bom?”

“Ji Hee-yaa, kau terlalu banyak tonton film teroris, ha?!” Ho Rang menghela napas, dan berjalan mendekati kotak tosca misterius itu.

Siapa sih orang gila yang mengirim paket tanpa nama?!

**

Tanganku diam tak mencegah,

Sinar matahari menyilaukan pandanganku.

Tanganku diam tak mencegah,

Wujudmu menarik perhatianku.

Hye Ri termenung, sedang memandangi sesuatu yang tidak bisa luput dari pandangannya. Se-jam lebih telah berlalu di dalam ruang kelas yang sama, namun Hye Ri tak jemu menatap belakang orang itu.

Hye Ri merasa beruntung telah mengambil program S2 jurusan sastra. Kalau saja ia mengikuti perkataan ibunya untuk mencari pasangan dan menikah muda dengan orang asing yang belum tentu ia sukai, mungkin ia tidak akan bertemu dengan seorang pria yang begitu menarik perhatiannya.

Park Soo Hyun. Hye Ri menyebut nama teman sekelasnya dengan penuh perasaan, dan tenggelam dalam dunianya seorang diri… Baru kali ini, dia tergila-gila pada seseorang.

“Ehemm.” Seseorang tengah berdiri di samping meja Hye Ri, berusaha menyadarkan Hye Ri dari lamunannya tanpa membuat wanita itu kaget.

Hye Ri menumpukan dagunya di atas kedua telapak tangannya. Wanita manis itu tersenyum sendiri, dan kelopak matanya tidak berkedip sembari melihat ke depan.

“Ehemm, Hye Ri-ssi,” panggil orang itu sekali lagi.

“Ooh, a– ada apa?” tanya Hye Ri yang baru saja kembali ke dunia nyata.

Hye Ri menolehkan kepala menghadap samping, dan matanya melirik ke atas, menemukan wajah pria yang ternyata itu adalah Soo Hyun.

“Tugasmu. Dosen memintaku untuk mengumpulkannya,” jawab Soo Hyun, yang ditugaskan untuk mengumpulkan semua tugas teman kelasnya.

Hye Ri tidak sadar, kalau kelas telah berakhir. Saking asyiknya ia melamun, ia menjadi lupa akan segala hal yang terjadi di sekelilingnya. Rasanya ia ingin melempar diri dari tebing, kalau begini jadinya. Bodoh, bodoh. Apa yang telah kulakukan?

“Ah, tugas ya. Tunggu sebentar.” Hye Ri mencari buku tugasnya di antara tumpukan buku di atas mejanya. “Ini.”

“Baiklah, thanks.” Sebelum Soo Hyun meninggalkan tempat Hye Ri, pria itu sempat berbalik dan meminta nomor telepon Hye Ri.

“Boleh minta nomormu?” tanya Soo Hyun sopan. Pria itu telah memegang ponselnya, bersiap mengetik nomor Hye Ri.

Nomorku? Hye Ri terkesima mendengar permintaan Soo Hyun barusan. Jantungnya berdetak lebih cepat. Seakan Hye Ri masih belum sadar dari lamunannya, hal yang begitu didambakannya tiba-tiba terwujud. Da– dalam rangka apa?

Tidak langsung menyanggupi permintaan Soo Hyun, Hye Ri lebih dulu melihat-lihat kondisi di sekitarnya.

Para teman kelasnya yang totalnya berjumlah 20 orang, khususnya yang wanita melirik sinis ke arah Hye Ri. Mereka pasti kesal, melihat pria paling menarik di kelas mereka meminta nomor Hye Ri. Sedangkan, para pria memasang telinga untuk mendengar Hye Ri mengucapkan nomor teleponnya, dan diam-diam mereka mencatatnya juga.

Hye Ri tidak mau orang lain mengetahui nomor teleponnya, sebab pernah terjadi banyak kejadian setelah orang yang tidak diinginkannya mengetahui nomornya. Pernah beberapa kali orang asing menghantuinya dengan bejibun missed call, dan mengirimkannya pesan aneh. Parahnya lagi, mereka menjual nomor ponsel wanita cantik, dan orang yang mendapatkan nomornya akan mengirimkannya kata-kata yang berbau erotis.

Hye Ri sangat benci bila mengingat semua hal yang pernah menimpa dirinya.

“Boleh saja,” jawab Hye Ri diikuti senyuman malu-malu. Ia tidak masalah memberikan nomornya pada Soo Hyun, sang pria yang begitu menarik perhatiannya. Kalau-pun ada masalah di suatu hari nanti, Hye Ri akan langsung tahu siapa yang harus ia salahkan. “Sini, biar aku saja yang ketik.”

**

“Halo. Dengan si bejat Lee Joon?!”

[“Halo juga, my sexy. Sudah kutunggu teleponmu dari tadi loh.”]

My sexy dari lubang hidungmu! Apa mau-mu hah? Cepat katakan, waktumu hanya se-menit!” bentak Ho Rang galak, sambil menahan kekesalannya.

[“Wah, hebat. Ho Rang yang kutahu dulu sudah punah ternyata.”] Lee Joon tampaknya senang menggoda Ho Rang.

Bibir Ho Rang menyeringai, kemudian dia menjauhkan ponselnya dari telinga. Pik! Dan mengakhiri sambungan telepon secara sepihak. Sudah cukup, pria bejat itu mengerjaiku! Pikir Ho Rang, lalu tangannya refleks melempar ponselnya ke atas sofa yang berjarak dua meter dari posisinya.

Ho Rang yang mengingat dendamnya kepada Lee Joon sejak lama, tidak akan segan bertingkah kejam pada pria itu. Tindakan pria itu dari dulu telah merugikan Ho Rang, membuatnya tidak bisa tumbuh seperti remaja seusiannya.

Ho Rang juga melempar kotak tosca dari atas mejanya, dan membuat isinya berhamburan di lantai. Kotak itu ternyata diberikan oleh Lee Joon, terbukti dari sebuah kartu nama yang ditemukan di dalamnya, disertai sebuket bunga mawar.

Tringgg~ Tringgg~ Ponsel Ho Rang berbunyi.

Sebuah panggilan masuk memanggil Ho Rang untuk segera diterima.

“Bos, tuan Lee Joon menelepon anda,” kata Ji Hee yang melihat nomor pemanggil yang tampil di layar ponsel Ho Rang, sama seperti di kartu nama Lee Joon.

“Biarkan saja,” balas Ho Rang yang tengah sibuk dengan jahitannya.

Lama tidak merespon, ponsel Ho Rang berhenti berdering. Tidak ada panggilan berikutnya yang menyusul. Melainkan, telepon di kantor mereka yang kini berbunyi.

“Selamat siang, kantor Elle est Beau disini. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Ji Hee dengan ramah.

“Ah, nona Ho Rang? Baik, tunggu sebentar.”

“Bos, tuan Lee Joon ingin bicara dengan anda,” ucap Ji Hee.

“Apa?! Darimana bejat itu tahu alamat dan nomor telepon di sini?!” tanya Ho Rang dengan nada terperanjat

“Tuan Lee Joon, nona Ho Rang bertanya darimana anda tahu alamat dan nomor telepon di sini?” tanya Ji Hee polos, mengulang kembali pertanyaan histeris Ho Rang.

“Bos, kata tuan Lee Joon, ia menyuruh anda memeriksa surat kontrak kerjasama seminggu yang lalu.”

Kontrak kerjasama? Ho Rang melesat dengan cepat, memeriksa dokumen surat kontraknya yang ditaruh dalam sebuah map terpisah. Kontrak kerjasama yang berhasil dijalin Ho Rang seminggu yang lalu dengan perusahaan garmen ‘Belle Journée‘, namun yang menanda-tangani surat itu bukanlah bernama Lee Joon.

“Kau berusaha membodohiku? Jangan bilang kalau ‘Belle Journée‘ adalah perusahaanmu!” teriak Ho Rang, setelah merampas gagang telepon dari Ji Hee.

[“Aku tidak sedang membodohimu, itu memang nama perusahaanku.”]

“Kau pikir aku akan percaya dengan mulut kotormu?! Jelas nama yang tercantum di sana adalah ‘B– Bae Min Ju’?!” Nama marga itu bila dipikirkan sekali lagi, tampak tidak begitu berbeda di pendengaran Ho Rang. Si bejat Lee Joon bukannya juga bermarga ‘Bae’?

“Oh, si Min Ju. Dia adikku. See, nama marga kami sama, sama-sama ‘Bae’.”

Serasa disambar listrik beribu volt, Ho Rang mematung tidak bisa berkata apa-apa. Hingga gagang telepon yang di pegangnya terjatuh di atas lantai, memecah keheningan yang sempat tercipta.

***

Love it! (No Ratings Yet)

Untuk chapter selanjutnya : silakan lewat wattpad : horangi84 . Makaci≥﹏≤


Loading…

1 Komentar

  1. Oh ke tetangga sebelah liatnya :backstab