Vitamins Blog

Being His Girlfriend: Sebelas

Bookmark
Please login to bookmark Close
32 votes, average: 1.00 out of 1 (32 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

temen-temen bisa baca cerita ini di wttpd @authoriya judulnya “cat-stagram” disana udah sampe chapter 13. Masihh angeeet! Yukkk divotee

 

***

Jen mengerjapkan kedua matanya untuk menyesuaikan indera penglihatan gadis itu karena lampu kamar kost nya yang ia biarkan menyala. Setelah merasa bisa menyesuaikan efek dari bangun tidurnya, mata Jen langsung mendapati kalau kucing dengan bulu krem milik Aji sedang melihatinya, dengan ekspresi datar.

Oke, oke. Tentu saja. Lagipula kucing mana yang akan tersenyum, hm?

“Ampun deh, gue ketiduran lagi.” gumam Jen. Tangannya bergerak meraih jedai bewarna dusty pink miliknya kemudian memakainya di rambut, membentuk nya menjadi cepol.

Jen bangkit. Sedikit merenggangkan otot-otot nya yang agak kaku karena tidur tadi, lalu berjalan kearah kamar mandi nya untuk mencuci muka.

Kosan Jen, memiliki fasilitas kamar mandi, wifi dan juga AC tersendiri di dalam kamarnya. Sehingga gadis itu betah berlama-lama didalam kamar kost nya, tanpa merasa bosan. Dan mungkin itu juga yang dirasakan Tyas, temannya, yang sudah menganggap kamar kos nya sebagai rumah kedua gadis itu.

Jen membasuh dua kali wajahnya menggunakan facial gel andalannya. Dan langsung merasakan sensasi ting-ling ketika ia mengusapkan secara perlahan facial gel itu ke wajahnya. Setelah memijatnya beberapa saat, Jen segera membilas wajahnya, lalu diraihnya handuk khusus yang memang berada di kamar mandinya itu dan diusapkan kewajah nya yang sudah bersih.

Setelahnya, gadis itu segera berjalan keluar. Tangannya bergerak mengambil remote tv dan menekan tombol powernya. Jen sebenarnya tidak tertarik menonton serial lokal, namun itu dilakukannya hanya supaya efek suara dari siaran televisi itu bisa sedikit membantu menghilangkan suasana hening di kamarnya. Saat Jen ingin menaruh kembali remote tv nya diatas ranjang, saat itulah Jen melihat lampu led pada ponselnya menyala, menandakan bahwa ia memiliki notification yang sudah menunggu untuk di buka.

Jen lantas menyambar ponselnya dengan cepat, dan mendapati missed call dari Aji. Plus, beberapa pesan whatsapp yang sama dari cowok itu juga. Kening Jen mengernyit, untuk ukuran lelaki seperti Aji, menurutnya tidak lah pantas mengirimkan huruf ‘P’ sebanyak…

Wait, Jen mencoba menghitungnya. Lalu, gadis itu ternganga.

Sepuluh.

Sebanyak sepuluh huruf ‘P’ pada sepuluh buble chat. Membuat kekesalan Jen sebelumnya menguap entah kemana, di gantikan dengan kekehan pelan. Kepalanya menoleh kearah Noah yang sedang mengeloyor manja, lalu berujar, “Gue nggak nyangka, Bapak lo bisa kaya gini juga ya.”

Tangannya kemudian menekan icon call pada layar ponselnya.

***

“Bro, gue denger-denger tadi, katanya anak dari kota Jogja juga ngambil kasus jaman milenial kaya gini deh.” Radit berkata pada Aji dan Rizki yang berada di sebelah kanan dan kirinya. Sedang melakukan hal yang sama, yaitu menatap Macbook yang menampilkan beberapa anak-anak kecil yang sedang bermain gadget.

Namun, tidak hanya kedua orang itu yang memerhatikan ucapan Radit, dua teman nya yang lain, Jidan dan Jack, yang sedang sibuk finishing film pendek yang juga akan di lombakan, juga ikut memasang kuping mereka.

“Jadi, gue usul gimana kalo kita jangan pake foto ini?” Radit melanjutkan. Kedua matanya menatap tanya satu per satu kepala yang berada di dekatnya. “Gimana, hm?”

Seolah tampak sependapat dengan Radit. Keempat temannya itu mengangguk setuju. Karena untuk memenangkan lomba ini, selain dibutuhkan skill foto yang bagus, salah satu point utama nya juga adalah makna yang terdapat didalam hasil bidikan si Photografer itu sendiri.

Lalu, keempat kepala itu menatap Aji dengan tatapan sejenis, membuat cowok itu menghela nafas.

“Iya, iya. Foto yang itu udah gue save di macbook kok. Di folder yang itu…” tunjuk Aji pada salah satu folder.

Keempat pasang mata itu terbelalak kagum saat mendapati foto yang mereka maksud, padahal itu bukan kali pertama mereka melihatnya. Potret dua orang anak kecil yang tampak bahagia bermain balap karung. Disaat sekarang dimana anak bayi pun sudah bisa bermain game dan menonton youtube di gadget. Namun, kedua anak kecil itu tampak bahagia dengan wajah polos mereka. Foto itu diambil Aji, di salah satu desa di Makasar, saat cowok itu dan keluarganya sedang pulang ke kampung halaman mereka karena Jidah merindukan cucu-cucu nya yang berada di Jakarta.

“Gila ini sih gue yakin kita bakal menang.” Ujar Rizki senang. Kemudian matanya beralih pada Aji, “tinggal lo rancang-rancang aja mau cerita apa lo di depan juri.” Tukas Rizki.

Aji mengernyit, “Gue?”

“Iyalah, bro. Masa gue atau Radit, kan yang paham makna foto ini lo.”

Ini yang membuat Aji berat hati memberikan hasil bidikannya untuk lomba. Karena Aji tahu pasti dia jugalah yang nantinya akan mempresentasikan foto itu. Dan Aji tidak menyukai hal itu. Bukan, bukan karena Aji pemalu, hell no! Did you ever think kalau seorang Triaji Hanggara adalah orang yang begitu pemalu? Yang ada malah sebaliknya.

Tapi, Aji sedang tidak dalam mood yang bagus untuk berkata-kata.

Pertama, karena Jennifer tidak mengabarinya dan Aji berpikir karena gadis itu sedang merajuk. Kedua… yaudah itu aja sebenarnya.

Aji buru-buru mengambil ponselnya yang bergetar diatas ranjang hotel. Dan senyum secerah sinar mentari pagi atau secerah pelangi saat hujan selesai langsung terbit diwajah cowok itu.

Dan dengan segera ia menggeser ikon bewarna hijau kearah samping untuk mengangkatnya.

“Akhirnya lo ngehubungin juga.” suara pertama yang dikeluarkan Aji saat telepon tersambung.

***

Radit menatap heran temannya yang baru masuk kedalam ruangan penginapan dengan ekspresi datar. Sangat berbeda dengan wajah yang ditunjukan cowok itu saat ponselnya berdering tadi.

“Kaya nya tadi ada yang nyengir-nyengir pas dapet telepon…” Radit menyindir.

Aji menghela nafas kasar, “Cewek gue mau pergi sama Erik.”

Dahi Radit berkerut, tentu saja dia tahu siapa itu Erik, selain karena kenyataan Erik adalah temannya Fajar–anak klub fotografi di luar organisasi kampus–nama dan perangai Erik juga pernah menjadi nama yang sering muncul pada saat mereka masih SMA dulu. Radit dan Aji adalah teman baik saat duduk di bangku sekolah menengah atas, Radit pun kenal Erik dari Aji, karena mereka dulu bersahabat saat SMP. Namun, pada pertengahan tahun pertama kuliah, mereka menjauh. Meskipun mereka dan Erik tidak satu SMA maupun satu Universitas, ketiganya kerap bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Ketika suatu masalah yang terjadi antara Aji dan Erik yang juga membuat persahabatan ketiga nya pecah. Tidak bertegur sapa. Childish memang, tapi itulah kenyataannya.

Karenanya, ketika nama itu kembali terdengar dan apa yang diucapkan Aji kepadanya, Radit tak urung terkejut,

“Jennifer?” tanya Radit memastikan.

Aji menatap datar. “Iyalah. Memangnya cewek gue ada berapa sih, ck!” Sungutnya.

“Ya kan cuman mau mastiin bro,” Radit tertawa garing sambil menggaruk kepala, “Kok bisa? Memangnya Jennifer kenal sama tu cowok?” Sambung Radit.

Dengan menghela napas kesal, Aji mengangguk malas, “Iya, ternyata mereka temenan dulu pas di SMA. Gue baru tau.”

Aneh memang, selagi berteman dengan Erik dulu, cowok itu sama sekali tidak pernah menyebut nama Jennifer atau menceritakan soal Jennifer kepadanya.

“Aliggg, udah kaya sinetron.” Respon Radit dengan heran. Dirinya tidak menyangka kalau cerita fiktif di Film Televisi yang sering di tonton oleh mbak Jumin, asisten rumah tangga dirumahnya, ternyata benar-benar ada di dunia nyata.

Aji memutar bola matanya. Lalu, kembali fokus membuat slide presentasi yang dibutuhkan besok di macbooknya.

“Terus, respon lo apa? Lo nggak ngelarang?”

“Nggak. Gue nggak mau ngekang Jen.” Ucap Aji santai.

“Lo nggak takut kalau…” suara Radit mengantung diudara, selain karena ada banyak saksi mata yang akan sangat kepo dan menguping, Radit juga tidak enak hati untuk melanjutkan apa yang akan dikatakannya itu.

Namun, sepertinya Aji cukup paham apa yang di maksud oleh cowok itu. Aji menatap Radit dua detik, lalu kembali pada layar macbooknya, “Gue percaya Dit, sama cewek gue.” Ucapnya dengan lantang.

Dan pada detik selanjutnya di dalam keheningan melingkupi kamar, yang kini hanya terdengar suara dengkuran halus yang saling berbalapan dari ketiga teman mereka saja.

Radit memandang Aji dengan tatapan tidak percaya, namun, sepertinya, posisi gadis yang saat ini menjabat sebagai kekasih baru sahabatnya itu terasa penting. Radit memahami kenapa Aji bisa menjadi Aji yang seperti sekarang, Aji yang berubah dan menyampirkan hati nya agar tidak tersakiti lagi. Agar harga dirinya tidak di lukai lagi.

Jadi, setidaknya, dari cara bicara Aji barusan, Radit dapat menyimpulkan kalau luka menganga yang di timbulkan oleh gadis sebelumnya itu mungkin saja akan segera menutup.

***

2 Komentar

  1. jen kn msh blm tau klo erik suka mknya msh biasa aja

    1. Yeppp