Vitamins Blog

Heliosentris – Part 12

Bookmark
Please login to bookmark Close
17 votes, average: 1.00 out of 1 (17 votes, average: 1.00 out of 1)
You need to be a registered member to rate this post.
Loading...

 

 

_____________________

Part 12 – Prasangka

____________________

 

17.27

Bagus! Untuk kesekian kalinya, aku pulang terlambat. Menjelang Maghrib pula.

Aku mengayuh sepedaku hati-hati. Merapalkan bermacam-macam doa dalam hati seraya menatap jalanan yang mulai diterangi lampu-lampu yang berbaris di kanan kiri jalan.

Beruntung, kali ini aku memilih jalan yang ‘benar-benar’ jalan. Bukan jalan pintas seperti kemarin. Meskipun mungkin akan memakan waktu lama untuk bisa sampai rumah, namun setidaknya aku bisa melakukan perjalanan pulang tanpa mengkeret ketakutan atau waspada setiap waktu.

“Gladys! Gladys! Woiiii….”

Hee? Aku berhenti mengayuh. Siapa itu barusan?

“Hoi!”

Aku tersentak kaget ketika salah satu bahuku di tepuk dari belakang.

Tidak cukup keras memang, namun cukup untuk membuat orang lari tunggang langgang karena terkejut. Bayangkan saja. Menjelang Maghrib. Sendirian. Keadaan jalan yang sepi pejalan kaki. Hanya ada orang-orang berjualan di sepanjang jalan. Ramai kendaraan. Siapa yang bisa menebak jika penjahat memilih mangsa di saat seperti ini? Tidak ada.

“Hoi! Gue panggilin dari tadi.”

O-oh. Kak Evan ternyata. Syukurlah.

“He’em.”

Aku mengangguk singkat. Enggan membalas panjang lebar. Hari ini sudah cukup melelahkan. Bertemu dengan makhluk sejenis lelaki ini, sifat yang sama menyebalkan pula, dan ya Tuhan. Luar biasa jahil.

“Lo mau pulang ya?”
tanyanya yang hanya kujawab dengan anggukan malas. Eyang pernah mengatakan jika sedang menghadapi siapapun, harus berlaku grapyak.

Tapi,

Untuk kali ini sepertinya aku harus melanggarnya. Aku benar-benar sedang ingin sendiri dan tentunya istirahat yang panjang untuk memulihkan tenagaku yang nyaris hilang setelah cukup berpusing-pusing ria hari ini.

“Yok. Gue anterin.”

“Eh?”

Apa?

“Yok. Turun dari sepeda lo. Kita jalan bareng sampe ke rumah lo. Udah deketkan?”

Aku terhenyak. Mengerjap sesaat lantas menunduk. Berfikir.

Mengantar? Dalam buku panduan psikolog yang pernah kubaca, jika seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta, ia pasti akan melakukan hal-hal di luar logika.

Hubungannya?

Aku meringis.

Laki-laki sangat tidak suka dengan hal-hal yang rumit. Meskipun jalan kaki sama sekali bukanlah hal yang rumit, tapi menilik kembali sifat laki-laki yang tak suka hal-hal berbau repot, aku sangsi.

Apa Kak Evan menyukaiku ya?

Aku menggeleng kencang.

Mana mungkin. Jangan mimpi, Dis.

Tapi,

Bagaimana jika ada salah seorang siswa yang memergoki kami berjalan bersama, lalu besoknya kami menjadi bahan pembicaraan khalayak siswa.

Aku mengusap tengkukku canggung. Apalagi, Kak Evan cukup terkenal. Akan menjadi malapetaka untuknya jika ia ketahuan dekat dengan sosok siswi yang selalu menjadi bahan bully Zara Cs.

“Alah lo kebanyakan mikir. Udah. Ayo.”

Tanpa diduga, ia menarik tanganku untuk turun dari sepeda lalu beralih menuntun sepeda bututku. Menggantikan tugasku, sebelumnya.

“Jangan kebanyakan mikir. Ini nggak bakal jadi serumit trigonometri. Tenang aja~” Ujarnya santai sembari mengulas senyum.

Aku menatapnya canggung. Merasa tak enak dan memikirkan nasibku ke depannya jika sampai eyang tahu kejadian ini.

Yo wes lah

Siap-siap saja diinterogasi, Dis.

_._._._._

Kanca, Eyang.”

Aku menunduk gugup ketika melihat orang tua itu tengah menatapku menyelidik. Satu-satunya orang tua yang paling kuhormati di dunia ini. Ia yang sudah merawatku, ia yang sudah bersusah payah menampungku saat bahkan orang tuaku tak mau repot-repot mengurusiku.

Eyang menghela nafas.

“Nduk, eyang ra nyuwun apa-apa. Mung nyuwun, kowe dadi wong sukses. Aja neko-neko nalika sekolah. Wis kuwi tok.”

°Nduk, eyang ra nyuwun apa-apa. Mung nyuwun, kowe dadi wong sukses. Aja neko-neko nalika sekolah. Wis kuwi tok.
=> Nak, eyang nggak minta apa-apa. Hanya minta, kamu jadi orang sukses. Jangan aneh-aneh sewaktu sekolah. Sudah itu saja.

Aku menengadah. Menatap wajah senja yang selalu menjadi lentera hidupku. Betapa aku menyayanginya, namun tak bisa berucap apa-apa untuk menunjukkan rasa sayangku padanya. Tuhan, aku tahu jika Engkau lebih tahu bagaimana posisi hatiku. Tanpa kata, aku benar-benar mencintainya dengan hatiku.

Nggih, Eyang.”

°Nggih
=> Iya

“Yo wes. Adus dhisik nganah, terus maem. Wis, aja kewengen.”

Aku kembali mengangguk patuh. Menurut seperti biasa.

°Yo wes. Adus dhisik nganah, terus maem. Wis, aja kewengen.
=> Ya sudah. Mandi dulu sana, terus makan. Sudah, jangan terlalu malam.

Tunduk padanya adalah kewajiban dalam hidupku. Bukan. Ini bukan tentang dia, orang satu-satunya yang kupunya di setiap helaan nafasku. Tapi ini lebih kepada menuruti perintah ilahi dan meletakkan posisinya setara dengan raja. Ya, kata eyang perintah orang tua wajib dihormati dan dituruti. Prioritasnya bahkan lebih tinggi dari raja. Orang tua berada di atasnya. Itu yang selalu eyang ingatkan padaku.

Meskipun aku hanya memilikinya di dunia ini, tapi aku bangga. Tak pernah merasa iri dengan anak-anak lain yang bahkan memiliki dua orang yang bertitle sebagai orang tua. Karena bagiku, eyang lebih dari sekedar orang tua. Dia bisa menjadi apa saja yang kubutuhkan. Teman, sahabat, ibu, bahkan sosok ayah. Dia memang luar biasa.

_._._._._._

Rabu pagi.

Aku mengawali hari dengan menimba air dari sumur di pagi buta selepas membuka mata. Dengan langkah enggan, setengah malas, setengah mengantuk, kupaksa kakiku berjalan ke arah sumur. Mengisi bak-bak air yang kosong hingga penuh lantas setelahnya mulai berjongkok untuk berkutat pada setumpuk pakaian kotor.

Apalagi, tentu saja mencucinya.

Aku tak memiliki mesin cuci yang bisa dimanfaatkan untuk meringankan pekerjaan semacam ini. Lagipula, terlalu bergantung pada peralatan elektronik itu hanya akan menimbulkan rasa malas atau bisa dikatakan terlalu memanjakan tubuh sehingga hal sepele yang seharusnya bisa dilakukan sendiri, malah digantikan oleh mesin. Itu kata eyang, bukan kataku. Tapi, aku selalu menganggap jika apa yang dikatakan eyang adalah kebenaran. Semuanya dan aku selalu mempercayainya.

Nduk, wis nganah. Siap-siap sekolah.”

°Nduk, wis nganah. Siap-siap sekolah.
=> Nak, sudah sana. Siap-siap sekolah.

Aku mendongak begitu perintah itu terdengar. Sekolah? Tapi bagaimana dengan…

“Eyang yang cuci. Wis nganah. Siap-siap sekolah. Cepet nggih?”

Aku mengangguk. Baiklah lagipula aku akan terlambat jika terus mencuci. Err… Jam 6 itu bisa dikatakan terlambat bukan?

Ya, bagiku.

_._._._._._

“Dis. Hoi!”

“Eh, dalem?” Aku menyahut refleks begitu seseorang menyerukan namaku. Siapa yang pagi-pagi mencariku?

“Ciyee anak rajin. Gerbang baru dibuka, lo udah masuk aja. Keren banget!”

Aku menatapnya sekilas.

Oh, Kak Evan.

Aku cukup merasa heran saat melihatnya yang sudah berada di sekolah sepagi ini. Maksudku, dia laki-laki kan? Tapi kenapa dia begitu rajin, tak seperti lelaki kebanyakan. Bahkan banyak dari mereka yang mustahil untuk bisa bangun pagi-pagi buta tanpa alarm yang berfungsi optimal. Itulah yang membuatku cukup terkejut saat melihat sosoknya.

“Ah. Udara pagi selalu seger ya? Gue suka.”

Ia mulai menyejajarkan langkahnya denganku. Berjalan pelan dengan sesekali menengok ke kanan kiri. Tersenyum kecil entah apa maksudnya.

“Gue baru rajin berangkat pagi tiga hari ini. Dan gue suka sama kebiasaan baru gue. Udara pagi amazing. Belum lagi sama tetesan embun yang bikin sejuk mata. Great! Gue jatuh cinta sama ini semua.”

Oh. Lalu? Memangnya itu penting untukku?

“Dan ditambah lo, gue tambah tertarik buat terus berangkat pagi.”

Lalu? Kenapa memangnya kalau karena-

Tunggu! Dia bilang apa?

“Karena aku?”

Aku menatapnya penuh tanya. Heeh, kenapa karena aku?

Aneh sekali.

Ia mengulum senyum sesaat dan sebelum aku bisa menghindar, wajahnya tiba-tiba sudah berada di sisi kepalaku. Berbisik.

“Karena lo sama kayak rumus matematika. Menarik, buat dipecahin. Menarik, buat dicari apa ujungnya. Menarik, buat dituangin ke buku gue.”

Aku ternganga.

Me-me-menarik?

Dan lagi, apa-apaan dengan posisinya yang masih berada di sisi kepalaku?

“Mesum!”

Aku memekik kencang seraya menjauh sejauh mungkin. Ya Tuhan, apa itu barusan?

Aku bergidik ngeri. Merasai leherku yang terasa meremang untuk beberapa saat. Kenapa rasanya hampir sama ya saat melihat hal-hal aneh di malam hari ya? Menyeramkan.

Kak Evan terkekeh pelan menatapku yang terus-menerus mengusap leherku.

Hee? Kenapa ia tertawa?

“Lo menarik. Udah itu aja alesannya.”

Aku kembali dibuat terperangah oleh kata-katanya. Setengah bingung, setengah tak mengerti, setengah penasaran.

Menarik? Apa maksudnya?

Sepertinya aku harus mencari definisi menarik nanti di perpustakaan. Ya, harus.

_._._._._

To Be Continue~

Notes :

· Grapyak = ramah
· Kanca = teman

1 Komentar

  1. Melting….