Sakura menatap orang-orang yang berlalu-lalang dari balik kaca cafe. Menatap mereka yang terlihat begitu santai menikmati siang di akhir bulan Maret ini. Seperti tanpa beban, bisa tertawa bebas seperti mereka.
Bagi orang lain, hidupnya terlihat begitu sempurna. Ia lahir di keluarga terpandang. Memiliki pendidikan yang bagus. Karir yang sukses. Dan dia dikaruniai fisik yang mempesona.
Sakura tak menampik semua itu. Dia bersyukur tentu saja. Tapi dia tak merasa sesempurna itu.
Banyak yang kurang dalam hidupnya. Cinta ayah dan ibunya. Cinta kakaknya. Dan juga cinta tunangannya. Dia tak memiliki itu semua.
Ayah dan ibunya lebih mencintai kakaknya. Dan kakaknya bahkan tak pernah menunjukkan rasa sayang sedikitpun, ia hanya terlalu egois memikirkan perasaanya sendiri. Sedangkan tunangannya, Uchiha Sasuke, bahkan dengan lantang mengatakan dia tak mencintai Sakura.
Ia memiliki banyak hal, tapi rasanya hampa.
Sakura menghela nafas.
“Kenapa kau menghela nafas seperti itu?” Tanya Ino.
Sakura terlonjak kaget. “Ino!”
Ino meletakkan tasnya dan duduk di hadapan Sakura. “Apa? Salahmu sendiri yang melamun.” Dia menatap Sakura intens. “Memang apa yang sedang kau lamunkan?”
“Bukan apa-apa.” Sakura menggeleng pelan. “Bagaimana liburanmu?” Sakura mengalihkan topik.
Ino langsung tersenyum lebar. “Menakjubkan. Kau tau, pantai tropis dengan pasir putih dan laut biru jernih. Rasanya seperti surga.” Ino memperlihatkan kulitnya yang sedikit kecoklatan. “Aku berjemur setiap hari.” Katanya bangga.
“Sepertinya menakjubkan.” Kata Sakura. “Mungkin aku perlu liburan ke sana suatu saat.”
“Kau harus ke sana.” Kata Ino semangat. “Mungkin bulan madu nanti dengan Sasuke?” Ino mengerling jail.
Sakura tersenyum masam. “Mungkin.” Sahutnya pelan.
***
Hinata membawa setumpuk selimut dan handuk bersih dalam keranjang menuju lantai atas, kamar Sasuke. Dia mengetuk pintu dan masuk.
“Kau belum berangkat, Sasuke-kun?” Tanya Hinata. Dia meletakkan selimut baru di atas tempat tidur, kemudian berjalan ke arah kamar mandi untuk meletakkan handuk kering.
Tapi Sasuke mencengkeran pelan lengan Hinata. “Bukankah sudah kubilang untuk berhenti melakukannya?” Hinata menatapnya bingung. “Ini semua. Pekerjaan pelayan ini, kubilang hentikan.”
Hinata tersenyum masam. “Ini memang pekerjaanku. Karena aku pelayanmu.”
Sasuke menyentuh kedua pundak Hinata. “Kau bukan pelayanku.” Katanya tegas.
“Lalu aku siapamu?” Hinata menatap Sasuke. “Aku bukan tunanganmu, dan sekarang aku pun bukan pelayanmu. Apa aku tidak bisa menjadi seseorang bagimu?”
Sasuke menarik Hinata dalam pelukannya. “Kau orang yang kucintai, dan aku milikmu.”
“Kau bukan milikku. Karena pada kenyataannya kau adalah tunangan orang lain.” Matanya berkaca-kaca dan ia mengisak pelan.
“Aku membatalkannya.”
Hinata mendongak. “Benarkah?”
“Hn.” Sasuke membenamkan Hinata dalam pelukannya.
Hinata mengusap sudut matanya yang basah. “Terima kasih, Sasuke-kun.”
“Hn. Jadi diamlah.”
***
“Kami akan menjadwalkan operasi secepat mungkin.” Dokter tersenyum pada Sakura. “Saudara anda sangat beruntung, karena memiliki adik seperti anda.”
Sakura tersenyum tipis.
“Anda tak perlu khawatir, Haruno-san. Setelah operasi kami akan membawa anda ke bagian psikiatri agar trauma anda tidak mengganggu pemulihan pasca operasi.” Dokter mencatat sesuatu di note-nya lalu kembali menatap Sakura. “Anda tidak perlu takut.”
Sakura meremas kedua tangannya. “Tapi saya tetap merasa begitu takut.”
“Semua orang pasti memiliki rasa takut, tapi sekarang anda sudah berani untuk melawannya. Semua pasti akan baik-baik saja.”
Sakura mengangguk kecil dan tersenyum tulus pada dokter. “Terima kasih.”
Sakura bangun dan berjalan ke luar ruangan.
***
Ino menatap Sakura tajam. Dia tak mengalihkan pandangannya bahkan sekejap.
“Katakan padaku, kenapa kau ada di rumah sakit?”
Sakura menghela nafas. “Hanya mampir untuk mengambil hasil tes lab Tayuya.”
Ino menyenderkan punggungnya dan melipat tangannya di depan dada. “Benarkah? Lalu kenapa kau pergi ke bagian psikiatri? Apa Tayuya didiagnosis mengalami kejiwaan?” Tanyanya dengan nada mengejek.
Sakura menggeleng, dia tau tidak akan bisa membodohi sahabatnya ini. “Sebenarnya aku melakukan terapi.” Jawab Sakura.
Ino membulatkan matanya, terkejut. Dia bangun dari duduknya dan pindah tepat di samping Sakura. “Sungguh? Kau mau mencoba lagi?” Sakura mengangguk. “Syukurlah.” Ino tersenyum lega.
“Tapi apa alasannya kau mencoba untuk terapi lagi?” Ino menatapnya penasaran.
Sakura tak langsung menjawab. Dia menegguk minumananya, mencoba menghilangkan rasa gugup. “Aku akan mendonorkan ginjalku untuk Tayuya.”
“Kau gila?!” Teriak Ino. Orang-orang di kafetaria rumah sakit menatap ke arah mereka.
Sakura mencubit lengan sahabatnya itu. “Kau yang gila. Jangan berteriak, Pig.”
Ino tak mempedulikannya. “Kau tidak bisa melakukan operasi itu. Kau bisa mati.”
“Maka dari itu aku melakukan terapi lagi.” Kata Sakura.
Ino menggeleng. “Butuh waktu lama untuk menyembuhkan phobia. Terlebih untuk phobia-mu.”
“Aku sedang berusaha.” Kata Sakura pelan.
“Kenapa kau melakukan ini? Tayuya tidak sedang kritis, dan dia masih bisa menunggu pendonor lain. Kenapa harus kau? Apa orang tuamu lagi?” Sakura mengangguk kecil.
Ino menghembuskan nafas dengan kasar. Berusaha mengurangi rasa kesalnya.
“Kau yang selalu berkorban dan pada akhirnya kau juga yang akan terluka.” Ino merasa dadanya sesak. Air matanya menggenang.
Sakura menggenggam tangan sahabatnya itu. Memberinya senyum lebar yang tulus. “Tak apa, karena aku memilikimu.”
***
Mikoto langsung mencubit pipi Sakura begitu gadis itu sampai di kediaman Uchiha.
“Kau keterlaluan, Sakura-chan. Bagaimana bisa kau tidak datang menengokku dua minggu ini.” Kata Mikoto. Ibu dua anak itu merajuk.
Sakura melepaskan tangan Mikoto di pipinya dan langsung memeluknya. “Maafkan aku bibi. Ada banyak pekerjaan akhir-akhir ini.” Sakura melepaskan pelukkan itu dan memegang kedua kupingnya. “Bibi memaafkan aku kan?”
Mikoto akhirnya tertawa kecil. “Baiklah. Tapi jika kau tidak rajin mengunjungiku lagi, kau akan langsung kunikahkan dengan Sasuke, mengerti?”
Sakura ikut tertawa. “Aku menantikan hukumanku.”
Lalu mereka masuk dan menuju ruang keluarga. Tak lama kemudian Hinata datang dengan dua teh dan kudapan.
“Halo Hinata-chan.” Sapa Sakura.
Hinata mengangguk sopan. “Lama tidak melihat anda, Sakura-san.”
“Ya, kau benar. Aku jadi merindukanmu.” Kata Sakura.
Hinata menanggapinya dengan senyum tipis.
“Hinata, apa Sasuke sudah pulang?” Tanya Mikoto.
“Belum, Mikoto-sama.” Lalu Hinata membungkuk sopan. “Kalau begitu saya undur diri.”
Mikoto mengeluh. “Anak itu mungkin akan hidup dan mati di perusahaan.”
Sakura menyentuh tangan Mikoto. “Itu karena Sasuke merasa bertanggung jawab terhadap banyak pekerja, maka dari itu dia berusaha keras supaya bisnisnya terus maju.”
“Kau memang yang paling bisa mengerti Sasuke.” Mikoto mengusap punggung tangan Sakura.
Hinata mengepalkan tangannya mendengar perkataan Mikoto.
***
Sasuke melihat Sakura berbaring di kamarnya dan menarik Sakura dengan kasar dari atas tempat tidur.
“Kenapa kau ada di kamarku?” Tanyanya kesal.
Sakura mengusap pergelangan tangannya yang sakit. “Bibi yang memintaku menunggu di sini.”
“Haruno Sakura, kau mulai melewati batas.” Kata Sasuke dengan nada mengancam.
Sakura melipat tangannya. Berusaha tidak terintimidasi dengan aura menakutkan Sasuke. “Memang apa yang salah jika aku menunggu tunanganku di kamarnya?”
“Sudah kubilang, kalau aku akan menghentikan pertunangan bodoh ini!”
“Kau tidak akan bisa. Karena aku tidak menginginkan pembatalan ini.” Balas Sakura.
Sasuke memandang Sakura sinis. “Kau sungguh tidak tau malu, Haruno. Mempertahankan seorang lelaki yang tidak mencintaimu.” Sasuke perlahan maju mendekati Sakura. “Ah, aku mengerti. Kau begini, karena kau tidak memiliki orang yang mencintaimu kan?”
Sasuke menyeringai saat melihat bibir gadis itu bergetar. “Kau tidak punya cinta orang tuamu, cinta saudaramu, ataupun cintaku.” Sasuke mengusap pelan pipi Sakura. “Bukankah lebih baik jika kau mati saja? Banyak orang yang akan senang jika kau menghilang, termasuk aku.”
***
Jahat sekali sasuke
Iyya ya, sasuke emang jahat, kasian sakura :beruraiairmata
Sasuke :DOR! :DOR!
Jangan benci Sasukeee :PATAHHATI