“Kenapa kita jadi seperti ini?” Katanya menatapku dengan pandangan bingung.
Aku tersenyum saja kemudian menyesap kopiku yang masih hangat terlebih dahulu sebelum akhirnya berbalik melontarkan pertanyaan. “Kenapa kamu datang?”
“Aku rindu.”
“Kenapa rindu?”
“Aku rindu bercerita kepadamu.”
Kepalaku mengangguk mengerti. “Kamu ada masalah?
“Iya.” Katanya, lesu.
“Jadi kamu ada masalah dan tidak ada yang bisa mendengarkan serta memberi saran kepadamu seperti yang aku lakukan dulu sehingga kamu rindu aku. Seperti itu?”
“Iya.” Katanya lagi,semakin lesu.
“Bukannya aku sudah pernah berkata.. Ada saatnya kamu akan kembali jatuh, terpuruk, tapi tolong jika itu terjadi jangan lagi kamu datang kepadaku untuk meminta pertolongan dan segala yang manis untuk menyembuhkan lukamu karena kita sudah berhenti saat kamu memutuskan untuk tidak lagi bertegur sapa.”
“Maaf, aku..”
“Kita jadi seperti ini karena kamu juga seperti ini. Saat dunia kamu jadi lebih indah, kamu lupa dengan siapa yang selalu ada di belakang kamu saat kamu jatuh tidak bisa bangun lagi. Kamu lupa dengan siapa yang rela meluangkan waktunya hanya untuk sekedar berulang kali berkata sabar.”
Aku beranjak dari kursiku, mengambil tas yang aku sampirkan di sandaran kursi dan kemudian melangkah pergi meninggalkan dia dengan sejuta serpih hatiku yang dia hancurkan berkali-kali. Kali ini tidak ingin lagi aku pungut serpihan itu, biarlah hati ini tidak utuh karena aku tidak ingin kembali membawanya ke masa depan. Kembali terulang untuk yang kesekian kalinya, aku tidak ingin.
Karena aku sudah memutuskan, hari ini ketika aku melangkahkan kakiku untuk pergi, ia sudah menjadi kenangan yang akan jauh kutinggalkan di belakang.